Sakha malam itu pun pergi dari paviliun dengan mood yang buruk. Ketika dia hendak masuk ke dalam kamarnya, dia teringat bahwa dia seharusnya berada di kamar istri keduanya. Tapi apa yang dia lakukan tadi? Mengunjungi Airin tanpa pikir panjang dan memberikannya hadiah cincin.
Benda itu seharusnya Sakha berikan pada saat jadwal Airin seminggu ke depan, seperti rencananya di awal. Tapi saat melihat Airin tadi, dia tidak kuasa untuk menahan dirinya. Dan siapa sangka respon gadis itu akan seperti itu.
Sakha dibuat kelimpungan. Dan sekarang kepalanya berdenyut sakit.
Dia berbelok dari lorong kamarnya, menuju ruang kerja.
Ruang kerjanya didesain seperti tipikal ruang kerja pada umumnya, diisi dengan satu lemari buku, satu meja kerja dan kursi, serta sofa untuk dia menerima tamu. Namun semuanya tampak monoton, kecuali sebuah lukisan di dinding yang menampilkan pemandangan indah desa Telaga Waru pada pagi hari. Sakha ingat membeli karya seni itu dari seniman l
Jangan lupa kasih komen di kolom review. Asia pengen tahu pendapat kalian mengenai bab ini ^^
Berinisiatif untuk memecah keheningan di antara mereka, Airin pun berdeham. “Ngomong-ngomong,” ucapnya memulai, “pria tadi siapa, ya?”Sontak Ria langsung menoleh padanya. “Aku pikir kalian saling kenal? Gani bilang kamu mantan pembantunya ‘kan?”Airin merasakan dirinya ingin sekali meremas atau meninju sesuatu saat itu juga. “Aku lupa-lupa inget sebenarnya, itu udah lama banget.”“Oh, jadi bener kamu pernah jadi pembantu, Rin?”Airin tidak menjawab celetukan Nia itu.“Tapi aku nggak kaget sih. Kamu emang … punya penampilan yang kadang begitu. Jangan tersinggung, ya.”“Hm,” sahut Airin dingin. Sekalipun yang dikatakan Gani kebohongan dan yang dipercayai Ria, Tia, dan Nia, bahkan Sakha, adalah salah, Airin tidak mencoba untuk memperbaiki apa pun. Tapi dia juga tidak pernah mengiyakan.Rasanya percuma, pikir Airin dengan le
Bab 58 – Kehilangan Cincin“Galih, kamu sekarang sudah ganti atasan?”Galih langsung menjauhkan ponselnya dari telinga dan mengerut putus asa saat mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan nada dingin tersebut.“Nggak lah, Bos. Bos Sakha satu-satunya.”“Saya nggak butuh kata-kata tanpa aksi yang nyata.”Galih lagi-lagi hanya bisa meringis. Tuannya benar-benar terdengar tidak senang. Tapi siapa yang bisa disalahkan? Selama ini Galih mendapat kesan bahwa Airin telah menjadi istri kesayangan Sakha. Tuannya tersebut bahkan meminta Galih untuk menjaga Airin saat dia sedang tidak ada. Jadi Galih berpikir, perintah Airin juga adalah ‘setengah’ perintah tuannya.Siapa yang bisa menyalahkan Galih dalam hal ini?“Ma-maaf, Bos. Tadi Ririn soalnya kasian banget, Bos. Dia bilang Bos lagi marah besar sama dia. Saya jadi nggak tega,” ungkap Galih, berharap dengan itu Sakha a
Bab 59 – Permintaan MaafSepanjang perjalanan menuju rumah persinggahan, Sakha tidak lagi bersuara, pun juga Airin. Galih hanya mengekori dua majikannya itu di belakang.Lalu ketika mereka sampai, Sakha berbalik pada Galih, berkata dengan nada dingin yang mencekam, “Kamu pulang. Ambilkan istri saya pakaian yang layak!”Tanpa berani menatap wajah tuannya, Galih mengangguk, lalu segera berlalu pergi.Setelah itu, Sakha tidak mengatakan apa pun lagi. Dia bahkan tidak menatap Airin sedikit pun. Namun genggaman tangannya pada tangan sang istri mengerat. Airin menggigit bibirnya kuat dan samar merasakan kasarnya lumpur di lidah.Sakha membawa Airin ke samping rumah persinggahan di mana di sana ada sebuah sumur yang airnya melimpah. Barulah setelah itu Sakha melepaskan tangan Airin untuk menimbar air.Airin menatap tangannya yang putih dan lumpur di sana hilang berpindah ke tangan Sakha. Pergelangan tanga
“Aku ….” Sakha menatap Airin, kehabisan kata-kata.“Lihat? Tuan bahkan tidak bisa menjawab,” sahut Airin, tapi suaranya terdengar tenang dan terkontrol, seolah jawaban Sakha sama sekali tidak mempengaruhinya. Padahal itu sangat menyakiti Airin di dalam.Tapi ini adalah sebuah resiko yang dia ambil sejak awal. Sakha tidak bisa dia salahkan. Kalau Airin tidak siap menghadapi semua ini, dia tidak akan berada di sini sekarang? Sejak awal Airin mengatakan ini pada dirinya sendiri, bahwa karena dia sanggup lah maka dia harus menikah dengan Sakha. Kalau yang sekarang ada di tempatnya adalah Mawar atau Melati, mereka tidak akan bertahan lama. Adik-adiknya itu akan hancur dengan kekecewaan yang sangat dalam.Airin tidak tahu mengapa percakapan mereka bisa sampai sini. Menyuruh Sakha untuk menceraikan ketiga istrinya? Itu adalah permintaan yang sangat tidak tahu diri.Kalau memang ada yang harus diceraikan dalam rumah t
