Sekitar tujuh menit berlalu. Sebuah mobil berwarna putih terparkir di hadapan ruang keamanan. Pria itu nampak menoleh sana-sini dahulu, memastikan tidak ada gedung yang digusur oleh Erland.Kedatangan tamu macam Erland, pria itu antara senang sekaligus takut setengah mati. Begitu memasuki ruang keamanan. Pria itu tertegun karena menemukan Erland duduk dengan tatapan siap membunuh."Berapa waktu yang aku berikan?" tanya Erland dengan sarkas."Maaf Pak, saya harus mengeluarkan mobil dari parkiran dan saya sampai mengebut--""Pikirkan berapa lama istriku ini kedinginan karena menunggu," sindir Erland.Tatapan agen tertuju pada Aruna yang menyenderkan kepala di pundak Erland, Aruna sedang tertidur dengan jas menutupi badan. Mata Erland mulai menyorot benci."Lihat apa! Sialan!" Meski itu berupa makian yang dipenuhi amarah, Erland mengutarakannya dengan suara tertahan.Satu hal yang tak dia inginkan. Aruna bangun dari tidur hanya karena amukan dari suami sendiri."Langsung lanjutkan trans
Erland yang semula begitu gembira, sekali pun gagal menggauli istri. Tapi, ketika Aruna sibuk memasak di dapur. Erland duduk di atas sofa dengan raut wajah tertekuk, dia marah apalagi mata melirik ke arah Daffa yang membisu.Sembari memasak, Aruna membuatkan minuman untuk Daffa. Kemudian berjalan ke ruang tamu. Mata Erland menatapnya saat melintas, tangan sudah siap meraih secangkir kopi. "Aruna," Erland protes.Sebab, kopi itu mendarat di hadapan Daffa. Sementara tangan Erland hanya meraih angin yang bahkan tak ingin digenggam."Oh, kamu mau kopi juga? Sebentar aku buatkan."Aruna sedikit tidak peka. Padahal suaminya tak pernah minta dibuatkan kopi padanya. Satu hal yang membuat Aruna tak mengerti. Baik Erland mau pun Daffa, tak ada yang membuka percakapan sama sekali.Bahkan, saat Aruna selesai membuat kopi dan mengantarkannya pada Erland. Mereka tetap tak saling bicara.Aruna sampai berdiri dengan tangan memeluk nampan di perutnya. Mata memandang ke arah Daffa yang sibuk memegang
"Anda sudah yakin dengan keputusan ini, Tuan?"Daffa jelas mempertanyakan. Karena rumah yang dihuni Erland penuh kenangan bersama Irene. Meski sebagian hal yang dirasakan adalah lara dan keegoisan. Erland sendiri meletakkan kedua tangan di atas meja dan saling menggenggam. Erland menunjukkan kebimbangan secara terang-terangan."Tetap harus aku jual."Pada akhirnya, Erland memutuskan dengan penuh tekad. Ada hati yang harus dijaga, dan itu bukanlah orang yang telah mati. Melainkan Aruna yang masih hidup dan berstatus istri baginya."Baiklah, saya akan menjual rumah milik Anda." Daffa menuruti permintaan sang atasan.Mata Daffa kembali menatap pada Erland. "Lantas, apa yang akan Anda lakukan, Tuan? Saya bicara soal orang tua Anda."Pandangan Erland mulai terangkat dan memenjarakan sang sekretaris. Daffa bukanlah pria dengan sifat seperti ini. Peduli pada orang lain, terlebih pada wanita."Saya bertanya karena Anda pasti tidak nyaman tinggal di apartemen, di sana sempit--""Aruna sudah b
Aruna yang mendengar omong kosong dari suaminya, langsung memukul pelan lengan Erland. Lantas, Aruna mulai berjalan ke arah pintu dari ruangan ini yang rupanya dikunci."Erland, apakah kunci di tanganmu adalah kunci pintu ini juga?" tanya Aruna.Erland mendekatinya. "Cium dulu, baru aku buka."Kepala Aruna langsung menoleh. Memang boleh semesra itu di hadapan tukang yang membongkar perabotan rumah, serta Daffa yang sedang mengatur mereka.Melihat Aruna yang terlihat enggan, membuat Erland semakin mendekat. Tapi, Aruna mendorong pundak suaminya."Kenapa lagi?" tanya Erland terdengar protes, "suami cuma minta cium kok.""Ya cium juga tahu tempat sedikit, pintu kaca ini kan membuat kegiatan kita terlihat jelas dari dalam mau pun luar," singgung Aruna kesal.Erland menatap ke arah tukang yang diam-diam mencuri pandang. Hal itu membuat dia marah dan ingin mencolok mata mereka semua. Namun perilaku yang terang-terangan tentu mengundang Aruna untuk marah."B
