Sakha dan Tia sudah berangkat pagi tadi menuju kota, pun juga dengan Ria dan Nia yang harus kembali ke rutinitas mereka masing-masing, tinggal Airin seorang diri yang kini sedang mencangkul tanah setelah sebelumnya mencabut rerumputan di halaman samping paviliun. Rencananya, Airin hendak membangun kebun kecil di sana. Dan dia sudah meminta izin pada Sakha.
Kendati pinggul dan tubuhnya masih pegal-pegal atas apa yang Sakha lakukan padanya kemarin, tidak menyurutkan semangat Airin untuk bekerja hari ini.
Pada siangnya, Galih datang membawa keranjang besar berisi buah-buahan. Pria itu terkejut mendapati Airin yang tengah bekerja keras dan tampak sangat kotor oleh bekas tanah yang menempel di tangan dan bajunya, bahk
Galih mengampiri Airin dan mengambil kembali ponselnya."Ririn, Tuan bilang apa?" tanya Galih penasaran. Dia sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi ekspresi di wajah Airin saat ini benar-benar mengkhawatirkan. Bahkan ada jejak air mata di pipinya.Airin tersadar, lalu segera memasang senyum penuh misteri. "Biasa, masalah rumah tangga!" jawabnya.Sekalipun Airin mengatakannya dengan nada biasa-biasa saja dan terkesan acuh, tapi melihat dari ekspresi Airin sebelumnya, Galih tahu ada yang tengah perempuan itu sembunyikan. Namun ini bukanlah ranahnya untuk tahu.
Sesampainya Airin di rumah utama, Ria dan Nia ternyata sudah sampai. Airin cukup terkejut dengan kehadiran dua istri Sakha yang cantik-cantik itu tengah duduk-duduk manis di teras. Airin yakin, siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira bahwa dua bidadari tengah mampir ke rumah ini.Airin tidak melebih-lebihkan, dibanding dengan dirinya yang saat ini mengenakan pakaian lusuh berlapis-lapis dan wajah yang hampir tertutup debu, Ria dan Nia tampil sangat cantik.Saat Airin turun dari mobil, kedua pandangan wanita di teras rumah itu tertuju langsung padanya. Airin tersenyum pada mereka."Ya ampun, Ririn?!" seru Ria.
Airin bergabung dengan yang lain di dalam, melihat ketiga istri Sakha yang lain sibuk membuka bingkisan yang Tia bawa dan heboh sendiri dengan oleh-oleh itu. Sementara Airin tanpa sadar sibuk memakan manisan pala yang Tia bawa juga dan dia suguhkan di meja. Sedangkan Sakha dan Gani langsung beralih ke ruang kerja, entah untuk membahas apa.Airin mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi nyaris seluruh perhatian di kepalanya terus saja tertuju ke sana.Apa yang Gani lakukan di sini?Apa hubungannya Gani dengan Sakha?Dan apa yang a
Kamar Airin gelap. Ruang tamu juga gelap. Tapi dari cahaya yang masuk melalui jendela yang terbuka, Airin bisa melihat dengan jelas wajah suaminya terpampang di hadapannya."Airin," lirih pria itu. Suaranya rendah dan nyaris tercekat.Airin merasakan dingin yang tadi membuatnya nyaman mulai membekukan, lalu melebur dan mencair begitu saja, hanya karena satu panggilan nama yang seharusnya tidak berartikan apa pun, tapi sangat dahsyat yang Airin rasakan karenanya."Tuan," sahut Airin pelan.Apa yang Sakha lakukan di sini? Bukankah
Tapi pasti ada alasan lain, pikir Airin lagi. Dia menatap Sakha yang kemudian melangkah menghampiri meja rias. Jantung Airin berdetak semakin tidak karuan dibuatnya, mengingat apa yang dulu juga pernah mereka lakukan di sana. Apakah Sakha ingin menggunakan gaya aneh itu lagi?“Apa yang hendak Tuan lakukan?” tanya Airin kemudian, suaranya terdengar gugup. Ini pertanyaan yang entah sudah keberapa kali.Sakha menarik kursi dan menatap Airin. “Duduk di sini, Airin!”Airin mengernyit. “Untuk apa?”Sakha menghela napas sabar. “Duduklah dulu.”Dengan langkah yang sedikit terseok dan ragu-ragu, Airin pun duduk di kursi riasnya itu. Sakha berputar lalu berdiri di belakangnya, menatap Airin melalui cermin oval di hadapannya. Kening Sakha tampak berkenyit pelan.“Wajahmu ….”“Kenapa?” tanya Airin bingung.“Tampak lebih tirus dari biasanya. Apa Ga
