“Kakek.” Ucap Barra di depan pintu kamar seorang pria, Abraham Rawless.“Nah, Barra...” Tuan Rawless tersenyum lebar saat melihat kedatangan cucu menantunya. Pria itu sedang duduk menghadap televisi di kamarnya, “Masuk Nak!” ajaknya dengan wajah berseri sambil tangannya mematikan televisi dengan remote.Barra masuk, menghampiri Tuan Rawless yang mempersilahkannya duduk di kursi tepat di depan kursi roda yang sedang pria tua itu duduk. “Duduklah, Barra.” Pintanya lembut.Barra duduk, wajahnya tampak lesu dan kusut seperti biasanya. Tuan Rawless tahu jika cucu mantunya itu masih uring-uringan karena belum menemukan Olivia.“Bagaimana kaki kakek?” Tanya Barra, masih mengkhawatirkan kondisi kesehatan Tuan Rawless.“Sudah lebih enakan Nak. Terapis yang kamu pekerjakan disini selalu membantu kakek menggerakkan kaki ini agar lebih luwes lagi setelah terjatuh waktu itu. Maklum, sudah tua, anggota tubuh agak susah recovery kalau udah kena masalah kesehatan apapun.” Tuan Rawless tertawa kecil.
Sebulan lebih kemudian... Nia keluar kamar dengan mengendap-endap. Suasana rumah sudah sepi, semua orang sudah tidur. Ia lihat pintu kamar Amanda di samping kamarnya, ibu angkatnya itu juga sudah beristirahat di dalam setelah lelah dengan aktivitas hari ini. Nia cepet-cepat menuruni anak tangga. Ia menuju ke kamar Vincent yang berada di luar, tepat di samping rumah. Dengan langkah dibuat tak berbunyi, ia mendekati kamar pengawal setia Amanda itu. Pintu kamar Vincent sedikit terbuka, pertanda pria itu belum tidur. ‘Ok, Pak Vincent belum tidur!’ Nia lega. Ia akan mengetuk pintunya terlebih dahulu, tapi takut suara ketukan pintu mengusik heningnya malam. Jangan sampai Amanda dengar, meski kamar wanita itu berada di dalam dan di lantai atas. “Pak Vincent...” Ucap Nia pelan sambil mendorong pintu agar terbuka. “Nia.” Vincent terkejut. Deg! Jantungnya berdegup kencang dengan matanya melotot seolah-olah bola mata itu akan melompat keluar. Vincent telah bertelanjang dada, mengo
“Mas...” Barra tersentak dari tidurnya. Ia buka matanya dengan cepat, barusan ada suara lembut istrinya. “O-Olivia???” Ucapnya terkejut. Olivia berdiri di tepi ranjang sambil tersenyum. Seperti biasa, istrinya selalu cantik bagai bidadari. Wajahnya teduh dengan senyum merekahnya yang selalu Barra puja. Barra cepat-cepat mendudukkan diri, berharap ini nyata. “Olivia, Ini... Ini benar-benar kamu?” tanyanya memastikan. Ia raih jemari Olivia, dadanya bergemuruh menahan kerinduan yang sudah tak terbendung. “Iya dong Mas, emang siapa lagi? Mas kok tidur gak ganti pakaian kerjanya dulu? Apa gak gerah?” Barra seketika mengembangkan senyum bahagia, namun tak bisa berkata-kata. Dengan jantung berdegup kencang, ia tarik pinggang Olivia, memeluknya dengan erat. Istrinya itu berdiri di depannya yang duduk di tepi ranjang. “Olivia, jangan tinggalkan saya lagi...” Pintanya semakin mengeratkan dekapan kedua tangannya pada pinggang Olivia. Wajahnya di tenggelamkan di perut istrinya itu. Tangan
Barra terhenyak, tak menyangka Amanda bisa mengatakan hal yang tidak-tidak tentang dirinya pada Olivia mengenai calon anak mereka, “Ibu sudah keterlaluan!!! Dia mendoktrin istriku agar menjauhiku!!” Gerutunya berang.[Ya begitu lah. Kami juga kaget. Ibu memang orang yang kalau sudah menginginkan sesuatu, maka sanggup melakukan apapun]“Tapi tidak selicik ini juga!! Ibu sakit!” Barra murka.[Saya sebagai perawat ibu, berpikir ibu butuh pertolongan untuk mengobati psikologisnya yang terluka. Belasan tahun disekap, terisolir dari dunia luar, tapi ibu bisa bertahan dengan berpura-pura depresi. Saya saja yang mengurus ibu selama di pulau itu, bisa terkecoh dengan kepura-puraan ibu. Apa yang membuat ibu bisa bertahan? Semua karena demi bisa bersama putrinya suatu hari nanti. Dan saat beliau mendengar anda menikahi putrinya hanya sampai Azalea kembali, rasa trauma terhadap suaminya dulu semakin menjadi. Beliau tidak rela putrinya juga disakiti seperti yang beliau rasakan. Itu yang membuat ib
