Galih mengampiri Airin dan mengambil kembali ponselnya.
"Ririn, Tuan bilang apa?" tanya Galih penasaran. Dia sebenarnya tidak ingin ikut campur, tapi ekspresi di wajah Airin saat ini benar-benar mengkhawatirkan. Bahkan ada jejak air mata di pipinya.
Airin tersadar, lalu segera memasang senyum penuh misteri. "Biasa, masalah rumah tangga!" jawabnya.
Sekalipun Airin mengatakannya dengan nada biasa-biasa saja dan terkesan acuh, tapi melihat dari ekspresi Airin sebelumnya, Galih tahu ada yang tengah perempuan itu sembunyikan. Namun ini bukanlah ranahnya untuk tahu.
Sesampainya Airin di rumah utama, Ria dan Nia ternyata sudah sampai. Airin cukup terkejut dengan kehadiran dua istri Sakha yang cantik-cantik itu tengah duduk-duduk manis di teras. Airin yakin, siapa pun yang melihatnya pasti akan mengira bahwa dua bidadari tengah mampir ke rumah ini.Airin tidak melebih-lebihkan, dibanding dengan dirinya yang saat ini mengenakan pakaian lusuh berlapis-lapis dan wajah yang hampir tertutup debu, Ria dan Nia tampil sangat cantik.Saat Airin turun dari mobil, kedua pandangan wanita di teras rumah itu tertuju langsung padanya. Airin tersenyum pada mereka."Ya ampun, Ririn?!" seru Ria.
Airin bergabung dengan yang lain di dalam, melihat ketiga istri Sakha yang lain sibuk membuka bingkisan yang Tia bawa dan heboh sendiri dengan oleh-oleh itu. Sementara Airin tanpa sadar sibuk memakan manisan pala yang Tia bawa juga dan dia suguhkan di meja. Sedangkan Sakha dan Gani langsung beralih ke ruang kerja, entah untuk membahas apa.Airin mencoba untuk tidak memikirkannya, tapi nyaris seluruh perhatian di kepalanya terus saja tertuju ke sana.Apa yang Gani lakukan di sini?Apa hubungannya Gani dengan Sakha?Dan apa yang a
Kamar Airin gelap. Ruang tamu juga gelap. Tapi dari cahaya yang masuk melalui jendela yang terbuka, Airin bisa melihat dengan jelas wajah suaminya terpampang di hadapannya."Airin," lirih pria itu. Suaranya rendah dan nyaris tercekat.Airin merasakan dingin yang tadi membuatnya nyaman mulai membekukan, lalu melebur dan mencair begitu saja, hanya karena satu panggilan nama yang seharusnya tidak berartikan apa pun, tapi sangat dahsyat yang Airin rasakan karenanya."Tuan," sahut Airin pelan.Apa yang Sakha lakukan di sini? Bukankah
Tapi pasti ada alasan lain, pikir Airin lagi. Dia menatap Sakha yang kemudian melangkah menghampiri meja rias. Jantung Airin berdetak semakin tidak karuan dibuatnya, mengingat apa yang dulu juga pernah mereka lakukan di sana. Apakah Sakha ingin menggunakan gaya aneh itu lagi?“Apa yang hendak Tuan lakukan?” tanya Airin kemudian, suaranya terdengar gugup. Ini pertanyaan yang entah sudah keberapa kali.Sakha menarik kursi dan menatap Airin. “Duduk di sini, Airin!”Airin mengernyit. “Untuk apa?”Sakha menghela napas sabar. “Duduklah dulu.”Dengan langkah yang sedikit terseok dan ragu-ragu, Airin pun duduk di kursi riasnya itu. Sakha berputar lalu berdiri di belakangnya, menatap Airin melalui cermin oval di hadapannya. Kening Sakha tampak berkenyit pelan.“Wajahmu ….”“Kenapa?” tanya Airin bingung.“Tampak lebih tirus dari biasanya. Apa Ga
