Zelda berjalan menelusuri koridor kampus, bersama kedua temannya yang tak lain adalah Reca dan Dimas. Mereka baru saja mengantarkan laporan pada dekan mereka, laporan akhir sebelum mereka melaksanakan penjemputan praktek kerja. Yah, mereka telah menyelesaikan kegiatan praktik kerja yang dibebankan kampus sebagai syarat lulus pada mereka. Mereka telah menyerahkan laporan dan sekarang berniat untuk pulang. "Mau langsung pulang atau bagaimana?" tanya Dimas pada kedua sahabatnya tersebut. Zelda mengedikkan pundak, melangkah pelan dengan kepala yang tak hentinya memikirkan Marvin serta masalahnya dengan pria itu. Satu Minggu yang lalu, tepat ketika Zelda memenangkan tantangan dari Nita. Harusnya hari itu bahagia, akan tetapi berakhir buruk dan menyedihkan. Nita memeluk suaminya dan meminta agar posisinya tidak diserahkan pada Zelda. Padahal sebelum Nita meminta, Zelda lebih dahulu meminta sesuatu pada suaminya. Dia meminta agar Marvin menjauhi Nita. Zelda tidak tahu apa yang terjadi,
Zelda duduk di depan Marvin, di dalam ruangan pria itu– di mana saat ini Zelda akan disidang oleh suaminya tersebut mengenai kenakalan serta kerusuhan yang dia perbuat selama satu minggu ini. "Selama seminggu ini kau kemana? Tinggal dengan siapa, humm?" tanya Marvin, berusaha tetap tenang meskipun emosi telah menyelimuti dirinya. Tatapannya tajam, menghunus tepat ke arah Zelda yang duduk dengan raut muka datar serta alis yang ditekuk tajam. Aura mengerikan menguar dari tubuhnya, tidak suka dengan mimik muka Zelda yang terkesan membangkang. "Paman sudah tahu, kenapa harus bertanya lagi," datar Zelda, tanpa menatap Marvin. Zelda marah karena insiden minggu kemarin, dan ditambah Marvin meninggalkannya, dia semakin kesal pada pria ini. "Kau yakin bersikap seperti ini padaku?" tanya Marvin pelan, rendah dan stabil. Akan tetapi nadanya terkesan dingin serta penuh ancaman– sejujurnya membuat Zelda merinding takut. Tetapi dia menahan diri, berpura-pura bersikap baisa saja dan berusaha untu
"Tapi aku tidak pernah mendapat pesan dari Paman Neon, dan … selama seminggu ini seingatku aku juga tidak pernah memblokir nomor siapapun," jawab Zelda pelan dan ragu-ragu. Marvin mengerutkan kening, menatap lamat wajah istrinya. "Mana handphone-mu?" tanya Marvin. "Dalam tasku," jawab Zelda, sengaja pindah dari pangkuan suaminya tersebut agar Marvin bisa mengambil tasnya. Marvin mengambil tas istrinya, mengeluarkan handphone Zelda lalu kembali duduk di ranjang– kembali memindahkan Zelda untuk duduk di pangkuannya. Sembari memeluk perempuan itu, Marvin memeriksa HP istrinya. Seperti yang dia katakan, nomor Neon diblokir oleh Zelda. Dan ada yang aneh. Ada satu pesan yang Zelda kirim padanya, dan itu tertuju pada nomor Marvin sendiri. Awalnya Marvin tersenyum tipis karena membaca nama kontaknya di handphone sang istri. 'Mas Suami.Namun, raut senang itu seketika lenyap saat Marvin membaca pesan yang Zelda kirim padanya. 'Aku ingin bercerai. Aku punya kekasih dan aku akan menikah de
