Airin nyaris tidak bernapas setelah ciuman panjang yang Sakha berikan. Dia menatap pria itu dengan matanya yang layu tertutup kabut gairah, kemudian bertanya-tanya apakah dia bisa mati karena sebuah ciuman? Kalau itu sampai terjadi, Airin bersumpah akan menghantui Sakha seumur hidupnya.
Tapi tentu saja tidak. Airin sepenuhnya mengerti bahwa napasnya yang kini terengah adalah bukti dari seberapa hebatnya ciuman pria itu, sampai-sampai Airin menolak untuk berhenti atau menjauh sedikit pun.
Setelah semalam, kini rasanya sulit untuk mengabaikan kebenaran bahwa gairahnya itu ada, di tubuhnya, seperti api besar yang terus bergejolak. Airin tidak mungkin bisa menang melawannya.
Sakha memeluk erat tubuh lemas Airin yang berbaring pasrah di atasnya. Sejak pelepasan terakhir mereka tadi, Airin tidak mengatakan apapun, bibirnya yang biasanya suka menyeletuk atau menyuruh Sakha pergi seperti kemarin tidak bersuara sedikit pun. Itu membuktikan seberapa lelah dan kewalahannya dia. Sakha pun tidak mengerti mengapa dia seperti ini. Dia seharusnya berhenti saat mendapatkan satu pelepasannya di awal tadi. Terlalu serakah serta berserah diri pada nafsu adalah sesuatu yang tidak benar. Dan hal itu juga tidak baik kalau dilakukan terlalu sering. Biasanya dia hanya melakukan hubungan intim dua sampai tiga kali seminggu dengan siapa pun istri yang mendapat gilirannya di ming
Airin masuk ke dalam kamarnya dan melangkah langsung menuju ranjang tanpa menghiraukan Sakha yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu menatap Airin penasaran. "Ada apa, Airin?" tanyanya sembari melangkah mendekat, pada Airin yang langsung membanting tubuhnya ke atas ranjang. Mendengar suara suaminya itu, sejenak Airin berpikir, apakah seharusnya dia berterima kasih pada Sakha atau justru mengutuknya? Opsi kedua selalu jadi opsi yang bagus. Tapi kalau bukan karena pernikahan ini, Airin tidak akan bisa mendapatkan harapannya lagi seperti tadi, tentang mimpi dan keing
Beberapa saat kemudian, Airin dan Sakha keluar berbarengan dari paviliun menuju rumah utama. "Saya tidak perlu dipaksa untuk sarapan seperti anak kecil saja!" ucap Airin mengomel di belakang Sakha. Sakha, dengan bahu lebar tegaknya terus melangkah tanpa menghiraukan gerutuan Airin, pura-pura tidak mendengar ucapan gadis itu. Saat mendekati rumah utama, Airin menatap pada tangannya yang digenggam Sakha. Seketika dia tersadar dan langsung menghempaskan tangan mereka. S
Ria tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Mas keknya udah mau berangkat," katanya, kemudian Tia dan Nia pun ikut berdiri. Ria menoleh pada Airin. "Nanti kalau kamu sudah selesai piring kotornya dibawa ke dapur ya, Rin, bantu bibik lah sesekali."Airin mengangguk kepalanya tanpa membantah. "Iya, Kak," ucapnya. Mereka bertiga pun serentak pergi dari ruang makan, meninggalkan Airin seorang diri, yang tidak merasa perlu untuk ikut melepas kepergian Sakha.Airin terkekeh dengan pikirannya sendiri. Kata melepaskan, seolah Sakha hendak pergi ke medan perang saja. "Hahahah!" tawanya lagi, yang terdengar menggema di ruang makan luas dan sepi itu.
"Mau sampai jam berapa di sana?" tanya Sakha. Mereka berdua tengah duduk bersebelahan di dalam mobil yang Sakha kemudi menuju rumah orang tua Airin. "Hmmm." Airin berpikir lama selagi memaku pandangannya ke luar jendela, melihat rumah-rumah warga yang beberapa dikenalnya berlalu begitu saja. "Belum tahu. Lihat nanti aja," jawab Airin kemudian. Sakha meliriknya sebentar, tapi tidak bertanya lagi. Ketika mereka sampai, Airin tidak langsung turun, sebab beberapa
Airin pergi ke dapur dan membantu ibunya memasak untuk sarapan pagi mereka, yang biasanya lebih sering digabung sekalian dengan makan siang, tidak seperti di rumah Sakha di mana semuanya lebih mudah dan teratur, karena memang ada yang mengatur. Bapak Airin, Fahrul Jamal baru saja keluar dari kamar dan langsung ke dapur menanyakan keberadaan Sakha. "Udah pulang, Pak. Dia cuma mampir sebentar buat nganter Airin dan pamit. Salam katanya buat Bapak," kata Yuniarti, menjawab pertanyaan sang suami. "Kenapa nggak mampir?" tanya Jamal lagi.
Sakha bilang bahwa malam ini merupakan malam terakhir mereka. Airin sama sekali tidak menyadari itu dan berpikir bahwa Sakha akan bersamanya dalam waktu yang cukup lama. Itulah kenapa, untuk sesaat dia ingin kabur ke rumah orang tuanya untuk menjernihkan pikiran. Tapi kalau tahu begini … Airin tidak perlu lagi bersusah hati. Dia senang. Sementara kedua sudut bibir Airin melengkung ke atas, Sakha justru sebaliknya. Pria itu tidak mengatakan apapun semenjak mereka berdua meninggalkan rumah orang tua Airin.
Pagi datang bersamaan dengan suara kicau burung fajar yang saling bersahutan di pohon, juga ayam berkokok yang terdengar di kejauhan, suara serangga di semak belukar luar mulai memelan. Tapi bukan itu yang membangunkan Airin dari tidurnya—yang dia tahu baru dia dapatkan hanya sebentar, melainkan Sakha, yang terus-terusan mengusap punggung Airin tanpa henti sedari tadi. Mungkin bagi lelaki itu apa yang dia lalukan adalah gestur menenangkan supaya Airin semakin terbuai dalam tidurnya, tapi yang Airin rasakan justru sebaliknya dan Sakha tidak menyadari itu. Airin membuka mata, langsung disuguhkan oleh pemandangan dada bidang sang suami. Apa Sakha tertidur? pikir Airin. Dia pu