Saat Airin pulang ke rumah, dia dikejutkan dengan adanya sebuah mobil yang tampak familiar terparkir di depan rumahnya.
Jangan-jangan...! batin Airin dengan tubuh mematung sesaat. Membayangkan si juragan beristri tiga itu tengah duduk di sofa ruang tamunya yang sederhana. Badan Airin sekarang dipenuhi keringat dan debu, jadi dia buru-buru berjalan mengendap ke bagian belakang rumah untuk mencuci kaki serta tangannya pada air yang mengucur dari kendi.
Dari arah pintu belakang, Yuniarti berjalan tergopoh-gopoh mendekati putri sulungnya itu. "Ririn! Ririn!" panggilnya.
Airin menoleh. Kalau sang ibu sudah bersikap seperti itu, pasti dugaan Airin tadi benar.
"Ada apa, Bu?" sahut Airin kemudian.
Ketenangan gadis itu tampak sangat kontras dengan kegelisahan yang tercetak dengan jelas di wajah ibunya.
"Ayo cepat! Tuan Sakha sudah nunggu kamu dari tadi. Sudah Ibu bilang hari ini ndak usah ke ladang! Kamu malah bandel. Mana baru sembuh lagi. Duhhh! Ayo-ayo!"
Pemandangan seperti ini bukan lagi hal aneh Airin lihat semenjak dia mengatakan setuju untuk menikah dengan Tuan Sakha. Ibunya seolah selalu panik dan gelisah setiap hari.
Airin sebenarnya tidak suka melihat itu. Kenapa Ibu malah seperti ini? Bukankah seharusnya dia merasa tenang sekarang? Karena sebentar lagi semua masalah hutang keluarga mereka akan terlunasi dan hidup mereka juga akan terjamin.
Tapi, seberapa pun Airin mencoba untuk menenangkan ibunya, semua usaha dan ucapannya tidak pernah mempan. Bahkan Airin rela bangun pagi-pagi dan tidur lebih malam dari biasanya untuk menggunakan berbagai macam jenis perawatan kulit terlebih dahulu, hanya untuk membuat ibunya tenang.
"Apa Mawar sama Melati ada di rumah?" tanya Airin ketika Yuniarti menghelanya masuk ke dapur dan membantu Airin melepas semua perlengkapan berladangnya.
"Mawar lagi di rumah Bibi, mengambil jamu yang Ibu pesan. Melati belum pulang sekolah, katanya hari ini juga ada les," jawab Yuniarti.
Airin mengangguk mengerti. Mereka berdua kemudian masuk ke kamar Airin. Beruntung ruang tamu dan pintu kamar Airin disekat oleh kelambu, jadi ketika Airin masuk, tamu yang duduk di sofa tidak akan melihatnya kecuali hanya sekelebatan bayangan dari kelambu yang tipis.
Airin pasrah saja saat ibunya mendorong tubuhnya masuk ke kamar mandi.
Setelah memastikan tubuhnya bersih kembali dari keringat dan debu, Airin ke luar. Samar dia mendengar suara deru mobil menjauh. Apa Tuan Sakha sudah pergi? batin Airin. Bagus kalau begitu. Airin tidak perlu repot-repot menemuinya. Lagian, untuk apa dia mati-matian menghindari lelaki itu di ladang hari ini hanya untuk bertemu dengannya di rumah? Rasanya usaha Airin di ladang tadi begitu sia-sia.
Dan jangan bilang Tuan Sakha datang ke rumahnya membawa serta ketiga istrinya.
Kedua netra bulat Airin melebar. Dia lantas segera menaiki ranjang dan melongok dari jendela ke luar untuk memastikan dugaannya. Sayang sekali mobil itu sudah tidak lagi ada di tempat Airin melihatnya tadi.
***
Dan juga, setidaknya... ruangan itu bersih dan juga harum. Sakha mencium aroma bunga mawar yang tersamarkan oleh aroma teh yang manis. Saat itulah Sakha kemudian melihat, ada sebuah vas bunga berisi bunga mawar segar diletakkan di atas meja nakas di sampingnya sofanya.
Jamal, yang sepertinya menyadari pandangan Sakha pun berkata, "Ah itu... apa bunganya ngenganggu Tuan? Saya bisa-"
"Tidak," potong Sakha cepat, karena tahu apa yang akan Jamal katakan selanjutnya. Dia pasti bakal bilang akan menyingkirkan vas bunga itu. Terlalu berlebihan, pikir Sakha. "Saya suka aromanya," kata Sakha lagi.