"Coba bilang sekali lagi," pinta Erland nampak senang."Aku gunakan uang sisanya buat beli pakaian untukmu! Aku yang memilihnya sendiri!" selagi menjelaskan, Aruna sampai menyeru.Erland semakin senang. Rasa marah dia perlahan menghilang, karena gemas dengan tingkah dari Aruna. Apalagi bag lain yang diletakkan di sofa ruang tamu.Jemari Erland iseng menunjuk. "Lantas, apakah puluhan bag di sana sisa dari membeli lukisan juga?"Mata Aruna melirik ke belakang. Amarahnya juga lenyap sudah, dan digantikan dengan rasa kaget."Biar aku lihat, apakah itu barang-barang yang kamu untukku lagi," goda Erland sembari melangkah ke sana.Sebelum Erland benar-benar pergi. Aruna lebih dahulu meraih tangan suaminya, berjinjit kemudian mendaratkan kecupan di pipi. Erland sampai menoleh dengan wajah memerah.Sementara Sonya hanya bisa menundukkan wajah dengan bibir mengulas senyum. Trik licik dari Aruna benar-benar bagus, menurut Sonya. "Itu hanya pajangan kok, biar aku dan Bu Sonya yang angkat," ujar
Aruna langsung melepaskan tanaman stroberi dengan raut wajah kesal."Bisa kan bicara baik-baik," keluhnya.Rasanya Aruna ingin menangis. Padahal sudah biasa dibentak seperti ini. Baik oleh Yuda atau Erland sendiri. Hati Aruna biasanya begitu kuat menerima semuanya.Tapi, hari ini, berbeda. Aruna benar-benar ingin menangis, hingga Erland menjatuhkan cangkul sembarangan. Segera berjongkok untuk meraih tubuh Aruna dan memeluk."Apa aku membuat kamu takut, Sayang?" bisik Erland.Melihat Aruna yang menangis, para pembantu langsung berhenti dari kegiatan mereka. Meski begitu, mereka sama sekali tidak melirik atau berniat mendengarkan pembicaraan di antaranya dengan Erland."Aku hanya ingin menangis."Saat Aruna ingin mengusap matanya. Erland langsung meraih tangan Aruna. Membuat mata saling tatap satu sama lain."Mengusap wajah pun tidak dibolehkan," keluh Aruna masih ingin menangis.Erland sudah tak merasa cemas lagi. Malah bibir mengulas senyum. Pasalnya, tahu alasan Aruna yang menangis.
"Tuan, ini ruangannya." Daffa berhenti melangkah dengan tangan menunjuk sebuah ruangan. Tubuh Erland juga otomatis berbalik, lantas mendekati sang sekretaris.Berdiri dengan mata memandang ke arah pintu yang dikunci rapat. Rumah sakit jiwa sudah sedikit sepi karena penghuni kembali di ruangan mereka masing-masing."Aku dengar dia dirantai karena sering mengamuk," singgung Erland.Daffa yang memegang kunci, membuka pintunya dengan pelan. Begitu sudah terbuka, langkah kaki Erland memasukinya.Bibir mengulas senyum saat melihat Yuda meringkuk di atas ranjang tanpa dilapisi selimut. Apalagi saat pria ini menolehkan kepala dan berakhir dengan menghela napas panjang."Sialan. Hari-hari tenangku jadi rusak karena kedatanganmu.""Bau apa ini?" gumam Daffa pelan.Mata Erland melirik sejenak, sang sekretaris yang mengusir aroma yang mampir ke hidung. Lantas, Erland menatap Yuda. Aroma tak sedap berasal dari tubuh pria tersebut. "Kasihan sekali, sepertinya rantai ini tidak cukup dibawa sampai
Aruna menatap Erland lekat. Ia tahu ada yang sedang tidak beres, sampai suaminya terlihat cemas begini. Namun, Aruna memilih mengangguk dan menyetujui permintaan suaminya."Baiklah, aku mengunci pintu dan tetap tidak keluar jika ada yang datang, kecuali dirimu."Erland tersenyum puas karena Aruna menurut. Meski, dia melihat jelas dari raut wajah sang istri yang merasa heran dan ingin banyak bertanya.Meski Aruna tetap istri dari Yuda. Tapi, Erland yang tidak ingin Aruna kepikiran memilih untuk tidak memberi tahu. Hal itu dia anggap demi kebaikan sang istri dan janin yang dikandung.Erland pun mengantar Aruna ke cafe. Biasanya dia akan ikut masuk dan mampir sejenak di sana. Tapi, kali tersebut berbeda. Erland langsung tancap gas."Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa dia tidak kelihatan seperti biasanya," gumam Aruna menatap sedikit cemas ke arah mobil suaminya yang mulai tak terlihat.Erland tidaklah pergi ke kantor sesuai perkataan yang Aruna dengar. Dia terburu datang ke rumah