Rumah itu dibangun di atas sebuah tanah yang sangat luas. Desainnya yang modern dan kekinian sangat berbeda dengan rumah yang Sakha miliki di desa. Rumah yang saat ini Airin pandang sangat menjelaskan karakter pemiliknya. Didominasi oleh warna gelap abu-abu dan putih serta kaca di mana-mana.
Mereka menyusuri jalan yang diapit oleh bebatuan dan beberapa tumbuhan bunga sebagai pemanis yang diteringai oleh lampu taman redup. Bahkan setelah sampai di dalam, Airin tidak mengatakan apa pun atau mengungkapkan komentarnya mengenai seberapa berbedanya Sakha yang selama ini dia kenal di desa dengan yang sekarang berada di kota bersamanya.
Ini menyesakkan Airin bahwa ternyata hanya sedikit hal yang dia ketahui tentang suaminya. Tapi itu tidak akan lama, Airin tahu bahwa dia akan terbiasa dan dia juga memiliki banyak waktu untuk mengenal suaminya itu lebih dekat.
"Kamarku ada di atas. Ayo!" Sakha menggandeng tangan Airin dan melangkah menuju tangga spiral yang membawa
Bab 81 – Kepercayaan Saat Airin bangun di keesokan harinya, dia tidak bisa menemukan Sakha di manapun. Matanya menyipit oleh sinar matahari yang mengintip dari kerai. Sejenak tadi dia sempat tidak ingat di mana dirinya berada. Sampai nuansa gelap di kamar itu mengingatkannya pada suaminya sendiri. Tubuhnya terasa ringan karena tidur nyenyaknya semalam, yang sudah lama tidak dia dapatkan. Senyum membingkai bibirnya ketika menarik napas dalam dan mencium aroma pria itu yang familiar. Lalu Airin pun menurunkan kaki ke lantai dan langsung pergi ke kamar mandi. Saat keluar, tidak ditemukannya Sakha di mana pun. Airin mengenakan pakaian yang sudah Sakha siapkan untuknya, berupa kaos berlengan panjang hitam yang kebesaran dan celana pendek. Jam sudah menunjukkan angka sepuluh pagi. Hari menjelang siang dan panas. Airin lapar. Dia keluar dan menemui Sakha yang ternyata tengah berada di dapur. Laki-laki itu berbalik ketika Airin melangkah mendekat. Sak
Tidak tahu apa yang akan terjadi pada mereka ke depannya. Airin juga tidak tahu langkah apa yang harus dia ambil selanjutnya. Atau bagaimana cara dia memberi tahu Sakha tentang semua pengkhianatan yang dilakukan para istrinya yang lain. Airin ingin melupakan itu semua sejenak dan fokus pada apa yang terjadi sekarang.Berjalan-jalan di halaman rumah pada sore hari tidak pernah menjadi begitu menyenangkan bagi Airin selama ini, kecuali sore yang sejuk sehabis hujan bersama suaminya.Tangan pria itu yang hangat menggenggam tangan Airin. Saat Airin mendongak menatap wajahnya dari samping, dia mendapati Sakha tengah tersenyum dengan tatapan tertuju ke depan, dan sekali lagi Airin memuji ketampanan suaminya tersebut.Melihat kebahagiaan yang tersirat dengan jelas di wajah pria itu, membuat Airin berharap bahwa Sakha tidak pernah tahu mengenai pengkhianatan Ria Tia dan Nia. Airin tidak ingin Sakha terluka. Dia tidak ingin melihat wajah tampan ini dinodai dengan ekspres
“Kamu benar-benar jahat, Rin. Kamu merebut Mas Sakha dari kita semua.” Itu adalah kalimat pertama yang Nia katakan setelah setengah jam mereka dalam keheningan di dalam mobil itu.Airin mengernyit. Apa maksud Nia mengucapkan itu secara tiba-tiba? “Aku tidak mengerti apa yang Kak Nia maksud. Bukankah selama ini hubungan kita semua baik-baik saja?”Nia tertawa, tapi suaranya terdengar marah ketika dia berkata, “Semuanya memang baik-baik saja sebelum kamu hadir di dalam rumah tangga aku dengan Mas Sakha!”Maka kini giliran Airin lah yang ingin terbahak. “Kak Nia salah,” kata Airin.“Maksud kamu?”Tanpa menatapnya, Airin menjawab, “Rumah tangga itu sudah hancur sejak awal.”Nia memberengut tidak suka. Dia membanting stir menyalip sebuah mobil dengan kecepatan semakin tinggi.Airin menahan diri untuk tidak menunjukkan rasa gugupnya. “Kita akan ke mana?” tan
Beberapa meter sebelum mobil Sakha sampai di gerbang rumahnya, sebuah mobil lain tampak baru saja keluar dari sana. Dahi Sakha mengernyit. Menoleh ke arah spion, tapi tidak berhasil mengenali pemilik mobil itu atau siapa yang mengendarainya. Karena tidak pernah ada seorang tamu yang datang ke kediamannya yang satu ini.Billy berdiri di depan gerbang dengan ekspresi khawatir. Satpamnya itu terlonjak dan langsung diam di tempat saat lampu mobil Sakha menyorotnya. Dia memberhentikan mobilnya di samping Billy.“Siapa yang barusan datang ke sini?” tanya Sakha.Billy tampak ragu sesaat. Perasaannya tidak enak karena kepergian nyonya rumah tanpa sepengetahuan sang tuan. Billy takut menjadi orang yang disalahkan.“Billy.” Sakha memanggilnya lagi.Billy pun akhirnya memberi tahu Sakha semuanya, bahwa Airin dan seorang wanita bernama Henia dan yang dipanggil Airin sebagai Kak nia, datang dan membawa Airin pergi.Mesin mobil yan
