"Anda sudah yakin dengan keputusan ini, Tuan?"Daffa jelas mempertanyakan. Karena rumah yang dihuni Erland penuh kenangan bersama Irene. Meski sebagian hal yang dirasakan adalah lara dan keegoisan. Erland sendiri meletakkan kedua tangan di atas meja dan saling menggenggam. Erland menunjukkan kebimbangan secara terang-terangan."Tetap harus aku jual."Pada akhirnya, Erland memutuskan dengan penuh tekad. Ada hati yang harus dijaga, dan itu bukanlah orang yang telah mati. Melainkan Aruna yang masih hidup dan berstatus istri baginya."Baiklah, saya akan menjual rumah milik Anda." Daffa menuruti permintaan sang atasan.Mata Daffa kembali menatap pada Erland. "Lantas, apa yang akan Anda lakukan, Tuan? Saya bicara soal orang tua Anda."Pandangan Erland mulai terangkat dan memenjarakan sang sekretaris. Daffa bukanlah pria dengan sifat seperti ini. Peduli pada orang lain, terlebih pada wanita."Saya bertanya karena Anda pasti tidak nyaman tinggal di apartemen, di sana sempit--""Aruna sudah b
Aruna yang mendengar omong kosong dari suaminya, langsung memukul pelan lengan Erland. Lantas, Aruna mulai berjalan ke arah pintu dari ruangan ini yang rupanya dikunci."Erland, apakah kunci di tanganmu adalah kunci pintu ini juga?" tanya Aruna.Erland mendekatinya. "Cium dulu, baru aku buka."Kepala Aruna langsung menoleh. Memang boleh semesra itu di hadapan tukang yang membongkar perabotan rumah, serta Daffa yang sedang mengatur mereka.Melihat Aruna yang terlihat enggan, membuat Erland semakin mendekat. Tapi, Aruna mendorong pundak suaminya."Kenapa lagi?" tanya Erland terdengar protes, "suami cuma minta cium kok.""Ya cium juga tahu tempat sedikit, pintu kaca ini kan membuat kegiatan kita terlihat jelas dari dalam mau pun luar," singgung Aruna kesal.Erland menatap ke arah tukang yang diam-diam mencuri pandang. Hal itu membuat dia marah dan ingin mencolok mata mereka semua. Namun perilaku yang terang-terangan tentu mengundang Aruna untuk marah."B
"Coba bilang sekali lagi," pinta Erland nampak senang."Aku gunakan uang sisanya buat beli pakaian untukmu! Aku yang memilihnya sendiri!" selagi menjelaskan, Aruna sampai menyeru.Erland semakin senang. Rasa marah dia perlahan menghilang, karena gemas dengan tingkah dari Aruna. Apalagi bag lain yang diletakkan di sofa ruang tamu.Jemari Erland iseng menunjuk. "Lantas, apakah puluhan bag di sana sisa dari membeli lukisan juga?"Mata Aruna melirik ke belakang. Amarahnya juga lenyap sudah, dan digantikan dengan rasa kaget."Biar aku lihat, apakah itu barang-barang yang kamu untukku lagi," goda Erland sembari melangkah ke sana.Sebelum Erland benar-benar pergi. Aruna lebih dahulu meraih tangan suaminya, berjinjit kemudian mendaratkan kecupan di pipi. Erland sampai menoleh dengan wajah memerah.Sementara Sonya hanya bisa menundukkan wajah dengan bibir mengulas senyum. Trik licik dari Aruna benar-benar bagus, menurut Sonya. "Itu hanya pajangan kok, biar aku dan Bu Sonya yang angkat," ujar
Aruna langsung melepaskan tanaman stroberi dengan raut wajah kesal."Bisa kan bicara baik-baik," keluhnya.Rasanya Aruna ingin menangis. Padahal sudah biasa dibentak seperti ini. Baik oleh Yuda atau Erland sendiri. Hati Aruna biasanya begitu kuat menerima semuanya.Tapi, hari ini, berbeda. Aruna benar-benar ingin menangis, hingga Erland menjatuhkan cangkul sembarangan. Segera berjongkok untuk meraih tubuh Aruna dan memeluk."Apa aku membuat kamu takut, Sayang?" bisik Erland.Melihat Aruna yang menangis, para pembantu langsung berhenti dari kegiatan mereka. Meski begitu, mereka sama sekali tidak melirik atau berniat mendengarkan pembicaraan di antaranya dengan Erland."Aku hanya ingin menangis."Saat Aruna ingin mengusap matanya. Erland langsung meraih tangan Aruna. Membuat mata saling tatap satu sama lain."Mengusap wajah pun tidak dibolehkan," keluh Aruna masih ingin menangis.Erland sudah tak merasa cemas lagi. Malah bibir mengulas senyum. Pasalnya, tahu alasan Aruna yang menangis.
