"Kau mencintaiku?"Zelda seketika terlihat gelisah dan kebingungan. Kenapa Marvin harus menanyakan hal seperti ini padanya? Cik, Zelda tidak tahu harus menjawab apa? Kata orang definisi cinta itu sangat mudah, tetapi bagi Zelda– dia bahkan tidak tahu apa yang dikatakan dengan cinta. Zelda tidak tahu wujud dari cinta itu sendiri dan bagaimana cara mengetahui keberadaannya, Zelda juga tidak paham. Jadi-- dia ragu dan dia bingung pada cinta!"Humm." Marvin tiba-tiba berdehem, tiba-tiba mengulurkan tangan ke atas kepala Zelda– membelainya dengan penuh kasih sayang, menatap Zelda lembut dan hangat, "aku tidak memaksamu untuk mencintaiku sekarang juga. Tetapi … jangan mencoba untuk mencintai pria selain aku, Zelda. Kupastikan kau menerima akibatnya jika itu terjadi," ucap dan peringat Marvin, berbanding dengan tatapannya yang hangat dan lembut. "I--iya, Mas Marvin," cicit Zelda pelan. "Humm." Lagi-lagi Marvin berdehem pelan, melepas kaitan tangannya di pinggang Zelda kemudian berniat ber
Sekalipun para temannya tahu Zelda ke kantor tanpa pamit, tetap saja mereka memaksa Zelda untuk ikut ke sana. Namun, Zelda menolak untuk ikut perlombaan band di festival tersebut. "Cik, Paman menelpon gue," bisik Zelda pada Reca, kemudian tanpa menunggu tanggapan dari Reca dia langsung menjauh dari keramaian.Setelah menemukan tempat yang cukup sepi, barulah Zelda mengangkat telpon dari Marvin tersebut. "Ha--halo …," cicit Zelda, menempelkan ponsel di telinga. Dia terlihat gugup dan tegang, takut pada Marvin. Suaminya tersebut tidak di sini, tetapi Zelda bisa merasakan aura mengerikan dari sosok tersebut. 'Kau di mana, humm?' tanya Marvin dari seberang sana. Suaranya dingin, tegas dan … menakutkan bagi Zelda. Pasti Mas Marvin sudah tahu jika aku tidak di rumah. Cik, aku dalam masalah.' batin Zelda, meneguk saliva dengan kasar susah payah. "Aku … di--di festival musik taman kota, Mas," cicit Zelda pelan dan takut. 'Kau membantahku.' "Tapi aku sudah baik-baik saja, Mas. Dan … band
Dalam perjalanan pulang, Marvin hanya diam dan bahkan ketika telah sampai di rumah Marvin masih tetap diam. Sedangkan Zelda, dia tentunya tak berani berbicara pada Marvin, memilih untuk diam namun terus melirik-lirik Marvin. Ceklek'Zelda masuk dalam kamar, disusul oleh Marvin; di mana perempuan itu langsung menutup pintu dan tiba-tiba saja menarik Zelda, mencekal pergelangan tangan Zelda dengan kuat kemudian menyeretnya secara paksa ke dalam kamar mandi. Syur'Marvin menyalakan shower, langsung membasahi tubuhnya dan Zelda yang berada di bawah. "Haruskah kau memakai baju dari laki-laki lain, Zelda Amira Abelard?" rendah Marvin, nadanya serak dan sangat pelan– namun sangat dingin serta menusuk hingga ke tulang-tulang. Bahkan, air yang mengguyur tubuh Zelda saat ini kalah dingin dengan suara Marvin. "Kau membantah perkataanku," ucap Marvin lagi, satu tangannya memeluk pinggang Zelda dan satu lagi membelai dengan ringan dan halus pinggiran wajah Zelda. Perlakuannya sangat lembut da
"Berkedip." "Hah?" Zelda terlihat bengong dan bingung, mengerutkan kening sembari menatap Marvin dengan air muka konyol dan sepat. Namun, ketika paham dengan ucapan singkat Marvin, Zelda sontak menghadap depan– menunduk untuk menyembunyikan wajahnya yang sudah semerah tomat dan matanya yang membulat sempurna. 'Mas Marvin tahu jika aku terpesona yah? Makanya dia menyuruhku berkedip?' batin Zelda, masih menundukkan kepala untuk mengatur rasa canggung serta gugup yang menyelimuti dirinya. "Amore, are you okay?" tanya Marvin tiba-tiba, di mana pria itu sudah berada di depan Zelda– setengah duduk di atas meja. Satu tangannya menyentuh pundak Zelda dan satu lagi menghapit dagu, menaikkan kepala perempuan tersebut untuk bersitatap dengannya. "Kenapa?" ulang Marvin. "Itu-- aku hanya pusing, Mas. Desainku sampai sekarang belum jadi. Padahal waktunya tinggal dua hari lagi," jawab Zelda, beralibi dengan baik dan berharap Marvin sama sekali tidak curiga padanya. 'Ah, susah juga berhadapan de
