“Ayo, masih ada waktu satu jam lagi untuk latihan sebentar sebelum acara dimulai!” Ucap Anna Avantie sembari menepuk-nepuk tangannya pada para model agar segera berkumpul. Mereka semua telah siap dengan dandanan cantik dan pakaian modis hasil rancangan Anna yang akan di pamerkan pada acara fashion week kali ini. Semua model berkumpul di dampingi koreografer mode dan kru penanggung jawab lainnya, catwalk juga sudah siap untuk di gunakan. Olivia datang bersama Madam Rose, ikut bergabung bersama yang lain. “Seperti yang aku katakan tadi ya, percaya diri dan lakukan yang terbaik!” Ucap Madam Rose pada Olivia yang mulai tampak berani, tak lagi terlalu nervous. “InsyaAllah Madam, makasih.” Olivia tersenyum. Ia lirik Anna sang Designer yang berjalan mendekati mereka. “Kamu pergilah dulu latihan bersama yang lainnya!” Titah Madam pada Olivia. “Iya Madam.” Olivia menurut. Segera bergabung bersama para model lainnya. Anna telah berada di dekat Madam Rose, matanya masih tak lepas dari me
“Selamat ya Mbak Anna...” Ucapan selamat dan rasa puas tamu undangan yang hadir, bertubi-tubi di berikan pada Designer ternama itu. Anna begitu bangga dan puas melihat kesuksesan acara pentingnya ini. Semua berkat kerjasama tim yang solid juga. “Pak Barra Malik Virendra...” Ucap Anna pada Barra yang tampak berjalan dengan wajah serius, menuju suatu tempat. Barra yang sedari tadi telah mengawasi Olivia dan akan mengikuti istrinya itu ke ruang ganti, terpaksa menghentikan langkah saat Anna menyapanya dengan begitu ramah. “Bu Anna Avantie.” Sambutnya seolah antusias, meski matanya masih tetap mengawasi Olivia yang sedang bergabung bersama para model dan kru. “Selamat atas kesuksesan acara anda. Kami senang bisa bekerjasama dengan Bu Anna.” Ungkap Barra. “Oh, saya yang seharusnya berterimakasih. Saya benar-benar puas dengan acara yang UD Entertainment selenggarakan ini. Terimakasih banyak Pak Barra...” Balas Anna begitu senang. Keduanya mengobrol, membahas kerjasama selanj
“Kamu pergi tanpa izin dari saya Olivia!” Ucap Barra penuh penekanan, semakin membuat nyali Olivia menciut. “I-Iya, maafkan aku. Tapi seperti yang Bu Anna katakan tadi, tiba-tiba beliau menyuruh aku menggantikan modelnya yang sedang sakit. Aku gak bisa menolak Pak, karena Bu Anna bilang sebagai karyawan UD Entertainment, aku juga harus bertanggungjawab menyukseskan acara ini...” Olivia mencoba menjelaskan kembali, namun Barra terus saja berjalan mendekatinya tanpa berhenti, membuat Olivia yang panik akhirnya memundurkan langkah ke belakang. “Yang saya pertanyakan, kenapa kamu bisa ada disini, Olivia??” Barra semakin mendesak tubuh Olivia hingga membuat gadis itu panik. Sesekali menoleh ke belakang, takut jatuh saat berjalan mundur. “Itu... Itu karena tadi aku...” Olivia lagi-lagi tergugup, hingga menelan ludah. Takut. “Aku nemanin Nanda kesini sebentar, karena dia mau bertemu Bu Anna...” Olivia akhirnya jujur, tak pandai berbohong. Set! Eh? Barra dengan cepat, mengukung tubuh O