"Kemana Mas Marvin selama seminggu ini?" tanya Zelda memberanikan diri. "Apa Mas Marvin pergi berlibur dengan Bu Nita?"Marvin menaikkan sebelah alis, menatap wajah pucat Zelda dengan lamat dan intens. "Aku pergi karena ada urusan mendadak, Amore. Perusahaan milik kita yang ada di luar kota, bermasalah. Aku ingin menemuimu, tetapi keadaannya urgent. Maaf, Amore."Zelda menoleh dan mendongak ke arah Marvin, menatap sekilas pada suaminya tersebut lalu memilih menatap ke arah lain. "Ba--bagaimana dengan Bu Nita? Kalian sama-sama menghilang."'Fuck! Zelda salah paham.' batin Marvin, khawatir jika Zelda beranggapan dan berpikiran buruk mengenai dia dan Nita. Shit, entah kenapa dia dan Nita bisa sama-sama tidak terlihat satu minggu ini. Wajar jika Zelda curiga dan berprasangka buruk. Terlebih-- "Aku mengusirnya dari negara ini, Amore. Dan … aku tidak tahu Nita sekarang ada di mana. Seminggu ini-- aku tidak pernah bertemu dengannya. Percayalah," ucap Marvin, mengecup pucuk kepala istrinya d
"Amore." Deg'Zelda langsung berdiri, menatap Marvin dengan air muka bercampur aduk. Ada perasaan marah, kecewa, jijik, namun perasaan hina dan benci yang paling mendominasi dirinya. Jika benar pria ini adalah pamannya, a--apa yang Marvin perbuat selama ini padanya itu sangat menjijikkan dan keji. Bagaimana bisa seorang terpelajar, cerdas, pemimpin di perusahaan besar, melakukan hal kotor seperti ini?! Memanfaatkan kelolosan Zelda, menipu Zelda, menikahinya lalu melakukan manipulatif untuk membuat Zelda jatuh cinta padanya. Marvin brengsek! "Apa yang kau lakukan di sini?!" dingin Marvin, menarik Zelda dalam pelukannya– mengecup kening istrinya dengan lembut serta membelai pucuk kepala Zelda dengan penuh kasih sayang. Entah kenapa dia merasa jika istrinya ini tengah bersedih. Zelda terdiam dengan perasaan terpaku dan bercampur aduk. 'Tuhan, mereka bilang jika pria ini adalah Paman kandungku. Dia masih satu darah dengan ayah dan aku. Ta--tapi kenapa aku tidak merasa jiji dengan sen
Zelda terdiam, menatap Marvin dengan lamat dan sayup– memperhatikan pria yang juga lebih tua darinya tersebut yang saat ini sedang mengobati kepalanya. Pria itu tampak menampilkan raut wajah serius, tatapan mata penuh ke khawatiran. Caranya mengobati Zelda sangat telaten. Dia bersikap lembut dan hati-hati. Ketika Marvin kontak mata dengannya, Zelda buru-buru memalingkan wajah. Diam-diam tangan Zelda terkepal kuat, menahan perasaan jiji dalam sana. Tetapi …-'Aku tidak boleh jatuh cinta pada Paman. Di--dia Paman kandungku. A--aku tidak bisa, Tuhan!' batin Zelda, memejamkan mata ketika Marvin meraih dagunya lalu mengecup bibirnya. Perasaan ini … sama sekali tidak ada perasaan jiji. Ketika Marvin mengecup bibirnya, dia sama sekali tidak merasakan jiji. Dia nyaman dan merasa sangat dicintai oleh pria ini. Namun, fakta itu-- fakta Marvin adalah Paman kandungnya terus mengiyang dalam kepalanya. "Apa yang ada di tanganmu?" tanya Marvin pelan. Meskipun begitu, nadanya datar dan dingin– mem
Ini baru sakit! Karena sebelum bertemu dengan orang tua kandungnya, Zelda sudah kehilangan mereka."Paman Farhan dan ibumu, mereka berdua bekerja dengan Ayahku. Dan aku-- aku dan Zack, ayah angkatmu, kami bersaudara tetapi berbeda ibu. Oleh sebab itu usiaku dan Zack terpaut jauh. Karena merupakan partner kerja, ibu dan ayahmu jatuh cinta. Tetapi keluarga Kusuma-- keluarga ibumu tidak setuju.""Mama dari keluarga Kusuma?" tanya Zelda memotong ucapan Marvin. Marvin menganggukkan kepala. "Humm. Keluarga Kusuma tidak setuju Ira menikah dengan Paman Farhan karena perbedaan usia keduanya. Sama seperti kita, ayah dan ibumu terpaut usia yang jauh. Ayahmu berusia empat puluh tahun sedangkan ibumu masih dua puluh lima tahun. Meskipun begitu mereka saling mencintai, sepakat untuk menikah meskipun ditentang oleh keluarga ibumu. Di satu sisi, Zack diam-diam menyukai ibumu. Beberapa kali dia berusaha memisahkan Paman Farhan dengan Ira. Tetapi cinta mereka sangat kuat, mereka saling mempercayai dan
