Barra membuka matanya, seketika antusias. “Apa yang kamu temui Jef?” “Saya sudah melihat CCTV di semua tempat. Tetapi tidak menemukan apa-apa. Karena di beberapa tempat, CCTV ternyata mati pada hari itu dan saat saya tanyakan pada petugas yang berjaga di sana, mereka bilang tidak tahu menahu tentang matinya CCTV tersebut.” Jelas Jefri. “Segampang itu mereka menjawab tidak tau! Apa saja yang mereka kerjakan? Berikan mereka SP 1 untuk efek jera jika bekerja jangan setengah hati!!” Tegas Barra kesal. “Baik Pak.” “Ini malah semakin membuat kecurigaanku semakin besar. Pasti ada yang sengaja mematikan CCTV di hari yang sama dengan kejadian itu, dan bisa saja orang dalam yang melakukannya sehingga tidak ada yang curiga.” “Saya juga berpikir seperti itu Pak. Setahu saya Nyonya tidak memiliki musuh disini. Bisa saja ini orang bayaran. Salah satu karyawan disini mungkin di bayar oleh orang yang ingin mencelakai Nyonya, itu kesimpulan sementara saya.” Tambah Jefri. “Jadi begitu? Ta
“Pak Barra, jangan begadang terlalu lama ya. Selamat malam...” Ucap Olivia tersenyum manis di depan pintu ruang kerja Barra, baru saja selesai membereskan peralatan makan suaminya di dapur. Barra yang sedari tadi menunggu Olivia agar kembali mendatanginya, menatap Olivia lekat. Masih ingin di temani gadis itu. “Olivia, sini!” Titahnya, seperti biasa selalu dengan nada memerintah. Olivia berpikir sejenak, untuk apa dirinya diminta masuk kembali? Dengan di penuhi tanda tanya, ia pun masuk ke dalam ruangan Barra. “Duduklah!” Titah Barra lagi, ingin Olivia duduk kembali di kursinya tadi. Olivia manut, duduk di samping Barra sembari pasang wajah penasaran. “Ada kabar terbaru tentang dimana Ibu aku Pak?” Tanya Olivia serius. Barra terpana mendengar pertanyaan istrinya itu, Olivia berpikir jika ia memanggil karena ada kabar terbaru yang akan di sampaikan tentang lokasi di asingkannya Amanda Rawless. “Belum. Tetapi saya sudah punya rencana untuk mengirim Vincent Smilt kepada L
“Sebenarnya bukan pakaiannya yang kegedean, tapi akunya yang terlalu kurus seperti yang waktu itu Pak Barra katakan. Rata, alias... Tepos. Hee...” Olivia nyengir, yakin Barra pasti akan ilfeel membayangkannya. “Tepos? Masa? Saya tidak percaya sebelum melihatnya sendiri. Saya ingin kamu mulai hari ini tidak lagi memakai pakaian panjang di depan saya, apalagi penutup kepala!” “Dih, ngapain? Gak ah!” Tolak Olivia mentah-mentah dengan tubuh meremang. “Kenapa? Kamu kan Istri saya, sudah sewajarnya saya melihat kamu bahkan tanpa memakai apapun!” Barra jadi semakin mendesak. “Apa sih Pak Barra... Gak ada yang begitu di antara kita. Aku gak mau buka aurat sampai nanti pernikahan kita berakhir. Jadi aurat aku tetap gak akan pernah terbuka di depan anda selama kita masih berstatus suami istri!” Tegas Olivia, tak rela auratnya dilihat Barra, sementara dirinya bisa saja di cerai sewaktu-waktu. Olivia tetap ingin terjaga sampai kapanpun, sama seperti saat bersama Elgard. Auratnya tak perna
