***
Kinan sedang dalam mimpi yang lembut ketika ia mendengar pintu kamar terbuka perlahan. Matanya terbuka dengan perlahan dan terkejut melihat Ludwig berdiri di ambang pintu dengan senyuman lembut di wajahnya.
"Ludwig, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Kinan, masih terlihat agak mengantuk.
Ludwig mendekat dengan langkah ringan. "Waktunya sholat subuh, Kinan. Ayo kita sholat bersama."
Meskipun awalnya agak bingung, dan terkejut karena Ludwig yang bangun terlebih dahulu dan berinisiatif mengajak sholat terlebih dahulu, Kinan segera bangun dari tempat tidurnya dan bersiap untuk sholat bersama Ludwig. Setelah selesai, mereka duduk di sajadah dengan wajah tenang.
Ludwig tersenyum lembut. "Hari ini adalah hari yang spesial, Kinan."
"Hari yang spesial? Mengapa?" tanya Kinan, semakin penasaran.
Ludwig meraih tangan Kinan dengan lembut. "Sebentar lagi, ada yang akan mengubah penampilanmu."
Kinan mengernyitkan keningnya. "Ada apa, L
***Kinan duduk di tepi tempat tidurnya, menatap pil KB di tangannya dengan tatapan ragu. Sejak beberapa waktu ini, pikirannya telah terombang-ambing oleh pertanyaan yang sama: apakah ia ingin terus minum pil ini? Bukankah Ludwig sudah menerimanya dan membuka hati untuknya? Apakah pria itu tidak menginginkan anak darinya?Sementara itu, Ludwig memasuki kamar dengan langkah tenangnya. Ia melihat Kinan terdiam dalam pikirannya, dan dengan lembut, mendekatinya."Apa kamu keberatan harus minum pil KB ini?" tanya Ludwig, mencoba memecah keheningan.Kinan menatapnya dengan sorot mata yang penuh pertimbangan. "Apakah kamu belum mau mempunyai anak? Rumah ini akan ramai jika ada suara anak-anak yang menggemaskan, kamu tidak menginginkannya?" tanyanya, mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang menghantui pikirannya.Ludwig mengangguk perlahan, ekspresinya menjadi serius. "Iya, aku hanya belum siap, Kinan. Masih banyak hal yang aku takutkan di dunia. Aku m
***Ludwig duduk di ruang bawah tanah bersama Kinan, mereka menghabiskan waktu berdua di sore hari untuk membaca buku, namun ekspresi wajah Ludwig penuh pertimbangan. Dia memegang tangan Kinan dengan lembut, lalu menatapnya dalam-dalam."Kinan," ucap Ludwig, suaranya serius, "aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting. Bulan depan, aku ingin membawamu ke Jerman untuk bertemu dengan keluarga besarku, aku ingin mereka tahu kalau kamu adalah istriku."Kinan menatap Ludwig dengan tatapan penuh kegembiraan. Namun, dia juga melihat keraguan di matanya. "Oh, benarkah? Kamu ke sana hanya ingin pulang?" Kinan bertanya, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.Ludwig menghela napas panjang, “Sebenarnya aku tidak mau kembali ke sana, banyak luka dan kenangan buruk yang sewaktu-waktu bisa membuatku seperti tercekik, aku terpaksa ke sana karena ingin menyelesaikan masalah dan juga aku hanya ingin menunjukkan pada mereka kalau aku sudah menikah lagi.”Namun, kemudian Ludwig terdiam, ekspresinya be
***“Tidak!”“Ini hanya sebentar, Ludwig. Kita hanya keluar minimal satu jam saja, untuk terapi agar kamu tidak terlalu gugup menghadapi dunia luar, aku yakin nanti saat kamu pulang ke Jerman, kamu bisa menemukan kepercayaan dirimu kembali secara utuh dan kamu bisa menghadapi semua orang yang dulu meremehkanmu,” ucap Kinan berusaha meyakinkan.Ludwig menggelengkan kepalanya dengan tegas, “Aku belum sanggup menghadapi keramaian, Kinan. Belajar agama saja aku hanya sanggup melalui online, aku belum siap bertemu siapapun, aku masih tidak nyaman.”Kinan menghela napas dan