Semenjak saat itu hubungan Marvin dan Zelda semakin membaik. Marvin selalu menunjukan kasih sayangnya pada Zelda, dan begitu juga dengan Zelda yang tak kaku lagi pada suaminya. Zelda berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan hasil yang sangat baik. Namun, karena dia masih hamil Marvin melarangnya untuk bergabung dengan perusahaan. "Hari ini kau ingin keluar, Amore?" tanya Marvin yang saat ini tengah sarapan dengan sang istri. Zelda menggelengkan kepala. "Aku sedang malas, Mas. Aku rencananya ingin tidur seharian," jawab Zelda pelan. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap sang istri lamat. Kemudian dia tersenyum tipis, "humm." Marvin berdehem singkat. Setelah percakapan singkat itu, keduanya hanya diam untuk menikmati sarapan. Selesai sarapan, Marvin pamit untuk bekerja. "Mas sudah pergi, saatnya aku tidur," gumam Zelda, tersenyum tipis sembari berjalan ke arah lift. Semenjak dia hamil, Zelda lebih sering menggunakan lift. Naik atau turun tangga menguatnya ngos-ngosan. Ah, kecu
"To--tolong," pekik Zelda cukup kuat, membuat Marvin menoleh ke arahnya–menatap intens pada Zelda, di mana Naura dan Allenra telah berada di pelukan Marvin. "Tolong jangan celakai mereka," cicit Zelda, suaranya tiba-tiba melemah–menatap memohon pada Marvin. Mata Zelda memerah, berair; ingin menangis sebab khawatir jika Marvin berniat buruk pada kedua darah dagingnya sendiri. Marvin membawa anak-anak tersebut dalam gendongannya, berjalan santai ke arah Zelda yang masih terikat di ranjang. "Maaf," ucap Marvin, berkata lirih dan pelan. Dia menurunkan anak-anaknya ke atas ranjang, lalu dia mendekati Zelda untuk melepas ikatan di tangan dan kaki Zelda. Setelah itu, tiba-tiba saja Marvin membawa Zelda dalam pelukannya–mendekap istrinya tersebut secara erat. "Maafkan aku, Amore," ucap Marvin dengan serak, bersamaan dengan air mata yang jatuh dari pelupuk. Pelukannya begitu erat, dia takut kehilangan perempuan ini. Melupakan pernikahannya dengan Zelda adalah hal buruk yang pernah Marvin
"Marvin, tumben kamu datang ke apartemenku," ucap Nita, tersenyum manis pada Marvin. Dengan lebar dia membuka pintu, lalu mempersilahkan Marvin untuk masuk. 'Apa Marvin datang ke sini untuk menyetujui perjodohan kami? Dia setuju menikah denganku?' batin Nita, bertanya tanya dalam hati. "Aku datang untuk bertemu denganmu." Tanpa di persilahkan, Marvin duduk di salah satu sofa putih–ruang tengah apartemen. "Menemuiku? Ya, tapi untuk apa Marvin? Kita bertemu setiap hari di kantor. Dan … malam kamu ke sini?" Nita memicingkan mata, berpura-pura curiga serta waspada. Padahal dalam hati, dia suka kedatangan Marvin di sini. Dia berharap kedatangan Marvin ke sini untuk suatu hal yang manis. "Entahlah." Marvin menyender di sofa. "Tiba-tiba ada kilasan aneh yang muncul …-"Deg deg deg Nita menegang sejenak. "Aku menikah." Marvin melanjutkan, "tetapi aku tidak tahu siapa perempuan yang kunikahi. Aku hanya dekat denganmu selama ini. Apa …-" Marvin menggantungkan kalimat, mendongak–menatap i
