“Saya pergi dulu. Kamu jaga diri baik-baik di rumah. Tunggu ibu kembali ya,” Ucap Barra pada Olivia saat di depan pintu. Jefri sudah menunggu juga di sana. Mereka akan langsung berangkat. “Tempat itu sangat jauh. Berhati-hati lah.” balas Olivia. “Kamu tau tempatnya?” Barra terheran, perasaan dirinya tidak menceritakan di mana tempat diasingkannya Amanda. “Tau. Tadi Pak Jefri sudah memberitahu. Aku juga tau kalau anda telah menculik anak Vincent untuk membuat dia terpaksa pergi ke tempat itu untuk mencari tau tentang ibuku!” Barra terkejut. Ia lirik Jefri yang tertunduk, takut. “Jangan marah pada Pak Jef. Beliau cuma memberitahu karena aku desak. Gak ada salahnya aku tau kan?” Ucap Olivia dengan nada tersirat. Barra menghela napas, hingga akhirnya mengangguk. “Pergilah. Aku do'akan semua berjalan lancar.” “Ya. Saya pergi dulu. Ayo Jef!” Barra beranjak pergi, cukup buru-buru. Ia melangkah lebih dulu, tak mau terlambat. “Kami pergi Nyonya...” Ucap Jefri pada Olivia, hingga a
[Oh, begitu. Saya mengerti. Saya pun sebagai seorang anak, kalau sudah terpisah selama belasan tahun, pasti akan memaksa untuk ikut menjemput ibu saya. Apapun itu rintangannya!] “Itu sebabnya aku mau minta pertolongan kamu. Aku ingin Sekarang juga kita ke sana. Kamu bisa bantu aku kan, Mal?” [Ke sana? Apa Mbak sudah tau posisi pastinya? Saya siap membantu jika memang Mbak yakin!] “Aku tau, Mal. Aku udah mendapatkan lokasi pastinya dari asisten Bos aku. Kita akan menempuh perjalanan yang cukup lama. Tapi tenang aja. Untuk menghemat waktu di perjalanan, kita akan gunakan fasilitas yang ada. Aku punya uang. Kita sewa private jet, lalu setibanyak di daerah itu, kita akan gunakan helikopter untuk menempuh perjalanan memasuki pulau kecil tempat Ibuku diasingkan. Aku cuma butuh beberapa orang bodyguard untuk melindungiku. Kamu bisa menyiapkannya secepat mungkin Mal?” [Bisa. Saya punya link untuk menyewa jasa bodyguard profesional. Akan segera saya siapkan!] “Ok. Sekarang udah pukul
“Jadi selama ini Nyonya tidak depresi seperti yang semua orang lihat? Siapa saja yang tau tentang ini?” tanya Vincent antusias. “Kamu dan sus Nia. Hanya kalian berdua yang boleh tau. Bahkan Azalea tidak tau. Aku tidak percaya padanya! Dan aku minta, kamu juga merahasiakan tentang ini sebelum pasti pertolongan yang datang!” Vincent terperangah, hingga akhirnya manggut-manggut, paham. Wanita di hadapannya ini cukup mengejutkan. Amanda sepertinya bukan wanita biasa yang lemah. “Kamu belum menjawab. Apakah benar Barra Malik Virendra suami putriku? Bukankah dia dan Azalea saling mencintai seperti yang Azalea katakan?” Tanya Amanda lagi, ingin mendengar penjelasan dari bibir Vincent. “Benar Nyonya. Pak Barra sendiri yang mengatakan pada saya bahwa dia adalah menantu Nyonya. Saya tadi sudah berhasil menghubunginya dan keberadaan kita sudah diketahui Pak Barra. Mungkin besok pagi-pagi sekali Pak Barra dan orang-orangnya sudah tiba di sini untuk menyelamatkan Nyonya. Itu pesan Pak Barra
