***Ludwig duduk sendiri di ruang pribadinya, dikelilingi oleh keheningan yang hanya terganggu oleh desiran pikiran yang menghantui. Kata-kata "kencan" dari Kinan terus mengganggunya, menciptakan kecemasan yang sulit dihindari. Dia memikirkan senyum wanita itu, senyum yang memancarkan harapan dan keinginan untuk merasakan momen-momen romantis bersamanya. Ia tahu kalau Kinan berharap banyak padanya.Namun, dalam kebingungannya, Ludwig merasa terjebak. Ide untuk pergi keluar dan berkencan terasa begitu menakutkan baginya. Keramaian, cahaya lampu, dan keintiman yang mungkin diharapkan Kinan membuatnya merasa tidak nyaman. Tapi di balik itu, ia tidak ingin mengecewakan Kinan. Gadis itu telah membawakan sinar baru dalam hidupnya, membuatnya melihat dunia dengan cara yang berbeda.Sekalipun Kinan berusaha menyembunyikan kekecewaan di wajahnya, Ludwig dapat melihatnya, senyum Kinan yang dipaksakan itu adalah gambaran hatinya yang kecewa. Hatinya terasa berat saat dia m
***Fachry menatap Kinan dengan serius, matanya mencari-cari jawaban atas pertanyaannya yang tergantung di udara. "Apakah kamu akan menerima lamaranku jika aku mengatakannya langsung dulu?" tanyanya, suaranya penuh dengan harapan.Kinan hanya tersenyum hambar. Dia tahu jawabannya, tapi dia tidak ingin menyakiti perasaan Fachry lebih jauh. "Janganlah berandai-andai tentang apa yang sudah terjadi, Pak Fachry," ucapnya lembut, mencoba menenangkan Fachry. "Dan janganlah menyalahkan takdir. Allah-lah yang tahu takdir terbaik untuk umat-Nya. Rencana dari Allah pasti yang terbaik untuk kita, jadi jangan menyalahkan atau menyesalinya terlalu berlebihan."Dengan lembut, Kinan berdiri dari kursinya. "Saya pamit dulu, Pak Fachry. Tidak enak jika kita bicara berdua seperti ini karena Pak Fachry tahu kita bukan mahram dan nanti akan jadi fitnah, saya juga sudah bersuami, jadi saya ingin menjaga kehormatan saya sebagai seorang istri," katanya dengan sopan. "Saya pamit dan say
***Kinan dan Ludwig menghabiskan waktu bersama di ruang bawah tanah yang merupakan tempat persembunyian Ludwig. Kinan terkejut menemukan bahwa Ludwig memiliki minat pada karya sastra klasik dan banyak buku tentang arsitektur. Tatapan Kinan penuh kekaguman saat ia melihat koleksi buku-buku tersebut. Baginya, Ludwig seperti manusia yang nyaris sempurna, memiliki kecerdasan dan ketertarikan yang luas."Ludwig, ini semua buku tentang arsitektur?" tanya Kinan dengan antusias. Matanya berbinar melihat sejumlah besar buku yang teratur di rak-rak. Ia baru paham saat Bu Inah mengatakan kalau Ludwig yang akan mendesign sendiri mushola di rumah ini.Ludwig mengangguk, "Ya, aku selalu tertarik dengan arsitektur. Aku suka mempelajari desain bangunan dan bagaimana mereka diciptakan."Kinan tersenyum, dia semakin terpesona dengan kedalaman minat Ludwig. "Aku tidak tahu kamu begitu menyukai arsitektur. Ini luar biasa," ucapnya dengan penuh kagum.Ludwig