Ada yang lebih buruk dari hanya sekadar berhadapan dengan Gani pada siang hari yang panas dengan amarah yang terpendam, seperti kemarin. Ya, ada yang lebih buruk dari itu, yaitu berhadapan dengan Tia pada malam hari yang dingin dan nyaris membuat Airin menggigil.
Sakha sudah pergi ke kota tadi sore, menjenguk orang tua Nia yang katanya sakit itu. Airin tidak bisa berhenti memikirkannya dan berdiam diri di paviliun entah kenapa terasa begitu sepi, sehingga dia bermaksud ke kamar Sakha dan tidur di sana. Namun, dalam perjalanannya Airin bertemu dengan Tia yang saat itu berada di dapur, duduk di meja bar dalam cahaya remang.
Airin mengantuk, namun di sinilah dia harus menghadapi satu lagi masalah, yaitu si istri kedua yang juga memenuhi isi kepala Airin sejak kemarin.
“Apa yang kamu rencanakan, Airin?” tanya Tia, suaranya terdengar dingin dan mengancam.
“….” Airin terdiam.
Gani kemarin bilang padanya, bahwa Tia nyaris ti
Langit telah ditutupi oleh awan mendung semenjak sore, dan hujan akhirnya turun ketika malam tiba, mengirimkan rasa dingin yang membeku ke balik-balik tembok tebal di rumah. Bahkan selimut tidak akan cukup membantu kalau tidak berlapis-lapis.Tangan Airin memutih dan ujung telapak jarinya mengerut. Semilir angin yang terasa basah berembus masuk ke dalam kamarnya, mengibaskan gorden putih yang basah. Dan Airin berdiri di hadapan jendela, menatap ke hujan di luar, tidak mempedulikan pada dingin yang menusuk-nusuk sampai tulang.“Semakin rumit dan rumit,” gumam Airin kepada dirinya sendiri, pandangannya tampak kosong sejenak.Airin sudah mencoba untuk tidur, tapi kantuk tidak kunjung datang menghampirinya. Rasa mual kembali mengganggunya dengan semakin parah, berkali-kali Airin harus bolak-balik kamar mandi, sampai dia menyerah dengan tidurnya dan memilih untuk berdiri di sini.Sepertinya, anaknya juga ikut merasakan perasaan yang tengah Airin ra
"Kalau suamimu bertanya, aku tidak mau-""Aku tahu.""Tapi kalau dia bertanya, aku tidak mau disangkutpautkan.""Ck! Jangan terlalu percaya diri. Ini urusanku dengan Mas Sakha, orang lain tidak berhak ikut campur, apalagi kamu."Gani melengos, lalu menekan pedal gas semakin kuat untuk meluapkan kekesalannya pada perempuan di sampingnya yang selama perjalanan sedikit pun tidak membuka suara sampai Gani sendiri yang memulai.Mereka memasuki sebuah gerbang tinggi yang dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Awalnya Airin tidak terlalu memperhatikan, tapi dia tidak bisa berhenti menatap ke arah teras di mana seorang pria yang paling ingin dia hindari berdiri di sana seolah tengah menunggu sesuatu, atau lebih tepatnya adalah seseorang."Apa dia tahu?" Airin bertanya pada Gani."Hm," jawab Gani. "Dia tahu kamu menikah dengan rekan bisnisnya yang paling menguntungkan."Airin berdecak, dan sama sekali tidak mencoba menyembunyikan perasaan
Napasnya tertahan, tertegun oleh apa yang matanya pandang. Untuk sejenak dia berpikir bahwa apa yang dia lihat tidaklah nyata. Bahwa sosok yang ada di hadapannya saat ini hanyalah bayangan atau seseorang yang memang mirip dengan perempuan yang tengah dia rindukan."Ada yang ingin bertemu denganmu." Sakha mendengar suara Gani, namun pandangannya tidak lepas dari wanita yang ada di hadapannya. Bagaimana bisa wanita ini ada di sini saat ini? Berdandan dengan sangat cantik sampai Sakha nyaris tidak mengenalinya.Sakha benar-benar tidak percaya pada apa yang dia lihat."Airin."Dan perempuan itu tersenyum. Bibirnya yang dipoles lipstik berwarna cerah merekah seperti bunga ceri."Mas Sakha," ucapnya.Sakha semakin merasa bahwa dirinya telah gila karena terlalu merindukan istrinya ini. Ketika Sakha hendak mengatakan sesuatu yang lain, wanita di belakangnya menginterupsi."Oh, kamu pacar barunya Gani, ya. Kenalin, saya Thea Rahandika."
