“Aku ….” Sakha menatap Airin, kehabisan kata-kata.
“Lihat? Tuan bahkan tidak bisa menjawab,” sahut Airin, tapi suaranya terdengar tenang dan terkontrol, seolah jawaban Sakha sama sekali tidak mempengaruhinya. Padahal itu sangat menyakiti Airin di dalam.
Tapi ini adalah sebuah resiko yang dia ambil sejak awal. Sakha tidak bisa dia salahkan. Kalau Airin tidak siap menghadapi semua ini, dia tidak akan berada di sini sekarang? Sejak awal Airin mengatakan ini pada dirinya sendiri, bahwa karena dia sanggup lah maka dia harus menikah dengan Sakha. Kalau yang sekarang ada di tempatnya adalah Mawar atau Melati, mereka tidak akan bertahan lama. Adik-adiknya itu akan hancur dengan kekecewaan yang sangat dalam.
Airin tidak tahu mengapa percakapan mereka bisa sampai sini. Menyuruh Sakha untuk menceraikan ketiga istrinya? Itu adalah permintaan yang sangat tidak tahu diri.
Kalau memang ada yang harus diceraikan dalam rumah t
Napas Airin berangsur ringan dan tenang, seperti hujan di luar sana yang juga mereda dan hanya menyisakan rintik-rintik ringan air.Sakha masih memeluknya erat dan kini telah membawanya ke ranjang di mana di sana dia berbaring setelah bersandar di dada suaminya.Sedari tadi, Sakha tidak mengatakan apa pun atau menjawab pertanyaan apa pun yang Airin lontarkan. Dia takut apa yang akan dikatakannya malah justru semakin menyakiti gadis ini. Jadi diam, bagi Sakha, adalah pilihan terbaik.Mendengar tangisan Airin sudah cukup membuatnya berantakan di dalam.Tubuh Airin sendiri terasa lemas setelah luapan emosi itu. Menangis memang selalu membuatnya kelelahan dan pusing. Dia bahkan tidak punya cukup tenaga untuk menyingkirkan tubuh Sakha sehingga dia bisa berdiri di atas kakinya sendiri.Rasanya Airin ingin pergi ke suatu tempat di mana dia bisa melupakan semua ini sejenak. Tempat di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri sepenuhnya dan melepas semua persoa
Sesaat setelah itu, Airin merasa seperti sebuah gurun yang diguyur hujan dalam semalam, atau seseorang yang sudah lama tidak meresakan tetesan air. Dia kehausan, panas, dingin, semuanya menjadi satu. Dan yang mampu mengobati semua itu hanyalah Sakha, suaminya, dengan ciuman dan sentuhan-sentuhan menggoda yang pria itu demonstrasikan ke tubuhnya yang telah sangat mendamba.Sakha menggeram, lalu memosisikan dirinya di atas Airin. Saat dirasanya itu tidak cukup, dia merapatkan tubuh mereka sehingga tidak ada lagi jarak. Sakha menggigit bibir istrinya, mengulumnya keras, dan menyeruakkan lidahnya ke dalam, berkelindan mesra dengan lidah Airin.Suara basah dari ciuman yang panas itu terdengar menguasai indera pendengaran mereka. Dan tidak ada hal lain lagi yang lebih penting dari diri mereka berdua dan apa yang tengah mereka lakukan.Sakha menurunkan kecupannya ke bawah, menyusuri dagu Airin, turun ke bawah sampai ke denyut cepat nadi Airin di lehernya , Sakha suka b
âJadi, Mas menginap di rumah orang tua Airin.â Galih, yang tengah berdiri kaku di hadapan majikan perempuannya itu menganggukkan kepala. âYa, Nyonya,â jawabnyaa. Nia duduk sembari menyilangkan kaki di sofa. Baju tidur berupa kimono satin yang ia kenakan tersingkap sehingga paha putihnya yang mulus terpampang jelas. Galih semakin mengalihkan pandangnya dan menahan diri untuk tidak menoleh. Bagaimana pun, dia adalah lelaki normal, berada berdua di bawah pendar lampu kuning yang semakin memancarkan kilauan halus kulit perempuan di hadapannya, bukanlah sesuatu yang biasa bagi Galih. Terlebih karena ini adalah Nyonya Nia. âKenapa? Ibunya sakit? Atau apa bapaknya yang tukang hutang itu sedang sekarat?â tanya Nia dengan suara kesal yang amat kental. Galih tidak tahu harus menjawab apa. Sakha juga tidak menjelaskan apa pun. Dia hanya bisa menebak bahwa hubungan sang tuan dengan istri mudanya sedang tidak baik. âTidak. Tuan cum
“Kamu butuh apa lagi?” suara Sakha mengalun penuh perhatian setelah melepaskan cangkir teh ke meja di hadapan Airin.Airin menggeleng, menggumamkan terima kasih pada Sakha.Mereka kembali berada di kamar. Rumah masih sepi pada pagi menjelang siang itu, keluarga Airin belum kembali dari kota. Airin sudah mengganti bajunya dan membersihkan diri, begitupun juga dengan Sakha.Mengenai kekacauan yang Airin buat di luar sana, Airin bahkan tidak berani memikirkannya.“Kamu yakin?” tanya Sakha sekali lagi.“Ya,” jawab Airin sebelum menyeruput isi cangkirnya pelan.Tatapan Sakha yang masih berbalut rasa cemas tidak sedikit pun berpaling dari wajah Airin. Dia kemudian duduk di sampingnya, mengulurkan tangan untuk menyentuh anak rambut Airin dan menyisipkannya ke belakang telinga.“Apa tidak sebaiknya kita ke Dokter?”Airin menggeleng cepat-cepat. “Tidak perlu!” tolaknya tegas.