tersenyum melihat reaksi Kinan. Dia jarang mel
***Setelah menunaikan sholat subuh, Ludwig tanpa banyak bicara dengan langkah berat memasuki ruang kerja pribadinya. Mimpi buruk tentang masa lalu telah meninggalkan bekas yang dalam pada pikirannya, menyebabkan muram menggelayuti dirinya. Ludwig tidak banyak mengatakan apapun, bahkan dengan Kinan. Pandangannya terfokus pada berkas-berkas di mejanya, tetapi pikirannya melayang ke tempat yang jauh. Ia hanya ingin tenggelam dalam pekerjaannya sepagi ini untuk menghilangkan kegelisahan di hatinya.Kinan merasa kebingungan melihat sikap Ludwig yang seperti itu. Ada suatu kekosongan yang terasa di antara mereka, dan Kinan tak tahu harus berbuat apa. Apakah Ludwig tidak mau berbagi apa pun dengannya, terutama tentang Anne, istri pertamanya? Kinan merasa ada yang berdesir di dalam hatinya. Apakah itu rasa cemburu? Dia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran negatif. “Dia masih tertinggal di hatimu ternyata,” gumamnya pelan.Kinan tersenyum n
***Ludwig dan Patricia berbicara di ruang keluarga dan Bu Inah menyagikan suguhan manis untuk keduanya. Sedangkan Edrick, pria itu tahu kalau istrinya pasti butuh waktu berdua dengan Ludwig, untuk itu ia menunggu di ruang tamu karena ia tahu bagaimana istrinya selalu mengkhawatirkan kakaknya.Ludwig masih terdiam dan situasinya sangat kikuk di ruangan itu.“Aku bahagia karena Kinan menjadi istrimu, Ludwig,” ucap Patricia memecahkan keheningan.Ludwig hanya menganggukkan kepalanya dan tak mengatakan apapun.Lalu, Patricia tersenyum, “Nanti kalau ada apa-apa, kamu langsung hubungi aku saja. Jika aku terlambat membalas, kamu bisa menghubungi Edrick karena aku kadang kewalahan dengan kehamilan keduaku ini.”Ludwig baru menyadarinya dan ia melihat perut adiknya yang sudah agak membesar.“Kamu makan dengan baik?” tanya Ludwig.Patricia terkejut, dan air matanya turun karena ia memang mudah menangi
***Kinan duduk santai di teras belakang rumah mereka, memandangi kebun yang baru saja dirapikannya karena dari kemarin ia ikut membantu tukang kebun untuk mengubah kebun kosong ini dengan berbagai bunga-bunga yang indah. Senyum tipis terukir di wajahnya, merasa puas melihat hasil kerja kerasnya. Udara pagi yang segar membuatnya semakin menikmati momen tersebut.Tiba-tiba, langkah kaki yang dikenalnya dengan baik menyadarkan Kinan dari lamunannya. Ludwig, suaminya, datang menghampiri dengan langkah mantap. Di tangannya, ia membawa sebuah kotak berwarna cokelat yang terlihat kuno."Ludwig," sapa Kinan, matanya memancarkan rasa ingin tahu."Lagi apa, Kinan? Aku mencarimu di kamar, ternyata kamu ada di sini." Ludwig bertanya sambil tersenyum ramah. Ia berdiri di hadapan Kinan, memperhatikan wajah istrinya dengan penuh kasih.Kinan tersenyum menatap Ludwig yang duduk di sisinya. "Setelah subuh, aku merasa bosan di kamar, jadi aku memutuskan duduk di sini menikmati udara pagi,” balasnya.