“Jangan lakukan itu Laksmana! Aku tidak akan membiarkan kamu melakukannya!” Azalea menahan kepergian Amanda. “Bawa dia ke kamar!” Titah Laksmana pada anak buahnya yang lain. Ingin Azalea dibawa ke kamar mereka. “Aku tidak mauu... Aku tidak sudi kamu sentuh! Lepaskan!” Azalea meronta, tak mau dibawa. “Jangan melawan sayang. Tunggu aku di kamar ya. Aku pastikan kamu malam ini bahagia dan puas, sampai tak berdaya...” Laksmana tertawa terkekeh, ia akan lakukan pekerjaannya terhadap Amanda dulu. Barulah menikmati indahnya waktu bersama wanita cantik itu. DOORRR!! Semua terkejut mendengar suara tembakan dari arah luar bersahut-sahutan. “Apa itu??!” Laksmana tak kalah kaget hingga panik. “Bos, sepertinya ada yang menyerang tempat ini. Sekarang sedang terjadi baku tembak di luar...” Ucap salah seorang anak buah Laksmana setelah menerima pesan di HT dari pimpinan para penjaga di bagian depan villa. “ADA YANG MENYERANG??” Laksmana terperanjat, seakan tak bisa mempercayai apa yang te
“Ya Tuhan!!” Sus Nia mematung. Listrik tiba-tiba padam, kamar menjadi gelap tak ada cahaya. Sedang pagi belum juga memberikan penerangan. “Apa yang terjadi? Kenapa bisa begini??” Sus Nia menangis, bagaimana nasibnya setelah ini? Jika Amanda dan Vincent telah dibawa Barra, lalu dirinya? Mereka akan pergi dari pulau ini, sedang dirinya terkurung seorang diri di kamar Amanda di lantai paling atas yang tak akan mungkin lagi didatangi orang. Apalagi jika semua anak buah Laksmana telah habis, itu artinya pulau ini tak akan berpenghuni lagi. Dirinya akan mati terkurung di kamar ini seorang diri, tanpa ada yang tahu dan peduli. Sementara itu... “Hati-hati melangkah, Nyonya. Rumah ini gelap sekali...” Bisik Vincent. Sepertinya Laksmana memang sengaja mematikan listrik agar musuh di luar sana tak melihat mereka melakukan tembakan balasan. “Kita akan bersembunyi di mana, Vincent? Keluar dari villa ini mustahil. Sangat berbahaya untuk kita karena sedang terjadi baku tembak. Kita bisa ter
“Kalian mau apa!!!” Laksmana dengan cepat menodongkan senjatanya ke arah orang-orang Barra, namun Barra lebih dulu menembak tangannya hingga senjata api milik pria kemaruk itu terlepas dari genggamannya. “Aargh tanganku...” Erang Laksmana kesakitan. Tangannya mengeluarkan darah, rasa sakitnya luar biasa. Dua anak buah Barra dengan sigap langsung mengangkat paksa tubuh Laksmana, membaringkannya ke atas bed yang telah tersedia di sana. “JANGAN... JANGAN LAKUKAN INI PADAKU...!!!” Pekik Laksmana histeris, takut hingga tubuhnya bergetar hebat. Barra hanya dia memandangi dengan matanya yang tajam seakan menembus jantung Laksmana. Dirinya sudah tak sabar untuk membalas semua perbuatan pria licik itu selama ini. “Tuan Barra... Aku mohon, tolong lepaskan aku... Aku janji, aku tidak akan ganggu lagi Amanda maupun Olivia. Aku khilaf... Mereka adalah sepupu dan keponakanku, aku juga tak ada niat untuk menyakiti mereka. Ini hanya masalah keluarga kecil. Aku_” “DIAM!!” Bentak Barra, muak. “B
Azalea berjalan dari lorong dapur dengan menahan rasa sakit di perutnya, lukanya semakin perih terasa. Tangan kanannya yang berlumuran darah, menutup luka di perut. Sedang tangan kiri memegang p*stol yang ia ambil dari mayat anak buah Laksmana. Ia menaiki anak tangga menuju suara pekikan keras di lantai dua. Ia yakin itu adalah suara Laksmana yang disiksa Barra, cintanya. Sementara itu... Laksmana sudah tak berdaya, tubuhnya melemas. Barra benar-benar berhati kejam. Pemuda itu menyiksanya tanpa ampun seperti seorang psycho. Seluruh tulang-tulang di tubuhnya seakan remuk bahkan seperti hancur karena tak terasa lagi menopang tubuhnya. Pandangannya memudar, kepalanya sakit berdenyut kuat, jantungnya hampir saja pecah kalau tadi Barra tak menghentikan aliran listrik yang mengalir di tubuhnya. “Bagaimana? Sudah tidak kuat? Apa sebaiknya kita akhiri saja permainan ini secepatnya? Aku rasa kau sudah bisa berpindah ke alam lain. Aku juga tidak minat berlama-lama bermain-main denganmu