Barra memeluk pinggang Olivia dengan posesif, mendekatkan wajahnya pada telinga istrinya itu. “Cepatlah ganti pakaian, saya tunggu!” Ucapnya seolah berbisik, namun dengan suara sedikit dikeraskan. Ia kecup pucuk kepala Olivia diam-diam, di hadapan Elgard dan Madam Rose. Olivia yang masih panik karena ketahuan tengah berduaan bersama Barra di ruangan itu, semakin gelagapan dengan sikap Barra yang malah terang-terangan menunjukkan hubungan mereka. Di tambah barusan mereka seperti sedang bercumbu mesra, seolah saling menikmati satu sama lain. Sudah bisa di tebak apa yang ada di dalam pikiran Madam dan Elgard. “Ayo Pak Elgard, ini ruangan wanita. Kita tidak boleh ada disini!” Ajak Barra pada Elgard yang terpaku, masih tak percaya dengan apa yang Barra lakukan pada mantan istrinya. Barra berjalan lebih dulu, dengan gaya angkuhnya. Hatinya begitu puas bisa menunjukkan kepemilikannya terhadap Olivia pada Elgard, pria yang masih saja ingin mendekati istrinya. Elgard terpaksa ikut meningg
Chelsea nyengir, ia tarik kembali tangannya dengan rasa malu. Barra Malik Virendra itu tak mau bersalaman dengannya. Elgard yang menyaksikan sikap Barra pada istrinya, merasa geram. Terlihat jelas wajah mengejek pria itu pada Chelsea yang ia anggap hanya seorang pelakor. Barra kembali menatap Elgard, masih dengan senyuman tersirat, “Pak Elgard, saya berharap anda fokus saja memberikan perhatian pada istri anda yang cantik ini. Anda harus menjaganya sebaik mungkin. Jangan sampai dia pergi meninggalkan anda karena anda tidak memperlakukannya dengan semestinya. Bukankah demi mendapatkan wanita secantik ini, anda harus berusaha sekeras mungkin hingga mengorbankan banyak hal? Maka jangan sia-siakan apa yang sudah anda perjuangkan!” Satirnya, membuat Elgard seakan tertampar. Memang demi memperjuangkan hubungannya dengan Chelsea, Elgard harus mengorbankan Olivia. Dirinya menentang Haris mati-matian hanya untuk menikahi wanita itu dan menceraikan istrinya sendiri. “Ah Pak Barra, anda bisa
“Madam, aku balik ke kantor ya. Udah sore, bentar lagi jam kantor mau habis. Aku pergi. Assalamualaikum.” Olivia beranjak dari ruangan tersebut, tak ingin terlalu lama membahas tentang dirinya dan Barra. “Wa-Wa'alaikumsalam Olivia...” Madam menjawab dengan perasaan heran. Ada yang lain di wajah gadis itu. Tak mengaminkan ucapannya jika mereka segera go public dan segera menikah. Olivia terlihat tak senang. Apa yang sebenarnya terjadi? Hubungan mereka sepertinya cukup rumit sehingga harus di rahasiakan dengan alasan menjaga privasi. Bukankah jika sama-sama mencintai, seharusnya tidak di tutupi agar semua orang tahu bahwa mereka saling memiliki dan tak ada yang berani mendekati salah satunya? Olivia berjalan dengan langkah cepat keluar dari gedung tersebut. Perasaannya campur aduk. Ada rasa malu, juga kesal. Malu karena dilihat Madam saat Barra menciumnya secara paksa. Kesal karena Barra lagi-lagi melakukan hal tersebut seenaknya. Apa yang sebenarnya pria itu pikirkan? Dia yang ing
Olivia bergidik ngeri, kali ini habislah ia. Apa yang harus di lakukan agar bisa menghindari pria ini? Barra bahkan jika sudah memaksa, tidak bisa di tolak lagi. Olivia memelas, antara pasrah dan tak rela. Tapi mungkin kali ini memang dirinya sudah tak akan bisa lagi menghindari keinginan Barra untuk di berikan haknya. Mata Olivia lagi-lagi membulat sempurna, Barra tak membawanya pulang ke penthouse? “Pak Barra, ini kita mau kemana?” Olivia butuh penjelasan. “Nanti kamu juga tau.” Jawab Barra dingin. ‘Ya ampun apa salahnya jawab aja??’ Olivia geleng-geleng kepala, tak habis pikir dengan sikap suami sementaranya itu. Mobil Barra perlahan memasuki area parkir yang luar di depan sebuah restaurant mewah yang terletak di tengah kota. Area parkir itu di penuhi dengan berbagai mobil mewah lainnya, mencerminkan eksklusivitas dan kemewahan tempat tersebut. Restaurant itu sendiri tampak megah dengan arsitektur yang elegan dan penerangan yang anggun. “Pak, anda mau makan??” Olivi