ia meraih jemari Ludwig dan mengenggamnya dengan hangat, “Kamy bisa, tanamkan itu di hatimu. Buang semua pikiran negatif dan hal-hal yang akan merusak keyakinanmu, kita mulai pelan-pelan, ya. Kita hadapi sama-sama, kamu harus melawan rasa takut itu, jangan kalah dengan hal yang akan membuat lukamu makin basah. Ada aku, aku akan selalu ada di sisimu d
***Kinan menatap Ludwig dengan senyum ceria, menggoda dengan sepasang baju couple berwarna biru muda yang dia pegang. "Ludwig, coba lihat ini! Ayo kita pakai ini sebagai tanda bahwa kita adalah pasangan. Kemarin aku memang membelinya, ini hadiah kecilku untukmu."Ludwig mengernyitkan dahi, ragu-ragu. "Tapi Kinan, aku pikir warna ini terlalu cerah bagiku. Aku bukan lagi remaja yang bisa tampil seperti itu.Ingat, usiaku sudah menginjak kepala tiga, apa aku masih pantas mengenakannya?"Kinan menggelengkan kepala, memandang Ludwig dengan mata penuh keyakinan. "Tidak ada yang terlalu tua untuk mengenakan warna ceria, Ludwig. Dan aku yakin kita akan terlihat luar biasa bersama. Percayalah padaku. Dan juga biar semua tahu kalau kita ini pasangan, biar nanti tidak ada yang mencuri pandang pada suamiku." Wanita tersenyum cerah, sengaja pura-pura kesal.Ludwig terdiam sejenak, membiarkan kata-kata Kinan meresap ke dalam hatinya. Akhirnya, dia tersenyum lembut. "Ba
*** “Bagaimana hari ini? Apa kamu sudah lelah?” tanya Kinan. “Aku ini seorang pria, Kinan. Bagaimana bisa aku lelah?” Kinan tersenyum menatap Ludwig, “Kalau begitu, sebelum pulang, aku mau membelikan sesuatu untuk Bu Inah, aku ingin membeli tas untuknya, aku melihat tasnya sudah rusak dan banyak jahitannya.” “Belilah, beli yang terbaik. Bu Inah selalu ada di sisiku, tapi aku tidak pernah memberikannya hadiah,” balas Ludwig. “Tapi aku mau membelikannya pakai uangku, jadi… “ “Pakai punyaku saja, uangku ada hak kamu sebagai istri, jika kamu mau membeli apapun, beli saja,” tukas Ludwig. “Punyaku sudah lebih dari cukup, kita beli buat Bu Inah saja, ya! Ah, bagaimana dengan anak bungsunya yang masih kuliah? Aku mendengar anaknya itu membutuhkan tas untuk kuliah juga, katanya sudah sobek.” Ludwig mengangguk, “Ayo, kita beli saja untuk mereka, kamu pilih saja, berapapun harganya tidak masalah.” Kinan tersenyum, ia dan Ludwig bergandengan tangan masuk ke salah satu toko tas yang ada d
***Anggun melangkah di lorong rumah mewah mereka dengan langkah cepat. Wajahnya memancarkan kemarahan yang sulit disembunyikan. Dia melangkah menuju ruang keluarga, di mana ibunya, Wina, duduk dengan tenang sambil membaca majalah."Ibu!" serunya dengan suara tajam.Wina menoleh ke arah Anggun, terkejut melihat ekspresi putrinya yang penuh kemarahan. "Ada apa, Anggun? Kenapa wajahmu ditekuk begitu?"Anggun mendekat dengan langkah panjang, matanya memancarkan api kemarahan. "Apa yang kamu lakukan, Ibu? Mengapa Ibu membohongiku tentang pria yang dinikahkan Kinan? Ibu bilang Kinan menikah dengan pria yang seperti monster."Wina terkejut. "Apa yang kamu maksud, Anggun?""Dia mendapatkan pria sempurna!" Anggun berteriak, kekesalannya tak tertahankan. "Kenapa Ibu bohong padaku, mengatakan bahwa pria itu adalah pria cacat yang tua? Ludwig von Schlossberg adalah pria sempurna, dan Ibu tahu itu! Dia bahkan sangat tampan dan sesempurna itu!"Wi
***Di dalam ruang bawah yang tenang, Ludwig duduk bersila di atas karpet, buku-buku tentang agama Islam berserakan di sekelilingnya. Matanya terfokus pada satu halaman Al-Quran yang terbuka di hadapannya. Setiap kata yang terpahat di sana menarik perhatiannya dengan