Sesaat setelah itu, Airin merasa seperti sebuah gurun yang diguyur hujan dalam semalam, atau seseorang yang sudah lama tidak meresakan tetesan air. Dia kehausan, panas, dingin, semuanya menjadi satu. Dan yang mampu mengobati semua itu hanyalah Sakha, suaminya, dengan ciuman dan sentuhan-sentuhan menggoda yang pria itu demonstrasikan ke tubuhnya yang telah sangat mendamba.
Sakha menggeram, lalu memosisikan dirinya di atas Airin. Saat dirasanya itu tidak cukup, dia merapatkan tubuh mereka sehingga tidak ada lagi jarak. Sakha menggigit bibir istrinya, mengulumnya keras, dan menyeruakkan lidahnya ke dalam, berkelindan mesra dengan lidah Airin.
Suara basah dari ciuman yang panas itu terdengar menguasai indera pendengaran mereka. Dan tidak ada hal lain lagi yang lebih penting dari diri mereka berdua dan apa yang tengah mereka lakukan.
Sakha menurunkan kecupannya ke bawah, menyusuri dagu Airin, turun ke bawah sampai ke denyut cepat nadi Airin di lehernya , Sakha suka b
âJadi, Mas menginap di rumah orang tua Airin.â Galih, yang tengah berdiri kaku di hadapan majikan perempuannya itu menganggukkan kepala. âYa, Nyonya,â jawabnyaa. Nia duduk sembari menyilangkan kaki di sofa. Baju tidur berupa kimono satin yang ia kenakan tersingkap sehingga paha putihnya yang mulus terpampang jelas. Galih semakin mengalihkan pandangnya dan menahan diri untuk tidak menoleh. Bagaimana pun, dia adalah lelaki normal, berada berdua di bawah pendar lampu kuning yang semakin memancarkan kilauan halus kulit perempuan di hadapannya, bukanlah sesuatu yang biasa bagi Galih. Terlebih karena ini adalah Nyonya Nia. âKenapa? Ibunya sakit? Atau apa bapaknya yang tukang hutang itu sedang sekarat?â tanya Nia dengan suara kesal yang amat kental. Galih tidak tahu harus menjawab apa. Sakha juga tidak menjelaskan apa pun. Dia hanya bisa menebak bahwa hubungan sang tuan dengan istri mudanya sedang tidak baik. âTidak. Tuan cum
“Kamu butuh apa lagi?” suara Sakha mengalun penuh perhatian setelah melepaskan cangkir teh ke meja di hadapan Airin.Airin menggeleng, menggumamkan terima kasih pada Sakha.Mereka kembali berada di kamar. Rumah masih sepi pada pagi menjelang siang itu, keluarga Airin belum kembali dari kota. Airin sudah mengganti bajunya dan membersihkan diri, begitupun juga dengan Sakha.Mengenai kekacauan yang Airin buat di luar sana, Airin bahkan tidak berani memikirkannya.“Kamu yakin?” tanya Sakha sekali lagi.“Ya,” jawab Airin sebelum menyeruput isi cangkirnya pelan.Tatapan Sakha yang masih berbalut rasa cemas tidak sedikit pun berpaling dari wajah Airin. Dia kemudian duduk di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menyentuh anak rambut Airin dan menyisipkannya ke belakang telinga.“Apa tidak sebaiknya kita ke Dokter?”Airin menggeleng cepat-cepat. “Tidak perlu!” tolaknya tegas.
