Wajah Aruna langsung bersemu karena malu begitu mendengar ucapan suaminya. Mata Aruna melirik sana-sini, rupanya mereka sudah fokus dengan makanan."Bagaimana kalau ada yang dengar?" bisiknya."Tidak ada Sayang."Lantas, Erland menuntun Aruna untuk duduk di kursi yang telah ditata. "Kamu juga harus makan.""Iya."Erland memperhatikan Aruna dengan serius. Sang istri yang pilih-pilih makanan, tidak seperti biasanya. Semakin dilihat, akhirnya Erland bertanya."Sayang, apa ada yang ingin kamu makan?"Pandangan Aruna terangkat. Ini adalah makanan yang biasa dirinya konsumsi. Tapi, Aruna sedikit tidak bisa mencernanya."Aku hanya mual dengan beberapa lauk ini, aku tidak ingin makanan yang lain," bisiknya.Erland memperhatikan lauk yang Aruna pisahkan. Semuanya adalah jenis sayuran dan telur. Tersisa hanya daging dan tempe saja."Mulai sekarang katakan apa saja yang bisa kamu makan ya, yang bikin mual juga dicatat."Aruna langsung tersenyum. "Baiklah."Tanpa mereka berdua sadari, ada mata ya
Melihat Erland yang terlihat marah dengan tangan menyobek kertas itu. Aruna mulai mencurigai sesuatu. Kemudian berjalan mendekati suaminya yang terburu mengulas senyum padanya.Aruna semakin yakin, ada yang suaminya sembunyikan."Erland," sebut Aruna."Iya Sayang."Mata Aruna yang tertuju pada tangan menyimpan sobekan kertas. Membuat Erland langsung meraih pinggang Aruna."Bukankah kamu ingin mengantar aku kerja, Sayang? Aku ingin segera berangkat.""Apa yang pria tadi lempar?""Hanya batu," sahut Erland."Ada kertasnya tadi, aku lihat jelas."Tangan Erland yang berisi kertas membuka pintu mobil langsung dicegah oleh Aruna. Erland terburu meraih tangannya."Sayang, jika kamu seperti ini aku akan terlambat," ujar Erland terdengar terburu."Perlihatkan padaku pesan yang pria itu lempar.""Tidak ada, hanya kertas kosong.""Mustahil, cepat berikan padaku," pinta Aruna dengan keras kepala.Erland meraih kedua tangannya. Aruna bisa rasakan sobekan kertas yang menyapa permukaan kulitnya. Nam
Mata Aruna sedikit menatap Mitha dengan tertegun. Bahkan tangan Aruna sekarang mendadak dingin. Namun, Aruna berusaha mengendalikan rasa gugup serta takutnya ini.Dari mana wanita ini tahu? Itulah yang Aruna pikirkan. Namun, bibirnya menyeringai membuat Mitha yang semula merasa di atas angin. Mulai menatap heran ke arah Aruna."Apa yang mau kamu beri tahu? Anakku?"Aruna melipat tangan di dada. "Katakan pada Erland selaku ayahnya, untuk apa kamu libatkan Yuda."Mitha menertawakan keberanian Aruna mengklaim anak yang dikandung milik Erland. "Usia kandunganmu sangat tidak sesuai, Aruna. Kamu mau berpura sampai kapan?"Aruna menyeringai. "Aku hanya diculik, tidak dihamili. Kenapa kamu begitu yakin kalau ini bukan anak Erland?"Mata Mitha menatap Aruna yang tak gentar sama sekali dengan kesal. "Aku pastikan dunia akan tahu, kalau kamu menipu Erland. Lihat bagaimana Erland akan melindungi kamu, saat keluarga besarnya menyerangmu, Irene palsu."Mendengar ancaman itu, Aruna tak merasa takut.