Olivia terus saja berjalan melewati Barra tanpa menyapa atau mengatakan sesuatu padanya. Istrinya itu melihatnya seolah sedang menggendong mesra Azalea. Olivia bisa salah paham. Jefri dan Vincent ikut tak enak hati. Ada aura yang tidak baik tengah terjadi saat ini. Olivia mendekati Amanda yang berdiri tertegun menatapnya. Ia berhenti tepat di hadapan sang ibu, lalu membuka kacamata hitamnya. Amanda terkejut saat melihat air mata Olivia bergenang di pelupuk mata indah putri cantiknya itu. “Bu...” Ucap Olivia dengan lirih, ia tengah menahan berbagai rasa di dadanya. Rasa haru, bahagia, rindu tak terbendung. Amanda mendekat, semakin maju melangkah. “Bu, ini ibu kan? Oliv ingat wajah ibu, sampai kapanpun Oliv gak akan pernah melupakan wajah cantik ibu... Walaupun kita terpisah sejak Oliv masih kecil, tapi wajah ibu selalu ada di hati Oliv...” Ungkap Olivia dengan air mata yang akhirnya lolos juga di pipi mulusnya. Olivia menangis. “Ini Oliv, Bu... Putri ibu satu-satunya... Ibu inga
“Udah, Sayang. Oliv jangan terlalu banyak diajak bicara. Lihatlah dia masih pucat sama lemas gitu,” tegur Virendra, ingin menghentikan Syafira yang masih saja mengajak Olivia mengobrol. Virendra begitu iba melihat menantu perempuannya dalam keadaan lelah. Pasti sangat sangat capek dan inginnya tidur tenang untuk merehatkan badan setelah berjuang melahirkan bayi yang ditunggu-tunggu oleh kedua belah pihak keluarga. “Waduh, maafkan Mommy ya Sayang. Kamu jadi terganggu,” Ucap Syafira pada Olivia. “Enggak kok, Mom.” Olivia terkekeh, dirinya malah selalu senang jika ibu mertuanya itu ada. Membuat suasana semakin hidup dan ramai. Syafira mengusap lembut lengan menantunya, kemudian mendekati Amanda yang berdiri di samping box bayi Olivia. Virendra mengambil kesempatan. la dekati Olivia, lalu membelai dan mengecup pucuk kepala menantunya. “Istirahat yang cukup ya, Nak,” ucapnya lembut, tersenyum dengan sorot mata penuh kasih sayang. “Ya, Dad,” Jawab Olivia ikut tersenyum. Di saat
Olivia ditempatkan di ruang rawatan President Suite-Royal Hospital dengan segala fasilitas lengkapnya. Aroma harum khas bayi baru lahir, menyebar ke seluruh penjuru ruangan, memberi ketenangan tersendiri. Ibu muda itu berbaring dengan kepala sedikit ditinggikan di atas tempat tidur pasien, tubuhnya nyaman ditutupi selimut halus. Di sampingnya, Barra duduk sambil menggenggam tangannya dengan mesra. Mata pria yang kini telah resmi menjadi seorang ayah itu, tak lepas memandangi wajah lelah Olivia yang tampak sedikit pucat. Cinta dan perhatian tergambar jelas dalam tatapan hangat Barra. la sesekali mengecup tangan Olivia, menunjukkan dukungan dan kasih sayang yang semakin besar saja pada istrinya itu. Rasa bangga terhadap Olivia yang telah melahirkan buah cinta mereka, kian membuncah. Sedang Olivia yang telah melewati proses persalinan, tampak lelah namun sumringah. Mata sayunya tertuju pada bayi yang kini berada dalam dekapan sang kakek. Tampak bayi mungil mereka tertidur lelap d