"Tuan, ini ruangannya." Daffa berhenti melangkah dengan tangan menunjuk sebuah ruangan. Tubuh Erland juga otomatis berbalik, lantas mendekati sang sekretaris.Berdiri dengan mata memandang ke arah pintu yang dikunci rapat. Rumah sakit jiwa sudah sedikit sepi karena penghuni kembali di ruangan mereka masing-masing."Aku dengar dia dirantai karena sering mengamuk," singgung Erland.Daffa yang memegang kunci, membuka pintunya dengan pelan. Begitu sudah terbuka, langkah kaki Erland memasukinya.Bibir mengulas senyum saat melihat Yuda meringkuk di atas ranjang tanpa dilapisi selimut. Apalagi saat pria ini menolehkan kepala dan berakhir dengan menghela napas panjang."Sialan. Hari-hari tenangku jadi rusak karena kedatanganmu.""Bau apa ini?" gumam Daffa pelan.Mata Erland melirik sejenak, sang sekretaris yang mengusir aroma yang mampir ke hidung. Lantas, Erland menatap Yuda. Aroma tak sedap berasal dari tubuh pria tersebut. "Kasihan sekali, sepertinya rantai ini tidak cukup dibawa sampai
Aruna menatap Erland lekat. Ia tahu ada yang sedang tidak beres, sampai suaminya terlihat cemas begini. Namun, Aruna memilih mengangguk dan menyetujui permintaan suaminya."Baiklah, aku mengunci pintu dan tetap tidak keluar jika ada yang datang, kecuali dirimu."Erland tersenyum puas karena Aruna menurut. Meski, dia melihat jelas dari raut wajah sang istri yang merasa heran dan ingin banyak bertanya.Meski Aruna tetap istri dari Yuda. Tapi, Erland yang tidak ingin Aruna kepikiran memilih untuk tidak memberi tahu. Hal itu dia anggap demi kebaikan sang istri dan janin yang dikandung.Erland pun mengantar Aruna ke cafe. Biasanya dia akan ikut masuk dan mampir sejenak di sana. Tapi, kali tersebut berbeda. Erland langsung tancap gas."Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa dia tidak kelihatan seperti biasanya," gumam Aruna menatap sedikit cemas ke arah mobil suaminya yang mulai tak terlihat.Erland tidaklah pergi ke kantor sesuai perkataan yang Aruna dengar. Dia terburu datang ke rumah
Aruna cemas di tempatnya, sampai gigi menggigit jemari. Suara pertengkaran di depan pintu ini, masih saja terus berlanjut. Rasanya Aruna ingin segera pergi."Sayang, sekarang buka pintunya secara perlahan ya."Mendengar perintah itu. Tangan Aruna yang gemetar, mulai mengarahkan kuncinya pada lubang pintu. Namun, suara kunci terjatuh begitu terdengar."Sayang, tenangkan dirimu dan buka pintunya ya."Suara Erland masih terdengar lembut, seolah memberi Aruna kekuatan untuk menjadi kuat meski sejenak saja. Setelah berhasil membuka kuncinya, pintu langsung didorong oleh suaminya.Ketika Aruna ingin keluar. Tubuhnya langsung direngkuh dan Aruna yang berharap bisa melihat sekitar, Erland justru memeluk dan menahan kepalanya untuk tidak melihat."Erland," sebutnya dengan nada protes."Tidak Aruna, aku mohon kita jalan lurus ya. Kamu jangan lihat ke mana pun."Kepala Aruna mengangguk. Mungkin Erland seperti ini karena ingin melindungi dirinya, pasti pertengkaran itu menciptakan luka dan tubuh
Erland menarik napas dengan kesal. Tidak mengira kalau sang istri lebih memilih membahas bisnis dengan Daffa. Ketimbang dengan suami sendiri."Jadi, boleh tidak sih?" Nada suara Aruna lebih kencang.Hanya wanita ini yang berani pada Erland. Hingga membuat beberapa karyawan menoleh, dan saling berbisik pelan. Takut Erland mendengar."Iya Sayang boleh." Pada akhirnya Erland hanya bisa menuruti.Sesuai dugaan Erland, begitu dapat persetujuan. Aruna langsung ceria dan memeluk lengan Erland dengan erat.Erland yang bekerja di ruang kerja. Sementara Aruna dibawa ke ruang kerja Daffa, letaknya tidak begitu jauh dari ruangan milik Erland."Jadi, bisnis apa yang Anda rencanakan, Nyonya. Katakan saja pada saya." Dengan ramah Daffa memulai percakapan.Aruna menatap Daffa lekat. Dahi kakak iparnya ini sampai mengerut karena heran dengan reaksinya."Sebenarnya apa yang terjadi kemarin?""Ya? Apa maksud Nyonya?"Aruna menarik napas. "Semalam Erland bermimpi buruk, dia juga kelihatan cemas dan takut