"Apa? Dua belas juta.. tu-tujuh ratus?" Aretha terbelalak tak pecaya, ketika seorang kasir menyebutkan sebuah jumlah yang sangat fantastik untuk ia bayar demi sebuah makan siang yang tidak terduga. Ia melirik kasir itu dengan ragu.
"Apa kau yakin sudah menghitungnya dengan benar?" Tanya Aretha penuh harap, kasir itu salah menghitung jumlah bon tagihan miliknya.
"Sudah Nyonya, totalnya 12.785.000 rupiah. Anda bisa mengeceknya kembali sebelum membayar." Kasir ramah itu menyerahkan sebuah struk pada Aretha.
Aretha hanya bisa menatapnya tidak berdaya.
Bagaimana ia bisa mengeceknya, jika ia saja tidak mengerti satu pun nama-nama makanan yang tertera di dalam struk itu?
Ada sekitar delapan orang yang memesan makanan, dan ia tidak tahu apa saja yang mereka pesan.
Jadi darimana ia bisa tahu makanan mana saja yang benar disajikan di atas meja? Ia bahkan tidak tahu harga dari masing-masing menu!!
Bukankah ini adalah restoran berbintang dengan segala macam menu makanan yang memiliki nama yang aneh, dan sangat tidak biasa dikuping Aretha? Aretha bahkan tidak ikut memesan apapun dan meminta nenek yang memesannya.
Jadi bagaimana mungkin Aretha bisa mengecek semua struk itu dengan baik dan benar?
Hari ini, karena tiba-tiba saja nenek Elvan mengajaknya untuk ke luar dan makan siang bersama, Aretha yang awalnya berpikir ia hanya akan di ajak makan berdua saja dengan Nyonya Sofia, atau paling tidak kemungkinan mereka makan bertiga dengan Daniar yang mungkin saja juga akan di ajak.
Siapa yang akan menyangka bahwa Nyonya Sofia justru malah mengajak serta semua teman dekatnya untuk ikut makan bersama tanpa Daniar!
Tak masalah memang, tapi yang menjadi masalah adalah secara mendadak ketika kiranya hampir semua orang telah selesai dengan makanannya, Nyonya Sofia tiba-tiba mengujarkan sesuatu pada Aretha.
"Aretha, Sayang. Tolong kau bayarkan dulu ya makanan ini." Bisik Nyonya Sofia pelan sambil menyunggingkan seulas senyum, yang menurut Aretha sama sekali tidak terlihat manis justru sebaliknya mematikan.
Apa? Aku yang bayar??
Seperti ada suara sel otak yang pecah, pushh..!! Aretha mau tidak mau menjadi panik.
Ia mengumpat dalam hati, di tatapnya Nyonya Sofia dengan ragu kemudian pasrah sambil berjalan ke arah meja kasir, Aretha bergumam pelan beberapa kali di dalam hati.
'Kenapa aku merasa ada sesuatu yang salah di sini? Bukankah Nenek yang mengajakku ke luar? Dan bukankah Nenek yang memiliki lebih banyak uang daripada aku? Dan yang terpenting dari itu semua, bukankah mereka semua itu adalah teman-teman Nenek?? Kenapa aku seolah merasa ada yang tidak benar dalam kasus ini?'
'Oh Tuhan! Berapa kira-kira harga semua makanan ini?' Aretha menggigit bibir bawahnya dengan gelisah.
Dan benar saja! Jumlah tagihan yang di bebankan benar di luar ekspetasinya, bahkan sampai harus meminta si kasir untuk memeriksanya ulang sangking tidak percayanya.
Tapi alih-alih menghitungnya ulang, si kasir wanita itu malah meminta Aretha untuk mengeceknya ulang sendiri. Benar-benar dibuat sakit kepala.
Beruntung, hari ini ia membawa kartu kredit milik Elvan yang diberikan Dirga padanya kemarin.
Jika tidak Aretha akan menangis kegilaan karena terpaksa harus menghabiskan uang 3 bulan gajinya selama ia pernah bekerja dulu, hanya untuk satu kali makan, untuk satu keluarga. Keluarga yang bukan keluarganya!
Luar biasa!!
"Pakai ini." Seru Aretha sambil menyerahkan kartu CC Elvan dengan enggan.
Walaupun ia tahu kartu itu bukan miliknya, tapi Aretha merasa cukup berat untuk menyerahkan kartu kredit tersebut pada si kasir.