Dengan hati-hati, Barra membantu Olivia berjalan ke mobil, sambil terus memastikan bahwa istrinya itu merasa nyaman. “Udah yakin gak ada yang tertinggal, Sayang?” tanya Amanda sebelum pintu mobil ditutup. “InsyaAllah yakin, Bu.” “Ok. Jagain Oliv ya Bar. Ibu dan Kakek di belakang ngikutin mobil kalian.” “Ya, Bu.” Barra mengangguk, berdebar-debar karena Olivia menahan sakit sambil menggenggam kuat jemarinya. Amanda menutup pintu mobil Barra dari luar. Mobil pun segera melaju, menuju rumah sakit Royal Hospital. Amanda dan Tuan Rawless dengan mobil mereka sendiri, akan ikut ke rumah sakit untuk menunggui persalinan Olivia. Wajah keduanya cukup tegang, ini waktunya cucu Amanda sekaligus cicit Tuan Rawless akan hadir ke dunia ini. Sebentar lagi. Hujan masih terus mengguyur, menambah dramatis perjalanan mereka ke rumah sakit di dini hari yang dingin dan basah itu. “Aduh Mas, makin sakiiiit...” Olivia menggenggam erat tangan Barra. Kontraksinya terasa semakin kencang daripada sebelumn
_Dua bulan kemudian_ Pukul 01.00 wib. Suara gemericik hujan di luar jendela kediaman Rawless, semakin membuat malam terasa pekat. Di dalam kamar yang temarm oleh lampu tidur, Barra dan Olivia masih berbaring di bawah selimut tebal yang membalut tubuh keduanya. AC yang sejak awal diatur dengan suhu rendah, menambah kesejukan ruang kamar yang luas itu, serasi dengan dinginnya malam yang diselimuti hujan. Olivia dengan perutnya yang besar menonjol, tidur miring ke kiri membelakangi Barra dengan kepala bertumpu pada lengan suaminya sebagai bantal empuk. Sedang Barra memeluknya dari belakang, seperti salah satu kebiasaan mereka saat tidur. “Uugh...” Olivia mulai menggeliat. Rasa tak nyaman di perut yang dirasakannya sebelum tidur tadi, kembali lagi, malah semakin intens. Perutnya seperti mengencang, seakan menjadi sebuah tanda bahwa kontraksi sesungguhnya telah dimulai. “Nak, kok gerak-gerak terus ya? Apa udah mau lahir?” lirihnya dengan mengusap-usap perut. Dengan wajah meringis
Tampak penghulu datang, langsung disambut ramah oleh Tuan Rawless, Virendra dan Haris. Setelah berbasa basi, semuanya akhirnya duduk di tempat masing-masing. Penghulu, Barra dan Tuan Rawless sebagai saksi nikah. Yang terpenting, Jefri dan Haris duduk berhadap-hadapan untuk mengucapkan ijab qobul sebentar lagi. Sementara keluarga besar sudah menempati kursi mereka masing-masing, ikut tak sabar menyaksikan acara sakral ini. Tak berselang lama, Syafira dan Ayuma masuk ke dalam ballroom hotel. Suara riuh hadirin di dalam ruangan megah itu, sontak menarik perhatian Jefri. Ada ungkapan takjub dengan melafazkan kalimat MasyaAllah, terdengar dari suara-suara mereka yang melihat ke arah pintu masuk. Degup Degup Jantung Jefri berdegup sekencang mungkin. la menelan saliva, matanya tak berkedip. Clarissa masuk digandeng Syafira dan Ayuma, itu gadis yang sebentar lagi akan ia halalkan. Tak sampai hitungan jam lagi. ‘Ya Allah!’ ‘Indahnya cıptaanMu...’ Batin Jefri, terpesona melihat calon
Tiga minggu berlalu... Ballroom hotel bintang lima tempat Jefri dan Clarissa akan melangsungkan akad nikah sekaligus resepsi pernikahan, telah bertransformasi menjadi sebuah mahakarya keindahan, seperti sebuah istana mewah bak pernikahan putri raja. Di sekeliling ballroom, meja-meja tamu tersusun rapi dan elegan, ditata dengan linens putih bersih dan peralatan makan perak yang berkilau, dihiasi centerpiece yang terdiri dari bunga-bunga segar dan lilin-lilin yang menambahkan nuansa romantis. Di setiap sudutnya, terdapat rangkaian bunga yang mewah berwarna-warni sedemikian rupa, menambah semerbak aroma floral yang menggoda indra. Di bagian depan ballroom, sebuah meja berukuran sedang namun unik, telah disiapkan dengan kursi spesial untuk calon pengantin pria yang akan melangsungkan ijab qobul bersama wali nikah pengantin perempuan, tak lupa kursi khusus penghulu dan dua orang saksi nikah. Atmosfer di aula ini bukan hanya tentang keindahan visual, namun juga perasaan penuh harapan y