Para awak media seketika riuh, langsung mengarahkan kamera pada Barra. Sang menantu akhirnya hadir juga.“Bu.” Olivia menatap getir Amanda di sampingnya. “Tenang sayang. Penjaga akan mengusirnya!” Amanda menenangkan Olivia. Namun perasaannya tak tenang. Kenapa para penjaga tak ada yang menghalangi Barra Malik Virendra? Sedang apa mereka semua? Di belakang Barra, tampak Abraham Rawless juga masuk didampingi Jefri dan beberapa pengawalnya. Semua yang ada di ruangan itu semakin heboh, Abraham Rawless hadir? Ini berita luar biasa. Kamera langsung mengarah pada pria tua berjas rapi dengan tongkat di tangannya.“Papa??” Amanda terkejut, Ayahnya di bawa Barra ke acara ini?Barra semakin mendekat, tatapannya begitu nyalang pada Olivia yang semakin gugup. Barra tak sedikitpun melepaskan tatapan pria itu darinya semenjak baru masuk hingga sekarang. Amanda panik. Ke mana orang-orangnya? Barra tiba juga di depan Olivia yang ikut panik. Tak buang waktu, ia raih tubuh istrinya, digendong ala br
Mobil Barra tiba-tiba di sebuah rumah elite yang cukup jauh dari keramaian kota. Rumah yang telah ia persiapkan untuk menjadi tempat tinggalnya bersama Olivia dan anak-anak mereka nantinya. Di sanalah ia menempatkan Tuan Rawless selama ini, setelah menyelamatkan pria tua itu dari Margaretha. Ia lirik istrinya di samping. Olivia masih buang muka, tak sudi di menatap wajahnya. Tak menunggu lagi, Barra turun dari mobil lebih dulu setelah supir membukakan pintu. “Ayo turun, Olivia.” Ajaknya lembut setelah membukakan pintu mobil bagian Olivia duduk. “Aku gak mau. Ini bukan rumahku. Aku mau kembali ke rumah ibuku!” Olivia buang muka dari Barra, bersikeras tak ingin bersama suaminya itu. Barra diam menatap Olivia yang masih membencinya gara-gara Amanda yang selalu menyampaikan berita palsu tentang dirinya, tetapi menutupi kebenaran yang seharusnya diketahui Olivia. Tanpa butuh persetujuan istrinya itu, ia angkat tubuh Olivia, membawanya keluar dari mobil. Olivia terkejut, tak menyan
“Pak Barra.” Olivia berang, pria ini suka sekehendaknya saja. Tak peduli pada penolakannya.“Tatap mata saya, Olivia.” Pinta Barra.Olivia menolak. Ia menatap ke arah lain, jengah.Barra tak peduli. Ia tarik dagu Olivia penuh kelembutan, ingin istrinya itu menatap langsung padanya.“Jangan memaksa!” Olivia semakin kesal, Barra menangkup wajahnya dengan kedua telapak tangan pria itu.“Lihat saya.” paksa Barra membuat Olivia tak bisa memalingkan wajah ke arah lain. “Sekarang giliran saya menjelaskan semuanya.” Ucapnya serius.“Apa lagi yang harus dijelaskan? Ibuku udah menjelaskan semuanya.” Olivia masih bersikeras untuk menolak.“Tapi kamy belum mendengar dari mulut saya langsung.” balas Barra.Olivia diam, memang dirinya belum mendengar penjelasan dari versi Barra. Tapi dari penjelasan Amanda, bukankah sudah cukup? “Ya udah, kalau mau menjelaskan juga, silahkan.” Ucap Olivia, skeptis bisa percaya lagi.Barra melepaskan tangannya dari wajah Olivia, “Saya tidak pernah setuju bercerai d