Bagaimanapun Dirga telah berpesan padanya untuk mengunakan kartu itu dengan sebaik dan sebijak mungkin.
Kini situasinya mendesak. Untuk keperluan neneknya sendiri, Aretha yakin Elvan tidak mungkin akan protes. Bukankah ini salah satu tindakan yang bijak?
Jadi karena itu, Elvan tidak mungkin akan marah bukan?
"Terima kasih, Nyonya. Ini kartu anda." Setelah selesai menggesek kartu Aretha di mesin pembayaran, kasir itu mengembalikan kartu Aretha.
Aretha langsung mengambilnya dan tersenyum.
"Sama-sama." Serunya sambil berlalu pergi dan kembali ke kerumunan orang yang bersamanya tadi.
***
"Nenek, aku sudah membayarnya. Apa kita akan langsung pulang?" Tanya Aretha pada Nyonya Sofia ketika ia kembali.
"Tentu tidak, Sayangku. Ini masih terlalu pagi dan Aku ingin kamu menemaniku jalan-jalan lagi. Kita akan pergi ke destinasi berikutnya." Jawab Nyonya Sofia sambil tersenyum senang.
Ia berjalan ke luar dari restoran di ikuti oleh teman-temannya yang lain.
Awalnya semua orang berjalan ke luar scara bersamaan, tapi karena masih ada beberapa hal yang harus di kerjakan oleh teman-teman nenek yang lain, semua teman nenek memilih untuk pulang lebih dulu.
Hingga akhirnya, tinggallah Aretha dan Sofia berdua saja di dalam mobil dengan supir pribadinya.
Mereka pergi ke sebuah pusat perbelanjaan yang ada di pusat kota yang ada di dekat restoran tempat mereka makan tadi.
"Aretha.. lihatlah! Bukankah batu ini sangat bagus?" Tanya Nyonya Sofia pada Aretha, ketika ia melihat sebuah perhiasan yang sangat menarik hatinya.
Sebuah liontin berbatu zambrut warna hijau kebiruan, yang berpendar-pendar dengan cantiknya di bawah sinaran lampu salah-satu toko yang mereka kunjungi.
Mendengar namanya di sebut dan dimintai komentar, Aretha yang sejak tadi terus mengikuti Nyonya Sofia di belakang langsung mendekat.
"Benar, Nek! Batu liontinnya sangat cantik!" Jawab Aretha.
Ia sendiri tidak memahami terlalu banyak soal perhiasan, tapi sepertinya perhiasaan itu sangat mahal harganya dan juga cantik.
"Pilihan Anda sangat tepat, Nyonya. Liontin ini baru saja di keluarkan oleh salah satu desainer liontin ternama Aidem Smirtz yang baru saja di pasarkan. Jika Anda adalah pengamat perhiasan, Anda tentu mengenal nama itu," ujar si penjaga toko yang sejak tadi sudah terus mempromosikan produk miliknya, dan berada di dekat mereka terus-menerus sejak tadi.
"Oh, benarkah?" Balas Nyonya Sofia.
"Benar Nyonya, dan mereka hanya mengeluarkannya beberapa buah saja untuk model ini," ucap si penjaga toko menambahkan.
Aretha yang tidak mengerti siapapun itu desainer terkenal yang di sebutkan si penjaga toko, hanya bisa manggut-manggut tak mengerti.
"Apa Nenek ingin membelinya?" Tanya Aretha.
"Ya, Nenek ingin sekali membelinya tapi.." Nyonya Sofia menampilkan sikap ragu-ragunya.
"Tapi..?"
"Apa kamu mau membelikannya untuk Nenek?" Tanya Nyonya Sofia.
Aretha spontan melongo, "Ya?"
"Nenek lupa membawa uang atau kartu kredit," lanjut Nyonya Sofia.
Aretha menatap Nyonya Sofia dengan pasrah.
Jika nenek tidak membawa uang, lantas kenapa mereka harus masuk dari satu toko ke toko lainnya untuk berbelanja dan berakhir dengan membeli sebuah perhiasan di toko ini?
Nyonya Sofia memasang wajah sedih.
"Tidak apa-apa jika kamu tidak mau. Nenek bisa membelinya lain kali, itupun jika nanti saat Nenek kembali liontin ini masih ada." Ucapannya yang bagai palu, cukup membuatnya terlihat menyedihkan.
