Barra melangkah dengan tenang dan berwibawa didampingi oleh Jefri-asisten pribadinya yang begitu setia. Tak ketinggalan beberapa pejabat perusahaan mengikuti di belakang.Mereka baru saja mengadakan pertemuan penting di sebuah hotel, membahas proyek perusahaan yang akan di garap bersama sutradara film dan tim produksi yang berperan penting atas kesuksesan proyek tersebut. Tak terkecuali para aktor pilihan serta beberapa influencer yang ditunjuk untuk membantu strategi pemasaran.Barra berjalan memasuki gedung megah perusahaan UD Entertainment miliknya, menuju lift khusus pimpinan yang terletak di sudut ruangan.Begitu memasuki lobby yang luas, Barra di sambut dengan pandangan kagum dan respect dari para karyawan yang sedang berada di sana.Karyawan-karyawan langsung menyapa dan memberikan hormat padanya. Beberapa diantaranya bahkan ada yang sampai terlihat gugup dan salah tingkah saat berpapasan langsung dengan pria dingin namun kharismatik itu.“Selamat pagi, Pak Barra.” Sapa seorang
Barra terkesima melihat senyum manis Olivia, selalu saja membuat jantungnya berdebar. “Saya tutup sekarang.” ulangnya lagi. [Eh bentar Mas...] “Ya?” Jawab Barra cepat. [Kiss dulu...] Barra terperangah mendengar permintaan Olivia, istrinya ini sudah mulai nakal, pintar menggoda. “Bagaimana caranya?” Barra bingung. [Bilang 'muaah' sambil majuin bibirnya ke layar handphone. Tandanya mas ngasih aku sebuah ciuman...] “A-Apa? Bagaimana bisa?” Barra tergugup. Bagaimana bisa dirinya melakukan hal semacam itu, memalukan. Barra gengsi. [Oh, ya udah kalau gak mau. Daah...] “Sebentar!” tahan Barra cepat. Olivia-nya terlihat kecewa. “Saya lakukan!” ucapnya kemudian. Demi apa? Tampak Olivia tersenyum senang di sana, menanti suaminya melakukan apa yang ia minta. Barra mendekatkan bibirnya ke layar ponsel, rela membuang rasa malu dan gengsinya. “Mmuuaah...” Ucapnya persis yang seperti Olivia mau. “Pak Barra...” Panggil Jefri yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Barra dengan tergesa-gesa
“Tunggulah di sini! Kamu mau ikut sampai ke dalam?” Azalea membentak penjaga yang mengikutinya tadi, terpaksa pria itu berhenti tepat di depan halaman rumah yang ditempati Anton dan ketiga anggotanya, seharusnya. Salah satunya Vincent. Azalea kemudian melangkah menuju pintu. Ia sedikit heran, kenapa suasana rumah begitu sepi. Bukankah seharusnya ramai dengan beberapa orang pria. “Anton!” Panggilnya. Tak ada sahutan dari dalam, Azalea memberanikan diri membuka gagang pintunya. Ceklek! Pintu terbuka, ternyata tak di kunci dari dalam. “Tunggu disana! Aku masuk dulu!” Titahnya pada penjaga yang berdiri di halaman rumah. Ia masuk ke dalam, ada beberapa kamar di rumah yang cukup besar itu meski semi permanen. ‘Kenapa tidak ada orang di rumah ini? Vincent dimana? Aku ingin bertemu dengannya...’ Azalea terus berjalan hingga telinganya mendengar suara tercekat seorang pria yang kesulitan bicara dari arah kamar ujung. Dengan berlari, ia menuju kamar tersebut, membuka pintunya dengan l