Dari hasil vote, Zelda memenangkan tantangan tersebut. Sesuai perjanjian dahulu, Nita harus membayar 1 miliar pada Zelda serta merelakan jabatannya juga pada Zelda. Saat ini Zelda berada di ruangan suaminya, duduk berhadapan dengan Marvin yang tengah mengamati sebuah desain kalung yang istrinya buat. Marvin akui Zelda sangat hebat dan liar biasa. Dia berhasil membuat desain kalung yang bukan hanya unik tetapi juga sangat cantik. Namun, ada kesan serta cerita dari desain kalung tersebut. "Dari mana kau mendapat ide untuk membuat desain kalung ini, Amore? Seorang pasangan dalam air?" tanya Marvin, tiba-tiba menatap Zelda sembari menyunggingkan senyuman tipis di bibir. Zelda memalingkan wajah sejenak. Sial! Dia sangat yakin jika Marvin tahu arti dari kalung itu. 'Aku harus jawab apa?'"Dari … imajinasi, Mas Marvin," jawab Zelda pelan dan gugup, tangannya yang ada di pangkuannya saling meremas untuk mengurangi serta menetralkan perasaan gugup yang melandanya. "Kau berbohong." Marvin
Zelda berjalan menelusuri koridor kampus, bersama kedua temannya yang tak lain adalah Reca dan Dimas. Mereka baru saja mengantarkan laporan pada dekan mereka, laporan akhir sebelum mereka melaksanakan penjemputan praktek kerja. Yah, mereka telah menyelesaikan kegiatan praktik kerja yang dibebankan kampus sebagai syarat lulus pada mereka. Mereka telah menyerahkan laporan dan sekarang berniat untuk pulang. "Mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dimas pada kedua sahabatnya tersebut. Zelda mengedikkan pundak, melangkah pelan dengan kepala yang tak hentinya memikirkan Marvin serta masalahnya dengan pria itu. Satu Minggu yang lalu, tepat ketika Zelda memenangkan tantangan dari Nita. Harusnya hari itu bahagia, akan tetapi berakhir buruk dan menyedihkan. Nita memeluk suaminya dan meminta agar posisinya tidak diserahkan pada Zelda. Padahal sebelum Nita meminta, Zelda lebih dahulu meminta sesuatu pada suaminya. Dia meminta agar Marvin menjauhi Nita. Zelda tidak tahu apa yang terjadi,
Zelda duduk di depan Marvin, di dalam ruangan pria itu– di mana saat ini Zelda akan disidang oleh suaminya tersebut mengenai kenakalan serta kerusuhan yang dia perbuat selama satu minggu ini. "Selama seminggu ini kau kemana? Tinggal dengan siapa, humm?" tanya Marvin, berusaha tetap tenang meskipun emosi telah menyelimuti dirinya. Tatapannya tajam, menghunus tepat ke arah Zelda yang duduk dengan raut muka datar serta alis yang ditekuk tajam. Aura mengerikan menguar dari tubuhnya, tidak suka dengan mimik muka Zelda yang terkesan membangkang. "Paman sudah tahu, kenapa harus bertanya lagi," datar Zelda, tanpa menatap Marvin. Zelda marah karena insiden minggu kemarin, dan ditambah Marvin meninggalkannya, dia semakin kesal pada pria ini. "Kau yakin bersikap seperti ini padaku?" tanya Marvin pelan, rendah dan stabil. Akan tetapi nadanya terkesan dingin serta penuh ancaman– sejujurnya membuat Zelda merinding takut. Tetapi dia menahan diri, berpura-pura bersikap baisa saja dan berusaha untu
"Tapi aku tidak pernah mendapat pesan dari Paman Neon, dan … selama seminggu ini seingatku aku juga tidak pernah memblokir nomor siapapun," jawab Zelda pelan dan ragu-ragu. Marvin mengerutkan kening, menatap lamat wajah istrinya. "Mana handphone-mu?" tanya Marvin. "Dalam tasku," jawab Zelda, sengaja pindah dari pangkuan suaminya tersebut agar Marvin bisa mengambil tasnya. Marvin mengambil tas istrinya, mengeluarkan handphone Zelda lalu kembali duduk di ranjang– kembali memindahkan Zelda untuk duduk di pangkuannya. Sembari memeluk perempuan itu, Marvin memeriksa HP istrinya. Seperti yang dia katakan, nomor Neon diblokir oleh Zelda. Dan ada yang aneh. Ada satu pesan yang Zelda kirim padanya, dan itu tertuju pada nomor Marvin sendiri. Awalnya Marvin tersenyum tipis karena membaca nama kontaknya di handphone sang istri. 'Mas Suami.Namun, raut senang itu seketika lenyap saat Marvin membaca pesan yang Zelda kirim padanya. 'Aku ingin bercerai. Aku punya kekasih dan aku akan menikah de