Melihat jemari Erland yang berada di atas bibir. Aruna segera menolehkan kepalanya sana-sini. Erland pikir, Aruna bakal menolak karena kesibukan karyawan cafe. Tapi, mata Erland sempat terbelalak kaget karena bibir dikecup oleh Aruna."Sudah disuap," ujar Aruna kembali duduk.Jemari Erland menyentuh permukaan bibir sendiri, lantas tersenyum lebih lebar. Mendadak menciptakan rasa malu dalam diri Aruna. Bukan malu karena berbuat salah, tapi ada getaran yang mengatakan cinta di hatinya."Kamu ke sini untuk menjemput aku kan? Sebentar lagi cafe tutup," singgung Aruna berusaha mencari topik lain."Memang. Tapi, aku ingin berkencan dulu sebelum pulang."Mendengar rencana suaminya. Aruna langsung menatap lembayung sore yang sebentar lagi akan membanggakan diri atas keindahan di langit. "Aku sedang hamil, kamu lupa?""Aku tidak amnesia, Sayang." Jemari Aruna kembali dimainkan, terutama jari manisnya."Ya terus kenapa mengajak pergi saat mau maghrib, bahkan malam hari?"Dahi Aruna sampai men
Faisal langsung tertawa, bahkan tangan sampai bertepuk dan menimbulkan bunyi. "Benar sekali, aku punya keturunan dari Irene."Lantas, tawa itu terhenti dan berganti menjadi senyuman penuh kemenangan. "Kemudian, kamu akan memberi ayah cucu lagi kan? Cucu asli dari kalian berdua."Tangan Erland mengepal. "Tentu saja. Cukup sekali saja aku kecolongan, akan aku potong burung yang berani singgah di tubuh Irene.""Tidak. Bahkan sebelum dekat pun, sudah aku singkirkan."Sorot mata Erland begitu serius. Sampai membuat Faisal merasa lucu sendiri. Jika sampai Daffa kembali mendapat keberanian seperti dulu. Sudah pasti Erland akan menghabisi sekretaris dengan tangan sendiri.Namun, pandangan Erland tertuju pada bayangan di bawah pintu yang terlihat. Hal itu mengundang Faisal untuk menatap juga."Sepertinya masih ada satu tikus yang belum Ayah kandang ya?" sindir Erland sembari menyeringai.Helaan napas terdengar dari mulut Faisal, begitu menyadari siapa yang menguping diam-diam itu. Artinya, ora
Sekitar tujuh menit berlalu. Sebuah mobil berwarna putih terparkir di hadapan ruang keamanan. Pria itu nampak menoleh sana-sini dahulu, memastikan tidak ada gedung yang digusur oleh Erland.Kedatangan tamu macam Erland, pria itu antara senang sekaligus takut setengah mati. Begitu memasuki ruang keamanan. Pria itu tertegun karena menemukan Erland duduk dengan tatapan siap membunuh."Berapa waktu yang aku berikan?" tanya Erland dengan sarkas."Maaf Pak, saya harus mengeluarkan mobil dari parkiran dan saya sampai mengebut--""Pikirkan berapa lama istriku ini kedinginan karena menunggu," sindir Erland.Tatapan agen tertuju pada Aruna yang menyenderkan kepala di pundak Erland, Aruna sedang tertidur dengan jas menutupi badan. Mata Erland mulai menyorot benci."Lihat apa! Sialan!" Meski itu berupa makian yang dipenuhi amarah, Erland mengutarakannya dengan suara tertahan.Satu hal yang tak dia inginkan. Aruna bangun dari tidur hanya karena amukan dari suami sendiri."Langsung lanjutkan trans
Erland yang semula begitu gembira, sekali pun gagal menggauli istri. Tapi, ketika Aruna sibuk memasak di dapur. Erland duduk di atas sofa dengan raut wajah tertekuk, dia marah apalagi mata melirik ke arah Daffa yang membisu.Sembari memasak, Aruna membuatkan minuman untuk Daffa. Kemudian berjalan ke ruang tamu. Mata Erland menatapnya saat melintas, tangan sudah siap meraih secangkir kopi. "Aruna," Erland protes.Sebab, kopi itu mendarat di hadapan Daffa. Sementara tangan Erland hanya meraih angin yang bahkan tak ingin digenggam."Oh, kamu mau kopi juga? Sebentar aku buatkan."Aruna sedikit tidak peka. Padahal suaminya tak pernah minta dibuatkan kopi padanya. Satu hal yang membuat Aruna tak mengerti. Baik Erland mau pun Daffa, tak ada yang membuka percakapan sama sekali.Bahkan, saat Aruna selesai membuat kopi dan mengantarkannya pada Erland. Mereka tetap tak saling bicara.Aruna sampai berdiri dengan tangan memeluk nampan di perutnya. Mata memandang ke arah Daffa yang sibuk memegang
"Anda sudah yakin dengan keputusan ini, Tuan?"Daffa jelas mempertanyakan. Karena rumah yang dihuni Erland penuh kenangan bersama Irene. Meski sebagian hal yang dirasakan adalah lara dan keegoisan. Erland sendiri meletakkan kedua tangan di atas meja dan saling menggenggam. Erland menunjukkan kebimbangan secara terang-terangan."Tetap harus aku jual."Pada akhirnya, Erland memutuskan dengan penuh tekad. Ada hati yang harus dijaga, dan itu bukanlah orang yang telah mati. Melainkan Aruna yang masih hidup dan berstatus istri baginya."Baiklah, saya akan menjual rumah milik Anda." Daffa menuruti permintaan sang atasan.Mata Daffa kembali menatap pada Erland. "Lantas, apa yang akan Anda lakukan, Tuan? Saya bicara soal orang tua Anda."Pandangan Erland mulai terangkat dan memenjarakan sang sekretaris. Daffa bukanlah pria dengan sifat seperti ini. Peduli pada orang lain, terlebih pada wanita."Saya bertanya karena Anda pasti tidak nyaman tinggal di apartemen, di sana sempit--""Aruna sudah b
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat