PUNCAK-BOGOR, Pukul 17.30 WIB Olivia dan Amanda, beserta rombongan, sedang dalam perjalanan menggunakan mobil setelah dari Bandara. Tak berselang lama, mobil melaju perlahan memasuki area villa yang terletak di puncak yang indah. Olivia dan Amanda saling bertatapan satu sama lain dengan senyum hangat mereka. Tangan keduanya tak pernah lepas sedikitpun, selalu bergenggaman seolah takut terpisah lagi. Saat mobil berhenti di depan sebuah villa, tatapan mereka terpaku pada pemandangan indah yang membentang di depan mata. Villa yang terletak di puncak bukit itu, tampak bagus dan teduh dengan udara yang segar. Dari jauh, terlihat kabut tipis menyelimuti kawasan itu, memberikan kesan damai sekaligus. Olivia tersenyum, ia dan Amanda akan seharian menikmati indahnya tempat ini dengan duduk di sana. “Nak, jadi kita akan tinggal di puncak?” tanya Amanda berbinar. Senyumnya tak pernah memudar sejak tadi. “Iya, Bu. Untuk sementara waktu, Olivia pengen menghabiskan waktu bersama ibu di te
Malam itu langit cerah dan bintang-bintang bersinar terang, seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan Olivia dan ibunya. Sus Nia, Amal, Vincent dan juga Adnan putranya, tak lupa Rendi dan Tomi yang mulai sekarang dipekerjakan sebagai bodyguard Olivia, ikut bercengkerama seru diiringi gelak tawa. Di halaman villa puncak yang luas, mereka semua duduk bersama di sekeliling meja yang telah dihias cantik. Olivia duduk berdampingan dengan Amanda, sang ibu. Berhadap-hadapan dengan yang lain. Api unggun yang menyala di dekat mereka menghangatkan suasana, menambah keakraban dalam kebersamaan. Semua orang tertawa lepas dan bercanda, menikmati makan malam yang lezat sambil bercerita tentang kisah-kisah masa lalu yang mengharukan dan lucu. Amanda tersenyum melihat putri semata wayangnya ternyata telah tumbuh dewasa dan secantik ini. Ia bangga sekali. Matanya acap kali terfokus pada wajah Olivia yang banyak tersenyum, benar-benar cantik paripurna. Kagumnya ia. Mereka menikm
“Apa pernah Barra menyatakan langsung kalau dia membatalkan kesepakatan itu?” tanya Amanda menahan emosi. Olivia menggeleng. “Oliv pikir dengan dia mengatakan ingin menjalani pernikahan kami dengan sungguh-sungguh, sudah cukup untuk membatalkan kesepakatan itu.” Jawabnya dengan wajah sendu. “Gak bisa gitu Nak! Sebagai suami, dia harus tegas. Seorang Istri butuh kepastian. Dia bilang mau bersama kamu karena tidak menyangka Azalea kembali. Dan sekarang lihat! Di matanya hanya ada Azalea, di depan kamu dengan santainya menggendong perempuan itu. Azalea juga memeluk dia seolah-olah mereka berdua adalah sepasang sejoli yang tidak bisa terpisahkan lagi. Ibu bisa melihat dengan mata kepala ibu sendiri!” Olivia lagi-lagi terbungkam, dirinya juga bisa melihat hal yang sama. “Olivia!” Ucap Amanda dengan raut wajah seserius mungkin. Olivia menatap Amanda, sendu. “Tinggalkan Barra Malik Virendra! Sesuai kesepakatan, maka kamu pergi dari hidupnya, sejauh mungkin! Cukup bersama ibu, kamu tid