***Kinan sedang dalam mimpi yang lembut ketika ia mendengar pintu kamar terbuka perlahan. Matanya terbuka dengan perlahan dan terkejut melihat Ludwig berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut di wajahnya."Ludwig, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Kinan, masih terlihat agak mengantuk.Ludwig mendekat dengan langkah ringan. "Waktunya sholat subuh, Kinan. Ayo kita sholat bersama."Meskipun awalnya agak bingung, dan terkejut karena Ludwig yang bangun terlebih dahulu dan berinisiatif mengajak sholat terlebih dahulu, Kinan segera bangun dari tempat tidurnya dan bersiap untuk sholat bersama Ludwig. Setelah selesai, mereka duduk di sajadah dengan wajah tenang.Ludwig tersenyum lembut. "Hari ini adalah hari yang spesial, Kinan.""Hari yang spesial? Mengapa?" tanya Kinan, semakin penasaran.Ludwig meraih tangan Kinan dengan lembut. "Sebentar lagi, ada yang akan mengubah penampilanmu."Kinan mengernyitkan keningnya. "Ada apa, L
***Kinan duduk di tepi tempat tidurnya, menatap pil KB di tangannya dengan tatapan ragu. Sejak beberapa waktu ini, pikirannya telah terombang-ambing oleh pertanyaan yang sama: apakah ia ingin terus minum pil ini? Bukankah Ludwig sudah menerimanya dan membuka hati untuknya? Apakah pria itu tidak menginginkan anak darinya?Sementara itu, Ludwig memasuki kamar dengan langkah tenangnya. Ia melihat Kinan terdiam dalam pikirannya, dan dengan lembut, mendekatinya."Apa kamu keberatan harus minum pil KB ini?" tanya Ludwig, mencoba memecah keheningan.Kinan menatapnya dengan sorot mata yang penuh pertimbangan. "Apakah kamu belum mau mempunyai anak? Rumah ini akan ramai jika ada suara anak-anak yang menggemaskan, kamu tidak menginginkannya?" tanyanya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui pikirannya.Ludwig mengangguk perlahan, ekspresinya menjadi serius. "Iya, aku hanya belum siap, Kinan. Masih banyak hal yang aku takutkan di dunia. Aku m
***Lima bulan berlalu...Kinan sedang memangku bayi mungil di depan rumahnya. Rumah yang beberapa bulan ini ia tempati bersama suaminya, Arthur. Dan tentu saja Tony, ayahnya menemaninya. Ia merasa bahagia karena ayahnya Tony saat ini selalu ada bersamanya dan selalu membantunya mengurus sang buah hati.“Ayah,” ucap Kinan lembut, ia tidak melihat Tony setelah sholat subuh. “Apa Ayah ketiduran, ya?” gumammya.Kinan berjalan pelan menuju kamar ayahnya, pintu sedikit terbuka. Ia melihat Tony sedang dalam posisi sujud. Ia mengernyitkan kening dan tersenyum, melihat betapa khusyuk ayahnya dalam sholat. Tony memang dikenal sebagai sosok yang sangat taat beribadah beberapa bulan terakhir ini, dan Tony mengatakan selalu menemukan ketenangan dalam setiap doanya.Kinan memutuskan untuk duduk di dekat pintu, menunggu ayahnya selesai sholat. Ia membuka ponselnya, mengecek beberapa pesan, lalu memandang kembali ke arah Tony. Setengah jam berlalu, namun posisi Tony tidak berubah sedikit pun."Ayah,
***Waktu cepat berlalu dan sudah empat bulan usia kehamilan Kinan saat ini, dan kebahagiaan yang ia rasakan semakin bertambah saat dokter menyatakan bahwa ia sudah bisa bepergian dengan pesawat udara. Pagi itu, Kinan dengan semangat memberitahukannya pada adik iparnya, Vincent agar membantunya untuk membeli tiket pesawat ke Madinah esok hari, pria itu sangat senang dan ia langsung memesan dua tiket untuk kakak iparnya dan juga Tony. Lalu, Kinan juga mengabarkan berita baik ini kepada ayahnya, Tony."Ayah, dokter bilang aku sudah bisa bepergian dengan pesawat!" seru Kinan penuh antusias saat memasuki kamar ayahnya.Tony yang sedang sibuk membaca laporan kerja dari salah satu karyawannya di gerai mengangkat kepalanya dan