Paginya, Airin dijemput oleh Galih. Karena pikiran Airin terlalu berkecamuk, dia tidak sempat mengucapkan selamat pada Mawar atau mengobrol dengan orang tuanya setelah sekian lama tidak bertemu. Dan mereka tampaknya cukup mengerti bahwa ada sesuatu yang menganggu pikiran Airin sehingga mereka tidak banyak bertanya.Bahkan saat berada di dalam mobil bersama Galih, Airin tidak membuka suara sedikit pun. Galih menatapnya heran sekaligus cemas. Apa kejadian dua hari lalu masih berlanjut sampai sekarang? pikirnya.Sesampai di rumah, Airin tidak mengucapkan apa pun pada Galih, dia langsung berjalan lurus menuju paviliun. Hari sudah cukup siang dan Sakha pasti sudah pergi dengan urusan-urusannya yang tidak mau Airin tahu.Saat bangunan paviliunnya tampak di mata, Airin merasakan kesuraman melingkupi tempat itu, persis seperti hatinya sekarang.Tempat ini, sekalipun dihuni oleh banyak orang, tapi tetap terasa sepi dan sunyi. Atau itu hanya perasaan Airin
Tidak kah ini terlalu berlebihan? Airin melamun saat sedang menumpahkan air minum ke dalam gelas untuk Gani yang saat ini menunggunya di sofa, alhasil air yang sedang Airin tumpah mengalir ke luar gelas. Airin tersadar dan buru-buru mengelapnya.Saat Airin berjalan membawa gelas air minum itu ke arah ruang tamu, dia memikirkan Sakha, dan bagaimana kehidupan rumah tangga ini yang begitu kacau.Airin meletakkan gelas itu ke hadapan Gani yang langsung diminumnya sampai habis. Gani tampak sangat resah seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan.Dan memang ya, baginya dia sudah melakukan kesalahan karena membeberkan hal ini pada Airin. Kalau Sakha sampai tahu, maka akan semakin runyam urusannya. Ria juga akan marah dan mungkin berbalik memusuhinya.Gani cemas.Airin sebaliknya.“Ceritakan padaku sampai mana hubunganmu dengan Kak Ria,” ujar Airin.Gani menggeleng. “Kamu berjanji tidak akan memberit
[Nia pulang ke kota karena suatu urusan, tapi aku yakin dia hendak menemui selingkuhannya. Aku juga akan pergi untuk mengurus hal itu. Sakha malam ini sendiri. Datang dan bicara padanya! Awas saja kalau kamu sampai gagal membujuknya.] – (+628xxxxxxxxxx)Itu adalah isi pesan yang Airin dapatkan dari Gani. Mereka sudah bertukar kontak beberapa saat lalu dengan Airin yang pertama kali menghubungi nomor yang tertera dalam kartu nama yang Gani berikan. Airin pikir, mereka akan berkomukasi lebih sering mulai hari ini.Airin baru saja keluar dari kamar mandi saat mendapat pesan itu, dia lantas mulai bersiap-siap untuk pergi ke rumah utama menemui Sakha, niatnya untuk tidur malam ini terpaksa dia batalkan.Dan mungkin … dia tidak akan sempat tidur.Airin pikir gairahnya pada Sakha akan memudar setelah malam itu dan setelah dia mengetahui dirinya dalam keadaan hamil.Tapi tadi, ketika Airin tengah mandi, dia tidak sengaja teringat pada
Sakha tersenyum, lalu masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan apa pun lagi.Airin duduk di kursi dekat jendela sembari memikirkan rangkaian kata yang harus dia ucapkan pada suaminya ini nanti.Itu artinya, dia juga harus jujur bahwa tadi Gani mengunjungi paviliunnya. Rasanya tidak benar. Airin takut Sakha marah.“Kenapa tidak kamu beri tahu Sakha mengenai kehamilanmu? Dengan begitu dia akan langsung dengan mudah menceraikan istrinya yang lain.”Ucapan Gani tadi kembali terngiang di benaknya.Itu benar, seharusnya dia memang memberi tahu Sakha. Tapi di satu sisi Airin takut harapannya akan dihancurkan oleh pria itu. Lagipula, Airin tidak ingin istri-istri terdahulu diceraikan karena dirinya yang tengah mengandung.Rasanya juga tidak benar.Bagaimana pun Airin tidak menyukai mereka, Airin masih memiliki hati untuk memikirkan dan mempertimbangkan perasaan mereka. Mustahil Ria, Tia, dan Nia, tidak memiliki perasaan apa