Sakha terkejut. Benar-benar tidak menduga Airin akan melakukannya.Sejenak, Sakha hanya mematung, tidak membalas ciuman Airin karena mendadak respon tubuhnya membeku. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kelembutan dan kehangatan serta godaan-godaan yang diberikan Airin segera membakarnya.Airin, jelas adalah seorang amatiran di awal. Juga nyaris kehilangan kepercayaan dirinya dalam ciuman itu ketika Sakha butuh beberapa detik lamanya untuk merespon. Namun ketika Sakha bergerak dengan tiba-tiba, berlutut di lantai dan mendorong Airin ke kursi; memperdalam ciuman mereka, Airin tidak butuh untuk tahu cara melakukannya dengan benar, karena Sakha adalah seorang pencium yang ulung, yang dalam sekejap langsung bisa membuat Airin melupakan banyak hal selain diri mereka berdua, di sana, bersama getaran-getaran yang menggoda setiap syaraf dalam tubuh.Tangan Sakha tenggelam dalam helai rambut Airin yang hitam legam, menggenggamnya pelan dan menariknya dengan lembut ke
Sakha malam itu pun pergi dari paviliun dengan mood yang buruk. Ketika dia hendak masuk ke dalam kamarnya, dia teringat bahwa dia seharusnya berada di kamar istri keduanya. Tapi apa yang dia lakukan tadi? Mengunjungi Airin tanpa pikir panjang dan memberikannya hadiah cincin. Benda itu seharusnya Sakha berikan pada saat jadwal Airin seminggu ke depan, seperti rencananya di awal. Tapi saat melihat Airin tadi, dia tidak kuasa untuk menahan dirinya. Dan siapa sangka respon gadis itu akan seperti itu. Sakha dibuat kelimpungan. Dan sekarang kepalanya berdenyut sakit. Dia berbelok dari lorong kamarnya, menuju ruang kerja. Ruang kerjanya didesain seperti tipikal ruang kerja pada umumnya, diisi dengan satu lemari buku, satu meja kerja dan kursi, serta sofa untuk dia menerima tamu. Namun semuanya tampak monoton, kecuali sebuah lukisan di dinding yang menampilkan pemandangan indah desa Telaga Waru pada pagi hari. Sakha ingat membeli karya seni itu dari seniman l
Berinisiatif untuk memecah keheningan di antara mereka, Airin pun berdeham. “Ngomong-ngomong,” ucapnya memulai, “pria tadi siapa, ya?”Sontak Ria langsung menoleh padanya. “Aku pikir kalian saling kenal? Gani bilang kamu mantan pembantunya ‘kan?”Airin merasakan dirinya ingin sekali meremas atau meninju sesuatu saat itu juga. “Aku lupa-lupa inget sebenarnya, itu udah lama banget.”“Oh, jadi bener kamu pernah jadi pembantu, Rin?”Airin tidak menjawab celetukan Nia itu.“Tapi aku nggak kaget sih. Kamu emang … punya penampilan yang kadang begitu. Jangan tersinggung, ya.”“Hm,” sahut Airin dingin. Sekalipun yang dikatakan Gani kebohongan dan yang dipercayai Ria, Tia, dan Nia, bahkan Sakha, adalah salah, Airin tidak mencoba untuk memperbaiki apa pun. Tapi dia juga tidak pernah mengiyakan.Rasanya percuma, pikir Airin dengan le
Beberapa bulan kemudian.Satu per satu impian Airin selama ini akhirnya tercapai. Tidak lama setelah dia lulus dari kuliah, dia berhasil membuka sebuah brand dan toko parfum hasil buatan dan racikannya sendiri, yang selama ini selalu dia idam-idamkan untuk lakukan. Bisnisnya masih bertaraf bisnis kecil, tapi dia melakukan semuanya dengan sukacita.“Semua adalah hasil jerih payah kamu,” kata Sakha ketika di hari pembukaan toko Airin yang ramai dikunjungi oleh orang-orang, berkat promosi dan iklan yang dia lakukan di mana-mana.“Tuan juga sudah membantu banyak,” sahut Airin, menggoda suaminya itu.Airin tidak ingin bersikap naif dengan melupakan bahwa tanpa Sakha dia tidak mungkin sampai di titik ini. Tapi Sakha bersikukuh bahwa dia tidak melakukan apa pun selain menginvestasikan uangnya ke bisnis Airin. Pria itu ingin sang istri bangga sepenuhnya kepada dirinya sendiri, yang mana sudah cukup Airin lakukan.“Aku benar-benar bangga padamu,” bisik Sakha di telinga Airin saat orang-orang t
