“Stella, tolong jangan terlalu dibawa perasaan dulu. Coba kamu ceritakan dulu apa yang kamu tahu sejelas mungkin. Apa yang sebenarnya terjadi,dan kenapa kamu menganggap kalau Brandon yang menjadikan Frans sebagai tameng? Siapa yang bilang begitu? Apa kamu lupa kejadian tentang cincin yang waktu itu? Bisa saja ada orang yang berniat jahat dengan sengaja membuat kita saling bermusuhan.”Ya, pasti begitu! Jika tidak, mana mungkin sifat Stella berubah begitu drastis? Tak heran waktu itu dia bertanya siapa yang akan Yuna pilih, antara dia atau Brandon. Ternyata dia menganggap Brandon sebagai pembunuhnya Frans selama ini.“Nggak, ini berbeda dengan yang terakhir kali!” bantah Stella.“Berbeda apanya? Mungkin saja apa yang kamu tahu itu cuma kebohongan. Semua omong kosong, kamu ….”“Apa Frans yang kasih tahu semua itu ke kamu?”Spontan Yuna menoleh ke arah asal suara yang menyela ucapannya. Yang mengatakan itu, tidak lain adalah Brandon sendiri?”Sama seperti Yuna, Stella juga cukup kaget men
“Sejak kapan dan gimana caranya kamu bisa pulang ke sini? Kenapa kamu memblokir nomorku, padahal kamu tahu aku mencarimu. Apa yang terjadi selama kamu menghilang?”“Kita berdua sama-sama tahu apa yang terjadi padaku. Untuk apa aku harus menceritakannya lagi.”“Aku nggak tahu!” sahut Brandon dengan aura mengintimidasi yang tak kalah kuat dengan Frans. “Karena itu, tolong kasih tahu aku, apa yang terjadi sama kamu di hari itu? Hari itu kita terlibat baku tembak sebelum naik ke pesawat. Waktu itu kamu menyuruhku untuk pergi duluan dan menahan tembakan untukku. Aku nggak akan pernah melupakan perbuatanmu itu. Begitu aku kembali, aku langsung meminta anak buahku yang lain untuk cari kamu, tapi aku nggak menemukan apa pun. Jadi apa saja yang terjadi setelah itu, dan gimana caranya kamu bisa pulang ke sini?”Brandon berbicara dengan sangat jelas, tanpa ada rasa bersalah sedikit pun, melainkan lebih seperti sedang mengingat kembali apa yang terjadi pada saat itu. Stella terus memperhatikan mim
Menyaksikan kondisi mental Frans yang mulai tak terkendali, Stella langsung berlari ke depan Frans dan mendorong Brandon ke samping.“Cukup! Kamu jangan maksa dia lagi! Badan dia penuh dengan luka waktu pulang ke sini dan sampai sekarang masih belum pulih! Dia jadi begini semuanya gara-gara kamu, jadi aku minta tolong,jangan ganggu Frans lagi, biar dia bisa istirahat!”Brandon awalnya masih ingin berbicara, tapi Yuna yang tidak tega melihat Stella menangis tersedu-sedu pun segera menahan Brandon dan berkata, “Sudahlah, kita kasih mereka waktu untuk menenangkan diri dulu.”“Frans, aku nggak tahu apa saja yang kamu alami selama ini, atau siapa yang ngomong sesuatu ke kamu. Tapi coba pikir lagi baik-baik, hubungan kita memang atasan dan bawahan, tapi aku sudah menganggap kamu sebagai saudaraku. Coba ingat lagi gimana aku memperlakukan kamu selama ini.”Namun demikian, Frans memalingkan wajahnya seakan dia tidak mendengar kata-kata Brandon. Melihat itu, Brandon pun juga tidak mengatakan ap