“Papa ajak aku tinggal disini?” Angelina mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan dengan wajah risih dan tak suka. “Papa gak ngajak. Kalau kamu mau ikut tinggal disini sama Papa, silahkan. Tapi kalau gak mau, cari sendiri tempat tinggal lain yang bisa bikin kamu senang!” Ketus Abian tak peduli. Ia membawa masuk koper-kopernya ke dalam apartemen kecil yang sekarang terpaksa ia kontrak untuk menjadi tempat tinggalnya. “Ini gak layak di sebut tempat tinggal Pa... Sempit, kumuh, juga panas gak ada AC. Aku gak mau tinggal disini!” protes Angelina geli. “Ya sudah, sana pergi kalau kamu gak mau tinggal disini. Papa juga gak maksa!” Abian tak menghiraukan keluhan putri tirinya itu. “Ish, Papa kok gitu ngomongnya? Harusnya Papa tuh usahain cari tempat tinggal yang layak buat istri dan anak Papa. Ini malah pasrah aja tinggal disini. Aku gak biasa tinggal di tempat sempit dan kotor kayak gini. Papa tau kan?” Abian menghentikan pekerjaannya menyusun barang-barang bawaannya pada tempat
Blam! Pintu mobil di tutup saat Angelina telah masuk ke dalam. “Hai Beb!” Ucapnya pada Reyhan sang kekasih, sembari mendaratkan bibirnya sekilas pada pipi pria gondrong itu. “Ada apa Angel? Kenapa kamu bilang mau tinggal di apartemenku?” Reyhan belum melajukan mobil, minta penjelasan terlebih dahulu. “Iya Beb, sekarang aku udah gak punya rumah lagi. Aku mau ikut kamu aja!” Jelas Angelina, wajahnya suram. “Maksudnya? Rumah besar kamu itu kenapa? Di renovasi?” “Renovasi apanya? Entah gimana ceritanya, tiba-tiba kami sekeluarga di usir dari rumah itu. Aku gak tau apa masalahnya, tapi rumah itu sekarang bukan lagi milik kami. Jadi sekarang aku udah gak punya tempat tinggal Beb...” Jelas Angelina, masih merasa bingung. “Kamu jangan bercanda! Emang rumah itu bukan punya orang tua kamu? Kok bisa-bisanya kalian di usir dari rumah sendiri, terus Papa Mama kamu gimana? Mereka tinggal dimana sekarang?” Reyhan seakan sulit mempercayai apa yang Angelina jelaskan. “Rumah itu... Rumah itu pu
Jefri mendekati Barra yang baru saja turun dari mobilnya di parkiran basement, khusus pejabat perusahaan. Jefri baru saja mengantarkan Olivia ke UD Entertainment. Namun sesuai permintaan gadis itu, ia mengantar tak langsung ke depan pintu masuk. Olivia tak mau ada karyawan lain yang melihatnya turun dari mobil Jefri. “Pak.” Ucap Jefri pada Barra yang berwajah dingin. Seperti ada yang tak lepas di hati pria itu. “Kenapa tidak di antar di depan saja tadi?” Tanya Barra, tadi mobilnya mengikuti di belakang mobil Jefri. Tetap memantau istrinya. “Nyonya yang minta Pak. Beliau tidak mau ada karyawan yang melihat kami di satu mobil.” Jelas Jefri. Barra diam, memang begitu sebaiknya, “Tapi kamu harus selalu pastikan istriku masuk perusahaan dalam keadaan aman. Aku juga selalu memantaunya, tetapi tidak bisa dalam jarak yang dekat.” “Ya Pak.” “Selama di kantor, tetap perhatikan apapun yang Olivia lakukan dan dengan siapa dia berinteraksi. Kita tidak tau siapa yang ingin mencelakai
“Sayang, gimana penampilan aku??” Chelsea menunjukkan dirinya yang baru saja di dandani oleh make up artis terbaik, tak lupa gaunnya yang anggun dan elegant. Elgard yang baru saja tiba di salon langganan Chelsea untuk menjemput, meneliti wajah hingga tubuh istrinya itu dengan tatapan penuh kekaguman, “Cantik! Seperti biasa, selalu cantik dan aku bingung, kapan sih kamu jeleknya?” Ungkap Elgard begitu memuja kecantikan istrinya tersebut. “El, kamu ih... Kalau muji suka berlebihan...” Wajah Chelsea bersemu merah, bahagia akan sanjungan suaminya. “Aku gak berlebihan. Itulah faktanya. Kalau gak, mana mungkin aku sampai tergila-gila seperti ini sama kamu Honey.” “Makasih sayangku...” Chelsea memeluk manja lengan Elgard, merasa tersanjung. “Kita berangkat sekarang?” Tanya Elgard yang juga sudah siap dengan setelan rapi dan gagah, serasi dengan Chelsea. “Ayo! Aku udah gak sabar menghadiri fashion show designer sekelas Anna Avantie. Mudah-mudahan suatu hari nanti wedding dresses h