Sakha terkejut. Benar-benar tidak menduga Airin akan melakukannya.Sejenak, Sakha hanya mematung, tidak membalas ciuman Airin karena mendadak respon tubuhnya membeku. Tapi itu tidak berlangsung lama, karena kelembutan dan kehangatan serta godaan-godaan yang diberikan Airin segera membakarnya.Airin, jelas adalah seorang amatiran di awal. Juga nyaris kehilangan kepercayaan dirinya dalam ciuman itu ketika Sakha butuh beberapa detik lamanya untuk merespon. Namun ketika Sakha bergerak dengan tiba-tiba, berlutut di lantai dan mendorong Airin ke kursi; memperdalam ciuman mereka, Airin tidak butuh untuk tahu cara melakukannya dengan benar, karena Sakha adalah seorang pencium yang ulung, yang dalam sekejap langsung bisa membuat Airin melupakan banyak hal selain diri mereka berdua, di sana, bersama getaran-getaran yang menggoda setiap syaraf dalam tubuh.Tangan Sakha tenggelam dalam helai rambut Airin yang hitam legam, menggenggamnya pelan dan menariknya dengan lembut ke
Sakha malam itu pun pergi dari paviliun dengan mood yang buruk. Ketika dia hendak masuk ke dalam kamarnya, dia teringat bahwa dia seharusnya berada di kamar istri keduanya. Tapi apa yang dia lakukan tadi? Mengunjungi Airin tanpa pikir panjang dan memberikannya hadiah cincin. Benda itu seharusnya Sakha berikan pada saat jadwal Airin seminggu ke depan, seperti rencananya di awal. Tapi saat melihat Airin tadi, dia tidak kuasa untuk menahan dirinya. Dan siapa sangka respon gadis itu akan seperti itu. Sakha dibuat kelimpungan. Dan sekarang kepalanya berdenyut sakit. Dia berbelok dari lorong kamarnya, menuju ruang kerja. Ruang kerjanya didesain seperti tipikal ruang kerja pada umumnya, diisi dengan satu lemari buku, satu meja kerja dan kursi, serta sofa untuk dia menerima tamu. Namun semuanya tampak monoton, kecuali sebuah lukisan di dinding yang menampilkan pemandangan indah desa Telaga Waru pada pagi hari. Sakha ingat membeli karya seni itu dari seniman l
Berinisiatif untuk memecah keheningan di antara mereka, Airin pun berdeham. “Ngomong-ngomong,” ucapnya memulai, “pria tadi siapa, ya?”Sontak Ria langsung menoleh padanya. “Aku pikir kalian saling kenal? Gani bilang kamu mantan pembantunya ‘kan?”Airin merasakan dirinya ingin sekali meremas atau meninju sesuatu saat itu juga. “Aku lupa-lupa inget sebenarnya, itu udah lama banget.”“Oh, jadi bener kamu pernah jadi pembantu, Rin?”Airin tidak menjawab celetukan Nia itu.“Tapi aku nggak kaget sih. Kamu emang … punya penampilan yang kadang begitu. Jangan tersinggung, ya.”“Hm,” sahut Airin dingin. Sekalipun yang dikatakan Gani kebohongan dan yang dipercayai Ria, Tia, dan Nia, bahkan Sakha, adalah salah, Airin tidak mencoba untuk memperbaiki apa pun. Tapi dia juga tidak pernah mengiyakan.Rasanya percuma, pikir Airin dengan le
Bab 58 – Kehilangan Cincin“Galih, kamu sekarang sudah ganti atasan?”Galih langsung menjauhkan ponselnya dari telinga dan mengerut putus asa saat mendengar pertanyaan yang diucapkan dengan nada dingin tersebut.“Nggak lah, Bos. Bos Sakha satu-satunya.”“Saya nggak butuh kata-kata tanpa aksi yang nyata.”Galih lagi-lagi hanya bisa meringis. Tuannya benar-benar terdengar tidak senang. Tapi siapa yang bisa disalahkan? Selama ini Galih mendapat kesan bahwa Airin telah menjadi istri kesayangan Sakha. Tuannya tersebut bahkan meminta Galih untuk menjaga Airin saat dia sedang tidak ada. Jadi Galih berpikir, perintah Airin juga adalah ‘setengah’ perintah tuannya.Siapa yang bisa menyalahkan Galih dalam hal ini?“Ma-maaf, Bos. Tadi Ririn soalnya kasian banget, Bos. Dia bilang Bos lagi marah besar sama dia. Saya jadi nggak tega,” ungkap Galih, berharap dengan itu Sakha a