Padahal itu hanya mengenai sebuah liontin, sehingga mau tidak mau Aretha akhirnya menawarkan diri untuk membayar perhiasan itu sesuai keinginan nenek.
Untung saja ia membawa kartu kredit milik cucunya!
"Tolong bungkus ini," seru Aretha langsung pada Si penjaga Toko.
Mendengar itu Nyonya Sofia langsung merasa senang, persis seperti anak kecil yang mendapatkan setumpuk permen.
"Kau memang cucu menantuku yang terbaik!!" Ungkap Sofia dengan penuh semangat, Aretha pun membalas dengan senyuman tipis.
"Nenek juga adalah nenek mertuaku yang terhebat!!" Balas Aretha setengah bergurau. Keduanya pun sama-sama tertawa.
"Apa kau juga ingin membeli sesuatu?" Tanya Sofia.
Aretha spontan menggeleng, "Tidak, Nek. Terima kasih."
Setelah melakukan pembayaran dan menerima barang yang di beli, Arehadan Nyonya Sofia kembali melanjutkan kegiatan mereka untuk berkeliling di sekitaran pusat pembelanjaan.
Sepanjang kegiatan, tak jarang keduanya sering kali tertawa dan saling bercengkrama.
Hingga waktu menunjukkan pukul 6 sore, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah mereka masing-masing sebelum hari semakin gelap.
"Apa kau yakin tidak ingin aku antar pulang? Aku bisa meminta Arman untuk mengantarmu pulang terlebih dahulu. Setelah itu, baru kami bisa kembali ke rumah," ucap Nyonya Sofia menawarkan tumpangan.
Arman adalah nama supir nenek, dan karena Aretha tidak memiliki kendaraan pribadi untuk pulang, nenek menawarkan diri untuk mengantarnya.
Tapi karena Aretha berpikir itu akan merepotkan, Aretha menolaknya.
"Itu tidak perlu, Nek. Lagipula jalan ke arah rumahku cukup berlawanan dari sini. Jika Nenek mengantarku, Nenek jadi harus memutar jalan dan akan semakin lama sampai ke rumah. Nenek pasti sudah capek seharian ini. Tenang saja, aku bisa memesan taxi online," tolak Aretha sopan.
Sofia mengangguk.
"Baikla jika itu yang kau inginkan, hubungi aku jika kau sudah sampai di rumah, oke?" Perintah Nenek yang langsung disetujui oleh Aretha.
Mereka pun akhirnya berpisah, dan Aretha langsung memesan sebuah taxi online dari ponselnya.
Tak selang beberapa menit mobil yang dipesannya datang, ia langsung saja naik ke mobil itu dan pulang ke kediaman Elvan.
***
Sesampainya di rumah, Sofia langsung merebahkan dirinya di atas sofa di kamarnya.
Melihat kepulangan Nyonya-nya, Daniar yang hari ini tidak ikut dengannya atas perintah majikannya hanya bisa menghampiri Sofia dengan penuh rasa ingin tahu.
"Nyonya, bagaimana hari ini? Apa semuanya berjalan dengan baik?" Tanya Daniar sambil membantu Sofia merilekskan diri, ia memijat pelan bahu Sofia yang terlihat lelah.
"Ya, sejauh ini." Jawaban singkat Sofia membuat Daniar mengerutkan kening.
"Dia tidak curiga?" Tanya Daniar khawatir.
Sofia menggeleng, "Sepertinya, tidak."
Dengan ragu, Daniar bertanya kembali, "Nyonya, apa Anda perlu sampai melakukan hal ini? Membuat wanita itu membayar semua tagihan Anda, dan membuatnya harus mengunakan kartu milik Tuan Elvan suaminya untuk keperluan Anda, bukankah itu sedikit berlebihan?"
Sofia yang awalnya memejamkan mata menikmati pijatan ringan Daniar, membuka perlahan matanya dan mengambil posisi duduk yang mengarah ke Daniar dan berkata.
"Kenapa itu bisa di katakan berlebihan? Aku hanya sedang mengetesnya. Kau tahu sendiri aku sangat suka mengetes orang, terutama orang-orang yang dekat denganku dan keluargaku." Seru Sofia melakukan segala macam pembelaannya.
Daniar memaklumi itu.