“Aku gak kuat melihat kalian begituan, makanya aku langsung pergi tanpa menunjukkan diri di depan pintu. Rasanya sangat memalukan.” Ungkap Olivia membuat Barra serasa tertampar. “Saya berani bersumpah. Saya menolak Azalea! Saya menegurnya agar lebih menjaga sikap. Kalau saja kamu tidak langsung pergi waktu itu, kamu pasti tahu bagaimana penolakan saya terhadapnya.” Ujar Barra meluruskan kesalahpahaman ini. “Aku gak tau harus percaya atau tidak. Memang sebaiknya saat itu aku gak langsung pergi agar tau apa yang akan kalian lakukan berdua di dalam kamar. Tapi aku juga gak sanggup melihatnya kalau aja waktu itu anda dan dia benar-benar saling melepaskan kerinduan di kamar itu! Aku_umph!” Barra membungkam bibir Olivia dengan serangan bibirnya yang tiba-tiba. la berikan lumat*n-lumat*n lembut di sana, begitu merindukan rasa manisnya. Barra tak ingin istrinya merasa ragu terhadap kesetiannya. Olivia mematung. Suaminya terus mencumbui bibirnya penuh perasaan dengan mata terpejam, seakan
“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y
Kini mereka tengah berkumpul di kediaman Virendra sambil mengobrol. Jefri yang sudah disuruh beristirahat oleh sang Mommy, masih tetap bergabung dalam obrolan meski hanya menjadi pendengar. Wajahnya tampak tegang, sedikit gugup. “Jef, kamu kenapa? Dari tadi diem aja, disuruh rehat gak mau.” Syafira terheran melihat raut wajah gugup pemuda yang sudah ia anggap sebagai putra keduanya itu. “Um, Mommy, Daddy,” Jefri mencoba menetralkan sikap, harus tetap tenang. “Tell us. Kamu biasanya kalau mau ngomong sesuatu, gak pake basa basi, Jef. Kenapa sekarang gugup gitu, ada masalah lain?” Virendra cukup penasaran melihat ekspresi tegang Jefri. “Begini. Ada yang mau Jef sampaikan.” Jefri menatap satu persatu wajah Virendra dan Syafira yang menunggu apa yang akan ia sampaikan. “Jangan bikin Mommy penasaran ah, Jef! Cepetan ngomongnya,” Desak Syafira. Sudah tahu dirinya tak bisa dibuat penasaran. Jiwa keponya berontak. Jefri menarik napas dalam-dalam, membuat Syafira semakin penasaran. “Dad
“Dan sekarang, saya semakin yakin kalau saya tidak bisa kehilangan Nona Clarissa. Saya ingin bersamanya, memilikinya sebagai istri saya. Karena tidak mau membuang-buang waktu lagi, begitu tau Nona Clarissa akan meninggalkan Indonesia, saya langsung bergegas menyusul ke Bandara untuk membawanya kembali bersama saya. Tidak akan saya lepaskan lagi dia. Akan saya perjuangkan dia dengan cara mengikatnya ke dalam ikatan yang halal, karena saya sangat mencintainya, lebih dari segalanya. Sudah cukup bagi saya untuk mengenal kepribadiannya, tahu tentang harapan dan mimpinya, dan saya ingin menjadi bagian dari itu semua. Saya tidak hanya mencintai dia, tapi juga menghormati dia sebagai individu. Saya siap berbagi suka dan duka bersamanya, di setiap langkah yang akan kami tempuh bersama.” Jefri berucap dengan sorot mata penuh keseriusan, mengungkapkan seluruh perasaan dan keinginannya. Tanpa sadar, rasa gugup dan khawatir akan ditolak, menghilang begitu saja. Berganti menjadi rasa percaya diri d
“Begitupun saya, Nona. Sejak kecil, saya selalu berharap ada pasangan suami istri yang mau mengambil saya menjadi anak mereka, tetapi tidak pernah dilirik sama sekali. Mungkin karena saya kurus seperti anak kurang gizi. Dekil dan sering sakit dibanding anak panti lainnya. Tidak ada yang tertarik untuk mengadopsi saya. Tidak ada kelebihan yang saya punya selain otak yang mampu, tapi tidak seimbang dengan fisik saya yang lemah. Setelah bersama Pak Barra, saya berubah menjadi seperti sekarang. Kuat dan bisa beliau andalkan. Kalau tidak bertemu beliau dan Tuhan tidak menggerakkan hatinya untuk memasukkan saya ke dalam keluarga Virendra, mungkin sekarang pun saya juga bukan siapa-siapa. Belum tentu saya bisa bertemu circle orang-orang hebat. Dan belum tentu saya bisa bertemu dengan Nona,” Jefri menatap wajah Clarissa. Mata Gadis itu tengah berkaca-kaca mendengar kisah hidupnya. “Kamu hebat! Kamu pantas dipertemukan dengan orang-orang hebat pula seperti Pak Barra dan keluarga Virendra. Aku