Semua begitu penasaran dan dengan penuh semangat melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang bagaimana Olivia dan CEO mereka bertemu dan saling mencintai, serta kapan mereka menikah hingga akhirnya menjadi suami istri. Dengan Olivia yang dikenal humble, mereka masih bisa bersikap lepas dan santai untuk bertanya, meski tetap tak berani melewati batas dalam berbicara atau bergurau. Sedang dengan Barra tadi, jangankan mengucapkan selamat, bertatap muka secara dekat saja sudah membuat jantung terus berdebar kencang. Takut pada CEO dengan pembawa dingin itu. Olivia bercerita tipis-tipis, tak terlalu menjelaskan. Ia masih merasa canggung dengan cara mereka memanggilnya. Dulu, mereka memanggilnya dengan nama depan saja, terasa akrab dan santai. Dan sekarang mereka memanggilnya 'bu Olivia' menunjukkan rasa hormat terhadap posisinya sebagai istri CEO. Mau bagaimana lagi? Barra tadi pagi juga mengatakan jika dirinya harus membiasakan diri dan menerima kenyataan bahwa ia adalah se
“Tapi denger-denger, mantan istrinya Pak Barra wanita karier kan? Mereka sama-sama sibuk dulu. Kok sekarang Pak Barra pengennya punya istri orang rumahan? Mungkin trauma punya istri berkarier kali ya, haaa...” Nanda tertawa, sontak membuat Ardi, Arya, Dafa dan Farhan menatapnya penuh isyarat. Sedang Olivia terpana. “Ups, maaf Liv. Aku gak ada maksud untuk mengungkit masa lalu Pak Barra. Jangan dimasukkan ke dalam hati ya. Yang pasti sekarang di hati Pak Barra cuma ada kamu kan?” Nanda jadi tak enak hati, menyesal dengan mulutnya yang keceplosan. “Gak apa, Nan.” Olivia tersenyum tipis, sedikit kepikiran, apa benar dulu Azalea dibebaskan berkarier? Sedang dirinya di atur dan dikekang sedemikian rupa untuk melakukan apa saja meski pada akhirnya ia menerima dan menganggap jika itu bentuk perlindungan Barra untuk dirinya. “Kamu udah isi belum Liv?” Nanda langsung mengalihkan pembicaraan, tak ingin Olivia merasa tak nyaman gara-gara barusan ia menyinggung mantannya Barra. “Oh, itu... Be
[Barra, aku bukan istri simpanan Laksmana. Jangan berpikir aku seburuk itu. Aku sangat menderita. Jemput aku secepatnya sayang...]Jantung Barra berdegup begitu kencang, Azalea bukan istri simpanan Laksmana katanya. Perasaannya semakin berkecamuk.Sementara itu...Di balik dinding yang berada beberapa meter dari meja kerja sekretaris CEO, Olivia memegang dadanya yang bergemuruh saking terkejutnya. Ia tengah berdiri menyandarkan punggung di dinding tersebut agar tak dilihat Barra.Seluruh persendian tubuhnya seakan melemas saat mendengar pembicaraan Barra di telepon bersama Vincent kemudian di gantikan oleh suara seorang wanita bernama Azalea, masa lalu suaminya.Olivia mendengar beberapa fakta;Pertama, ibunya ternyata selama ini depresi.Hati Olivia hancur berkeping-keping. Wanita yang selalu ia do'akan di tiap helaan napasnya, sampai menderita gangguan mental seperti itu dibuat Laksmana.Dan fakta kedua, Amanda wanita yang suaminya cintai juga diasingkan bersama Amanda-sang ibu.Wan
“Pak...” Jefri menyentuh lengan Barra yang masih diam terpaku setelah mendengar suara Azalea barusan. “Pak Barra.” ulang Jefri lagi. “Ah ya?” Barra tersentak, segera mengembalikan konsentrasi diri. “Anda baik-baik saja?” tanya Jefri, bisa melihat ketidaktenangan di diri Bosnya setelah mendengar suara seseorang dari masa lalunya yang selama ini menghilang karena ulah Laksmana juga. “Entahlah, ini masih terasa seperti mimpi.” Barra belum bisa mempercayai apa yang terjadi. “Jadi bagaimana sekarang, Pak?” Jefri menunggu instruksi Barra. Barra menghembuskan napas kasar, mencoba mengendalikan diri. Pikirannya masih mencerna segala hal. “Cepat bersiap Jef! Kita berangkat sekarang juga! Kamu urus penerbangan kita dan apa saja yang dibutuhkan!” Titah Barra. Harus fokus meski sulit. “Baik Pak!” Jefri bergegas pergi. Banyak yang harus ia siapkan terlebih dahulu, penerbangan, anak buah yang akan berangkat bersama mereka, serta senjata yang tak boleh ketinggalan karena di sana mereka akan