“Pak, kita berangkat sekarang?” Tanya Syifa, berdiri di depan pintu. Barra yang duduk di kursi kerjanya, melirik jam tangannya sekilas, “Sebentar lagi!” Tegasnya. “Baik Pak. Tapi acaranya akan di mulai sekitar satu jam lagi.” “Ya.” Jawab Barra, paham. Syifa kembali menutup pintu dari luar ruangan Barra. Barra pun bangkit dari duduknya, berjalan menuju jendela tinggi besar yang menyuguhkan pemandangan kota dari ketinggian gedung tersebut sambil menatap serius layar ponsel di tangannya. ‘Kenapa dia tidak mengangkat teleponnya!’ Gumam sang CEO, kesal. Sedari tadi melakukan panggilan telepon ke nomor Olivia, tak juga di terima istrinya tersebut. Barra berkali-kali mengulang menelepon, bahkan mengirim pesan, berharap Olivia membaca dan meneleponnya kembali. Namun tidak juga. Perasaannya semakin kesal, apa Olivia sengaja mengabaikan panggilannya? Tok... Tok... Jefri membuka pintu dari luar setelah mengetuk pintu terlebih dahulu. Ia pun masuk ke dalam untuk menemui sang CEO. “Pak,
Mata Olivia tiba-tiba tak sengaja melihat ke arah pakaian tidur wanita yang dipajang pada manekin, tampak dari kaca besar sebuah toko khusus pakaian tidur wanita dewasa yang ada di lantai mall tempat mereka berada sekarang. Berbagai macam lingerie, terpajang cukup menarik perhatian para pengunjung yang melewati toko itu. Terutama baju dinas malam bertema cosplay anime yang lucu dan gemas. Olivia menyipitkan mata, tak habis pikir. ‘Kenapa toko itu harus memajang pakaian seperti itu di depan? Gimana kalau laki-laki yang otaknya kotor, sampai berpikir yang enggak-enggak?’ ‘Kalau ada istri mah enak, bisa dibeliin dan minta istrinya pake didepan dia. Nah kalau gak punya istri, ya bisa gawat...’ Olivia bermonolog dengan hatinya sendiri. Dirinya saja merasa malu melihat pakaian-pakaian yang seharusnya cukup privasi itu, di pajang dengan mudahnya dibalik kaca besar toko tersebut, sehingga bisa dilihat oleh siapa saja germasuk anak dibawah umur. Ya, namanya juga toko khusus pakaian seper
“Lho, Elgard, Olivnya mana?” Clarissa yang baru saja datang, mencari keberadaan Olivia di dekat Elgard, namun tak ada. Elgard masih diam terpaku, belum bisa menormalkan perasaannya. “Lo kenapa? Berantem sama Oliv? Lo bilang apa sama dia? Jangan bilang lo nyakitin perasaan dia lagi makanya dia pergi gitu aja!” Clarissa curiga, baru sebentar ia tinggal pergi. Olivia sudah tak ada. “Gue harus tanya papa soal ini kak!” Elgard tak menjawab pertanyaan Clarissa. Ia langsung beranjak pergi dengan perasaan tak menentu, tergesa-gesa, hanya untuk memastikan kebenaran kabar pernikahan Barra dan Olivia yang belum diketahui semua orang. Berharap itu tidak benar. “Dia mau nanya apa ke papa?” gumam Clarissa tak mengerti, Elgard pergi begitu saja meninggalkannya. °°° “Pak Barra...” Olivia menghentikan langkahnya, menahan lengan Barra yang berjalan sambil menggenggam tangannya. Barra ikut berhenti dan menatap Olivia, wajahnya masih tampak dingin. “Maafkan aku... Aku gak bermaksud lancang mendah