Zelda terdiam, menundukkan kepala untuk menghindar kontak mata dengan Marvin. Sejujurnya, dia sungguh kaget– dia baru tahu jika ZelMard adalah singkatan namanya dan Marvin. Cinta pria ini padanya memang tidak bisa diragukan. Namun, kondisi membuat Zelda memilih untuk tutup mata pada cinta Marvin. Cinta Marvin yang terlalu besar padanya membawa bahaya untuk anak-anak nya saat ini. Zelda tidak mau Marvin melenyapkan anak-anaknya sendiri. Zelda tersiksa dengan semua ini! 'Tuhan, bantulah aku!' pinta Zelda dalam batin, rasanya ingin menangis karena ketidak mampuannya untuk menghadapi masalah ini. "Kau mau tahu kondisi Neon sekarang?" tanya Marvin tiba-tiba, kembali bersuara dengan dingin– mencengkeram cukup kuat pipi Zelda, memaksa perempuan tersebut mendongak padanya. "Apa kau akan menangis jika melihat Kakak iparmu itu penuh luka dan dirantai dibalik jeruji besi?" Mata Zelda membelalak. Dia sempat khawatir karena Neon mendadak hilang. Sekarang, tambah khawatir setelah mendengar pe
"Bu Zelda, tamunya mengotot ingin menemui ibu," lapor seorang perempuan, sama mudanya dengan Zelda tetapi karena Zelda adalah bos-nya jadi dia memanggil Zelda dengan sebutan Ibu. "Haduh, siapa sih tamunya?" Zelda mengeluh sejenak, memijit kening karena pusing memikirkan pekerjaannya serta tamu yang mengotot menemuinya. Setelah tiga tahun berlalu, Zelda memilih membuka butik dengan nama brand MaRa. Meskipun sempat terpuruk karena buku desainnya dicuri oleh Nita, tetapi Zelda memilih bangkit kembali. Demi anak-anaknya! "Kamu suruh tamunya menemuiku di sini, Rati. Tolong," pinta Zelda dengan nada rendah dan pelan, menandakan kondisinya yang memang sudah sangat penat. "Baik, Bu." Rati-- asisten Zelda tersebut pamit, beranjak dari sana untuk memanggil tamu penting tersebut. Tak lama, pintu ruangan Zelda diketuk. Kanza mempersilahkan, menyeru, "Masuk," sembari Zelda masih fokus pada laptop– memperbaiki desainnya di sana. Tak tak tak'Suara langkah kaki terdengar memasuki ruangan, Zel
"Tuan Marvin kecelakaan, Nona." Zelda hanya bisa terdiam membisu di tempatnya, berada dalam sebuah apartemen yang merupakan milik Neon. Tadi malam itu mengerikan. Banyak pria berseragam hitam masuk dalam rumahnya– berniat membunuhnya. Untungnya Zelda bisa bela diri dan berhasil menyelamatkan diri, dia kabur dari rumah itu lalu di tengah jalan bertemu dengan Neon; pria ini lah yang menyelamatkannya.Zelda mengira jika paginya semua akan baik-baik saja, Marvin datang menjemputnya lalu mereka kembali ke kehidupan sedia kala. Namun-- "Kondisi Tuan sangat memprihatinkan dan kita tidak bisa menemuinya karena Maya menjaga ketat rumah sakit." "Aku paham, Paman," ucap Zelda pelan, menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Padahal dia baru saja berbahagia dengan suaminya, tetapi masalah ini--'Maaf, Nona. Aku tidak bisa mengetakan jika Maya berniat membunuh Tuan Marvin. Aku takut keadaanmu memburuk, aku takut bayimu dan bayi Tuan kenapa-napa. Tapi aku berjanji pada diriku sendiri untuk men
"Mereka siapa, Mas?" tanya Zelda setelah ketiga wanita itu pergi dari rumahnya. Aneh! Wanita yang memeluk Marvin saat itu ternyata mengenalnya. Perempuan itu bahkan tersenyum hangat pada Zelda. "Perempuan tua itu adik dari ibunya Zeck," jawab Marvin, berdiri dari sopa sembari menggandeng tangan istrinya, "lupakan mereka. Kau ingin makan bukan, Amore?" Zelda menganggukkan kepala. "Aku ingin makan. Ta--tapi Mas yang memasak. Aku sangat suka Amaranthus viridis buatan Mas Marvin," ucap Zelda malu-malu, mendongak dengan melayangkan tatapan mata bulat sempurna. "Apapun untukmu, Amore." Marvin tersenyum lembut, mengacak surai di pucuk kepala Zelda karena gemas dengan tatapan mata bulat sang istri. Ah, Zelda sangat menggemaskan. Semakin ke sini, sikap Zelda semakin manis. Zelda tidak lagi malu-malu atau merasa tidak nyaman ketika di dekatnya. Malah Zelda sudah berani memeluknya lebih dulu. Bagi Marvin itu sebuah peningkatan. Dia suka Zelda sudah mau dekat dengannya, dia suka Zelda manja