“Saya pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Tunggu ibu kembali ya,” Ucap Barra pada Olivia saat di depan pintu. Jefri sudah menunggu juga di sana. Mereka akan langsung berangkat. “Tempat itu sangat jauh. Berhati-hati lah.” balas Olivia. “Kamu tau tempatnya?” Barra terheran, perasaan dirinya tidak menceritakan di mana tempat diasingkannya Amanda. “Tau. Tadi Pak Jefri sudah memberitahu. Aku juga tau kalau anda telah menculik anak Vincent untuk membuat dia terpaksa pergi ke tempat itu untuk mencari tau tentang ibuku!” Barra terkejut. Ia lirik Jefri yang tertunduk, takut. “Jangan marah pada Pak Jef. Beliau cuma memberitahu karena aku desak. Gak ada salahnya aku tau kan?” Ucap Olivia dengan nada tersirat. Barra menghela napas, hingga akhirnya mengangguk. “Pergilah. Aku do'akan semua berjalan lancar.” “Ya. Saya pergi dulu. Ayo Jef!” Barra beranjak pergi, cukup buru-buru. Ia melangkah lebih dulu, tak mau terlambat. “Kami pergi Nyonya...” Ucap Jefri pada Olivia, hingga a
“Manda, kemarilah. Duduk di samping Papa,” Pinta Tuan Rawless menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. Amanda diam sesaat, hingga akhirnya mengikuti permintaan Tuan Rawless. Ia berpindah duduk, tepat di samping sang Ayah. Tuan Rawless mengambil tangan putrinya, ia genggam dengan lembut. “Papa juga masih memiliki rasa trauma atas apa yang Papa alami selama dalam pelarian Papa. Papa merasa butuh bercerita dengan seseorang yang bisa mengobati rasa trauma itu. Dan kamu juga sama seperti Papa, kamu perlu menghilangkan rasa trauma dan kebencian kamu demi bisa hidup tenang dan bahagia. Ayo kita ke Psikolog, Nak! Atau bila perlu, kita ke Psikiater untuk mengobati trauma kita ini...” Tuan Rawless mencoba hati-hati dalam berucap, tak ingin Amanda semakin berang. “Psikiater?” Amanda terkejut. “Papa pikir Manda gila?!” Ia tarik tangannya dari genggaman Tuan Rawless. “Bukan Nak. Orang yang datang ke mereka bukan berarti gila. Seperti kasus kita, trauma yang mendalam memang terkadang membutuhk
“Kami semua paham dengan penderitaan kamu, Nak. Kami tau betapa beratnya apa yang sudah kamu lalui_” “Kalian gak tau! Gak usah sok baik, merasa paling paham! Manda tau, di belakang Manda, semua menyalahkan Manda karena memisahkan Oliv dari Barra.” Amanda memotong ucapan Tuan Rawless. “Ok, mungkin memang Barra sudah menyadari kesalahannya. Tetapi siapa yang bisa menjamin kalau di kemudian hari dia gak akan menyakiti Oliv lagi?” “Papa yakin Barra setia dan sangat mencintai Oliv, Manda!” Tuan Rawless meyakinkan Amanda. “Halah! Papa tau, dulu Abian sangat mencintai Manda. Sampai Oliv lahir dan berusia empat tahun, hidup keluarga kecil kami begitu sempurna dan bahagia.” Amanda tergelak sinis, muak. “Tetapi setelah Helen hadir di antara kami, malapetaka datang. Oliv berumur lima tahun, Abian berselingkuh di belakang Manda. Dia berubah begitu drastis. Kami selalu bertengkar karena dia tidak lagi mempedulikan istri dan anaknya. Sampai akhirnya Manda tau dia ternyata sudah menjalin hubung