Paginya, Airin dijemput oleh Galih. Karena pikiran Airin terlalu berkecamuk, dia tidak sempat mengucapkan selamat pada Mawar atau mengobrol dengan orang tuanya setelah sekian lama tidak bertemu. Dan mereka tampaknya cukup mengerti bahwa ada sesuatu yang menganggu pikiran Airin sehingga mereka tidak banyak bertanya.Bahkan saat berada di dalam mobil bersama Galih, Airin tidak membuka suara sedikit pun. Galih menatapnya heran sekaligus cemas. Apa kejadian dua hari lalu masih berlanjut sampai sekarang? pikirnya.Sesampai di rumah, Airin tidak mengucapkan apa pun pada Galih, dia langsung berjalan lurus menuju paviliun. Hari sudah cukup siang dan Sakha pasti sudah pergi dengan urusan-urusannya yang tidak mau Airin tahu.Saat bangunan paviliunnya tampak di mata, Airin merasakan kesuraman melingkupi tempat itu, persis seperti hatinya sekarang.Tempat ini, sekalipun dihuni oleh banyak orang, tapi tetap terasa sepi dan sunyi. Atau itu hanya perasaan Airin
Tidak kah ini terlalu berlebihan? Airin melamun saat sedang menumpahkan air minum ke dalam gelas untuk Gani yang saat ini menunggunya di sofa, alhasil air yang sedang Airin tumpah mengalir ke luar gelas. Airin tersadar dan buru-buru mengelapnya.Saat Airin berjalan membawa gelas air minum itu ke arah ruang tamu, dia memikirkan Sakha, dan bagaimana kehidupan rumah tangga ini yang begitu kacau.Airin meletakkan gelas itu ke hadapan Gani yang langsung diminumnya sampai habis. Gani tampak sangat resah seperti seseorang yang baru saja melakukan kesalahan.Dan memang ya, baginya dia sudah melakukan kesalahan karena membeberkan hal ini pada Airin. Kalau Sakha sampai tahu, maka akan semakin runyam urusannya. Ria juga akan marah dan mungkin berbalik memusuhinya.Gani cemas.Airin sebaliknya.“Ceritakan padaku sampai mana hubunganmu dengan Kak Ria,” ujar Airin.Gani menggeleng. “Kamu berjanji tidak akan memberit
[Nia pulang ke kota karena suatu urusan, tapi aku yakin dia hendak menemui selingkuhannya. Aku juga akan pergi untuk mengurus hal itu. Sakha malam ini sendiri. Datang dan bicara padanya! Awas saja kalau kamu sampai gagal membujuknya.] – (+628xxxxxxxxxx)Itu adalah isi pesan yang Airin dapatkan dari Gani. Mereka sudah bertukar kontak beberapa saat lalu dengan Airin yang pertama kali menghubungi nomor yang tertera dalam kartu nama yang Gani berikan. Airin pikir, mereka akan berkomukasi lebih sering mulai hari ini.Airin baru saja keluar dari kamar mandi saat mendapat pesan itu, dia lantas mulai bersiap-siap untuk pergi ke rumah utama menemui Sakha, niatnya untuk tidur malam ini terpaksa dia batalkan.Dan mungkin … dia tidak akan sempat tidur.Airin pikir gairahnya pada Sakha akan memudar setelah malam itu dan setelah dia mengetahui dirinya dalam keadaan hamil.Tapi tadi, ketika Airin tengah mandi, dia tidak sengaja teringat pada
Sakha tersenyum, lalu masuk ke kamar mandi tanpa mengatakan apa pun lagi.Airin duduk di kursi dekat jendela sembari memikirkan rangkaian kata yang harus dia ucapkan pada suaminya ini nanti.Itu artinya, dia juga harus jujur bahwa tadi Gani mengunjungi paviliunnya. Rasanya tidak benar. Airin takut Sakha marah.“Kenapa tidak kamu beri tahu Sakha mengenai kehamilanmu? Dengan begitu dia akan langsung dengan mudah menceraikan istrinya yang lain.”Ucapan Gani tadi kembali terngiang di benaknya.Itu benar, seharusnya dia memang memberi tahu Sakha. Tapi di satu sisi Airin takut harapannya akan dihancurkan oleh pria itu. Lagipula, Airin tidak ingin istri-istri terdahulu diceraikan karena dirinya yang tengah mengandung.Rasanya juga tidak benar.Bagaimana pun Airin tidak menyukai mereka, Airin masih memiliki hati untuk memikirkan dan mempertimbangkan perasaan mereka. Mustahil Ria, Tia, dan Nia, tidak memiliki perasaan apa