EXTRA PART 03 – Henia MaulidaSuara pintu berderit terbuka terdengar menggema di rumah besar yang sepi itu. Henia melangkah masuk ke dalam, sepatunya dia lepas dan kakinya berjinjit di lantai. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara apa pun supaya tidak membangunkan orang rumah.Namun, saat langkah kakinya baru saja menginjak satu anak tangga terbawah, sebuah suara terdengar di atasnya.“Habis ke mana kamu jam segini baru pulang?”Itu suara ibunya. Henia menghela napas kasar lalu menapakkan kakinya lagi ke lantai. Lampu menyala dan raut muak di wajah Henia tampak semakin jelas.Dia melanjutkan lagi langkahnya menaiki tangga, memutuskan untuk tidak memedulikan ocehan ibunya.“Wanita tidak bersuami seperti kamu seharusnya nggak keluyuran malam-malam dan pulang pagi seperti ini.”Henia mengepalkan tangannya kuat dan menatap bayangan ibunya di atas tangga dengan tatapan tajam.“Aku bukan anak kecil lagi yang jam pulang aja harus diatur-atur,” balas Henia.“Henia! Kamu nggak dengar apa
“Bunda!”Tia mengangkat pandangannya dari majalah yang tengah ia baca, lalu menatap putranya yang berlari ke arahnya dengan seragam SMP berwarna putih dan biru tua. Senyum Tia mengembang, merentangkan tangan dan merangkul remaja itu dengan kasih sayang keibuan.“Bagaimana sekolah kamu?”Dean melepas ranselnya lalu mengambil sebuah kue dari atas meja. “Aku ada tugas kelompok. Rencananya, aku mau ngerjainnya di rumah temenku hari sabtu nanti,” jawabnya sembari mengunyah.Tia mengangguk. “Kamu boleh pergi.”Pandangan Dean langsung tertuju ke arah ibunya itu. “Benar?” tanyanya hati-hati.“Ya. Memang kenapa? Selama ini Bunda nggak pernah ngelarang, kan?”Kedua bahu Dean lantas tampak lesu. “Apa akhir pekan nanti Bunda bakal ada di sini sama aku?”Pertanyaan itu menyentil Tia dan membuatnya merasa sedih. “Dean, mulai sekarang Bunda bakal selalu ada sama kamu.”Dean menatap ibunya itu dan terdiam. Dia mencari kejujuran di kedua mata sang bunda, namun masih juga belum yakin atas ucapannya. Ap
Setelah bercerai dengan mantan suaminya, Ria memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke negara tetangga, di mana di sana dia memulai kehidupan baru dengan seorang pria yang mencintainya. Ria teringat ucapan Sakha di malam saat pria itu menceraikannya, bahwa hati Ria tidak pernah berlabuh sepenuhnya kepada pria itu. Ria tidak pernah bisa mencintai Sakha. Mungkin memiliki sedikit perasaan padanya memang benar, tapi tidak pernah sampai tahap dia mencintai pria itu. Namun, ada satu pria, yang tidak pernah bisa Ria lupakan dan hilangkan dari hatinya semenjak remaja. Gani Akbar Hartono. Ria tidak pernah bilang bahwa dia mencintai Gani, tapi cinta yang diberikan Gani padanya terpampang dengan begitu jelas sehingga Ria luluh tanpa dia sadari. Sakha terlalu dingin. Gani hangat seperti matahari. Bahkan sampai sekarang, Ria kesusahan untuk berhenti membeda-bedakan dua orang itu. Dia telah hidup bahagia dengan Gani, pria yang kini telah menjadi suaminya, tapi dalam beberapa waktu pikiran Ria a
Halo, teman-teman pembaca semua. Kenalkan, saya Asia July, penulis kisah si istri keempat. (Sebenarnya saya dan Sakha sudah menikah siri, saya jadi istri kelimanya. :) Kisah Istri Keempat saya akhiri di bab 95. Itu karena saya sebagai istri kelima sudah saatnya bereaksi di balik layar merebut Sakha dari Airin. Jangan marah yaaa ;) Tapi, tenang saja, semuanya belum benar-benar berakhir. Akan ada EXTRA PART yang lumayan banyak! >,< Menceritakan tentang kisah Airin dan Sakha selanjutnya. Ada 1 konflik yang saya lempar, semoga nanti pembaca suka. Juga di extra part nanti, akan ada kisahnya Ria, Tia, dan Nia. Dan diakhiri dengan kisah Airin dan Sakha menanti kehamilan anak kedua. Lalu, di HIDDEN PART akan ada kisah saya sebagai istri kelima. (Ck! Sudah dibilang jangan iri!-_-) *ini becanda, gak ada hidden part!* Ucapan terima kasih saya sampaikan dengan tulus kepada teman-teman pembaca semua yang sudah membaca karya saya yang sangat penuh kekurangan