Stella pun kembali menatap Yuna dan berusaha memahami apa yang ingin Yuna sampaikan, tapi tiba-tiba dia mendengar Frans berbicara, “Kenapa masih belum pergi juga?! Atau mau aku saja yang pergi?!”“Nggak, nggak. Mereka lagi nunggu lift, aku lagi mau tutup pintunya sekarang!” sahut Stella sembari mengangukk kecil ke Yuna, setelah itu barulah dia menutup pintu.Setelah pintu tertutup rapat, Yuna melepaskan beberapa desahan lirih. Melihat itu, Brandon segera merangkul bahu dan menuntun Yuna berjalan ke arah lift sambil bertanya, “Kenapa? Tadi kamu ngomong apa saja sama Stella?”“Aku minta dia cari kesempatan untuk telepon aku tanpa diketahui Frans. Ada sesuatu yang mau aku omongin sama dia berdua saja.”“Tanpa diketahui Frans?”“Iya! Masa kamu nggak merasa ada yang aneh sama dia?”“Nggak, tuh. Dia sudah ikut aku selama bertahun-tahun. Kalau aku nggak bisa percaya lagi apa yang keluar dari mulut dia, berarti nggak ada lagi orang yang bisa aku percaya di sekitarku.”Brandon begitu percaya ke
Suasana di dalam rumah Stella kini menjadi sunyi senyap. Stella menghela napasnya melihat Frans yang sedang menundukkan kepala, lalu dia berjongkok dan mulai memunguti barang-barang yang tadi Frans lempar, seperti selimut, gelas, dan beberapa barang-barang kecil lainnya.Entah mengapa belakangan ini Frans jadi lebih mudah marah. Stella mengira itu arena dia sedang terluka dan kesulitan untuk berdiri. Bagaimanapun juga sakit secara fisik ditambah dengan luka batin akan memberikan pukulan yang sangat keras bagi siapa pun. Maka dari itu Stella mencoba untuk memahaminya, tapi hari ini ….Stella sibuk memungut pecahan beling dari gelas yang pecah dan membuangnya ke tong sampah, tapi Frans hanya diam saja melihat tanpa ada niat membantu atau setidaknya mengingatkan Stella untuk berhati-hati. Tiba-tiba saja Frans melempar sesuatu ke lantai dan berkata dengan penuh emosi, “Nggak usah dipungut!”Barangnya memang tidak besar, tapi itu kebetulan mengenai punggung tangan Stella sehingga tangannya
Di saat itu juga Stella menghampiri Frans dan mengulurkan tangan padanya. Frans hendak bertanya apa yang akan Stella lakukan, tapi Stella sudah keburu menarik kursi rodanya ke depan sofa sehingga posisi mereka berdua saling bertatapan.“Frans, sebenarnya selama ini ada yang mau aku omongin sama kamu, tapi aku nggak tahu gimana cara menyampaikannya. Apa kamu merasa emosi kamu makin meledak-ledak sejak kamu pulang, seakan kamu berubah jadi orang yang berbeda?”“Hmm? Masa?” jawab Frans datar.“Awalnya aku pikir mungkin karena kamu batin kamu terluka dan suasana hati kamu lagi kurang bagus, makanya aku coba untuk mengerti. Tapi sudah beberapa hari, yang ada emosi kamu makin meledak-ledak. Kamu dulu nggak begini! Dulu kamu nggak pernah teriak-teriak dan nyuruh-nyuruh aku, apalagi sampai bikin aku nangis. Tapi sekarang … kamu bahkan nggak peduli sedikit pun waktu lihat aku berdarah!” kata Stella sambil mengayunkan tangannya yang terluka di depan wajah Frans.Akan tetapi, Frans malah menangga
Stella tidak pernah bertengkar dengan Frans sebelumnya. Paling-paling Stella hanya berpura-pura marah untuk meledek Frans, itu pun sudah cukup untuk membuat Frans cemas. Frans adalah tipikal pria yang maskulin dan lugas. Dia sangat tidak romantis, tapi tetap bisa memperlakukan Stella dengan baik. Sifat Frans yang seperti inilah yang membuat Stella merasa dirinya begitu bahagia. Stella bisa mentoleransi sifat Frans yang mudah marah akhir-akhir ini, karena dia merasa terkadang itu wajar saja terjadi. Hanya saja, ucapan Frans tadi benar-benar telah menyakiti hatinya. Jika Frans bisa menyuruh Stella untuk pergi saja bersama Brandon, maka selama ini dia menganggap Stella sebagai apa?“Kamu … coba ngomong sekali lagi?!” kata Stella sambil meremas kaleng bir yang ada di tangan hingga bentuknya tak beraturan.“.…”Mungkin Frans juga menyadari bahwa ucapannya sudah keterlaluan, jadi dia pun langsung diam dan tidak mengulanginya lagi. Lalu Stella menarik napas panjang guna menenangkan diri, dan