"Ya, sama seperti ketika Nyonya Aretha datang ke rumah sakit saat ia pertama kali ia menemui Anda, Nyonya juga mengujinya dengan berpura-pura menjadi saya." Daniar mengingat kembali kejadian yang dulu pernah terjadi saat Nyonya Aretha muncul.
Sofia tertawa, "Kau benar dan dia begitu terkejut saat mengetahui bahwa akulah nenek Elvan yang sebenarnya, diia bahkan hampir jatuh dari kursinya setelah mendengar itu."
Mungkin bagi Sofia itu adalah hal yang lucu,tapi bagi Daniar yang saat itu takut setengah mati kedoknya akan terbongkar hanya bisa mengelus dadanya dengan berat hati.
"Dan sekarang, Anda mencoba mengerjainya lagi dengan membuat tagihan yang membludak di rekeningnya? Serta berakting, di depannya?" Daniar tanpa menyalahi segala aturan yang sudah semestinya terjadi antara bawahan dan atasannya, menggumamkan berbagai argumen.
Sofia mengoreksi itu.
"Maksudmu rekening milik Si Bocah Kikir itu?" Ralatnya.
Daniar berderik.
Nenek macam apa yang menyebut cucunya sendiri seorang yang kikir? Bukankah selama ini, Tuan Elvan sudah sangat memanjakannya?
Apa pun yang Nyonya Sofia inginkan, Tuan Elvan selalu mengabulkan itu. Selain tentu saja, berita soal kekasihnya yang baru-baru ini di umbarnya.
"Nyonya, tidak pantas menyebut cucu Anda sendiri sebagai seseorang yang kikir," Daniar mencoba mengoreksi juga.
"Jika ada orang lain yang mendengar, mereka akan beranggapan bahwa ucapan Anda itu adalah benar! Dan itu, bukan hal yang baik!" Sofia menanggapi protes Daniar dengan malas.
"Kau tentu tahu apa yang aku maksudkan, sejak kejadian waktu dulu itu dia memang menjadi laki-laki yang kikir. Kikir terhadap orang yang tidak disenanginya dan kikir terhadap orang yang dekat dengannya, terutama jika dia itu adalah wanita." jelas Sofia.
"Karena itu, Anda ingin menguji Nyonya Aretha dan juga Tuan Elvan dengan kesengajaan Anda hari ini?" Tanya Daniar lagi tanpa pikir panjang.
"..." Sofia terdiam sejenak untuk berpikir. "Aku ingin tahu, apa yang akan dilakukan cucuku nantinya, jika dia tahu istrinya mengunakan uangnya dengan sesuka hati dan melebih batas. Ya, walaupun sejujurnya hari ini aku belum menguras banyak pengeluaran di kartunya itu. Tapi aku yakin, itu cukup untuk menggelitiknya," ungkap Sofia santai dan tenang. Tanpa merasa bersalah karena telah membuat cucunya rugi beberapa juta, dan Daniar hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi kelakuan majikannya ini. Sofia kembali melanjutkan ceritanya. "Sebenarnya aku bisa saja lebih banyak menguras uangnya, tapi Aretha bersikeras tidak ingin menghambur-hamburkan uang untuk dirinya sendiri. Sehingga hari ini, kami hanya bersenang-senang untuk keperluan pribadiku saja. Dia bahkan tidak menggunakan se-sen pun uang untuk dirinya sendiri. Padahal aku sudah memaksanya. Ini membuatku takjub sekaligus merasa tidak enak. Jadi, aku hanya berbelanja untuk beberapa transaksi saja," tutur Sofi
"Kau baru saja habis berbelanja?" Tanya Elvan pada Aretha. Aretha langsung menjawabnya dengan bingung. "Ya, aku baru saja berbelanja sedikit tadi pagi. Tapi.. darimana kau tahu?" Tanya Aretha. Elvan yang sudah melihat beberapa tumpukan kantung belanjaan di atas sofa yang ada di ruang tamu, tak serta merta langsung mengatakan itu dengan jelas. "Kau meninggalkan sampahmu di tempatku," ujar Elvan secara membingungkan. Aretha menatapnya bingung, sampah? Di tempatnya? Tepat ketika ia ingin bertanya lagi karena tidak mengerti ucapannya, Aretha mendadak teringat sesuatu. "Oh, ya ampun! Aku lupa meletakkan semua kantung belanjaanku itu ke kamar." Teriaknya heboh, ketika ia baru ingat kalau pemilik rumahnya tidak suka sesuatu yang berantakan. Setumpuk sampah yang dimaksudkan Elvan tentu bukan benar-benar menunjuk pada sampah yang sesungguhnya. Pria itu hanya menganggap semua barang yang tidak berguna baginya sebagai 'sampah'.Jadi ketika pria itu m