Jamal menghela napas lega. "Itu Ririn," katanya.
Mendengar nama itu, Sakha pun menoleh pada lelaki paruh baya itu.
"Itu Ririn yang taruh di sana. Dia suka mawar, makanya hampir sepenjuru rumah ini dipenuhi sama aroma mawar yang dia taruh di vas seperti itu," lanjut Jamal.
Setelah mendengar itu, Galih-asisten Sakha yang duduk di sampingnya-mencondongkan badan sedikit ke tuannya lalu berbisik, "Ririn itu anaknya yang kapan hari pingsan di ladang."
Pantesan saja saat itu Sakha mencium samar aroma yang familiar ini, walau samar karena tertutup oleh bau matahari dan keringat juga aroma jagung yang baru dipetik. Sakha mengangguk mengerti. "Di mana gadis itu sekarang?" tanyanya kemudian, merujuk pada calon istrinya, bukan spesifik pada Airin.
Tapi sepertinya Jamal salah mengartikan. "Sebentar lagi dia ke sini," jawabnya, sambil melirik gelisah ke arah kelambu yang menutupi pintu penghubung dengan ruang tamu.
Saat Sakha juga menoleh ke sana, samar dia melihat sekelebatan bayangan lewat dari sana dan masuk ke sebuah ruangan dengan langkah cepat sekali.
Galih menyentuh lengan Sakha pelan, lalu menyodorkan ponsel ke arahnya. "Ada telepon, Tuan," kata Galih.
Setelah mengangkat telepon itu dan berbicara dengan orang di seberang sana, Sakha menyadari bahwa dia tidak punya waktu banyak jadi dia pamit lebih dulu dan menyuruh Galih mengurus sisanya, seperti biasa.
"Lah, saya nanti pulangnya sama siapa, Tuan?" tanya Galih, menemani Sakha ke teras, bersama Jamal yang juga ikut di belakangnya.
"Kamu bisa naik ojek, saya buru-buru!" sahut Sakha kemudian pergi begitu saja mengendarai mobilnya.
Galh hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, menatap kepergian tuannya yang tidak berperasaan itu.
"Lho, Tuan Sakha mana?" tanya Yuniarti yang keluar dari pintu.
"Beliau ada urusan penting mendadak, Bu, jadi harus pamit duluan. Maaf," jawab Galih dengan sopan.
Yuniarti tampak kecewa, kemudian mempersilakan tamunya itu masuk kembali ke dalam.
"Padahal Ririn baru saja selesai bersiap-siap," kata Yuniarti.
Galih mengernyitkan dahinya. "Ririn?" beo Galih.
Yuniarti dan Jamal pun saling pandang sesaat. "Iya, Galih. Kami sudah bermusyawarah dan Ririn setuju untuk dinikahi oleh Tuan Sakha," jawab Jamal.
Ekspresi Galih tampak terkejut. "Tapi-"
Saat itulah kemudian kelambu tersibak, seorang perempuan ke luar dan melangkah pelan menghampiri mereka. Saat mata bulatnya yang lebar itu bertemu dengan Galih, tatapannya tampak terkejut.
Galih justru mengernyit, menatap wanita itu dengan pandangan menyipit. Tampangnya tampak familiar, tapi Galih merasa tidak pernah melihatnya sebelumnya. "Siapa, ya?" tanya Galih kemudian, menoleh ke arah Jamal.
Jamal tertawa. "Masa kamu ndak kenal padahal setiap hari bertemu di ladang? Ini Ririn, Galih."
Raut muka Galih semakin melongo. Perempuan cantik di hadapannya ini adalah Airin?
Penampilannya sangat jauh berbeda dari saat dia berada di ladang.
Galih memang hanya perlah melihat Airin di ladang. Yang melekat di benaknya adalah perempuan lusuh berbaju gembrong dengan caping lebar dan selendang hitam panjang kotor untuk menutupi mulut dan hidungnya dari debu. Galih tidak menyangka, perempuan yang sama juga ada di hadapannya saat ini. Airin mengenakan baju sederhana bermotif bunga mawar dengan rok panjang berwarna merah muda. Dia tampak seperti bunga yang baru saja mekar.
"Ini calon istri Tuan?" tanya Galih sekali lagi, untuk memastikan.
Jamal dan Yuniarti sama-sama mengangguk.
Galih menggeleng pelan lalu mengalihkan pandang, apa dia baru saja terpesona oleh calon istri tuannya sendiri?
"Di mana Mawar dan Melati?" tanya Galih kemudian.