Tak lama kemudian mereka mendengar langkah kaki yang menghampiri. Ketika Juan akan membukakan pintu, Yuna sudah terlebih dahulu sampai dan membuka pintunya duluan.“Masih belum juga?” tanya Yuna.“Aku lagi nungguin kamu!”“Kalau aku nggak datang, gimana?”“Kalau nggak datang ya aku sendiri saja!”“Kamu sudah bertahun-tahun nggak pernah nusuk, apa nggak takut salah tusuk titik?”“Kalau salah tusuk, ya tinggal tusuk ulang saja. Toh Chermiko juga cucuku sendiri, tusuk banyakan dikit juga nggak apa-apa!”Chermiko sampai berkeringat dingin mendengar percakapan mereka berdua. Apaan-apaan itu? Mentang-mentang cucu sendiri, Juan mau menggunakan jarum lebih banyak dari biasanya? Dan juga sejak kapan dia meminta Yuna datang kemari?“Tunggu! Jadi siapa yang akan mengobati aku, jangan-jangan ….”Mendengar itu, Yuna langsung melirik Juan dan bertanya padanya, “Kamu nggak kasih tahu dia?”“Kasih tahu apa? Dia cuma pasien, apa dia punya hak untuk memilih siapa dokternya?”“Apa?!” seru Chermiko. Atas
“Apa lagi ini?”Dalam berkas yang berisikan surat wasiat tersebut tertulis jelas bahwa sang Ratu mengetahui kesehatannya yang makin menurun dan sudah dekat ajalnya, karena itu selagi masih sadar, sang Ratu dengan sukarela menyerahkan posisinya kepada keturunannya, dan Fred diberikan kepercayaan penuh untuk menjadi penasihat mereka.“Kamu masih berani mengaku nggak mau merebut posisiku?! cucuku usianya baru empat tahun, tahu apa merea? Lagi pula bukannya menurunkan ke anakku, tapi malah langsung ke cucuku. Orang waras pasti sudah tahu apa maksudnya ini.”“Nggak juga, cucu Yang Mulia sangat pintar dan punya bakat untuk jadi penguasa yang baik. Saya cuma bertugas memberi nasihat, tapi pada akhirnya kekuasaan tertinggi tetap jatuh kepada mereka. Terkait masalah pewaris, apa Yang Mulia masih nggak sadar juga seperti apa mereka? Mereka sama sekali nggak cocok untuk jadi penguasa!”“Fred, kenapa baru sekarang aku sadar kalau ternyata ambisimu setinggi itu, ya?”“Bukan, Yang Mulia. Yang Mulia
Ketik sang Ratu tersadar, dia sudah berada di atas kasur. Dia berbaring dengan sangat nyaman ditutupi oleh selimut yang rapi. Di sampingnya ada semacam alat medis yang mengeluarkan suara nyaring. Walau demikian, sang Ratu tidak merasa nyaman.“Fred! Fred!” sahutnya.Mengira tidak akan ada yang datang, tak disangka Fred sendiri yang muncul di hadapannya.“Ada yang bisa dibantu, Yang Mulia?”“Lepasin aku!”“Wah, sayang sekali Yang Mulia, tapi nggak bisa! Eksperimennya sudah mau kita jalankan dua hari lagi. Yang Mulia nggak boleh ke mana-mana sampai dua hari ke depan.”“Eksperimen apaan. Kamu cuma mau membunuhku dan mengambil alih jabatanku, bukan?”“Yang Mulia, saya mana berani melakukan itu. Kalau saya membunuh Yang Mulia, apa saya perlu menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membangun lab dan semua eksperimen ini? Saya benar-benar berniat baik untuk Yang Mulia, tapi Yang Mulia malah terbuai sama omongan si cewek licik itu dan nggak percaya lagi sama saya. Sayang sekali!” kata Fre