Airin pernah diberi tahu oleh kakak-kakak di panti asuhan tempatnya dirawat dulu, bahwa dia adalah anak orang kaya yang sedang dititip. Bahkan ibu panti selalu memperlakukannya lebih istimewa dari anak panti yang lain. Sehingga hal itu membuat banyak anak panti tidak menyukai Airin dan membuatnya juga lebih menjadi pribadi yang menyendiri.Ibu panti selalu berkata padanya bahwa nanti orang tuanya akan datang menjemputnya.Airin selalu berandai-andai, dipenuhi harapan polos mengenai orang tua yang tidak pernah dia ketahui keberadaannya. Hingga di usianya yang hampir menginjak angka lima tahun, sepasang suami istri datang dengan niat untuk mengadopsinya.Airin pikir mereka adalah orang tua yang selama ini ditunggunya, tapi dengan cepat dia mengetahui kebenaran bahwa mereka bukan orang yang selama ini dia tunggu.Kemudian, dengan raut wajah sedih, ibu panti mengatakan pada Airin bahwa dia harus tinggal sementara bersama sepasang suami istri itu, sampai orang
Bab 70 – Malam TeredamTidur, memang rencana awal. Tapi entah sejak kapan pakaian yang mereka kenakan tadi kini berserakan di lantai. Lalu di atas ranjang yang luas itu, ditutup oleh bayang-bayang cahaya bulan, terdengar napas memburu saling bersahutan, diikuti suara desahan-desahan yang ditahan.Airin mengerang di bawah Sakha, mendapatkan pelepasannya yang entah sudah keberapa.Sementara Sakha, menatap wajah memerah Airin yang diliputi ekspresi kenikmatan, sembari menahan pelepasannya sendiri. Dia terus bergerak, tapi memelan ketika napas Airin juga berangsur ringan.Sakha berbisik seduktif di telinga gadis itu, “Lagi?”Airin menggeleng, tapi tidak memprotes ketika Sakha membalik tubuhnya—tanpa melepas penyatuan mereka. Lalu membuat Airin berbaring menyamping dan bersandar di dadanya, sementara dia mulai kembali bergerak.Posisi tersebut disambut Airin dengan erangan panjang, sehingga tanpa sadar per
Beberapa bulan kemudian.Satu per satu impian Airin selama ini akhirnya tercapai. Tidak lama setelah dia lulus dari kuliah, dia berhasil membuka sebuah brand dan toko parfum hasil buatan dan racikannya sendiri, yang selama ini selalu dia idam-idamkan untuk lakukan. Bisnisnya masih bertaraf bisnis kecil, tapi dia melakukan semuanya dengan sukacita.âSemua adalah hasil jerih payah kamu,â kata Sakha ketika di hari pembukaan toko Airin yang ramai dikunjungi oleh orang-orang, berkat promosi dan iklan yang dia lakukan di mana-mana.âTuan juga sudah membantu banyak,â sahut Airin, menggoda suaminya itu.Airin tidak ingin bersikap naif dengan melupakan bahwa tanpa Sakha dia tidak mungkin sampai di titik ini. Tapi Sakha bersikukuh bahwa dia tidak melakukan apa pun selain menginvestasikan uangnya ke bisnis Airin. Pria itu ingin sang istri bangga sepenuhnya kepada dirinya sendiri, yang mana sudah cukup Airin lakukan.âAku benar-benar bangga padamu,â bisik Sakha di telinga Airin saat orang-orang t