“Hai Oliv.” Sapa Elgard lebih mendekat pada Olivia yang mulai resah. Ia lirik Barra di seberang sana. Suami tampan dan posesifnya itu ternyata tengah menatap tajam ke arahnya dan Elgard sembari melangkah menuju tempatnya berada. Olivia tahu Barra tak akan suka melihat dirinya didekati Elgard.“Oh hai Elgard. Aku duluan ya.” Olivia cepat-cepat beranjak dari hadapan mantan suaminya itu, akan mendekati Barra yang berwajah menakutkan di seberang sana.“Olivia sebentar!” Elgard menghadang langkah Olivia, tak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk bicara berdua setelah beberapa kali gagal.“Ada apa?” Tanya Olivia sedikit kaget, namun matanya masih tertuju ke belakang Elgard, tepatnya ke arah Barra disana yang tampak menahan amarah melihat Olivia tak dibiarkan pergi oleh seorang pria yang pernah menjadi masa lalu istrinya itu.“Olivia, aku cuma mau bilang ke kamu. Tolong jauhi Barra Malik Virendra.” Ucap Elgard to the point, mengejutkan Olivia.“Maksudnya?” Olivia menelan ludah. Ia baru inga
“Kamu haus?” Tanya Barra setelah mereka keluar dari arena permainan. Olivia merasa sudah cukup puas bermain dan mengajak suaminya keluar dari tempat itu. “Iya nih. Aku rasanya pengen es krim...” Olivia menunjuk stand es krim yang berada tak jauh dari sana. “Saya akan pergi membelikan es krimnya Pak.” Jefri hendak beranjak. “Tidak perlu Jef. Kamu bawa saja hadiah-hadiah ini ke mobil. Biar aku saya yang kesana membelinya!” Tukas Barra. “Baik Pak.” Jefri mengambil banyaknya hadiah yang diperoleh Olivia dari permainan yang dimenangkan Barra tadi, membawanya ke mobil untuk disimpan agar tak mengganggu gerak dan langkah bebas mereka. “Kamu tunggu disini, duduk saja. Saya belikan dulu es krimnya.” Ucap Barra pada Olivia setelah Jefri pergi. “Aku bisa pergi sendiri membelinya.” Olivia merasa tak enak hati merepotkan Barra. “Tidak Olivia, tunggulah disini! Saya hanya sebentar!” Titah Barra, tak ingin sang istri kelelahan. “Baiklah.” Olivia tersenyum, manut saja pada perintah suaminya.
“Kita jalan sekarang?” Tanya Barra antusias. “Ayo.” Olivia mengangguk, berusaha tampak antusias didepan Barra. “Kamu mau kita kemana?” “Aku ikut kemana anda bawa, soalnya aku gak begitu tau tempat-tempat yang biasa orang datangi.” jelas Olivia, apa adanya. Barra mengerti. Kehidupan istrinya itu tidak seperti para gadis lainnya sejak dulu, yang bisa hanging out bersama keluarga dan teman, atau bebas keluar rumah jalan-jalan menghabiskan masa remaja, melakukan banyak hal produktif. Jika tak sekolah, istrinya sehari-hari disamakan dengan asisten rumah tangga, mengerjakan sebagian pekerjaan mereka demi menghemat pengeluaran rumah tangga. “Kita berbelanja dulu seperti janji saya tadi pagi.” Barra memutuskan. Olivia diam sejenak, hingga mengiyakan. Terserah suaminya itu saja. °°° Pusat perbelanjaan... Mall yang ramai dengan pengunjung menjadi saksi betapa pasangan Barra dan Olivia menarik perhatian banyak orang. Barra seperti biasa dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, ber
Rapat sedang berlangsung... Barra duduk di ujung meja rapat, menatap para karyawan yang duduk berbaris disisi meja. Rapat berjalan dengan lancar, para karyawan menyampaikan ide dan strategi mereka dengan lebih percaya diri. Barra terus mengawasi dan memberikan arahan, memastikan bahwa proyek film ini akan menjadi sukses besar yang akan mengangkat nama perusahaannya menjadi lebih tinggi di industri entertainment. Namun yang tak bisa Barra hindari sedari tadi, berkali-kali dirinya melirik jam tangan. ‘Kenapa siang terlalu lama?’ gerutunya dalam hati. Saat karyawan fokus mendengar kepala bagian marketing menyampaikan ide dan gagasannya, Barra membuka ponsel. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang istrinya lakukan dirumah saat ini, membuatnya tak tahan untuk melihat rekaman cctv rumah. Barra tanpa sadar, tersenyum melihat Olivia yang berada didapur. Istrinya itu terlihat seperti sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. Tampak Olivia menatap ke kamera cctv, seolah tahu jika