“Aku?” kata Chermiko. “Nggak, aku cuma merasa itu terlalu aneh! Apa pun yang keluar dari mulut cewek gila itu, aku ….”Kata-kata yang hendak Chermiko katakan tersangkut di lehernya saat ditatap oleh Shane. Tadinya dia mau bilang tidak akan menganggap serius apa pun yang Rainie katakan, tetapi setelah dipikir-pikir, dia juga akan berpikir hal yang sama dengan Shane.“Oke, mau dia benar-benar bisa menghilang atau nggak, selama masih ada kemungkinan itu benar sekecil apa pun, kita harus cari tahu!” kata Brandon. Dia tidak menganggap ini sebagai sesuatu yang patut ditertawakan. Kalau sampai Rainie melarikan diri, maka bahaya terhadap masyarakat akan sangat besar.“Shane, jaga anak-anak!”Brandon pertama-tama langsung menghubungi Edgar agar dia bisa mengerahkan koneksinya untuk mencari Rainie di setiap sudut kota. ***Pintu kamar di mana Ratu sedang tidur siang diketuk sebanyak tiga kali, kemudian pintu itu dibuka begitu saja tanpa seizinnya. Sang Ratu membuka matanya sejenak dan langsung
“Seaneh apa pun ini pasti ada penjelasannya,” kata Brandon. Dia mengamati bantal di atas kasur itu dan menaruhnya kembali, lalu berkata, “Ayo kita keluar dulu sekarang!”Di kamar itu sudah tidak ada orang dan sudah tidak perlu dikunci lagi. Mereka berdua pun satu per satu keluar dan setela mereka kembali ke tempat Shane berada.“Rainie benar-benar menghilang?” tanya Shane.“Iya,” jawab Chermiko menganggu.“Kok bisa? Apa ada orang lain dari organisasi itu yang menolong dia?”“Aku nggak tahu.”Tidak ada satu orang pun di antara mereka yang tahu mengapa Rainie bisa menghilang. Mereka bertiga sama bingungnya karena tidak ada penjelasan yang masuk di akal. Brandon tak banyak bicara, dia mengerutkan keningnya membayangkan kembali ada apa saja yang dia lihat di kamar itu. Dia merasa ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, tetapi dia tidak tahu apa itu.Shane, yang entah sedang memikirkan apa, juga tiba-tiba berkata, “Apa mungkin …? Nggak, itu mustahil ….”“Apaan? Apa yang nggak mungkin?” Cher
Chermiko sudah menahannya sebisa mungkin, tetapi suara gemetar bercampur dengan napas terengah-engah tetap saja menakutkan untuk didengar. Saat mendengar itu, Shane langsung terbelalak dan menyahut, “Apa?!”“Rainie … Rainie nggak ada di kamarnya!” kata Chermiko sembari menunjuk ke belakang.“Ngomong yang jelas, kenapa dia bisa nggak ada?” Ucapan ini datang dari belakang, membuat Chermiko kaget dan menoleh, dan menemukan ternyata Brandon sudah ada di belakangnya entah dari kapan.Brandon baru tidur sebentar dan belum lama terbangun. Semua masalah yang mereka alami membuat kualitas tidurnya terganggu. Anak dan istri tidak ada, dan sekarang ditambah lagi dengan sekian banyak masalah serius yang datang tak habis-habis. Bagaimana dia bisa tidur lelap? Apalagi sekarang ada dua bayi yang entah anaknya atau bukan datang membutuhkan penjagaan.Tidur singkat sudah cukup untuk memulihkan energinya, setelah itu Brandon mandi dan mengganti pakaian, lalu turun untuk melihat anak-anaknya, dan ternyat
Chermiko mulai menyadari Shane lagi-lagi terbawa oleh perasaan sedihnya. Dia pun segera melurusan, “Eh … maksudku. Aku cuma nggak menyangka ternyata kamu bisa ngurus anak juga. Kalau aku jadi kamu, aku pasti sudah panik. Tapi kalau dilihat-lihat lagi, dua anak ini mukanya lumayan mirip sama Brandon, ya. Menurut kamu gimana?”Mendengar itu, Shane melirik kedua bayi yang sedang tertidur pulas dan melihat, benar seperti yang tadi Chermiko bilang, bagian kening mereka sedikit mirip dengan Brandon, sedangkan mulut mereka mirip dengan Yuna.“Kelihatannya memang mirip, ya. Tapi kita jangan tertipu dulu. Aku merasa makin lama kita lihat jadi makin mirip. Kalau sekarang aku bilang mereka nggak mirip, apa kamu masih merasa mereka mirip?”Benar juga, andaikan mereka bukan anaknya Brandon, dengan sugesti seperti itu Chermiko percaya saja kalau mereka tidak mirip.“Waduh, aku rasanya kayak lagi berhalusinasi!” ucapnya.“Makanya sekarang kita jangan berpikir mirip atau nggak mirip dulu. Lebih baik k