Saat menanyakannya, Galih tidak melihat senyum miring perempuan yang kini duduk di hadapannya.
Sudah kuduga, Tuan mesum itu mengincar adik-adikku, batin Airin masam.
*to be continued*
Karena di awal sudah Asia wanti-wanti bahwa cerita ini adalah slow burn romance, yang artinya alurnya agak lambat, Asia harap pembaca sekalian bisa sabar menunggu dan terus mengikuti kelanjutannya hehehehehehe...
- ⤠ASIA JULY
Airin benar-benar tidak setuju dengan gagasan bahwa dia akan pindah ke rumah calon suaminya lebih awal dari yang dia prediksikan. Airin memang sudah tahu bahwa pasti akan datang hari di mana dia harus meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama seorang suami dan tiga istrinya yang tidak Airin kenal.Bagaimana nasibku nanti? batin Airin. Bahkan hanya dengan memikirkannya saja sudah sudah membuat dia mumet."Ndak apa, Nak. Toh kita masih di satu desa. Nanti kalau ada apa-apa, kamu kan bisa pulang ke rumah ini," kata Yuniarti menenangkan sembari membantu Airin merapikan baju-baju yang kemudian dia masukkan ke dalam koper.Tadi sore, Galih sudah menjelaskan pada keluarganya bahwa lusa adalah hari pernikahan Airin dengan Sakha. Namun, hari ini Airin diperintahkan untuk datang ke rumah suaminya sebab acara adat nanti akan diadakan di sana, pegelarannya akan dilaksanakan cukup besar karena itu sekaligus juga acara untuk meng
Dia seperti sebuah kuncup mawar. Sakha sudah memutuskan untuk memetiknya dan merawat kuncup mawar di dalam vas bunga dengan bebungaan yang lain. Dan di dalam vas itu, Sakha memperlakukan setiap bunga dengan cara yang sama dan adil.Tapi, kuncup mawar ini masih belum mekar, siapa yang tahu keindahan macam apa yang dia miliki di dalam? Dan siapa yang bisa menjamin, bahwa Sakha tidak akan tertarik pada keindahan yang dimiliki bunga itu?Hal inilah yang dikhawatirkan oleh ketiga istri Sakha ketika mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu dengan seorang gadis muda yang akan menjadi saudari mereka untuk berbagi suami. Gadis itu jelas masih lugu dan tampak sangat lemah, tapi dia dengan berani dan dipenuhi ketenangan balas menatap ke arah ketiga wanita yang jauh lebih tua darinya. Yang mana hal itu membuat mereka merasa risi sekaligus juga merasa tidak dihormati.Sementara itu, Airin dengan tatapan datarnya menilai satu per satu i
Galih memberi tahu Airin bahwa akad nikah Airin dengan Tuan Sakha akan dilaksanakan pada pagi hari. Airin pun mandi seperti biasa, luluran, dan tidak lupa juga menggunakan serangkaian perawatan kulit yang dia bawa dari rumah. Semenjak semalam, makanan selalu dibawakan ke ruangannya, entah kenapa. Airin merasa belum apa-apa dia sudah tersisihkan.Tapi bukankah itu bagus?Ya, karenanya Airin tidak perlu berhadapan dengan ketiga istri Sakha yang lain.Pukul tujuh, selesai sarapan dan meminum jamu yang ibunya titipkan pada pembantu di rumah ini dan dibawa beserta sarapannya, Airin bingung kenapa tidak ada satu pun orang yang datang menemuinya. Pagi yang dimaksud Galih itu sekarang, kan?Airin pun hanya duduk di atas ranjang, menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat, menunggu seseorang untuk datang mengetuk dan memberitahunya bahwa sudah saatnya untuk bersiap-siap.Tapi tidak ada.