begitu dalam."Sungguh luar biasa," gumam Ludwig dengan penuh kagum. "Semua ini begitu indah dan sempurna."Dia merenung sejenak, membiarkan kata-kata agung itu meresap ke dalam hatinya. Kemudian, dengan tekad yang bulat, dia mengambil telepon genggamnya dan menekan nomor Rangga."Rangga, bisa tolong panggilkan guru ngaji untukku? Aku ingin mulai belajar islam secara privat yang bisa datang ke rumahku," pinta Ludwig dengan suara yang penuh semangat.Rangga, yang berada di sisi lain telepon, terdiam sejenak, lalu menjawab, "Tentu, Tuan Ludwig. Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?""Ya, aku ingin belajar membaca Al-Quran dengan benar," jelas Ludwig. "Aku ingin memahami Isla
***Kinan menatap halaman sekolah yang sepi, ia tersenyum nanar karena ayahnya dari dulu tak pernah memberikannya sedikit cintanya, bahkan saat mainannya direbut oleh Anggun dan ia berusaha mempertahankannya, ayahnya langsung memukulnya dengan kasar. Ia hanya bisa menangis dan juga merasakan bagaimana ayahnya pilih kasih dari dulu.“Ayah, aku belum pernah mendengar kamu mengatakan sayang padaku, apakah aku boleh mendengarnya walau itu hanya sekali dalam seumur hidupku?” gumam Kinan tersenyum hambar. Ia menghela napas panjang dan ia melihat waktu sudah menunjukkan jam empat sore, ia harus mulai bergegas pulang karena sekolah juga sudah sepi.Kinan baru mau beranjak dari duduknya, namun suara seseorang membuatnya melihat ke arah sumber suara.“Pak Fachry,” ucap Kinan terkejut.Fachry tersenyum dan menghampiri, “Kenapa belum pulang, Bu Kinan?”“Tadi saya mengerjakan beberapa pekerjaan dulu karena Senin
***Lima bulan berlalu...Kinan sedang memangku bayi mungil di depan rumahnya. Rumah yang beberapa bulan ini ia tempati bersama suaminya, Arthur. Dan tentu saja Tony, ayahnya menemaninya. Ia merasa bahagia karena ayahnya Tony saat ini selalu ada bersamanya dan selalu membantunya mengurus sang buah hati.“Ayah,” ucap Kinan lembut, ia tidak melihat Tony setelah sholat subuh. “Apa Ayah ketiduran, ya?” gumammya.Kinan berjalan pelan menuju kamar ayahnya, pintu sedikit terbuka. Ia melihat Tony sedang dalam posisi sujud. Ia mengernyitkan kening dan tersenyum, melihat betapa khusyuk ayahnya dalam sholat. Tony memang dikenal sebagai sosok yang sangat taat beribadah beberapa bulan terakhir ini, dan Tony mengatakan selalu menemukan ketenangan dalam setiap doanya.Kinan memutuskan untuk duduk di dekat pintu, menunggu ayahnya selesai sholat. Ia membuka ponselnya, mengecek beberapa pesan, lalu memandang kembali ke arah Tony. Setengah jam berlalu, namun posisi Tony tidak berubah sedikit pun."Ayah,
***Waktu cepat berlalu dan sudah empat bulan usia kehamilan Kinan saat ini, dan kebahagiaan yang ia rasakan semakin bertambah saat dokter menyatakan bahwa ia sudah bisa bepergian dengan pesawat udara. Pagi itu, Kinan dengan semangat memberitahukannya pada adik iparnya, Vincent agar membantunya untuk membeli tiket pesawat ke Madinah esok hari, pria itu sangat senang dan ia langsung memesan dua tiket untuk kakak iparnya dan juga Tony. Lalu, Kinan juga mengabarkan berita baik ini kepada ayahnya, Tony."Ayah, dokter bilang aku sudah bisa bepergian dengan pesawat!" seru Kinan penuh antusias saat memasuki kamar ayahnya.Tony yang sedang sibuk membaca laporan kerja dari salah satu karyawannya di gerai mengangkat kepalanya dan tersenyum melihat putrinya yang berseri-seri. "Benarkah, sayang? Itu berita yang luar biasa, Nak!" jawabnya sambil berdiri dan memeluk Kinan."Aku ingin menyusul Ludwig ke Madinah, Ayah. Aku ingin