“Sekarang?” Sakha menjauhkan tubuh mereka dan menatap istrinya itu tepat di mata. “Tentu saja semuanya sudah berubah. Kamu merubah banyak hal dalam diriku dan duniaku.”Airin menangis. Dan Sakha mengusap pelan air matanya yang mengalir di pipi.“Airin?”“Hm?”“Apa kamu … mencintaiku?”“ …!”“Karena aku sangat mencintaimu.”Sontak tangisan Airin langsung terhenti. Dia menatap mata yang berwarna karamel itu, yang memantulkan cahaya lembut dari lampu di atas mereka. Airin mencari-cari, tapi dia tidak menemukan kebohongan.“Tidak masalah lagi dengan anak. Aku tidak pernah marah padamu saat tahu bahwa kita kehilangan bayi kita, harapanku saat itu hanya satu; mengambil semua rasa sakit yang kamu rasakan dan melimpahkannya padaku.“Dan tidak, Airin. Kalau kamu berpikir bahwa aku akan berpaling, maka kamu salah. Satu-sat
Gelengan kepala diberikan Sakha. Kepalanya mendadak terasa berat sehingga dia pun memajukan tubuhnya, dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Airin. Lalu berbisik, “Hanya kamu sekarang, Airin.”Tanda tanya besar menggantung dalam benak Airin. “Hanya aku? Maksud Mas, Kak Ria sudah ….”“Ya, dia bukan istriku lagi.”“Ba-bagaimana? Bukankah Mas dengan orang tua Kak Ria ….”Sakha terkekeh, ternyata Airin juga sudah tahu sejauh itu. “Aku pergi ke rumahnya. Dan berbicara dengan orang tuanya.”“Tapi bagaimana dengan perusahaan Mas?”Sakha mendesah lelah lagi. Dia menarik Airin dekat dan memeluk tubuhnya. “Aku benar-benar merindukanmu, Airin.”Dorongan adalah yang diberikan Airin sebagai jawaban dari ungkapan rindu itu. Ini bukan saatnya untuk mereka bermesra-mesraan. Ada banyak hal yang belum Sakha jelaskan padanya.Sakha menepis tangan Airin ya
Seperti malam sebelumnya. Sakha masuk ke kamar dan mendapati Airin telah tertidur pulas.Sekali lagi, dia menyesal karena pulang terlalu larut malam. Dia merindukan mata indah berwarna hitam kelam itu menatapnya. Dia rindu pada suara wanita itu berbicara padanya.Sekarang semuanya sudah baik-baik saja bagi mereka. Dan Airin bertahan sampai akhir tanpa banyak protes. Mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal, pikir Sakha.Perasaan bahagia menbuncah di dalam dadanya, membuat dia tidak bisa menahan diri untuk bergabung bersama Airin di atas ranjang dan memeluk istrinya itu erat.Sakha menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Airin, dan menghidu aromanya dalam-dalam lalu mengeluarkan suara seperti lirihan.Mustahil Airin tidak terbangun dibuatnya.Saat wanita itu membuka mata, dia terkejut, tapi tidak mengatakan apa pun. Bahkan bernapas pun dia takut, takut kalau itu akan membuat Sakha menjauh darinya. Tapi dorongan untuk membalas pelukan itu be
Airin menunggu, lagi. Tapi sudah hampir tengah malam, Sakha tidak kunjung pulang. Dia memang berkata ingin pergi dari sisi pria itu, tapi nanti setelah mereka berdua berbicara. Segalanya harus diluruskan. Airin tidak ingin pergi membawa penyesalan karena kebodohannya sendiri. Namun, sampai kantuk membawa kesadarannya pergi—seperti malam sebelumnya—Sakha belum juga pulang. *** Lagi-lagi pada makan malam. Sakha tidak tahu kenapa waktu malam dan makanan menjadi waktu yang tepat baginya. Atau mungkin kali ini tidak tepat? Kemarin di makan malam bersama Tia. Sekarang di acara yang sama bersama keluarga besar Ferdinan. Ayah mertuanya yang begitu bersemangat terus menerus membahas tentang bisnis sedari tadi, seberapa tidak sabarnya dia mengutarakan ide untuk bisnis barunya di meja makan itu, sampai Sakha bahkan tidak memiliki waktu untuk menyela dan mengutarakan maksud kedatangannya malam ini. Ria duduk di samping Sak