Setibanya Airin di kamarnya di paviliun, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari nomor tanpa nama yang Airin kenali sebagai nomor Gani.
[Mantan suaminya.]
Kening Airin mengernyit kala melihat isi pesan singkat tersebut.
Mantan suami? batin Airin membeo.
Apa maksudnya?
Lalu Airin pun teringat, sebelum menikah dengan Sakha, Nia adalah seorang istri yang berpaling dari suaminya, tertarik pada pria tampan dan kaya raya yang memberikan pinjaman pada keluarganya.
Airin terkekeh dingin.
Lantas sekarang apa? Nia kembali berpaling dari suaminya sendiri kepada pria itu. Melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.
Airin tidak bisa berhenti membayangkan bagaimana perasaan Sakha kalau sampai mengetahui hal ini. Apa dia akan tersakiti? Membayangkan tatapan hangat suaminya itu berubah dingin dan membeku oleh kekecewaan.
Kemudian sebuah pesan kembali masuk, Gani mengirim sebuah foto.
Sebulir bening air mata jatuh menga
Airin tidur saat pagi hari selepas sarapan tadi dan bangun ketika siang dan terik sinar matahari sudah ada di atas kepala.Dia mencuci wajahnya di kamar mandi lalu keluar dan duduk di depan meja rias, menatap pantulan dirinya di dalam sana, menyadari bahwa pipinya tidak tampak setirus sebelumnya."Aku menjadi pemalas," gumam Airin, cemberut. Terlebih semenjak dia mengetahui kehamilannya ini, dia selalu merasa tidak bersemangat melakukan apa pun dan hanya ingin tidur.Suara ketukan di pintu mengalihkan atensi Airin. Dia sudah bisa menduga siapa yang ada di sana.Pasti Gani.Bergegas Airin ke luar untuk membuka pintu. Matanya melebar. Gani ada di sana, tapi bukan itu yang membuat Airin terkejut, melainkan wajah babak belur Gani yang ada di pandangannya saat ini."Airin," kata pria itu, kemudian meringis karena sudut bibirnya yang terluka dan terasa perih ketika digerakkan.Airin mengernyit menatapnya heran."Apa yang terjad
Hari semakin sore, hujan belum juga reda dan malah semakin deras. Sakha khawatir tentang ladangnya yang sepertinya lagi-lagi akan banyak yang gagal panen, padahal selama beberapa hari ini cuaca sangat bagus.Perusahaan yang Sakha miliki bergerak dalam banyak hal. Awalnya hanya berupa bisnis properti saja, lalu kemudian pariwisata—yang mana dia bekerja sama dengan Gani, kemudian yang terakhir dan baru-baru ini adalah perdagangan. Sakha memiliki sebuah pusat perbelanjaan besar di kota, yang juga sudah memiliki cabangnya di beberapa kota lain.Untuk meredakan rasa kekhawatirannya tersebut, Sakha berkata kepada Airin yang masih berada di dalam pelukannya, bergelung di balik selimut dan mencari kehangatan dari rasa dingin yang dibawa hujan.“Ceritakan aku sebuah cerita.”Airin yang baru saja hampir tenggelam dalam suasana syahdu itu dan tertidur, kembali membuka matanya lebar-lebar saat mendengar suara Sakha. Dia berdeham pelan.&ldquo
Ada yang lebih buruk dari hanya sekadar berhadapan dengan Gani pada siang hari yang panas dengan amarah yang terpendam, seperti kemarin. Ya, ada yang lebih buruk dari itu, yaitu berhadapan dengan Tia pada malam hari yang dingin dan nyaris membuat Airin menggigil.Sakha sudah pergi ke kota tadi sore, menjenguk orang tua Nia yang katanya sakit itu. Airin tidak bisa berhenti memikirkannya dan berdiam diri di paviliun entah kenapa terasa begitu sepi, sehingga dia bermaksud ke kamar Sakha dan tidur di sana. Namun, dalam perjalanannya Airin bertemu dengan Tia yang saat itu berada di dapur, duduk di meja bar dalam cahaya remang.Airin mengantuk, namun di sinilah dia harus menghadapi satu lagi masalah, yaitu si istri kedua yang juga memenuhi isi kepala Airin sejak kemarin.“Apa yang kamu rencanakan, Airin?” tanya Tia, suaranya terdengar dingin dan mengancam.“….” Airin terdiam.Gani kemarin bilang padanya, bahwa Tia nyaris ti
Langit telah ditutupi oleh awan mendung semenjak sore, dan hujan akhirnya turun ketika malam tiba, mengirimkan rasa dingin yang membeku ke balik-balik tembok tebal di rumah. Bahkan selimut tidak akan cukup membantu kalau tidak berlapis-lapis.Tangan Airin memutih dan ujung telapak jarinya mengerut. Semilir angin yang terasa basah berembus masuk ke dalam kamarnya, mengibaskan gorden putih yang basah. Dan Airin berdiri di hadapan jendela, menatap ke hujan di luar, tidak mempedulikan pada dingin yang menusuk-nusuk sampai tulang.“Semakin rumit dan rumit,” gumam Airin kepada dirinya sendiri, pandangannya tampak kosong sejenak.Airin sudah mencoba untuk tidur, tapi kantuk tidak kunjung datang menghampirinya. Rasa mual kembali mengganggunya dengan semakin parah, berkali-kali Airin harus bolak-balik kamar mandi, sampai dia menyerah dengan tidurnya dan memilih untuk berdiri di sini.Sepertinya, anaknya juga ikut merasakan perasaan yang tengah Airin ra
