"Kemana Mas Marvin selama seminggu ini?" tanya Zelda memberanikan diri. "Apa Mas Marvin pergi berlibur dengan Bu Nita?"Marvin menaikkan sebelah alis, menatap wajah pucat Zelda dengan lamat dan intens. "Aku pergi karena ada urusan mendadak, Amore. Perusahaan milik kita yang ada di luar kota, bermasalah. Aku ingin menemuimu, tetapi keadaannya urgent. Maaf, Amore."Zelda menoleh dan mendongak ke arah Marvin, menatap sekilas pada suaminya tersebut lalu memilih menatap ke arah lain. "Ba--bagaimana dengan Bu Nita? Kalian sama-sama menghilang."'Fuck! Zelda salah paham.' batin Marvin, khawatir jika Zelda beranggapan dan berpikiran buruk mengenai dia dan Nita. Shit, entah kenapa dia dan Nita bisa sama-sama tidak terlihat satu minggu ini. Wajar jika Zelda curiga dan berprasangka buruk. Terlebih-- "Aku mengusirnya dari negara ini, Amore. Dan … aku tidak tahu Nita sekarang ada di mana. Seminggu ini-- aku tidak pernah bertemu dengannya. Percayalah," ucap Marvin, mengecup pucuk kepala istrinya d
"Amore." Deg'Zelda langsung berdiri, menatap Marvin dengan air muka bercampur aduk. Ada perasaan marah, kecewa, jijik, namun perasaan hina dan benci yang paling mendominasi dirinya. Jika benar pria ini adalah pamannya, a--apa yang Marvin perbuat selama ini padanya itu sangat menjijikkan dan keji. Bagaimana bisa seorang terpelajar, cerdas, pemimpin di perusahaan besar, melakukan hal kotor seperti ini?! Memanfaatkan kelolosan Zelda, menipu Zelda, menikahinya lalu melakukan manipulatif untuk membuat Zelda jatuh cinta padanya. Marvin brengsek! "Apa yang kau lakukan di sini?!" dingin Marvin, menarik Zelda dalam pelukannya– mengecup kening istrinya dengan lembut serta membelai pucuk kepala Zelda dengan penuh kasih sayang. Entah kenapa dia merasa jika istrinya ini tengah bersedih. Zelda terdiam dengan perasaan terpaku dan bercampur aduk. 'Tuhan, mereka bilang jika pria ini adalah Paman kandungku. Dia masih satu darah dengan ayah dan aku. Ta--tapi kenapa aku tidak merasa jiji dengan sen
Zelda terdiam, menatap Marvin dengan lamat dan sayup– memperhatikan pria yang juga lebih tua darinya tersebut yang saat ini sedang mengobati kepalanya. Pria itu tampak menampilkan raut wajah serius, tatapan mata penuh ke khawatiran. Caranya mengobati Zelda sangat telaten. Dia bersikap lembut dan hati-hati. Ketika Marvin kontak mata dengannya, Zelda buru-buru memalingkan wajah. Diam-diam tangan Zelda terkepal kuat, menahan perasaan jiji dalam sana. Tetapi …-'Aku tidak boleh jatuh cinta pada Paman. Di--dia Paman kandungku. A--aku tidak bisa, Tuhan!' batin Zelda, memejamkan mata ketika Marvin meraih dagunya lalu mengecup bibirnya. Perasaan ini … sama sekali tidak ada perasaan jiji. Ketika Marvin mengecup bibirnya, dia sama sekali tidak merasakan jiji. Dia nyaman dan merasa sangat dicintai oleh pria ini. Namun, fakta itu-- fakta Marvin adalah Paman kandungnya terus mengiyang dalam kepalanya. "Apa yang ada di tanganmu?" tanya Marvin pelan. Meskipun begitu, nadanya datar dan dingin– mem
Ini baru sakit! Karena sebelum bertemu dengan orang tua kandungnya, Zelda sudah kehilangan mereka."Paman Farhan dan ibumu, mereka berdua bekerja dengan Ayahku. Dan aku-- aku dan Zack, ayah angkatmu, kami bersaudara tetapi berbeda ibu. Oleh sebab itu usiaku dan Zack terpaut jauh. Karena merupakan partner kerja, ibu dan ayahmu jatuh cinta. Tetapi keluarga Kusuma-- keluarga ibumu tidak setuju.""Mama dari keluarga Kusuma?" tanya Zelda memotong ucapan Marvin. Marvin menganggukkan kepala. "Humm. Keluarga Kusuma tidak setuju Ira menikah dengan Paman Farhan karena perbedaan usia keduanya. Sama seperti kita, ayah dan ibumu terpaut usia yang jauh. Ayahmu berusia empat puluh tahun sedangkan ibumu masih dua puluh lima tahun. Meskipun begitu mereka saling mencintai, sepakat untuk menikah meskipun ditentang oleh keluarga ibumu. Di satu sisi, Zack diam-diam menyukai ibumu. Beberapa kali dia berusaha memisahkan Paman Farhan dengan Ira. Tetapi cinta mereka sangat kuat, mereka saling mempercayai dan