“Olivia, dengar ibu!” Amanda menatap tajam Olivia. Wajahnya menunjukkan ketegasan.“Ada tiga opsi, Nak!” lanjut Amanda. Olivia mengernyitkan dahi, mencerna ucapan ibunya. “Opsi pertama, Barra tetap pada kesepakatan di awal bahwa akan mengakhiri pernikahan kalian setelah Azalea kembali!” Ujarnya.Olivia menyimak, menahan perasaan yang tak menentu di dada. “Opsi kedua, dia tetap meneruskan pernikahan kalian seperti yang dia katakan. Tapi, dia juga akan menikahi Azalea. Sehingga kamu harus rela dimadu!”Deg!Olivia terkesiap, di poligami? “Tapi Bu, mustahil Pak Barra akan poligami. Mommy sama Daddy pasti gak akan setuju...” Olivia serasa mau menangis. Dirinya tak sanggup jika harus berbagi suami. Ia tak sekuat itu. “Peduli apa Virendra dan Syafira mau setuju atau tidak, Nak? Barra mencintai Azalea, dia pasti akan melakukan berbagai cara untuk bisa rujuk kembali bersama mantan istrinya itu. Bisa aja dia menikahi Azalea diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuanya!” Amanda menatap seriu
“Ini handphonenya, Mbak...” Penjaga villa menyerahkan ponselnya pada Olivia. “Pinjam sebentar ya, Pak.” Ucap Olivia, meminta izin. “Monggo...” Sang penjaga mempersilahkan. Olivia langsung menelepon ke UD Entertainment, meminta disambungkan ke Sekretaris Barra tanpa mau menyebut siapa dirinya. [Selamat pagi dengan Syifa sekretaris CEO di sini. Ada yang bisa dibantu?] “Selamat pagi, Mbak. Um, Pak Barra Malik Virendra ada?” Olivia bertanya dengan sopan. [Saat ini Pak Barra tidak ada di kantor] “Oh begitu? Beliau sedang di mana ya? Kapan saya bisa membuat janji untuk bertemu?” [Maaf, ini dengan siapa, Bu?] “Temannya, cuma ingin bertemu saja.” Olivia beralasan. [Belum bisa dipastikan. Pak Barra sedang berada di rumah sakit] “Apa beliau sakit?” Nafas Olivia seakan tertahan. [Bukan Pak Barra, tetapi teman dekat beliau katanya. Jika ada pesan, boleh ditinggalkan. Nanti saya sampaikan] “Oh, tidak ada sih. Lain kali saja. Um, kalau boleh tau rumah sakit mana ya? Saya susulin ke
“Aku bahagia kamu akan menceraikan Olivia...”“Aku siap kembali ke pelukan kamu. Ayo kita secepatnya rujuk, sayang...”“Aku bukan Azalea yang dulu, yang lebih mementingkan karier dan tidak mau memiliki anak. Ayo kita menikah, aku mau melahirkan anak-anak kamu. Aku mau menjadi ibu dari anak-anak kamu, Barra...”Azalea mengikis jarak di antara mereka, ia tatap wajah Barra penuh perasaan.“Kamu pasti merindukan aku...” Azalea perlahan menurunkan bajunya, ingin Barra melihat tubuh indahnya.“Aku juga ingin kamu sentuh seperti dulu lagi. Aku rindu kehangatan tubuh kamu. Aku ingin kita melakukannya di atas ranjang sepuasnya seharian, Barra...” Ungkapnya tak bisa membohongi diri sendiri. Barra sangat hebat di ranjang.“Ini di rumah sakit. Pintunya juga terbuka.” Ucap Barra menghentikan Azalea yang hampir melepaskan dress dari tubuh aduhai wanita itu.“Kalau begitu, kita lakukan di rumah baru aku yang kamu belikan. Kita lepaskan kerinduan kita ini. Aku sangat menginginkan kamu, sayangku...” A
Mobil hitam Alphard tiba di depan rumah.Pria dengan setelan jas kerja yang pas di tubuh tinggi tegapnya, turun dari mobil dengan sorot mata penuh amarah. Berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah.Olivia berada di ruang tengah, dapat ia dengar suara pintu terbuka. Tanpa ada ketukan terlebih dahulu. Siapa lagi jika bukan Elgard, suaminya. Hanya mereka berdua yang bisa masuk ke dalam rumah karena sistem keamanan pintu menggunakan sistem pengenalan bentuk wajah.Olivia dengan sikap tenang, berjalan menuju ruang tamu. Akan menemui suaminya yang tiba-tiba pulang ke rumah.Ya.. pria itu biasanya hanya datang sesekali, itupun tak pernah mau melihatnya yang selalu berusaha menyambut dengan senyum cerah. Berharap Elgard mau menetap di rumah yang ia tempati kini setelah resmi menjadi istri dari putra keluarga Nugroho tersebut.Elgard menghentikan langkah saat melihat Olivia telah berdiri di ruang tamu.Wanita itu menatap Elgard dengan raut wajah datar, tak berekspresi. Sudah tahu apa yang