Keheningan yang terjadi setelahnya benar-benar terasa mengganggu. Airin tergoda untuk membantah asumsi suaminya ini, tapi dia lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat. Lagipula, tidak selamanya diam berartikan 'ya'.Namun Airin ragu Sakha akan mengartikan kebungkamannya sebagai jawaban 'tidak'.Kemudian tiba-tiba saja tangan Airin ditarik dan tubuhnya dibawa keluar dari kamar hotel itu."Mas Sakha, tunggu!" Airin meronta.Sakha bersikap seolah tidak mendengarnya. Dengan gerakan tergesa dia menyusuri lorong menuju lift."Mas Sakha! Mau ke mana?""Kita harus ke Dokter."Airin membulatkan matanya terkejut. Apa Sakha sungguh percaya bahwa dia hamil?Pintu lift berdenting terbuka, sebelum Airin sempat diseret masuk, dia menyentak tangannya sehingga terlepas dari pegangan erat suaminya itu. "Aku tidak pernah bilang kalau-"Tapi ucapan Airin itu dipotong Sakha dengan pelototan tajam. Sakha kembali menarik tangannya dan
Rumah itu dibangun di atas sebuah tanah yang sangat luas. Desainnya yang modern dan kekinian sangat berbeda dengan rumah yang Sakha miliki di desa. Rumah yang saat ini Airin pandang sangat menjelaskan karakter pemiliknya. Didominasi oleh warna gelap abu-abu dan putih serta kaca di mana-mana.Mereka menyusuri jalan yang diapit oleh bebatuan dan beberapa tumbuhan bunga sebagai pemanis yang diteringai oleh lampu taman redup. Bahkan setelah sampai di dalam, Airin tidak mengatakan apa pun atau mengungkapkan komentarnya mengenai seberapa berbedanya Sakha yang selama ini dia kenal di desa dengan yang sekarang berada di kota bersamanya.Ini menyesakkan Airin bahwa ternyata hanya sedikit hal yang dia ketahui tentang suaminya. Tapi itu tidak akan lama, Airin tahu bahwa dia akan terbiasa dan dia juga memiliki banyak waktu untuk mengenal suaminya itu lebih dekat."Kamarku ada di atas. Ayo!" Sakha menggandeng tangan Airin dan melangkah menuju tangga spiral yang membawa
Bab 81 – Kepercayaan Saat Airin bangun di keesokan harinya, dia tidak bisa menemukan Sakha di manapun. Matanya menyipit oleh sinar matahari yang mengintip dari kerai. Sejenak tadi dia sempat tidak ingat di mana dirinya berada. Sampai nuansa gelap di kamar itu mengingatkannya pada suaminya sendiri. Tubuhnya terasa ringan karena tidur nyenyaknya semalam, yang sudah lama tidak dia dapatkan. Senyum membingkai bibirnya ketika menarik napas dalam dan mencium aroma pria itu yang familiar. Lalu Airin pun menurunkan kaki ke lantai dan langsung pergi ke kamar mandi. Saat keluar, tidak ditemukannya Sakha di mana pun. Airin mengenakan pakaian yang sudah Sakha siapkan untuknya, berupa kaos berlengan panjang hitam yang kebesaran dan celana pendek. Jam sudah menunjukkan angka sepuluh pagi. Hari menjelang siang dan panas. Airin lapar. Dia keluar dan menemui Sakha yang ternyata tengah berada di dapur. Laki-laki itu berbalik ketika Airin melangkah mendekat. Sak
Tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka ke depannya. Airin juga tidak tahu langkah apa yang harus dia ambil selanjutnya. Atau bagaimana cara dia memberi tahu Sakha tentang semua pengkhianatan yang dilakukan para istrinya yang lain. Airin ingin melupakan itu semua sejenak dan fokus pada apa yang terjadi sekarang.Berjalan-jalan di halaman rumah pada sore hari tidak pernah menjadi begitu menyenangkan bagi Airin selama ini, kecuali sore yang sejuk sehabis hujan bersama suaminya.Tangan pria itu yang hangat menggenggam tangan Airin. Saat Airin mendongak menatap wajahnya dari samping, dia mendapati Sakha tengah tersenyum dengan tatapan tertuju ke depan, dan sekali lagi Airin memuji ketampanan suaminya tersebut.Melihat kebahagiaan yang tersirat dengan jelas di wajah pria itu, membuat Airin berharap bahwa Sakha tidak pernah tahu mengenai pengkhianatan Ria Tia dan Nia. Airin tidak ingin Sakha terluka. Dia tidak ingin melihat wajah tampan ini dinodai dengan ekspres
“Kamu benar-benar jahat, Rin. Kamu merebut Mas Sakha dari kita semua.” Itu adalah kalimat pertama yang Nia katakan setelah setengah jam mereka dalam keheningan di dalam mobil itu.Airin mengernyit. Apa maksud Nia mengucapkan itu secara tiba-tiba? “Aku tidak mengerti apa yang Kak Nia maksud. Bukankah selama ini hubungan kita semua baik-baik saja?”Nia tertawa, tapi suaranya terdengar marah ketika dia berkata, “Semuanya memang baik-baik saja sebelum kamu hadir di dalam rumah tangga aku dengan Mas Sakha!”Maka kini giliran Airin lah yang ingin terbahak. “Kak Nia salah,” kata Airin.“Maksud kamu?”Tanpa menatapnya, Airin menjawab, “Rumah tangga itu sudah hancur sejak awal.”Nia memberengut tidak suka. Dia membanting stir menyalip sebuah mobil dengan kecepatan semakin tinggi.Airin menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa gugupnya. “Kita akan ke mana?” tan