memberinya kejutan. Dia tidak akan tahu bahwa aku akan datang, aku suda
***Ludwig dan Kinan duduk berdampingan di sofa, wajah mereka berseri-seri memandangi layar ponsel yang menampilkan wajah Patricia yang kelelahan namun bahagia. Di pelukannya, tampak seorang bayi perempuan yang mungil dan menggemaskan, masih dengan selimut rumah sakit membungkus tubuh kecilnya. Patricia tersenyum lebar, jelas bangga dan penuh kasih sayang terhadap putrinya yang baru lahir."Patricia, dia sangat cantik!" seru Kinan dengan suara penuh haru. "Selamat, kamu sudah menjadi ibu dua anak sekarang."Patricia tertawa lembut. "Terima kasih, Kinan. Aku merasa seperti hidupku baru saja dimulai. Lihatlah betapa mungilnya dia. Apalagi aku selalu mengharapkan menggendong bayi perempuan."Ludwig menatap bayi itu dengan mata berbinar. "Dia benar-benar anugerah, Patricia. Selamat sekali lagi. Kami sangat bahagia untukmu."Patricia mengangguk dengan wajah penuh kebahagiaan. "Terima kasih, Ludwig. Kami tidak sabar untuk kalian bertemu dengannya langsung."“Dan kami ada berita bagus untukm
***Ludwig berdiri di depan cermin besar, merapikan dasi hitamnya. Dia melirik jam di pergelangan tangannya, memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Malam ini adalah malam istimewa yang telah ia rencanakan dengan seksama. Ia telah menyewa sebuah restoran mahal dan mewah secara privat hanya untuk makan malam romantis bersama sang istri, Kinan. Semuanya telah disiapkan, dari makanan terbaik hingga dekorasi yang indah, semua dirancang untuk membuat Kinan merasa sangat istimewa. Apalagi Kinan yang memintanya dan sang istri akhir-akhir berubah jadi istri yang manja dan mudah cemburuan, perubahan itu membuatnya terkejut, tapi ia sangat menyukainya karena Kinan semakin menggemaskan di matanya.Pintu kamar terbuka, dan Kinan muncul dengan gamis indah berwarna merah yang anggun. Mata Ludwig berbinar melihat kecantikan istrinya. "Sayangku, kamu terlihat menakjubkan," katanya dengan penuh kagum.Kinan tersenyum malu-malu. "Terima kasih, sayang. Suamiku juga terlihat sangat tampan. Apakah ka
***“Sayang, bagaimana sekarang? Kamu sudah tidak pusing lagi?” tanya Ludwig.Kinan menggelengkan kepalanya dan tersenyum, ia menatap suaminya dengan tatapan tak terbaca.Ludwig mengernyitkan keningnya karena merasa ada yang tidak biasa dari diri Kinan, “Ada apa, sayang? Mau bicara sesuatu?” tanyanya.Kinan langsung memeluk suaminya dan hal itu tentu saja membuat Ludwig terkejut karena dari kemarin istrinya itu sangat manja, terlebih lagi Kinan bisa marah saat ia lupa memberi kabar karena kemarin sangat sibuk mengurus segala hal di keluarga Schlossberg.“Sayang, kalau ada salah aku minta maaf. Lebih baik kamu marah saja sama aku daripada mendiamkanku seperti ini. Aku nggak bisa kalau kamu mendiamkanku,” ucap Ludwig.Kinan melepaskan pelukannya dan tersenyum menatap suaminya, “Mana bisa aku marah sama suamiku, kalau sebal ya paling dikit,” balasnya.“Ada apa?” tanya Ludwig.“Bagaimana urusan kamu dengan Leo? Terus ke depannya, semua yang dimiliki keluarga Schlossberg bena-benar kamu le
***Leonardo duduk sendirian di dalam sel tahanan, tatapan kosongnya terpaku pada dinding dingin yang menyelimutinya. Wajahnya pucat dan lesu, air mata tak terbendung meluncur turun membasahi pipinya. Hati dan pikirannya dipenuhi oleh kesedihan yang tak terperi."Dulu, segala sesuatunya begitu indah," gumam Leonardo dalam diam, suaranya serak oleh rintihan tangisnya yang terdengar. "Keluarga, cinta, kebahagiaan. Semuanya hancur oleh rasa iri dan