~ CS Bridal Boutique ~ " Mbak Chelsea, ada mas Elgard di luar. Pengen bertemu mbak katanya..." Ucap seorang karyawati butik pada owner tempat ia bekerja. Chelsea membuang napas kasar, jengah. " Bilang saja saya gak ada, Elena!" Jawab Chelsea kembali meneruskan pekerjaannya, mendesain sebuah gaun pengantin. " Elena sudah bilang mbak, tapi mas Elgard nya gak percaya. Dia keukeuh nungguin mbak di depan. Penting katanya." Jelas Elena bingung. Chelsea mendecak, ia merasa tak ingin lagi bertemu Elgard. Apalagi setelah Olivia, istri pria itu mendatanginya dengan maksud melarang agar tidak lagi berhubungan dengan Elgard. Drrt.. Drrt.. Ponsel bergetar lagi. Sejak tadi selalu di hubungi oleh nomor Elgard, namun tak sekalipun ia angkat. Chelsea menggeser tombol merah, tanda tak ingin menerima panggilan telepon Elgard. Elena hanya bisa mengelus dada. Majikannya sedang bertengkar dengan kekasih yang merupakan suami orang. Wajar hubungan mereka tidak pernah berjalan lancar. Me
“Aku bahagia kamu akan menceraikan Olivia...”“Aku siap kembali ke pelukan kamu. Ayo kita secepatnya rujuk, sayang...”“Aku bukan Azalea yang dulu, yang lebih mementingkan karier dan tidak mau memiliki anak. Ayo kita menikah, aku mau melahirkan anak-anak kamu. Aku mau menjadi ibu dari anak-anak kamu, Barra...”Azalea mengikis jarak di antara mereka, ia tatap wajah Barra penuh perasaan.“Kamu pasti merindukan aku...” Azalea perlahan menurunkan bajunya, ingin Barra melihat tubuh indahnya.“Aku juga ingin kamu sentuh seperti dulu lagi. Aku rindu kehangatan tubuh kamu. Aku ingin kita melakukannya di atas ranjang sepuasnya seharian, Barra...” Ungkapnya tak bisa membohongi diri sendiri. Barra sangat hebat di ranjang.“Ini di rumah sakit. Pintunya juga terbuka.” Ucap Barra menghentikan Azalea yang hampir melepaskan dress dari tubuh aduhai wanita itu.“Kalau begitu, kita lakukan di rumah baru aku yang kamu belikan. Kita lepaskan kerinduan kita ini. Aku sangat menginginkan kamu, sayangku...” A
“Ini handphonenya, Mbak...” Penjaga villa menyerahkan ponselnya pada Olivia. “Pinjam sebentar ya, Pak.” Ucap Olivia, meminta izin. “Monggo...” Sang penjaga mempersilahkan. Olivia langsung menelepon ke UD Entertainment, meminta disambungkan ke Sekretaris Barra tanpa mau menyebut siapa dirinya. [Selamat pagi dengan Syifa sekretaris CEO di sini. Ada yang bisa dibantu?] “Selamat pagi, Mbak. Um, Pak Barra Malik Virendra ada?” Olivia bertanya dengan sopan. [Saat ini Pak Barra tidak ada di kantor] “Oh begitu? Beliau sedang di mana ya? Kapan saya bisa membuat janji untuk bertemu?” [Maaf, ini dengan siapa, Bu?] “Temannya, cuma ingin bertemu saja.” Olivia beralasan. [Belum bisa dipastikan. Pak Barra sedang berada di rumah sakit] “Apa beliau sakit?” Nafas Olivia seakan tertahan. [Bukan Pak Barra, tetapi teman dekat beliau katanya. Jika ada pesan, boleh ditinggalkan. Nanti saya sampaikan] “Oh, tidak ada sih. Lain kali saja. Um, kalau boleh tau rumah sakit mana ya? Saya susulin ke
