Sakha tersenyum, lalu masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan apa pun lagi.
Airin duduk di kursi dekat jendela sembari memikirkan rangkaian kata yang harus dia ucapkan pada suaminya ini nanti.
Itu artinya, dia juga harus jujur bahwa tadi Gani mengunjungi paviliunnya. Rasanya tidak benar. Airin takut Sakha marah.
“Kenapa tidak kamu beri tahu Sakha mengenai kehamilanmu? Dengan begitu dia akan langsung dengan mudah menceraikan istrinya yang lain.”
Ucapan Gani tadi kembali terngiang di benaknya.
Itu benar, seharusnya dia memang memberi tahu Sakha. Tapi di satu sisi Airin takut harapannya akan dihancurkan oleh pria itu. Lagipula, Airin tidak ingin istri-istri terdahulu diceraikan karena dirinya yang tengah mengandung.
Rasanya juga tidak benar.
Bagaimana pun Airin tidak menyukai mereka, Airin masih memiliki hati untuk memikirkan dan mempertimbangkan perasaan mereka. Mustahil Ria, Tia, dan Nia, tidak memiliki perasaan apa
Airin pernah diberi tahu oleh kakak-kakak di panti asuhan tempatnya dirawat dulu, bahwa dia adalah anak orang kaya yang sedang dititip. Bahkan ibu panti selalu memperlakukannya lebih istimewa dari anak panti yang lain. Sehingga hal itu membuat banyak anak panti tidak menyukai Airin dan membuatnya juga lebih menjadi pribadi yang menyendiri.Ibu panti selalu berkata padanya bahwa nanti orang tuanya akan datang menjemputnya.Airin selalu berandai-andai, dipenuhi harapan polos mengenai orang tua yang tidak pernah dia ketahui keberadaannya. Hingga di usianya yang hampir menginjak angka lima tahun, sepasang suami istri datang dengan niat untuk mengadopsinya.Airin pikir mereka adalah orang tua yang selama ini ditunggunya, tapi dengan cepat dia mengetahui kebenaran bahwa mereka bukan orang yang selama ini dia tunggu.Kemudian, dengan raut wajah sedih, ibu panti mengatakan pada Airin bahwa dia harus tinggal sementara bersama sepasang suami istri itu, sampai orang
Bab 70 – Malam TeredamTidur, memang rencana awal. Tapi entah sejak kapan pakaian yang mereka kenakan tadi kini berserakan di lantai. Lalu di atas ranjang yang luas itu, ditutup oleh bayang-bayang cahaya bulan, terdengar napas memburu saling bersahutan, diikuti suara desahan-desahan yang ditahan.Airin mengerang di bawah Sakha, mendapatkan pelepasannya yang entah sudah keberapa.Sementara Sakha, menatap wajah memerah Airin yang diliputi ekspresi kenikmatan, sembari menahan pelepasannya sendiri. Dia terus bergerak, tapi memelan ketika napas Airin juga berangsur ringan.Sakha berbisik seduktif di telinga gadis itu, “Lagi?”Airin menggeleng, tapi tidak memprotes ketika Sakha membalik tubuhnya—tanpa melepas penyatuan mereka. Lalu membuat Airin berbaring menyamping dan bersandar di dadanya, sementara dia mulai kembali bergerak.Posisi tersebut disambut Airin dengan erangan panjang, sehingga tanpa sadar per
Author Note : Harga bab ini murah, ya? Iya, soalnya pendek hehehe. Enjoooy~***Suasana di meja makan sangat hening tidak seperti biasanya. Ria terdiam menatap makanannya dengan kurang minat. Tia terlihat melamun. Sakha memakan makanannya pelan sembari beberapa kali melirik ke samping kirinya, pada Airin yang duduk di samping kiri Tia. Sementara Airin, tidak memperhatikan apa pun dan sibuk memakan makanannya dengan lahap.“Hm, di mana Gani?” tanya Sakha tiba-tiba.Ria langsung mendongak, menjawab pertanyaan suaminya cepat, “Gani pergi sebentar ke kota, Mas, ada urusan katanya.”Mendengar itu, Airin mendongak dari piringnya, menatap Ria. Mungkin karena sekarang dia sudah tahu, dia merasa hubungan Gani dan Ria memang terlalu dekat. Sekali pun mereka sahabat lama, janggal rasanya bahwa Ria mengetahui semua hal tentang lelaki itu, termasuk apa yang dia lakukan.Dan Airin jug
Setibanya Airin di kamarnya di paviliun, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor tanpa nama yang Airin kenali sebagai nomor Gani.[Mantan suaminya.]Kening Airin mengernyit kala melihat isi pesan singkat tersebut.Mantan suami? batin Airin membeo.Apa maksudnya?Lalu Airin pun teringat, sebelum menikah dengan Sakha, Nia adalah seorang istri yang berpaling dari suaminya, tertarik pada pria tampan dan kaya raya yang memberikan pinjaman pada keluarganya.Airin terkekeh dingin.Lantas sekarang apa? Nia kembali berpaling dari suaminya sendiri kepada pria itu. Melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.Airin tidak bisa berhenti membayangkan bagaimana perasaan Sakha kalau sampai mengetahui hal ini. Apa dia akan tersakiti? Membayangkan tatapan hangat suaminya itu berubah dingin dan membeku oleh kekecewaan.Kemudian sebuah pesan kembali masuk, Gani mengirim sebuah foto.Sebulir bening air mata jatuh menga