Kini mereka tengah berkumpul di kediaman Virendra sambil mengobrol. Jefri yang sudah disuruh beristirahat oleh sang Mommy, masih tetap bergabung dalam obrolan meski hanya menjadi pendengar. Wajahnya tampak tegang, sedikit gugup. “Jef, kamu kenapa? Dari tadi diem aja, disuruh rehat gak mau.” Syafira terheran melihat raut wajah gugup pemuda yang sudah ia anggap sebagai putra keduanya itu. “Um, Mommy, Daddy,” Jefri mencoba menetralkan sikap, harus tetap tenang. “Tell us. Kamu biasanya kalau mau ngomong sesuatu, gak pake basa basi, Jef. Kenapa sekarang gugup gitu, ada masalah lain?” Virendra cukup penasaran melihat ekspresi tegang Jefri. “Begini. Ada yang mau Jef sampaikan.” Jefri menatap satu persatu wajah Virendra dan Syafira yang menunggu apa yang akan ia sampaikan. “Jangan bikin Mommy penasaran ah, Jef! Cepetan ngomongnya,” Desak Syafira. Sudah tahu dirinya tak bisa dibuat penasaran. Jiwa keponya berontak. Jefri menarik napas dalam-dalam, membuat Syafira semakin penasaran. “Dad
“Dan sekarang, saya semakin yakin kalau saya tidak bisa kehilangan Nona Clarissa. Saya ingin bersamanya, memilikinya sebagai istri saya. Karena tidak mau membuang-buang waktu lagi, begitu tau Nona Clarissa akan meninggalkan Indonesia, saya langsung bergegas menyusul ke Bandara untuk membawanya kembali bersama saya. Tidak akan saya lepaskan lagi dia. Akan saya perjuangkan dia dengan cara mengikatnya ke dalam ikatan yang halal, karena saya sangat mencintainya, lebih dari segalanya. Sudah cukup bagi saya untuk mengenal kepribadiannya, tahu tentang harapan dan mimpinya, dan saya ingin menjadi bagian dari itu semua. Saya tidak hanya mencintai dia, tapi juga menghormati dia sebagai individu. Saya siap berbagi suka dan duka bersamanya, di setiap langkah yang akan kami tempuh bersama.” Jefri berucap dengan sorot mata penuh keseriusan, mengungkapkan seluruh perasaan dan keinginannya. Tanpa sadar, rasa gugup dan khawatir akan ditolak, menghilang begitu saja. Berganti menjadi rasa percaya diri d
“Begitupun saya, Nona. Sejak kecil, saya selalu berharap ada pasangan suami istri yang mau mengambil saya menjadi anak mereka, tetapi tidak pernah dilirik sama sekali. Mungkin karena saya kurus seperti anak kurang gizi. Dekil dan sering sakit dibanding anak panti lainnya. Tidak ada yang tertarik untuk mengadopsi saya. Tidak ada kelebihan yang saya punya selain otak yang mampu, tapi tidak seimbang dengan fisik saya yang lemah. Setelah bersama Pak Barra, saya berubah menjadi seperti sekarang. Kuat dan bisa beliau andalkan. Kalau tidak bertemu beliau dan Tuhan tidak menggerakkan hatinya untuk memasukkan saya ke dalam keluarga Virendra, mungkin sekarang pun saya juga bukan siapa-siapa. Belum tentu saya bisa bertemu circle orang-orang hebat. Dan belum tentu saya bisa bertemu dengan Nona,” Jefri menatap wajah Clarissa. Mata Gadis itu tengah berkaca-kaca mendengar kisah hidupnya. “Kamu hebat! Kamu pantas dipertemukan dengan orang-orang hebat pula seperti Pak Barra dan keluarga Virendra. Aku