“Olivia, dengar ibu!” Amanda menatap tajam Olivia. Wajahnya menunjukkan ketegasan.“Ada tiga opsi, Nak!” lanjut Amanda. Olivia mengernyitkan dahi, mencerna ucapan ibunya. “Opsi pertama, Barra tetap pada kesepakatan di awal bahwa akan mengakhiri pernikahan kalian setelah Azalea kembali!” Ujarnya.Olivia menyimak, menahan perasaan yang tak menentu di dada. “Opsi kedua, dia tetap meneruskan pernikahan kalian seperti yang dia katakan. Tapi, dia juga akan menikahi Azalea. Sehingga kamu harus rela dimadu!”Deg!Olivia terkesiap, di poligami? “Tapi Bu, mustahil Pak Barra akan poligami. Mommy sama Daddy pasti gak akan setuju...” Olivia serasa mau menangis. Dirinya tak sanggup jika harus berbagi suami. Ia tak sekuat itu. “Peduli apa Virendra dan Syafira mau setuju atau tidak, Nak? Barra mencintai Azalea, dia pasti akan melakukan berbagai cara untuk bisa rujuk kembali bersama mantan istrinya itu. Bisa aja dia menikahi Azalea diam-diam tanpa sepengetahuan orang tuanya!” Amanda menatap seriu
“Apa pernah Barra menyatakan langsung kalau dia membatalkan kesepakatan itu?” tanya Amanda menahan emosi. Olivia menggeleng. “Oliv pikir dengan dia mengatakan ingin menjalani pernikahan kami dengan sungguh-sungguh, sudah cukup untuk membatalkan kesepakatan itu.” Jawabnya dengan wajah sendu. “Gak bisa gitu Nak! Sebagai suami, dia harus tegas. Seorang Istri butuh kepastian. Dia bilang mau bersama kamu karena tidak menyangka Azalea kembali. Dan sekarang lihat! Di matanya hanya ada Azalea, di depan kamu dengan santainya menggendong perempuan itu. Azalea juga memeluk dia seolah-olah mereka berdua adalah sepasang sejoli yang tidak bisa terpisahkan lagi. Ibu bisa melihat dengan mata kepala ibu sendiri!” Olivia lagi-lagi terbungkam, dirinya juga bisa melihat hal yang sama. “Olivia!” Ucap Amanda dengan raut wajah seserius mungkin. Olivia menatap Amanda, sendu. “Tinggalkan Barra Malik Virendra! Sesuai kesepakatan, maka kamu pergi dari hidupnya, sejauh mungkin! Cukup bersama ibu, kamu tid
Malam itu langit cerah dan bintang-bintang bersinar terang, seolah turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan Olivia dan ibunya. Sus Nia, Amal, Vincent dan juga Adnan putranya, tak lupa Rendi dan Tomi yang mulai sekarang dipekerjakan sebagai bodyguard Olivia, ikut bercengkerama seru diiringi gelak tawa. Di halaman villa puncak yang luas, mereka semua duduk bersama di sekeliling meja yang telah dihias cantik. Olivia duduk berdampingan dengan Amanda, sang ibu. Berhadap-hadapan dengan yang lain. Api unggun yang menyala di dekat mereka menghangatkan suasana, menambah keakraban dalam kebersamaan. Semua orang tertawa lepas dan bercanda, menikmati makan malam yang lezat sambil bercerita tentang kisah-kisah masa lalu yang mengharukan dan lucu. Amanda tersenyum melihat putri semata wayangnya ternyata telah tumbuh dewasa dan secantik ini. Ia bangga sekali. Matanya acap kali terfokus pada wajah Olivia yang banyak tersenyum, benar-benar cantik paripurna. Kagumnya ia. Mereka menikm
PUNCAK-BOGOR, Pukul 17.30 WIB Olivia dan Amanda, beserta rombongan, sedang dalam perjalanan menggunakan mobil setelah dari Bandara. Tak berselang lama, mobil melaju perlahan memasuki area villa yang terletak di puncak yang indah. Olivia dan Amanda saling bertatapan satu sama lain dengan senyum hangat mereka. Tangan keduanya tak pernah lepas sedikitpun, selalu bergenggaman seolah takut terpisah lagi. Saat mobil berhenti di depan sebuah villa, tatapan mereka terpaku pada pemandangan indah yang membentang di depan mata. Villa yang terletak di puncak bukit itu, tampak bagus dan teduh dengan udara yang segar. Dari jauh, terlihat kabut tipis menyelimuti kawasan itu, memberikan kesan damai sekaligus. Olivia tersenyum, ia dan Amanda akan seharian menikmati indahnya tempat ini dengan duduk di sana. “Nak, jadi kita akan tinggal di puncak?” tanya Amanda berbinar. Senyumnya tak pernah memudar sejak tadi. “Iya, Bu. Untuk sementara waktu, Olivia pengen menghabiskan waktu bersama ibu di te