Barra mengeluarkan kursi dari meja, memberi isyarat agar Olivia duduk di kursi yang ia berikan itu. Meskipun heran karena Barra memperlakukannya istimewa seperti itu, Olivia tak ambil pusing. Ia duduk di kursi tersebut, tak akan membantah perintah sang Bos. “Makan yang banyak! Kamu tidak boleh kurus!!” Ucap Barra ikut duduk di kursi yang berseberangan dengan Olivia. “Ok!” Jawab Olivia tak banyak bicara. Biarkan saja Barra berpikir jika dirinya bertubuh kurus rata tepos dan sebagainya, begitu lebih baik. Barra menatap Olivia. Dirinya yang sudah pernah melihat keindahan tubuh istrinya itu, tak mau sampai tubuh molek dan berisi di bagian tertentu tersebut kenapa-napa karena kurang makan. Barra mengambil steak yang ada di hadapan Olivia. Kemudian memotongnya kecil-kecil agar mudah di makan istrinya. “Ini makanlah!” Ucapnya kembali meletakkan steak yang telah di potong-potong dalam hotplate tersebut. “Makasih.” Olivia semakin bingung dengan perlakuan Barra. Sang CEO memang tipe pria
Dua hari berlalu... Di kediaman keluarga Nugroho, sarapan pagi baru saja selesai. “Pa, jangan lupa minum obat tensinya. Mama ke depan dulu ya, mau nyiram tanaman,” Ucap Ayuma pada Haris. “Ya, Sayang.” Haris tersenyum hangat pada istri tercintanya, matanya lalu melirik obat yang telah Ayuma siapkan di atas meja makan. Kini tinggal Haris dan Clarissa-sang Putri di ruang makan tersebut. Clarissa menatap Haris dengan sorot mata penuh tanya. “Hari ini jadi pertemuan dengan PT. Selamat, Kak?” Tanya Haris setelah menelan pil dengan didorong beberapa teguk air minum. “Jadi, pukul sepuluh ini, Pa,” Jawab Clarissa, menatap intens wajah sang Papa. “Sama Elgard juga, kan?” “Hu'um.” “Bagus. Elgard itu public speaking-nya bagus. Dia ahli banget dalam urusan lobi-melobi dengan klien,” Haris senang. Putri dan Putranya kompak dalam mengurus perusahaan keluarga. “Kenapa gak Elgard aja yang jadi Presdir, Pa? Dia lebih cocok!” “No! Selagi dia masih sama perempuan itu, gak akan Papa kasi dia ja
“Manda, kemarilah. Duduk di samping Papa,” Pinta Tuan Rawless menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. Amanda diam sesaat, hingga akhirnya mengikuti permintaan Tuan Rawless. Ia berpindah duduk, tepat di samping sang Ayah. Tuan Rawless mengambil tangan putrinya, ia genggam dengan lembut. “Papa juga masih memiliki rasa trauma atas apa yang Papa alami selama dalam pelarian Papa. Papa merasa butuh bercerita dengan seseorang yang bisa mengobati rasa trauma itu. Dan kamu juga sama seperti Papa, kamu perlu menghilangkan rasa trauma dan kebencian kamu demi bisa hidup tenang dan bahagia. Ayo kita ke Psikolog, Nak! Atau bila perlu, kita ke Psikiater untuk mengobati trauma kita ini...” Tuan Rawless mencoba hati-hati dalam berucap, tak ingin Amanda semakin berang. “Psikiater?” Amanda terkejut. “Papa pikir Manda gila?!” Ia tarik tangannya dari genggaman Tuan Rawless. “Bukan Nak. Orang yang datang ke mereka bukan berarti gila. Seperti kasus kita, trauma yang mendalam memang terkadang membutuhk