"Kalau suamimu bertanya, aku tidak mau-""Aku tahu.""Tapi kalau dia bertanya, aku tidak mau disangkutpautkan.""Ck! Jangan terlalu percaya diri. Ini urusanku dengan Mas Sakha, orang lain tidak berhak ikut campur, apalagi kamu."Gani melengos, lalu menekan pedal gas semakin kuat untuk meluapkan kekesalannya pada perempuan di sampingnya yang selama perjalanan sedikit pun tidak membuka suara sampai Gani sendiri yang memulai.Mereka memasuki sebuah gerbang tinggi yang dijaga ketat oleh beberapa penjaga. Awalnya Airin tidak terlalu memperhatikan, tapi dia tidak bisa berhenti menatap ke arah teras di mana seorang pria yang paling ingin dia hindari berdiri di sana seolah tengah menunggu sesuatu, atau lebih tepatnya adalah seseorang."Apa dia tahu?" Airin bertanya pada Gani."Hm," jawab Gani. "Dia tahu kamu menikah dengan rekan bisnisnya yang paling menguntungkan."Airin berdecak, dan sama sekali tidak mencoba menyembunyikan perasaan
Napasnya tertahan, tertegun oleh apa yang matanya pandang. Untuk sejenak dia berpikir bahwa apa yang dia lihat tidaklah nyata. Bahwa sosok yang ada di hadapannya saat ini hanyalah bayangan atau seseorang yang memang mirip dengan perempuan yang tengah dia rindukan."Ada yang ingin bertemu denganmu." Sakha mendengar suara Gani, namun pandangannya tidak lepas dari wanita yang ada di hadapannya. Bagaimana bisa wanita ini ada di sini saat ini? Berdandan dengan sangat cantik sampai Sakha nyaris tidak mengenalinya.Sakha benar-benar tidak percaya pada apa yang dia lihat."Airin."Dan perempuan itu tersenyum. Bibirnya yang dipoles lipstik berwarna cerah merekah seperti bunga ceri."Mas Sakha," ucapnya.Sakha semakin merasa bahwa dirinya telah gila karena terlalu merindukan istrinya ini. Ketika Sakha hendak mengatakan sesuatu yang lain, wanita di belakangnya menginterupsi."Oh, kamu pacar barunya Gani, ya. Kenalin, saya Thea Rahandika."
Keheningan yang terjadi setelahnya benar-benar terasa mengganggu. Airin tergoda untuk membantah asumsi suaminya ini, tapi dia lebih memilih menutup mulutnya rapat-rapat. Lagipula, tidak selamanya diam berartikan 'ya'.Namun Airin ragu Sakha akan mengartikan kebungkamannya sebagai jawaban 'tidak'.Kemudian tiba-tiba saja tangan Airin ditarik dan tubuhnya dibawa keluar dari kamar hotel itu."Mas Sakha, tunggu!" Airin meronta.Sakha bersikap seolah tidak mendengarnya. Dengan gerakan tergesa dia menyusuri lorong menuju lift."Mas Sakha! Mau ke mana?""Kita harus ke Dokter."Airin membulatkan matanya terkejut. Apa Sakha sungguh percaya bahwa dia hamil?Pintu lift berdenting terbuka, sebelum Airin sempat diseret masuk, dia menyentak tangannya sehingga terlepas dari pegangan erat suaminya itu. "Aku tidak pernah bilang kalau-"Tapi ucapan Airin itu dipotong Sakha dengan pelototan tajam. Sakha kembali menarik tangannya dan
Rumah itu dibangun di atas sebuah tanah yang sangat luas. Desainnya yang modern dan kekinian sangat berbeda dengan rumah yang Sakha miliki di desa. Rumah yang saat ini Airin pandang sangat menjelaskan karakter pemiliknya. Didominasi oleh warna gelap abu-abu dan putih serta kaca di mana-mana.Mereka menyusuri jalan yang diapit oleh bebatuan dan beberapa tumbuhan bunga sebagai pemanis yang diteringai oleh lampu taman redup. Bahkan setelah sampai di dalam, Airin tidak mengatakan apa pun atau mengungkapkan komentarnya mengenai seberapa berbedanya Sakha yang selama ini dia kenal di desa dengan yang sekarang berada di kota bersamanya.Ini menyesakkan Airin bahwa ternyata hanya sedikit hal yang dia ketahui tentang suaminya. Tapi itu tidak akan lama, Airin tahu bahwa dia akan terbiasa dan dia juga memiliki banyak waktu untuk mengenal suaminya itu lebih dekat."Kamarku ada di atas. Ayo!" Sakha menggandeng tangan Airin dan melangkah menuju tangga spiral yang membawa