“Itu normal. Dulu waktu Nathan masih kecil juga aku kayak begini,” kata Shane. “Hampir semalaman penuh kamu nggak mungkin bisa tidur. Begitu kamu taruh mereka, mereka pasti langsung nangis, jadi kamu harus gending mereka terus. Waktu itu tanganku juga sudah mau patah rasanya.”“Kamu gendong anak sendiri? Bukannya pakai pengasuh?!”“Waktu itu aku masih belum sekaya sekarang, istriku nggak mau pakai pengasuh, jadi aku yang gendong.” Shane tidak mau mengingat masa lalunya lagi karena itu hanya akan membuatnya sedih. Shane lalu menghampiri Brandon dan hendak mengambil anak itu dari tangannya. “Sudah pagi, biar aku yang jagain. Kamu istirahat dulu.”“Nggak usah!”“Jangan begini lah! Kalau kamu merasa berutang sama Yuna dan anak-anak kamu, masih ada waktu lain untuk menebus, tapi sekarang kamu harus istirahat! Kalau kamu sampai tumbang, siapa lagi yang bisa jagain mereka, dan siapa yang bisa nolongin Yuna!”Ketika mendengar itu, akhirnya Brandon mengalah dan memberikan kedua anaknya kepada S
Kemampuan medis Yuna tak diragukan membuat Fred kagum kepadanya, tetapi Yuna punya perang yang lebih penting dari itu. Lagi pula sifat Yuna yang sangat keras membuatnya tidak mungkin dijadikan kawan oleh Fred. Dibiarkan hidup juga tidak ada gunanya.“Bagus … bagus sekali!”Setelah memahami apa yang sesungguhnya terjadi, Fred menarik napas panjang dan mengatur kembali emosinya. Dia mengucapkan kata “bagus” berulang kali, dan ini merupakan pelajaran yang sangat berharga baginya. Selama ini selalu dia yang mengerjai orang lain. Tak pernah sekali pun Fred berpikir dirinya tertipu oleh sebuah trik murahan. Bukan berarti Fred bodoh karena tidak menyadari hal itu, hanya saja terlalu banyak hal yang harus dia kerjakan sehingga dia tidak bisa berpikir dengan jernih.“Yuna, kali ini kamu menang! Tapi sayang sekali kamu nggak akan bisa melihat akhir dari semua ini! Sebentar lagi kita sudah mau masuk ke tahap terakhir dari R10. kamu sudah siap?”Fred menyunggingkan seulas senyum yang aneh di waja
“Tadi kamu ada diare lagi?” Yuna bertanya.“Nggak ada,” jawab Fred menggeleng, tetapi dia marah menyadari dirinya malah dengan lugu menjawab pertanyaan yang tidak berkaitan. “Itu nggak ada urusannya! Sekarang juga aku mau obat itu!”“Sudah nggak sakit perut dan nggak diare, rasa mual juga sudah mendingan, ya? Paling cuma pusing sedikit dan kadang kaki terasa lemas. Iya, ‘kan?”Fred tertegun diberikan sederet pertanyaan oleh Yuna, dia pun mengingat lagi apa benar dia mengalami gejala yang sama seperti Yuna sebutkan.“Kayaknya … iya!”Meski sudah berkat kepada dirinya sendiri untuk tidak terbuai oleh omongannya, tetap saja tanpa sadar Fred menjawab dengan jujur. Setelah Fred menjawab, Yuna tidaklagi bertanya dan hanya tersenyum.“Kenapa kamu senyum-senyum?! Aku tanya mana obatnya, kamu malah ….”“Pencernaan kamu sehat-sehat saja, nggak kayak orang yang lagi keracunan!”“Kamu ….”Fred lantas meraba-raba perut dan memukul-mukul dadanya beberapa kali. Dia merasa memang benar sudah jauh lebi