Olivia terus saja berjalan melewati Barra tanpa menyapa atau mengatakan sesuatu padanya. Istrinya itu melihatnya seolah sedang menggendong mesra Azalea. Olivia bisa salah paham. Jefri dan Vincent ikut tak enak hati. Ada aura yang tidak baik tengah terjadi saat ini. Olivia mendekati Amanda yang berdiri tertegun menatapnya. Ia berhenti tepat di hadapan sang ibu, lalu membuka kacamata hitamnya. Amanda terkejut saat melihat air mata Olivia bergenang di pelupuk mata indah putri cantiknya itu. “Bu...” Ucap Olivia dengan lirih, ia tengah menahan berbagai rasa di dadanya. Rasa haru, bahagia, rindu tak terbendung. Amanda mendekat, semakin maju melangkah. “Bu, ini ibu kan? Oliv ingat wajah ibu, sampai kapanpun Oliv gak akan pernah melupakan wajah cantik ibu... Walaupun kita terpisah sejak Oliv masih kecil, tapi wajah ibu selalu ada di hati Oliv...” Ungkap Olivia dengan air mata yang akhirnya lolos juga di pipi mulusnya. Olivia menangis. “Ini Oliv, Bu... Putri ibu satu-satunya... Ibu inga
Azalea berjalan dari lorong dapur dengan menahan rasa sakit di perutnya, lukanya semakin perih terasa. Tangan kanannya yang berlumuran darah, menutup luka di perut. Sedang tangan kiri memegang p*stol yang ia ambil dari mayat anak buah Laksmana. Ia menaiki anak tangga menuju suara pekikan keras di lantai dua. Ia yakin itu adalah suara Laksmana yang disiksa Barra, cintanya. Sementara itu... Laksmana sudah tak berdaya, tubuhnya melemas. Barra benar-benar berhati kejam. Pemuda itu menyiksanya tanpa ampun seperti seorang psycho. Seluruh tulang-tulang di tubuhnya seakan remuk bahkan seperti hancur karena tak terasa lagi menopang tubuhnya. Pandangannya memudar, kepalanya sakit berdenyut kuat, jantungnya hampir saja pecah kalau tadi Barra tak menghentikan aliran listrik yang mengalir di tubuhnya. “Bagaimana? Sudah tidak kuat? Apa sebaiknya kita akhiri saja permainan ini secepatnya? Aku rasa kau sudah bisa berpindah ke alam lain. Aku juga tidak minat berlama-lama bermain-main denganmu
“Kalian mau apa!!!” Laksmana dengan cepat menodongkan senjatanya ke arah orang-orang Barra, namun Barra lebih dulu menembak tangannya hingga senjata api milik pria kemaruk itu terlepas dari genggamannya. “Aargh tanganku...” Erang Laksmana kesakitan. Tangannya mengeluarkan darah, rasa sakitnya luar biasa. Dua anak buah Barra dengan sigap langsung mengangkat paksa tubuh Laksmana, membaringkannya ke atas bed yang telah tersedia di sana. “JANGAN... JANGAN LAKUKAN INI PADAKU...!!!” Pekik Laksmana histeris, takut hingga tubuhnya bergetar hebat. Barra hanya dia memandangi dengan matanya yang tajam seakan menembus jantung Laksmana. Dirinya sudah tak sabar untuk membalas semua perbuatan pria licik itu selama ini. “Tuan Barra... Aku mohon, tolong lepaskan aku... Aku janji, aku tidak akan ganggu lagi Amanda maupun Olivia. Aku khilaf... Mereka adalah sepupu dan keponakanku, aku juga tak ada niat untuk menyakiti mereka. Ini hanya masalah keluarga kecil. Aku_” “DIAM!!” Bentak Barra, muak. “B