"Jika suatu saat sepupuku yang kusebut tadi datang ke kota ini lalu memintaku untuk bertemu dengannya, berarti kami boleh bukan? Tentu saja, Mas tidak bisa protes. Kami hanya sepupu dan kami saling menyayangi layaknya adik dan Abang."Marvin mengecup singkat pucuk kepala Zelda, kecupannya cukup lama– meresapinya dengan penuh perasaan cinta. "Baiklah, aku salah, Amore. Maafkan aku," ucap Marvin, mencium kening Zelda khidmat lalu beralih mengecup bibir Zelda. Zelda hanya diam, tak menanggapi perkataan Marvin karena dia masih marah serta kecewa pada suaminya ini. Marvin membiarkan perempuan itu memeluk lengannya, Zelda sangat cemburu untuk itu. "Kenapa hanya diam?"Zelda menggelengkan kepala, tidak mengatakan apa-apa pada Marvin. Mood-nya hancur! ***"Ah, Marvin sayang." Marvin menatap perempuan paru baya tersebut dengan wajah datar, kemudian beralih menatap perempuan di sebelahnya dengan air muka dingin. Sedangkan Zelda, dia hanya mengamati– hanya satu orang yang dia kenali diantara
"Nona Zelda?" Deg deg deg Wajah Zelda memucat pias, mendongak dan menatap Neon dengan raut muka kaku– tersenyum tak enak pada Neon. "Hai, Paman," sapa Zelda ramah, menyengir lebar; dalam hati dia merutuk dan mengumpati nasib sial yang menimpa dirinya. Ke--kenapa Neon harus bertemu dengannya? Ini menyebalkan bagi Zelda. Neon memangut pelan, tersenyum tipis pada Nonanya tersebut. "Nona, Tuan Marvin ada di sana. Anda tidak menemuinya?" 'Menemuinya? Gila nih si Paman. Ya kali aku menemui Mas Marvin yang lagi kencan bersama selingkuhannya.' Zelda menggelengkan kepala. "Kebetulan aku mau pulang, Paman. Reca ada urusan, aku dan Reca harus cepat-cepat pulang. Iya kan, Reca?" Di akhir kalimat, Zelda menoleh ke arah Reca, memberikan isyarat agar Reca menyetujui kebohongan Zelda. Untungnya Reca berpihak padanya, sahabatnya tersebut menundukkan kepala sembari tersenyum kikuk. "Mari, Paman," ucap Zelda kemudian, berniat pamit dari tempat tersebut. Namun, ketika dia akan pergi tiba-tiba saja
Semenjak saat itu hubungan Marvin dan Zelda semakin membaik. Marvin selalu menunjukan kasih sayangnya pada Zelda, dan begitu juga dengan Zelda yang tak kaku lagi pada suaminya. Zelda berhasil menyelesaikan pendidikannya dengan hasil yang sangat baik. Namun, karena dia masih hamil Marvin melarangnya untuk bergabung dengan perusahaan. "Hari ini kau ingin keluar, Amore?" tanya Marvin yang saat ini tengah sarapan dengan sang istri. Zelda menggelengkan kepala. "Aku sedang malas, Mas. Aku rencananya ingin tidur seharian," jawab Zelda pelan. Marvin menaikkan sebelah alis, menatap sang istri lamat. Kemudian dia tersenyum tipis, "humm." Marvin berdehem singkat. Setelah percakapan singkat itu, keduanya hanya diam untuk menikmati sarapan. Selesai sarapan, Marvin pamit untuk bekerja. "Mas sudah pergi, saatnya aku tidur," gumam Zelda, tersenyum tipis sembari berjalan ke arah lift. Semenjak dia hamil, Zelda lebih sering menggunakan lift. Naik atau turun tangga menguatnya ngos-ngosan. Ah, kecu