Elvan Syahreza seperti yang telah dikenal oleh banyak orang, dia adalah pria yang sangat dingin dan sangat memandang rendah seorang wanita. Itu sebabnya tidak heran jika banyak orang merasa sangat takjub dengan pernikahannya yang sangat tidak terduga ini. Apalagi dengan seorang gadis yang entah muncul dari mana dan ternyata dikabarkan telah bersama dengannya untuk waktu yang cukup lama. Itu lantas membuat banyak orang merasa penasaran sekaligus menyaksikannya secara luar biasa. Tapi pada kenyataannya, jauh sebelum itu, Elvan yang dulu dikenal Dirga tidak seperti ini. Dia mungkin memang bukan pria yang hangat seperti pria-pria periang pada umumnya, tapi Elvan yang dulu bukan pria yang sedingin dan serendah ini dalam memandang seorang wanita. Mengunderestimate semua wanita dan berpikiran buruk tentang mereka, sebelum ini ia tidak pernah bertingkah seperti itu. Jangankan bersikap perhitungan soal uang terhadap wanita, Elvan yang dulu justru sangat memanjakan wa
Elvan menatap Rangga. "Dia datang kemari hari ini?" Tanyanya yang langsung dibalas anggukkan oleh Rangga. "Ya, aku tidak tahu kapan tepatnya dia datang kemari karena ia datang memang bukan khusus untuk menemuiku. Tapi karena dia ingin menemui teman-teman sekerjanya di sini sambil memberikan beberapa cindera mata dan mengobrol sebentar. Aku secara tidak sengaja berpapasan dengannya saat dia akan pulang," terang Rangga. Mengingat kembali pertemuannya tadi siang dengan mantan karyawannya, Aretha, sekaligus wanita yang kini sudah menjadi istri sahabatnya. Elvan mengerutkan keningnya. "Dia memberikan cindera mata pada mantan rekan kerjanya?" Tanya Elvan terkejut, dan Rangga kembali mengiyakan. "Kau tidak tahu?" Tanya Rangga balik. Elvan tak menjawab, membuat Rangga kembali menjelaskan. "Dia datang dengan membawa beberapa bingkisan untuk dibagikannya kepada beberapa karyawanku, Aku rasa itu pasti di lakukannya sebagai bentuk rasa terima kasih dan bala
"Ayah dan ibu belum turun?" Tanya sebuah suara dari belakang yang langsung membuat semua orang menoleh. Seorang gadis remaja berperawakan cantik dan muda menyapa semua tamunya dengan sikap yang santai, tapi juga ramah. Setelah sebelumnya menatap semua orang secara bergantian, gadis itu menyapa anggota keluarganya yang lain yang baru saja tiba. "Hai Kak Elvan, Kak Aretha." Sapanya sopan. Aretha membalas dengan anggukan dan tersenyum, sementara Elvan melirik sekilas gadis yang sudah dikenalnya itu. Dia adalah Christina. Cucu perempuan satu-satunya keluarga Addison dari pihak paman Elvan yang merupakan anak kedua dari Nyonya Sofia. Dan bisa dikatakan juga, dia adalah sepupu Elvan. Seorang gadis muda dan cantik yang saat ini masih duduk di bangku kuliah semester awal. Melihat cucu perempuannya turun seorang diri, Sofia segera meminta Christina untuk memanggil kedua orang tuanya. "Panggil ayah dan ibumu turun. Panggil juga Si Bungsu," pinta nenek. C