EXTRA PART 03 â Henia MaulidaSuara pintu berderit terbuka terdengar menggema di rumah besar yang sepi itu. Henia melangkah masuk ke dalam, sepatunya dia lepas dan kakinya berjinjit di lantai. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara apa pun supaya tidak membangunkan orang rumah.Namun, saat langkah kakinya baru saja menginjak satu anak tangga terbawah, sebuah suara terdengar di atasnya.âHabis ke mana kamu jam segini baru pulang?âItu suara ibunya. Henia menghela napas kasar lalu menapakkan kakinya lagi ke lantai. Lampu menyala dan raut muak di wajah Henia tampak semakin jelas.Dia melanjutkan lagi langkahnya menaiki tangga, memutuskan untuk tidak memedulikan ocehan ibunya.âWanita tidak bersuami seperti kamu seharusnya nggak keluyuran malam-malam dan pulang pagi seperti ini.âHenia mengepalkan tangannya kuat dan menatap bayangan ibunya di atas tangga dengan tatapan tajam.âAku bukan anak kecil lagi yang jam pulang aja harus diatur-atur,â balas Henia.âHenia! Kamu nggak dengar apa
âBunda!âTia mengangkat pandangannya dari majalah yang tengah ia baca, lalu menatap putranya yang berlari ke arahnya dengan seragam SMP berwarna putih dan biru tua. Senyum Tia mengembang, merentangkan tangan dan merangkul remaja itu dengan kasih sayang keibuan.âBagaimana sekolah kamu?âDean melepas ranselnya lalu mengambil sebuah kue dari atas meja. âAku ada tugas kelompok. Rencananya, aku mau ngerjainnya di rumah temenku hari sabtu nanti,â jawabnya sembari mengunyah.Tia mengangguk. âKamu boleh pergi.âPandangan Dean langsung tertuju ke arah ibunya itu. âBenar?â tanyanya hati-hati.âYa. Memang kenapa? Selama ini Bunda nggak pernah ngelarang, kan?âKedua bahu Dean lantas tampak lesu. âApa akhir pekan nanti Bunda bakal ada di sini sama aku?âPertanyaan itu menyentil Tia dan membuatnya merasa sedih. âDean, mulai sekarang Bunda bakal selalu ada sama kamu.âDean menatap ibunya itu dan terdiam. Dia mencari kejujuran di kedua mata sang bunda, namun masih juga belum yakin atas ucapannya. Ap
Setelah bercerai dengan mantan suaminya, Ria memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke negara tetangga, di mana di sana dia memulai kehidupan baru dengan seorang pria yang mencintainya. Ria teringat ucapan Sakha di malam saat pria itu menceraikannya, bahwa hati Ria tidak pernah berlabuh sepenuhnya kepada pria itu. Ria tidak pernah bisa mencintai Sakha. Mungkin memiliki sedikit perasaan padanya memang benar, tapi tidak pernah sampai tahap dia mencintai pria itu. Namun, ada satu pria, yang tidak pernah bisa Ria lupakan dan hilangkan dari hatinya semenjak remaja. Gani Akbar Hartono. Ria tidak pernah bilang bahwa dia mencintai Gani, tapi cinta yang diberikan Gani padanya terpampang dengan begitu jelas sehingga Ria luluh tanpa dia sadari. Sakha terlalu dingin. Gani hangat seperti matahari. Bahkan sampai sekarang, Ria kesusahan untuk berhenti membeda-bedakan dua orang itu. Dia telah hidup bahagia dengan Gani, pria yang kini telah menjadi suaminya, tapi dalam beberapa waktu pikiran Ria a
Halo, teman-teman pembaca semua. Kenalkan, saya Asia July, penulis kisah si istri keempat. (Sebenarnya saya dan Sakha sudah menikah siri, saya jadi istri kelimanya. :) Kisah Istri Keempat saya akhiri di bab 95. Itu karena saya sebagai istri kelima sudah saatnya bereaksi di balik layar merebut Sakha dari Airin. Jangan marah yaaa ;) Tapi, tenang saja, semuanya belum benar-benar berakhir. Akan ada EXTRA PART yang lumayan banyak! >,< Menceritakan tentang kisah Airin dan Sakha selanjutnya. Ada 1 konflik yang saya lempar, semoga nanti pembaca suka. Juga di extra part nanti, akan ada kisahnya Ria, Tia, dan Nia. Dan diakhiri dengan kisah Airin dan Sakha menanti kehamilan anak kedua. Lalu, di HIDDEN PART akan ada kisah saya sebagai istri kelima. (Ck! Sudah dibilang jangan iri!-_-) *ini becanda, gak ada hidden part!* Ucapan terima kasih saya sampaikan dengan tulus kepada teman-teman pembaca semua yang sudah membaca karya saya yang sangat penuh kekurangan