tersenyum melihat putrinya yang berseri-seri. "Benarkah, sayang? Itu berita yang luar biasa, Nak!" jawabnya sambil berdiri dan memeluk Kinan."Aku ingin menyusul Ludwig ke Madinah, Ayah. Aku ingin memberinya kejutan. Dia tidak akan tahu bahwa aku akan datang, aku suda
***Ludwig dan Kinan duduk berdampingan di sofa, wajah mereka berseri-seri memandangi layar ponsel yang menampilkan wajah Patricia yang kelelahan namun bahagia. Di pelukannya, tampak seorang bayi perempuan yang mungil dan menggemaskan, masih dengan selimut rumah sakit membungkus tubuh kecilnya. Patricia tersenyum lebar, jelas bangga dan penuh kasih sayang terhadap putrinya yang baru lahir."Patricia, dia sangat cantik!" seru Kinan dengan suara penuh haru. "Selamat, kamu sudah menjadi ibu dua anak sekarang."Patricia tertawa lembut. "Terima kasih, Kinan. Aku merasa seperti hidupku baru saja dimulai. Lihatlah betapa mungilnya dia. Apalagi aku selalu mengharapkan menggendong bayi perempuan."Ludwig menatap bayi itu dengan mata berbinar. "Dia benar-benar anugerah, Patricia. Selamat sekali lagi. Kami sangat bahagia untukmu."Patricia mengangguk dengan wajah penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Ludwig. Kami tidak sabar untuk kalian bertemu dengannya langsung."“Dan kami ada berita bagus untukm
***Ludwig berdiri di depan cermin besar, merapikan dasi hitamnya. Dia melirik jam di pergelangan tangannya, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Malam ini adalah malam istimewa yang telah ia rencanakan dengan seksama. Ia telah menyewa sebuah restoran mahal dan mewah secara privat hanya untuk makan malam romantis bersama sang istri, Kinan. Semuanya telah disiapkan, dari makanan terbaik hingga dekorasi yang indah, semua dirancang untuk membuat Kinan merasa sangat istimewa. Apalagi Kinan yang memintanya dan sang istri akhir-akhir berubah jadi istri yang manja dan mudah cemburuan, perubahan itu membuatnya terkejut, tapi ia sangat menyukainya karena Kinan semakin menggemaskan di matanya.Pintu kamar terbuka, dan Kinan muncul dengan gamis indah berwarna merah yang anggun. Mata Ludwig berbinar melihat kecantikan istrinya. "Sayangku, kamu terlihat menakjubkan," katanya dengan penuh kagum.Kinan tersenyum malu-malu. "Terima kasih, sayang. Suamiku juga terlihat sangat tampan. Apakah ka
***“Sayang, bagaimana sekarang? Kamu sudah tidak pusing lagi?” tanya Ludwig.Kinan menggelengkan kepalanya dan tersenyum, ia menatap suaminya dengan tatapan tak terbaca.Ludwig mengernyitkan keningnya karena merasa ada yang tidak biasa dari diri Kinan, “Ada apa, sayang? Mau bicara sesuatu?” tanyanya.Kinan langsung memeluk suaminya dan hal itu tentu saja membuat Ludwig terkejut karena dari kemarin istrinya itu sangat manja, terlebih lagi Kinan bisa marah saat ia lupa memberi kabar karena kemarin sangat sibuk mengurus segala hal di keluarga Schlossberg.“Sayang, kalau ada salah aku minta maaf. Lebih baik kamu marah saja sama aku daripada mendiamkanku seperti ini. Aku nggak bisa kalau kamu mendiamkanku,” ucap Ludwig.Kinan melepaskan pelukannya dan tersenyum menatap suaminya, “Mana bisa aku marah sama suamiku, kalau sebal ya paling dikit,” balasnya.“Ada apa?” tanya Ludwig.