kebencianku."Ingatan akan masa lalu datang menghantamnya seperti gelombang yang ganas. Dia mengingat senyum kedua orang tua dan juga saudara-saudaranya, kehangatan keluarga yang pernah dirasakannya. Namun, kebencian dan niat jahatnya terhadap Ludwig telah mengubah segalanya."Dosaku terlalu besar," bisik Leonardo dengan suara tercekik oleh air mata. "Aku telah merusak segalanya dengan tangan sendiri. Bagaimana aku bisa begitu buta dan bodoh? Dia kakakku, tapi aku ingin menghancurkannya karena aku terlalu iri dan cemburu padanya."Vincent, adi
***“Kau memintaku meminta maaf padanya? Apa kau juga akan pergi meninggalkanku?” tanya Lenardo.“Aku sangat mencintai kalian dan juga menghormati kalian sebagai kakakku dan panutanku. Tapi, jika kau melakukan kejahatan, aku tidak bisa diam saja. Aku membencinya, aku tidak suka kalau kita menyakiti satu sama lainnya,” balas Vincent.Leonardo terdiam sejenak, pria itu masih terus memikirkan kegagalan rencananya. Dia merasa marah pada dirinya sendiri karena telah membiarkan Ludwig menghancurkan segalanya.“Aku tidak peduli, Vincent. Meski akua da ikatan darah dengannya, aku tidak akan membiarkan dia menghancurkanku,” tukas Leonardo."Apa yang kamu lakukan, Leo?" tanya Vincent agak khawatir.Leonardo menatap Vincent dengan sedikit ketegangan. "Aku hanya berusaha untuk melindungi apa yang milikku, Vincent. Kamu tidak akan mengerti. Selama ini, selama belasan tahun aku yang berjuang untuk keluarga ini, aku tidak mau dia mengambilnya dengan mudah!"Vincent menggeleng, ekspresinya penuh den
***Anne duduk di kursi dengan tubuh yang gemetar, tangisannya tak kunjung reda. Kendrick, suaminya, berdiri di hadapannya dengan ekspresi kecewa yang sulit untuk disembunyikan."Aku minta maaf, Kendrick," bisik Anne di antara tangisannya. "Aku tidak bermaksud melukaimu. Kejadian ini buka mauku, kamu harus percaya padauk."Kendrick hanya mengangguk, wajahnya tetap keras. "Apakah semua ini benar-benar karena ancaman dari Leonardo?" tanyanya, suaranya terdengar rapuh.Anne terkejut saat suaminya mengetahui semuanya, ia menundukkan kepala, "Ya, Kendrick. Aku tidak punya pilihan. Dia mengancam akan menghancurkan segalanya jika aku tidak melakukan apa yang dia katakan."Kendrick menghela napas panjang, mencoba meredakan kekecewaannya. "Jadi, semua ini karena ancaman dari pria itu?"Anne mengangguk, mencoba menatap mata suaminya, tapi ia tidak mampu. "Aku tahu aku telah membuat kesalahan besar, Kendrick. Aku berharap kau bisa memaafkanku."Kendrick tetap diam, merenungkan semua yang telah t
***Ludwig menatap Kinan dengan perasaan bersalah, “Sayang, ,maafkan aku… ““Kenapa kamu meminta maaf?” Kinan bertanya balik.Ludwig duduk di tepi tempat tidur, matanya menatap hampa ke luar jendela, mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan penyesalannya. Kinan berdiri di dekatnya, menatap pria itu dengan tatapan lembut.“Masalah tadi,” balas pria itu, namun ia bingung bagaimana untuk memulainya, ia hanya takut membuat istrinya terluka."Ludwig," panggil Kinan, suaranya lembut dan penuh dengan kehangatan.Ludwig menoleh, ekspresinya terlihat tegang. "Aku benar-benar minta maaf, Kinan. Aku tidak sengaja melihat apa yang seharusnya tidak aku lihat. Aku tidak bermaksud..."Kinan segera mengangkat tangannya untuk membuat Ludwig diam. "Tidak perlu banyak bicara, Ludwig," ujarnya dengan lembut. "Aku mengerti bahwa itu adalah situasi yang sulit."Ludwig menarik napas lega, tetapi rasa bersalah masih menghantuinya. "Aku akan selalu menyesalinya. Aku tidak ingin menyakitimu, Anne… aku