“Sekarang?” Sakha menjauhkan tubuh mereka dan menatap istrinya itu tepat di mata. “Tentu saja semuanya sudah berubah. Kamu merubah banyak hal dalam diriku dan duniaku.”Airin menangis. Dan Sakha mengusap pelan air matanya yang mengalir di pipi.“Airin?”“Hm?”“Apa kamu … mencintaiku?”“ …!”“Karena aku sangat mencintaimu.”Sontak tangisan Airin langsung terhenti. Dia menatap mata yang berwarna karamel itu, yang memantulkan cahaya lembut dari lampu di atas mereka. Airin mencari-cari, tapi dia tidak menemukan kebohongan.“Tidak masalah lagi dengan anak. Aku tidak pernah marah padamu saat tahu bahwa kita kehilangan bayi kita, harapanku saat itu hanya satu; mengambil semua rasa sakit yang kamu rasakan dan melimpahkannya padaku.“Dan tidak, Airin. Kalau kamu berpikir bahwa aku akan berpaling, maka kamu salah. Satu-sat
Gelengan kepala diberikan Sakha. Kepalanya mendadak terasa berat sehingga dia pun memajukan tubuhnya, dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Airin. Lalu berbisik, “Hanya kamu sekarang, Airin.”Tanda tanya besar menggantung dalam benak Airin. “Hanya aku? Maksud Mas, Kak Ria sudah ….”“Ya, dia bukan istriku lagi.”“Ba-bagaimana? Bukankah Mas dengan orang tua Kak Ria ….”Sakha terkekeh, ternyata Airin juga sudah tahu sejauh itu. “Aku pergi ke rumahnya. Dan berbicara dengan orang tuanya.”“Tapi bagaimana dengan perusahaan Mas?”Sakha mendesah lelah lagi. Dia menarik Airin dekat dan memeluk tubuhnya. “Aku benar-benar merindukanmu, Airin.”Dorongan adalah yang diberikan Airin sebagai jawaban dari ungkapan rindu itu. Ini bukan saatnya untuk mereka bermesra-mesraan. Ada banyak hal yang belum Sakha jelaskan padanya.Sakha menepis tangan Airin ya
Seperti malam sebelumnya. Sakha masuk ke kamar dan mendapati Airin telah tertidur pulas.Sekali lagi, dia menyesal karena pulang terlalu larut malam. Dia merindukan mata indah berwarna hitam kelam itu menatapnya. Dia rindu pada suara wanita itu berbicara padanya.Sekarang semuanya sudah baik-baik saja bagi mereka. Dan Airin bertahan sampai akhir tanpa banyak protes. Mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal, pikir Sakha.Perasaan bahagia menbuncah di dalam dadanya, membuat dia tidak bisa menahan diri untuk bergabung bersama Airin di atas ranjang dan memeluk istrinya itu erat.Sakha menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Airin, dan menghidu aromanya dalam-dalam lalu mengeluarkan suara seperti lirihan.Mustahil Airin tidak terbangun dibuatnya.Saat wanita itu membuka mata, dia terkejut, tapi tidak mengatakan apa pun. Bahkan bernapas pun dia takut, takut kalau itu akan membuat Sakha menjauh darinya. Tapi dorongan untuk membalas pelukan itu be
Airin menunggu, lagi. Tapi sudah hampir tengah malam, Sakha tidak kunjung pulang. Dia memang berkata ingin pergi dari sisi pria itu, tapi nanti setelah mereka berdua berbicara. Segalanya harus diluruskan. Airin tidak ingin pergi membawa penyesalan karena kebodohannya sendiri. Namun, sampai kantuk membawa kesadarannya pergiâseperti malam sebelumnyaâSakha belum juga pulang. *** Lagi-lagi pada makan malam. Sakha tidak tahu kenapa waktu malam dan makanan menjadi waktu yang tepat baginya. Atau mungkin kali ini tidak tepat? Kemarin di makan malam bersama Tia. Sekarang di acara yang sama bersama keluarga besar Ferdinan. Ayah mertuanya yang begitu bersemangat terus menerus membahas tentang bisnis sedari tadi, seberapa tidak sabarnya dia mengutarakan ide untuk bisnis barunya di meja makan itu, sampai Sakha bahkan tidak memiliki waktu untuk menyela dan mengutarakan maksud kedatangannya malam ini. Ria duduk di samping Sak