Olivia bersenandung ringan. la baru saja mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer, selesai keramas. Rasanya begitu segar. Kaki indah Olivia melangkah ke lemari pakaian, akan mengambil baju rumahannya untuk dipakai. Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, tampak Barra masuk dengan mata tak berkedip ke arahnya yang masih mengenakan handuk singkat membalut tubuhnya sebatas dada dan pangkal paha. Barra berjalan mendekati Olivia yang menutup pintu lemari setelah mendapatkan daster santai yang ia pilih. “Mas, udah selesai meetingnya? Kok cepat?” Olivia terheran. Suaminya sudah masuk kamar saja. Barra tak menjawab. Tangannya langsung meraih tubuh Olivia, menarik pinggang istri cantiknya itu ke dalam dekapannya. Hug! “M-Mas...” Olivia terkesiap, tatapan Barra membuat tubuhnya meremang. Kedua tangan pria itu memeluk kencang pinggangnya hingga tubuh mereka menempel rapat. “Rindu kamu Sayang!” Ungkap Barra untuk pertama kalinya memanggil Olivia dengan mesra, langsung di depan yan
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka
“Jadi sekarang Dokter rajin memperdalam ilmu agama?” Tanya Barra serius.“Ya. Saya kan imam untuk istri dan anak-anak saya, jadi saya harus bisa memimpin mereka dengan cara selalu upgrade diri dengan ilmu agama yang luas,” Jelas Dokter Andrew.“Kalau Dokter punya waktu, bisa ajak saya sekalian ikut belajar ke ustadz-nya Dokter,” Barra berinisiatif. Ucapan dokter di hadapannya ini, membuka pikirannya tentang seorang pemimpin dalam rumah tangga yang harus berilmu.“Tentu, dengan senang hati. InsyaAllah saya kabari kapan ada kajian rutin dengan ustadz ya,” Dokter Andrew menyambut denganantusias.Barra benar-benar puas. Baru ini ia menemukan teman yang asik diajak mengobrol dan berbagi cerita.“Nah, itu istri saya,” Dokter Andrew menunjuk ke arah seorang wanita anggun berhijab yang sedang menyapa Olivia dengan ramah. ltu Dokter Anita, istrinya.Keduanya mendekati para istri, ikut bergabung.“Udah selesai praktek polinya, Sayang?” Tanya Dokter Andrew pada sang istri.“Udah, Mas. Sekarang
Barra kembali mendekati Dokter Andrew, sedang Olivia duduk dengan dijaga bodyguard yang siaga. “Bagaimana kabar Dokter? anda terlihat luar biasa,” Ungkapnya. “Alhamdulillah, namanya juga udah berkeluarga, udah ada istri yang menemani dan mengurus semua kebutuhan saya. Ditambah sudah punya dua orang jagoan. Hati jadi selalu senang, hidup penuh semangat,” Dokter Andrew berseri-seri. “Jadi anak anda sudah dua, keduanya laki-laki?” Barra lagi-lagi takjub. “Ya, Muhammad Azzam Daniel, dan Muhammad Izzam Daniel. Dua jagoan kebanggaan saya!” Dokter Andrew begitu bangga. Anak-anaknya adalah cucu kebanggaan Sultan Daniel. “Hem, luar biasa. Berapa umur mereka sekarang?” Barra cukup antusias sebagai seorang calon ayah, dirinya ikut senang mendengar kebahagiaan Dokter Andrew. Akan merasakan hal seperti itu juga tak lama lagi. “Alhamdulillah sekarang Azzam sudah tujuh tahun. Sudah SD kelas satu. Kalau Izzam, masih tiga tahun. Lagi lucu-lucunya,” Dokter Andrew begitu bangga menceritakan ke