Semenjak saat itu hubungan Marvin dan Zelda semakin membaik. Marvin selalu menunjukan kasih sayangnya pada Zelda, dan begitu juga dengan Zelda yang tak kaku lagi pada suaminya. Zelda berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan hasil yang sangat baik. Namun, karena dia masih hamil Marvin melarangnya untuk bergabung dengan perusahaan. "Hari ini kau ingin keluar, Amore?" tanya Marvin yang saat ini tengah sarapan dengan sang istri. Zelda menggelengkan kepala. "Aku sedang malas, Mas. Aku rencananya ingin tidur seharian," jawab Zelda pelan. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap sang istri lamat. Kemudian dia tersenyum tipis, "humm." Marvin berdehem singkat. Setelah percakapan singkat itu, keduanya hanya diam untuk menikmati sarapan. Selesai sarapan, Marvin pamit untuk bekerja. "Mas sudah pergi, saatnya aku tidur," gumam Zelda, tersenyum tipis sembari berjalan ke arah lift. Semenjak dia hamil, Zelda lebih sering menggunakan lift. Naik atau turun tangga menguatnya ngos-ngosan. Ah, kecu
"Nona Zelda?" Deg deg deg Wajah Zelda memucat pias, mendongak dan menatap Neon dengan raut muka kaku– tersenyum tak enak pada Neon. "Hai, Paman," sapa Zelda ramah, menyengir lebar; dalam hati dia merutuk dan mengumpati nasib sial yang menimpa dirinya. Ke--kenapa Neon harus bertemu dengannya? Ini menyebalkan bagi Zelda. Neon memangut pelan, tersenyum tipis pada Nonanya tersebut. "Nona, Tuan Marvin ada di sana. Anda tidak menemuinya?" 'Menemuinya? Gila nih si Paman. Ya kali aku menemui Mas Marvin yang lagi kencan bersama selingkuhannya.' Zelda menggelengkan kepala. "Kebetulan aku mau pulang, Paman. Reca ada urusan, aku dan Reca harus cepat-cepat pulang. Iya kan, Reca?" Di akhir kalimat, Zelda menoleh ke arah Reca, memberikan isyarat agar Reca menyetujui kebohongan Zelda. Untungnya Reca berpihak padanya, sahabatnya tersebut menundukkan kepala sembari tersenyum kikuk. "Mari, Paman," ucap Zelda kemudian, berniat pamit dari tempat tersebut. Namun, ketika dia akan pergi tiba-tiba saja
"Jika suatu saat sepupuku yang kusebut tadi datang ke kota ini lalu memintaku untuk bertemu dengannya, berarti kami boleh bukan? Tentu saja, Mas tidak bisa protes. Kami hanya sepupu dan kami saling menyayangi layaknya adik dan Abang."Marvin mengecup singkat pucuk kepala Zelda, kecupannya cukup lama– meresapinya dengan penuh perasaan cinta. "Baiklah, aku salah, Amore. Maafkan aku," ucap Marvin, mencium kening Zelda khidmat lalu beralih mengecup bibir Zelda. Zelda hanya diam, tak menanggapi perkataan Marvin karena dia masih marah serta kecewa pada suaminya ini. Marvin membiarkan perempuan itu memeluk lengannya, Zelda sangat cemburu untuk itu. "Kenapa hanya diam?"Zelda menggelengkan kepala, tidak mengatakan apa-apa pada Marvin. Mood-nya hancur! ***"Ah, Marvin sayang." Marvin menatap perempuan paru baya tersebut dengan wajah datar, kemudian beralih menatap perempuan di sebelahnya dengan air muka dingin. Sedangkan Zelda, dia hanya mengamati– hanya satu orang yang dia kenali diantara
"Mereka siapa, Mas?" tanya Zelda setelah ketiga wanita itu pergi dari rumahnya. Aneh! Wanita yang memeluk Marvin saat itu ternyata mengenalnya. Perempuan itu bahkan tersenyum hangat pada Zelda. "Perempuan tua itu adik dari ibunya Zeck," jawab Marvin, berdiri dari sopa sembari menggandeng tangan istrinya, "lupakan mereka. Kau ingin makan bukan, Amore?" Zelda menganggukkan kepala. "Aku ingin makan. Ta--tapi Mas yang memasak. Aku sangat suka Amaranthus viridis buatan Mas Marvin," ucap Zelda malu-malu, mendongak dengan melayangkan tatapan mata bulat sempurna. "Apapun untukmu, Amore." Marvin tersenyum lembut, mengacak surai di pucuk kepala Zelda karena gemas dengan tatapan mata bulat sang istri. Ah, Zelda sangat menggemaskan. Semakin ke sini, sikap Zelda semakin manis. Zelda tidak lagi malu-malu atau merasa tidak nyaman ketika di dekatnya. Malah Zelda sudah berani memeluknya lebih dulu. Bagi Marvin itu sebuah peningkatan. Dia suka Zelda sudah mau dekat dengannya, dia suka Zelda manja