"Apa Nenek yakin dengan apa yang nenek katakan itu?" Tanya Elvan tidak senang, ketika melihat neneknya terus saja berulah. "Kenapa? Apa itu salah lagi?" Tanya Sofia ikut tidak senang. Aretha menatap keduanya dengan malas. Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua? Kenapa mereka lebih terlihat seperti kucing dan anjing, ketimbang seorang nenek dan cucu kandung? Mungkinkah Elvan sebenarnya adalah cucu angkat Nyonya Sofia? Atau karena terlalu lama tidak bertemu dan berkomunikasi, mereka menjadi kacau? Lantas, tidak adakah yang ingin melerai?? Aretha melirik paman dan bibi Elvan secara bersamaan. Mereka tampaknya sudah terbiasa dengan keributan kecil ini, sementara Christina dan Kiky hanya bersikap cuek dan tidak berniat untuk menyela. Bisa dibilang keributan ini bukan hanya terjadi satu atau dua kali, tapi sudah beberapa kali. Aretha menepuk pelan keningnya dengan tidak sadar. "Aku akan membawanya ke kantor atau tidak, itu terserah padaku. Apa nenek
Meski ini bukan pertama kalinya Aretha menginjakkan kaki di gedung kantor Elvan yang megah, Aretha tidak pernah sekalipun tidak terkesima melihat tingginya gedung tersebut menjulang. Tak hanya gedungnya yang selalu membuat Aretha takjub, tapi orang-orang yang ada di dalamnya pun tidak kalah membuatnya tercengang. Seluruh staf menyambut kedatangan Elvan dan Aretha dengan sangat meriah dan penuh antusiasme. Beberapa dari mereka bahkan sudah berbaris di depan pintu dan menyapa dengan ramah, sampai-sampai ada yang membuat beberapa kata sambutan dan juga bunga spesial untuk Aretha. Sungguh sesuatu hal yang belum pernah diterima Aretha selama ini, entah kata apa yang bisa melukiskan situasinya. Aretha kini bagai seorang duta besar yang ingin menghadiri sebuah acara. Aretha dapat merasa banyak sekali pasang mata menatap ke arahnya dan Elvan secara bersamaan dengan penuh rasa minat dan hormat. Entah hormat karena memang sudah aturannya seperti itu, atau hormat karen
"Apa kau ingin aku memutasikanmu ke kantor cabang kita yang ada di Ternate?" Tanya Elvan dengan nada yang penuh dengan ancaman. Alfin spontan mengendurkan ekspresinya, apa? Sekarang ini sepupunya ini ingin menggunakan kekuasaan untuk menindasnya? Alfin menghentikan kelakarnya sejenak, ia tahu ucapan Elvan memang tidak sepenuhnya serius. Tapi jika ia sudah berkehendak, maka apa pun itu Elvan pasti bisa mewujudkan itu dengan mudah. Oleh karenanya, bersikap rileks adalah jalan satu-satunya untuk Alfin bisa selamat dari kata maut yang sudah terlalu sering di ucapkan Elvan padanya. Memutasikannya ke tempat yang jauh dari kota! Oh, tentu saja ia tidak mau! "Oke! Aku hanya bercanda!" Alfin mulai kembali bersikap patuh dan juga manis. Tapi untuk beberapa saat kemudian, ia menatap Elvan dengan seulas senyum yang kini telah berubah menjadi sedikit monoton. "Aku memang tidak serius saat mengatakan itu semua, tapi soal aku yang masih ingin melanjutkan pekerjaan
Jadi, kapan kalian akan berencana untuk berbulan madu?" Tanya Sofia menjurus tajam pada dua pasangan yang ada di depannya. Hingga membuat Aretha yang ketika itu masih mengisi mulutnya dengan makanan, hampir saja tersedak. Ia terbatuk pelan sekali dan mengambil minum. Elvan mulai memikirkan kemungkinan selanjutnya yang akan terjadi, dan Alfin yang lebih dulu memberikan respon suaranya lebih cepat daripada siapa pun. "Mereka harus pergi berbulan madu?" Tanya Alfin dengan penuh keterkejutan. Sofia menatapnya dengan yakin. "Tentu saja! Kenapa tidak?" Tanya Sofia balik dan itu cukup membuat Alfin tidak berani membalas. Ia hanya melirik Elvan dan Aretha dengan ngeri, lalu berpikir dengan pasti bahwa jika nenek sudah berkehendak dan membidik sesuatu, siapa pun itu pasti harus menunduk padanya! "Kami akan memikirkannya," jawaban Elvan yang hanya mengambil jalan aman dan tidak menunjukkan kepastian apa pun dalam ucapannya membuat Sofia tidak merasa pu