Napas Airin berangsur ringan dan tenang, seperti hujan di luar sana yang juga mereda dan hanya menyisakan rintik-rintik ringan air.Sakha masih memeluknya erat dan kini telah membawanya ke ranjang di mana di sana dia berbaring setelah bersandar di dada suaminya.Sedari tadi, Sakha tidak mengatakan apa pun atau menjawab pertanyaan apa pun yang Airin lontarkan. Dia takut apa yang akan dikatakannya malah justru semakin menyakiti gadis ini. Jadi diam, bagi Sakha, adalah pilihan terbaik.Mendengar tangisan Airin sudah cukup membuatnya berantakan di dalam.Tubuh Airin sendiri terasa lemas setelah luapan emosi itu. Menangis memang selalu membuatnya kelelahan dan pusing. Dia bahkan tidak punya cukup tenaga untuk menyingkirkan tubuh Sakha sehingga dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.Rasanya Airin ingin pergi ke suatu tempat di mana dia bisa melupakan semua ini sejenak. Tempat di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri sepenuhnya dan melepas semua persoa
Sesaat setelah itu, Airin merasa seperti sebuah gurun yang diguyur hujan dalam semalam, atau seseorang yang sudah lama tidak meresakan tetesan air. Dia kehausan, panas, dingin, semuanya menjadi satu. Dan yang mampu mengobati semua itu hanyalah Sakha, suaminya, dengan ciuman dan sentuhan-sentuhan menggoda yang pria itu demonstrasikan ke tubuhnya yang telah sangat mendamba.Sakha menggeram, lalu memosisikan dirinya di atas Airin. Saat dirasanya itu tidak cukup, dia merapatkan tubuh mereka sehingga tidak ada lagi jarak. Sakha menggigit bibir istrinya, mengulumnya keras, dan menyeruakkan lidahnya ke dalam, berkelindan mesra dengan lidah Airin.Suara basah dari ciuman yang panas itu terdengar menguasai indera pendengaran mereka. Dan tidak ada hal lain lagi yang lebih penting dari diri mereka berdua dan apa yang tengah mereka lakukan.Sakha menurunkan kecupannya ke bawah, menyusuri dagu Airin, turun ke bawah sampai ke denyut cepat nadi Airin di lehernya , Sakha suka b
“Jadi, Mas menginap di rumah orang tua Airin.” Galih, yang tengah berdiri kaku di hadapan majikan perempuannya itu menganggukkan kepala. “Ya, Nyonya,” jawabnyaa. Nia duduk sembari menyilangkan kaki di sofa. Baju tidur berupa kimono satin yang ia kenakan tersingkap sehingga paha putihnya yang mulus terpampang jelas. Galih semakin mengalihkan pandangnya dan menahan diri untuk tidak menoleh. Bagaimana pun, dia adalah lelaki normal, berada berdua di bawah pendar lampu kuning yang semakin memancarkan kilauan halus kulit perempuan di hadapannya, bukanlah sesuatu yang biasa bagi Galih. Terlebih karena ini adalah Nyonya Nia. “Kenapa? Ibunya sakit? Atau apa bapaknya yang tukang hutang itu sedang sekarat?” tanya Nia dengan suara kesal yang amat kental. Galih tidak tahu harus menjawab apa. Sakha juga tidak menjelaskan apa pun. Dia hanya bisa menebak bahwa hubungan sang tuan dengan istri mudanya sedang tidak baik. “Tidak. Tuan cum
“Kamu butuh apa lagi?” suara Sakha mengalun penuh perhatian setelah melepaskan cangkir teh ke meja di hadapan Airin.Airin menggeleng, menggumamkan terima kasih pada Sakha.Mereka kembali berada di kamar. Rumah masih sepi pada pagi menjelang siang itu, keluarga Airin belum kembali dari kota. Airin sudah mengganti bajunya dan membersihkan diri, begitupun juga dengan Sakha.Mengenai kekacauan yang Airin buat di luar sana, Airin bahkan tidak berani memikirkannya.“Kamu yakin?” tanya Sakha sekali lagi.“Ya,” jawab Airin sebelum menyeruput isi cangkirnya pelan.Tatapan Sakha yang masih berbalut rasa cemas tidak sedikit pun berpaling dari wajah Airin. Dia kemudian duduk di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menyentuh anak rambut Airin dan menyisipkannya ke belakang telinga.“Apa tidak sebaiknya kita ke Dokter?”Airin menggeleng cepat-cepat. “Tidak perlu!” tolaknya tegas.