“Kamu diam. Artinya kamu tidak akan komplain lagi.” Ucap Barra memecah keheningan sesaat yang terjadi. “Aku gak akan membantah lagi. Terserah anda saja. Maaf...” Jawab Olivia, pasrah. Barra merasa tak senang dengan ketidak-antusiasan Olivia, hanya dirinya saja yang semangat untuk menunjukkan hubungan mereka pada semua orang. Wanita itu begitu terpaksa. Jefri menatap satu persatu wajah Barra dan Olivia. Entah mengapa, ia seakan merasa ada yang salah disini. Apakah sedang terjadi miss komunikasi di antara majikannya ini? Sang Nyonya muda menangkap, Barra mempublikasikan hubungan mereka hanya untuk menakut-nakuti lawannya yaitu Laksmana Sanjaya, agar tak berani lagi macam-macam. Ia pun merasa bimbang dan tak yakin dengan keputusan suaminya karena terkesan pria itu hanya ingin melangsungkan resepsi pernikahan, hanya untuk melindunginya semata, bukan untuk sesuatu yang lebih dari sekedar tentang seorang Laksmana. Tentang masa depan berdua, misalnya? Sedang sang Bos dari sikap istriny
“Itu benar. Ini yang saya maksud kemarin bahwa kamu tinggal tunggu tanggal mainnya. Orang-orang akan tau tentang hubungan kita sebentar lagi karena resepsi pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Kamu sudah siap kan?” Barra begitu excited.Olivia masih dipenuhi banyak pertanyaan di benaknya, masih sulit mempercayai. “Kenapa diadakan resepsi? Bukankah kita sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini?” Tanyanya butuh penjelasan, apa tujuan Barra sebenarnya?“Sepertinya memang tidak akan bisa dirahasiakan lagi Olivia. Orang memang harus tahu kalau kita sudah menikah. Tidak perlu menunggu Mommy dan Daddy kembali, resepsinya akan segera dilangsungkan!” Ujar Barra penuh keyakinan.Olivia tertegun. Mimpi apa dirinya? Apa itu artinya Barra telah membatalkan kesepakatan di awal bahwa pernikahan mereka akan berakhir setelah Azalea kembali.Apakah Barra telah menyadari bahwa sebuah pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral, tidak boleh dipermainkan. Sehingga pria itu ingin serius membina r
“Kamu bilang apa?” Tanyanya untuk lebih memastikan, kenapa istrinya ini tidak protes?“Aku ikut apa aja yang suami aku katakan. Semua juga demi kebaikan aku kan?” Jawab Olivia, tak ada ekspresi keberatan yang ia tunjukkan.Barra cukup excited mendengar jawaban Olivia, wanita itu mau menuruti keinginannya? Tak protes apalagi merasa kesal.Perasaannya begitu lega, Olivia bersedia menjadi ibu rumah tangga saja. Seketika muncul di benaknya bayangan tentang keluarga bahagia yang harmonis, dilengkapi anak-anak yang lucu.Dadanya berdebar, namun senyumnya masih ditahan-tahan. Sejujurnya ia ingin langsung salto saat ini juga saking girangnya.“Bagus! Saya senang kalau kamu jadi istri yang nurut pada suami!” Barra membelai rambut panjang Olivia, wanita itu membuat hatinya selalu tentram. Olivia mengangguk. Ia tahu Barra mengkhawatirkan dirinya karena Laksmana pasti sedang mengincar nyawanya. Patuh dan taat pada apa yang suaminya katakan, maka itu yang akan ia lakukan meski tak bisa lagi beker