"Aku yang seharusnya bertanya padamu! Siapa kau? Dan apa tujuanmu kemari? Aku sedang bicara dengannya dan kau sangat mengganggu!" Seru Willy sambil kemudian berbalik menatap Aretha. "Kau kenal dengannya?" Tanya Willy sambil menunjuk sengit pada Elvan, dan menuntut jawabannya dari Aretha. Aretha yang tiba-tiba menerima pertanyaan, bingung sendiri harus menjawab apa. Jika ia menjawab tidak mengenalnya tentu akan sangat kentara sekali bahwa ia berbohong karena Aretha sudah sempat menyebut nama Elvan barusan ketika ia muncul. Tapi jika ia mengatakan bahwa ia mengenalnya, Aretha harus memperkenalkannya sebagai siapa? Suaminyakah? Itu jelas tidak mungkin! Itu sama saja menghancurkan seluruh cerita penuh fiktifnya pada Willy dan pria itu akan semakin marah padanya, lantas apa yang harus di katakannya? Di saat Aretha masih berkutat dengan kebingungannya untuk menjawab, Elvan sudah mewakilinya lebih dulu dengan bertindak lebih cepat dalam memahami situasi dan mera
Sang pemilik kedai mengenalinya duluan dan menyapa. "Aretha! Kau datang hari ini?" Tanya sang pemilik kedai yang bernama Alex, nama yang sesuai dengan nama kedainya. Kedai Om Alex. "Sudah lama sekali aku jarang melihatmu. Walaupun kau sudah sejak dulu jarang datang. Tapi kapan ya terakhir kalinya kamu datang kemari?" Tanya Alex lagi dengan suaranya yang berat dan bass. Membuat Aretha tersenyum terlebih dulu untuk membalasnya, sambil melihat sekeliling mencari Willy, Aretha menatap Om Alex di ujungnya. "Mungkin sekitar 4 bulan yang lalu, dan kalau aku boleh tahu apa paman melihat Willy?" Tanya Aretha menanyakan keberadaan Willy. Namun tanpa perlu dijawab, pria yang sedang ia tunggunya muncul. "Kau tidak perlu mencariku lagi karena aku sudah berada di sini. Sekarang ayo kita bicara di luar," seru Willy to the point tanpa memberi jeda untuk Aretha menjawabnya, dan pria itu sudah menghilang di balik pintu keluar tanpa bisa dicegah. Aretha mengejarnya den
Aretha melirik kegiatan Elvan sekilas dan kemudian merasa cukup terkagum-kagum, karena jarang sekali ia bisa melihat seseorang begitu telaten dalam melakukan sebuah pekerjaan tanpa jeda. Setelah bekerja dari pagi hingga malam dan ia harusnya pulang untuk beristirahat sambil menikmati makan malamnya, Elvan justru masih tetap harus sibuk dengan segala rutinitas pekerjaannya yang dia kontrol dari ponselnya yang canggih dan multi tasking. Orang kaya dan sibuk memang berbeda level. Walaupun orang miskin seperti Aretha juga pernah sesibuk dirinya sampai-sampai hanya punya waktu untuk menyantap makanannya, satu kali dalam satu hari untuk terus bekerja dalam mencari uang sebanyak-banyaknya agar bisa melunasi hutangnya dengan cepat. Aretha tak bisa memungkiri bahwa ia sesungguhnya benar-benar kagum dengan etos kerja Elvan yang tak mengenal lelah, walaupun ini sudah merupakan waktu untuknya menikmati hidup. Bukankah Elvan memiliki sangat banyak uang untuk ia menikm
Martha mengepalkan tangannya kuat-kuat. Lalu, ketika Elvan berhasil menarik Aretha menjauh dari wanita berparasit itu, Aretha dengan santainya langsung melayangkan sebuah pertanyaan untuk Elvan. "Apa dia itu pernah menjadi model majalah dewasa?" Tanya Aretha dengan tiba-tiba membuat Elvan menatapnya. "Bagaimana kau bisa tahu? Bukankah tadi katamu kau tidak mengenalnya?" Tanya Elvan balik dengan acuh. "Aku memang tidak mengenalnya, tapi tampaknya aku pernah melihatnya. Jadi, apa dia benar pernah menjadi model majalah dewasa?" Tanya Aretha sekali lagi dengan penasaran. Elvan memindahkan tatapannya dari Aretha, membuat Aretha kembali memaksa. "Hei! Kau belum menjawab pertanyaanku! Jadi yang aku katakan itu benar atau tidak? Soalnya aku seperti pernah melihat wajahnya entah di majalah dewasa mana yang aku lihat di rumah temanku! Em, apa itu dia?" Tanya Aretha sekali lagi. Elvan mengangkat sebelah alisnya. "Kau bermain ke tempat temanmu yang memi