“Bagaimana urusan kamu dengan Leo? Terus ke depannya, semua yang dimiliki keluarga Schlossberg bena-benar kamu le
***Leonardo duduk sendirian di dalam sel tahanan, tatapan kosongnya terpaku pada dinding dingin yang menyelimutinya. Wajahnya pucat dan lesu, air mata tak terbendung meluncur turun membasahi pipinya. Hati dan pikirannya dipenuhi oleh kesedihan yang tak terperi."Dulu, segala sesuatunya begitu indah," gumam Leonardo dalam diam, suaranya serak oleh rintihan tangisnya yang terdengar. "Keluarga, cinta, kebahagiaan. Semuanya hancur oleh rasa iri dan kebencianku."Ingatan akan masa lalu datang menghantamnya seperti gelombang yang ganas. Dia mengingat senyum kedua orang tua dan juga saudara-saudaranya, kehangatan keluarga yang pernah dirasakannya. Namun, kebencian dan niat jahatnya terhadap Ludwig telah mengubah segalanya."Dosaku terlalu besar," bisik Leonardo dengan suara tercekik oleh air mata. "Aku telah merusak segalanya dengan tangan sendiri. Bagaimana aku bisa begitu buta dan bodoh? Dia kakakku, tapi aku ingin menghancurkannya karena aku terlalu iri dan cemburu padanya."Vincent, adi
***“Kau memintaku meminta maaf padanya? Apa kau juga akan pergi meninggalkanku?” tanya Lenardo.“Aku sangat mencintai kalian dan juga menghormati kalian sebagai kakakku dan panutanku. Tapi, jika kau melakukan kejahatan, aku tidak bisa diam saja. Aku membencinya, aku tidak suka kalau kita menyakiti satu sama lainnya,” balas Vincent.Leonardo terdiam sejenak, pria itu masih terus memikirkan kegagalan rencananya. Dia merasa marah pada dirinya sendiri karena telah membiarkan Ludwig menghancurkan segalanya.“Aku tidak peduli, Vincent. Meski akua da ikatan darah dengannya, aku tidak akan membiarkan dia menghancurkanku,” tukas Leonardo."Apa yang kamu lakukan, Leo?" tanya Vincent agak khawatir.Leonardo menatap Vincent dengan sedikit ketegangan. "Aku hanya berusaha untuk melindungi apa yang milikku, Vincent. Kamu tidak akan mengerti. Selama ini, selama belasan tahun aku yang berjuang untuk keluarga ini, aku tidak mau dia mengambilnya dengan mudah!"Vincent menggeleng, ekspresinya penuh den
***Anne duduk di kursi dengan tubuh yang gemetar, tangisannya tak kunjung reda. Kendrick, suaminya, berdiri di hadapannya dengan ekspresi kecewa yang sulit untuk disembunyikan."Aku minta maaf, Kendrick," bisik Anne di antara tangisannya. "Aku tidak bermaksud melukaimu. Kejadian ini buka mauku, kamu harus percaya padauk."Kendrick hanya mengangguk, wajahnya tetap keras. "Apakah semua ini benar-benar karena ancaman dari Leonardo?" tanyanya, suaranya terdengar rapuh.Anne terkejut saat suaminya mengetahui semuanya, ia menundukkan kepala, "Ya, Kendrick. Aku tidak punya pilihan. Dia mengancam akan menghancurkan segalanya jika aku tidak melakukan apa yang dia katakan."Kendrick menghela napas panjang, mencoba meredakan kekecewaannya. "Jadi, semua ini karena ancaman dari pria itu?"Anne mengangguk, mencoba menatap mata suaminya, tapi ia tidak mampu. "Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, Kendrick. Aku berharap kau bisa memaafkanku."Kendrick tetap diam, merenungkan semua yang telah t
***Ludwig menatap Kinan dengan perasaan bersalah, “Sayang, ,maafkan aku… ““Kenapa kamu meminta maaf?” Kinan bertanya balik.Ludwig duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap hampa ke luar jendela, mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan penyesalannya. Kinan berdiri di dekatnya, menatap pria itu dengan tatapan lembut.“Masalah tadi,” balas pria itu, namun ia bingung bagaimana untuk memulainya, ia hanya takut membuat istrinya terluka."Ludwig," panggil Kinan, suaranya lembut dan penuh dengan kehangatan.Ludwig menoleh, ekspresinya terlihat tegang. "Aku benar-benar minta maaf, Kinan. Aku tidak sengaja melihat apa yang seharusnya tidak aku lihat. Aku tidak bermaksud..."Kinan segera mengangkat tangannya untuk membuat Ludwig diam. "Tidak perlu banyak bicara, Ludwig," ujarnya dengan lembut. "Aku mengerti bahwa itu adalah situasi yang sulit."Ludwig menarik napas lega, tetapi rasa bersalah masih menghantuinya. "Aku akan selalu menyesalinya. Aku tidak ingin menyakitimu, Anne… aku