“Kami semua paham dengan penderitaan kamu, Nak. Kami tau betapa beratnya apa yang sudah kamu lalui_” “Kalian gak tau! Gak usah sok baik, merasa paling paham! Manda tau, di belakang Manda, semua menyalahkan Manda karena memisahkan Oliv dari Barra.” Amanda memotong ucapan Tuan Rawless. “Ok, mungkin memang Barra sudah menyadari kesalahannya. Tetapi siapa yang bisa menjamin kalau di kemudian hari dia gak akan menyakiti Oliv lagi?” “Papa yakin Barra setia dan sangat mencintai Oliv, Manda!” Tuan Rawless meyakinkan Amanda. “Halah! Papa tau, dulu Abian sangat mencintai Manda. Sampai Oliv lahir dan berusia empat tahun, hidup keluarga kecil kami begitu sempurna dan bahagia.” Amanda tergelak sinis, muak. “Tetapi setelah Helen hadir di antara kami, malapetaka datang. Oliv berumur lima tahun, Abian berselingkuh di belakang Manda. Dia berubah begitu drastis. Kami selalu bertengkar karena dia tidak lagi mempedulikan istri dan anaknya. Sampai akhirnya Manda tau dia ternyata sudah menjalin hubung
Olivia bersenandung ringan. la baru saja mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer, selesai keramas. Rasanya begitu segar. Kaki indah Olivia melangkah ke lemari pakaian, akan mengambil baju rumahannya untuk dipakai. Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, tampak Barra masuk dengan mata tak berkedip ke arahnya yang masih mengenakan handuk singkat membalut tubuhnya sebatas dada dan pangkal paha. Barra berjalan mendekati Olivia yang menutup pintu lemari setelah mendapatkan daster santai yang ia pilih. “Mas, udah selesai meetingnya? Kok cepat?” Olivia terheran. Suaminya sudah masuk kamar saja. Barra tak menjawab. Tangannya langsung meraih tubuh Olivia, menarik pinggang istri cantiknya itu ke dalam dekapannya. Hug! “M-Mas...” Olivia terkesiap, tatapan Barra membuat tubuhnya meremang. Kedua tangan pria itu memeluk kencang pinggangnya hingga tubuh mereka menempel rapat. “Rindu kamu Sayang!” Ungkap Barra untuk pertama kalinya memanggil Olivia dengan mesra, langsung di depan yan
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka
“Jadi sekarang Dokter rajin memperdalam ilmu agama?” Tanya Barra serius.“Ya. Saya kan imam untuk istri dan anak-anak saya, jadi saya harus bisa memimpin mereka dengan cara selalu upgrade diri dengan ilmu agama yang luas,” Jelas Dokter Andrew.“Kalau Dokter punya waktu, bisa ajak saya sekalian ikut belajar ke ustadz-nya Dokter,” Barra berinisiatif. Ucapan dokter di hadapannya ini, membuka pikirannya tentang seorang pemimpin dalam rumah tangga yang harus berilmu.“Tentu, dengan senang hati. InsyaAllah saya kabari kapan ada kajian rutin dengan ustadz ya,” Dokter Andrew menyambut denganantusias.Barra benar-benar puas. Baru ini ia menemukan teman yang asik diajak mengobrol dan berbagi cerita.“Nah, itu istri saya,” Dokter Andrew menunjuk ke arah seorang wanita anggun berhijab yang sedang menyapa Olivia dengan ramah. ltu Dokter Anita, istrinya.Keduanya mendekati para istri, ikut bergabung.“Udah selesai praktek polinya, Sayang?” Tanya Dokter Andrew pada sang istri.“Udah, Mas. Sekarang