Setelah seminggu kemudian berlalu dengan cepat, Elvan dan Aretha kini sedang berada di sebuah pesta ulang tahun Steven yang ke-30 dengan mengenakan pakaian yang sudah mereka persiapkan sebelumnya dengan sempurna. Karena sebelumnya Steven mengundang Elvan dan Aretha ke acara ulang tahunnya.Penampilan Elvan dan Aretha menyita hampir sebagian tamu yang hadir di pesta itu, dan membuat mereka tak henti-hentinya menatap ke arah mereka dengan penuh antusiasme yang tinggi dan juga terkesima. Tak hanya dikarenakan mereka tahu dengan baik siapa pria yang tengah melewati mereka dengan begitu luwesnya, tapi mereka juga cukup terpukau dengan penampilan mereka yang begitu mencolok dan keserasian yang pasangan itu tunjukkan. Hingga Aretha akhirnya mengerti satu hal. Pantas saja Elvan menyiapkan gaun yang begitu mewah untuknya sebelum acara ini. Ternyata pesta perayaan ulang tahun sekaligus keberhasilan dan kepulangannya Steven ke tanah kelahiran, juga dilakukan dengan sanga
Untuk beberapa waktu ke depan setelah Aretha mulai diberikan beberapa pekerjaan tambahan oleh Dirga atas instruksi Elvan, Aretha tak henti-hentinya menatap setumpuk dokumen yang ada di depan matanya itu dengan skala yang menghitung. Aretha memang pernah mengeluh soal kurangnya ata bahkan tidak adanya pekerjaan apa pun yang harus ia kerjakan, tapi semejak ia mengeluh soal pekerjaannya yang terlalu remeh, Dirga terus saja menambahkan pekerjaan tambahan untuknya sejak hari itu sampai saat ini. Sehingga dengan ekspresi yang tidak kuasa, Aretha menatap Dirga dengan penuh rasa ingin di berikan simpati. "Apa ini tidak terlalu berlebihan?" Tanya Aretha dengan sepenuh hati dan sangat tidak paham dengan maksud dari pekerjaan yang terus di tambahkan, padahal ia bukan bekerja pada mereka untuk menjadi seorang pekerja kantoran. Tapi m
Elvan sudah biasa bersikap dingin pada wanita, tapi ia tidak terbiasa diperlakukan dingin oleh wanita. Itu sebabnya, melihat perlakuan Aretha yang begitu acuh padanya membuat Harry merasa cukup kesal. Elvan masih ingat bagaimana sikap Aretha, ketika dia meminta waktu dua hari kebebasan padanya untuk urusan pribadi. "Aku sudah menuruti keinginanmu untuk ikut ke kantor. Kalau begitu, apa aku boleh meminta sesuatu?" Tanya Aretha mencoba menyampaikan sesuatu, tepat ketika ia dan Elvan berada dalam perjalanan pulang ke rumah di hari pertamanya masuk ke kantor. Elvan yang saat itu sedang sangat lelah, memejamkan mata dan tidak memberikan respon, tapi Aretha tetap melanjutkan permintaannya. "Apa aku boleh meminta hari libur di sela-sela waktuku dalam satu minggu?" Tanya Aretha mencoba bernegosiasi. Entah apa tujuannya. Elvan yang saat itu sedang tidak ingin berpikir terlalu banyak karena lelah, hanya membuka sedikit matanya untuk melirik Aretha. Aretha pun
"Jadi ini kantinnya?" Tanya Aretha hampir tidak percaya.Dirga mengangguk dan mengiyakan."Benar Nyonya, ini adalah kantin kami yang diperuntukkan khusus untuk seluruh pegawai dan pemimpin yang ada." Terang Dirga berucap dengan sopan.Aretha menatap ruangan besar itu dengan kikuk dan tidak terlalu mempedulikan panggilan Dirga yang suka berubah-ubah.Sebentar-bentar 'Nyonya', sebentar-bentar 'Nona'. Apapun itu selama sebutan itu adalah sebutan untuk seorang wanita, Aretha tidak akan mempermasalahkannya.Ia tahu Dirga akan berbicara dan memanggil Aretha s