Airin tidur saat pagi hari selepas sarapan tadi dan bangun ketika siang dan terik sinar matahari sudah ada di atas kepala.Dia mencuci wajahnya di kamar mandi lalu keluar dan duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di dalam sana, menyadari bahwa pipinya tidak tampak setirus sebelumnya."Aku menjadi pemalas," gumam Airin, cemberut. Terlebih semenjak dia mengetahui kehamilannya ini, dia selalu merasa tidak bersemangat melakukan apa pun dan hanya ingin tidur.Suara ketukan di pintu mengalihkan atensi Airin. Dia sudah bisa menduga siapa yang ada di sana.Pasti Gani.Bergegas Airin ke luar untuk membuka pintu. Matanya melebar. Gani ada di sana, tapi bukan itu yang membuat Airin terkejut, melainkan wajah babak belur Gani yang ada di pandangannya saat ini."Airin," kata pria itu, kemudian meringis karena sudut bibirnya yang terluka dan terasa perih ketika digerakkan.Airin mengernyit menatapnya heran."Apa yang terjad
Hari semakin sore, hujan belum juga reda dan malah semakin deras. Sakha khawatir tentang ladangnya yang sepertinya lagi-lagi akan banyak yang gagal panen, padahal selama beberapa hari ini cuaca sangat bagus.Perusahaan yang Sakha miliki bergerak dalam banyak hal. Awalnya hanya berupa bisnis properti saja, lalu kemudian pariwisata—yang mana dia bekerja sama dengan Gani, kemudian yang terakhir dan baru-baru ini adalah perdagangan. Sakha memiliki sebuah pusat perbelanjaan besar di kota, yang juga sudah memiliki cabangnya di beberapa kota lain.Untuk meredakan rasa kekhawatirannya tersebut, Sakha berkata kepada Airin yang masih berada di dalam pelukannya, bergelung di balik selimut dan mencari kehangatan dari rasa dingin yang dibawa hujan.“Ceritakan aku sebuah cerita.”Airin yang baru saja hampir tenggelam dalam suasana syahdu itu dan tertidur, kembali membuka matanya lebar-lebar saat mendengar suara Sakha. Dia berdeham pelan.&ldquo
Ada yang lebih buruk dari hanya sekadar berhadapan dengan Gani pada siang hari yang panas dengan amarah yang terpendam, seperti kemarin. Ya, ada yang lebih buruk dari itu, yaitu berhadapan dengan Tia pada malam hari yang dingin dan nyaris membuat Airin menggigil.Sakha sudah pergi ke kota tadi sore, menjenguk orang tua Nia yang katanya sakit itu. Airin tidak bisa berhenti memikirkannya dan berdiam diri di paviliun entah kenapa terasa begitu sepi, sehingga dia bermaksud ke kamar Sakha dan tidur di sana. Namun, dalam perjalanannya Airin bertemu dengan Tia yang saat itu berada di dapur, duduk di meja bar dalam cahaya remang.Airin mengantuk, namun di sinilah dia harus menghadapi satu lagi masalah, yaitu si istri kedua yang juga memenuhi isi kepala Airin sejak kemarin.“Apa yang kamu rencanakan, Airin?” tanya Tia, suaranya terdengar dingin dan mengancam.“….” Airin terdiam.Gani kemarin bilang padanya, bahwa Tia nyaris ti
Langit telah ditutupi oleh awan mendung semenjak sore, dan hujan akhirnya turun ketika malam tiba, mengirimkan rasa dingin yang membeku ke balik-balik tembok tebal di rumah. Bahkan selimut tidak akan cukup membantu kalau tidak berlapis-lapis.Tangan Airin memutih dan ujung telapak jarinya mengerut. Semilir angin yang terasa basah berembus masuk ke dalam kamarnya, mengibaskan gorden putih yang basah. Dan Airin berdiri di hadapan jendela, menatap ke hujan di luar, tidak mempedulikan pada dingin yang menusuk-nusuk sampai tulang.“Semakin rumit dan rumit,” gumam Airin kepada dirinya sendiri, pandangannya tampak kosong sejenak.Airin sudah mencoba untuk tidur, tapi kantuk tidak kunjung datang menghampirinya. Rasa mual kembali mengganggunya dengan semakin parah, berkali-kali Airin harus bolak-balik kamar mandi, sampai dia menyerah dengan tidurnya dan memilih untuk berdiri di sini.Sepertinya, anaknya juga ikut merasakan perasaan yang tengah Airin ra