Bab 85 – HarapanIni adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan bagi Sakha.Tidak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya, bahwa dalam waktu yang sangat singkat, dia akan duduk di sebuah kamar rumah sakit, menggenggam tangan seseorang yang sangat dia cintai, yang tengah terbaring tidak berdaya di sana.Sudah beberapa malam berlalu tanpa tidur yang nyenyak, tanpa istirahat dan berhenti cemas. Setiap kali Sakha menutup matanya untuk istirahat, yang terbayang di benaknya adalah rekaan ulang kecelakaan itu, diikuti dengan pengandaian yang nyaris membuatnya gila sendiri; bagaimana kalau dia telat?, bagaimana kalau dia bahkan tidak ada si sana?, atau bagaimana kalau saat itu hujan tidak turun?, apakah saat ini dia akan masih bisa menatap wajah perempuan yang dia cintai dengan napas yang masih berembus teratur dari hidung?Sakha mengelus punggung tangan yang pucat itu dengan lembut, menyatukan jemari mereka dan menangkupnya hangat dengan kedua tangan. Sakha m
Airin tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur, saat membuka mata, dia melihat Sakha tengah duduk di lantai dengan sebuah sajadah sebagai alasnya. Lalu pandangan Airin menatap ke arah langit-langit kamar, mengumpulkan kembali pikirannya yang terpecah belah.Jadi sepertinya sudah beberapa hari berlalu semenjak kecelakaan itu, yang Airin tidak terlalu ingat dengan jelas. Tapi dia ingat tentang rasa sakitnya, dan ketakutan yang melebihi rasa sakit itu sendiri.Samar, Airin ingat bahwa saat itu dia melihat wajah Sakha di sana, tepat sebelum dia menutup mata dan semuanya menjadi gelap.Apa yang terjadi setelahnya? Bagaimana Sakha bisa ada di sana? Dan bagaimana keadaan Henia sekarang?Semua pertanyaan itu memenuhi kepala Airin. Dan dia hanya tersadar saat Sakha memanggil namanya.“Airin.” Pria itu duduk di sofa di samping ranjang dan meraih tangan Airin.Airin menatap mata suaminya itu, mencoba mengenali setiap ekspresinya dan menyad
Bab 87 – Yang Terjadi SetelahnyaTiga minggu berlalu dengan sangat lambat. Airin masih dirawat di rumah sakit. Sakha masih menemaninya dan terkadang pergi untuk bekerja, tapi sekalipun pulang pada tengah malam Sakha selalu ada dan menemaninya di sana.Seperti malam ini. Dia duduk di sofa ditemani secangkir kopi. Pikiran Sakha yang akhir-akhir ini kacau kerap kali membuatnya terjaga semalaman. Bahkan sekalipun dia mengantuk, dia lebih memilih untuk tidak tidur, tapi biasanya dia tidak sadar akan jatuh tertidur dalam posisi duduk di sofa itu.Sakha tampak benar-benar kacau dan orang yang melihat juga pasti akan langsung menyadarinya.Tadinya, Sakha hendak menyerahkan semua masalah pekerjaannya ke asisten dan orang-orang kepercayaannya, sementara Sakha ingin berfokus menjaga Airin sampai istrinya ini sembuh. Namun ada beberapa hal di kantornya yang harus Sakha kerjakan sendiri yang tidak bisa diwakilkan oleh siapa pun.Sakha mungkin akan merasa
Bab 88 – CeraiAirin akhirnya diizinkan dokter untuk pulang. Dia belum sembuh sepenuhnya, masih harus melakukan pemeriksaan beberapa kali ke rumah sakit. Itulah kenapa Sakha tidak langsung mengajaknya pulang ke desa, melainkan ke rumah pribadinya sendiri di kota.“Kamu tidak masalah ‘kan tinggal di sini dulu?” tanya Sakha sembari membukakan pintu kamar untuk Airin.Airin, yang berjalan bagai mayat hidup itu hanya mengangguk dengan gerakan kaku.Sakha tidak mengatakan apa pun. Bahkan sekalipun dia ingin berucap, dia menelan kembali kata-katanya, takut Airin akan semakin mengabaikannya.“Mau makan lagi?” tawar Sakha.Airin menggeleng. Saat dia berbalik dan melihat wajah lelah suaminya, Airin merasa semakin bersalah. “Aku sudah kenyang,” jawabnya kemudian.“Baiklah. Kalau begitu istirahat saja dulu.” Sakha melangkah ke pintu, berniat untuk pergi.Menyadari itu, Airin refl