Langkah lelaki itu mantap, tidak ada keraguan yang tampak. Sekalipun dia tengah memasuki sebuah kamar wanita yang baru pertama kali ditemuinya, tapi dia bersikap biasa saja.Tentu saja, dia sudah terbiasa,batin Airin dengan sinis.Sakha berhenti di tengah kamar, memandang lurus ke arah ranjang di mana Airin berada. Mereka sama-sama tidak bisa melihat wajah satu sama lain dengan jelas karena kelambu transparan yang terpasang di sekeliling ranjang bertiang empat itu.Airin juga memilih untuk bungkam. Bahkan bergerak saja dia tidak. Sakha mungkin tengah berpikir bahwa dia telah menikahi seorang patung alih-alih manusia. Airin lalu terkekeh tanpa sadar.Suara tawa wanita itu menarik perhatian Sakha. âKenapa?â tanyanya.Airin yang mendengar suara berat bernada rendah itu pun tersadar dari tawanya, dia langsung mengatupkan bibirnya rapat kembali, ekspresinya kemudian berubah dingin.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Galih menghampiri ruang kerja tuannya. Rumah sudah sepi saat itu dan dia ditelepon Sakha untuk menemuinya di ruang kerja saat itu juga. Galih pikir ada sesuatu yang darurat telah terjadi jadi dia buru-buru datang ke sini.Saat pintu ruang kerja Galih buka, Sakha tengah berdiri sembari bersandar di kusen jendela, menatap ke arah luar di mana suasana tampak begitu gelap oleh minimnya lampu karena sudah pada dimatikan.Sekalipun sudah menyadari kehadiran asistennya itu, Sakha masih diam saja dan tidak menoleh sedikit pun pada Galih.Dan sikap Sakha itu membuat Galih gugup, setelah seharian ini dia selalu kena semprot, apa belum selesai juga? Padahal tadi sebelum kembali ke rumahnya Galih sempat berharap bertemu dengan Airin akan mampu meredakan emosi tuannya yang melonjak naik.Lalu apakah itu artinya Tuan Sakha belum bertemu dengan Ririn? batin Galih.Lama
Lampu telah dimatikan, jendela sudah ditutup, gorden dan kelambu telah diturunkan. Kamar itu kini berada dalam remang-remang yang dibalut kesunyian malam, satu-satunya sumber cahaya berasal dari ventilasi udara di atas jendela, dan satu-satunya suara yang dia dengar hanya suara serangga malamâbahkan desingan angin pun tidak ada.Airin mencoba untuk tidur, menyamankan dirinya di atas ranjang empuk itu dengan memeluk guling juga berbolak-balik guna mencari posisi yang tepat. Tapi, sekalipun dia telah berbaring dengan nyaman, kantuk tidak kunjung menghampirinya. Ini sama seperti kejadian di malam kemarin dan Airin punya banyak hal untuk dilakukan besok, dia tidak akan punya waktu untuk tidur selain pada malam hari.Sakha benar-benar tidak kembali lagi ke kamar, melupakan malam pengantin mereka yang seharusnya menjadi malam sakral. Namun ketidakhadiran pria itu justru disyukuri oleh Airin.Beberapa menit berlalu, mata Airin telah
Apa mereka akan melakukan ritual malam pengantin mereka atau tidak?Karena Airin sudah nyaris melepaskan pertahannya sekarang. Dia ingin segera menjauh dari hadapan suaminya ini dan tidak lagi dekat-dekat dengannya. Karena kedekatan mereka yang tidak seberapa ini saja sudah membuat jantung Airin berdetak dengan tidak normal. Airin tidak menyukai respon tubuhnya yang tidak biasa itu.Jadi sekali lagi dia berkata, "Ayo kita tidur, Tuan."Dan rupanya, aksinya itu berhasil, karena kemudian Sakha langsung menjauh darinya."Kenapa kau tetap memanggilku Tuan? Kau bukan lagi seorang pekerja di ladangku melainkan istriku sendiri.""Saya ... belum terbiasa dengan panggilan lain," jawab Airin, tersenyum malu-malu.Tapi tentu saja senyum itu hanya dibuat-buat.Memangnya dia harus memanggil Sakha dengan sebutan apa? Karena nyaris seluruh penduduk desa ini memanggilnya dengan
"Bagaimana kalau saya bilang bahwa yang Tuan Sakha bilang itu memang benar? Bahwa Tuan ... bukan satu-satunya pria yang pernah menyentuh saya."Sesaat setelah perkataan itu keluar dari bibir Airin, Sakha terdiam menatapnya.Sedangkan Airin tersenyum penuh kemenangan. Kali ini rencananya pasti berhasil. Sakha pasti akan langsung ke luar dan meninggalkannya lagi dalam keadaan marah seperti tadi dan pasti akan berpikir-pikir ulang untuk mendatanginya. Lalu setelah itu dia akan mencari pelipur lara ke istri-istrinya yang lain.Senyum Airin semakin mengembang saat melihat Sakha mengalihkan pandang kemudian turun dari ranjang, melangkah menuju pintu."Tuan mau ke mana?" tanya Airin, pura-pura terdengar sedih, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Padahal di dalam dia bersorak kegirangan.Sakha kemudian menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh, dia menjawab dengan suara berat, "Aku lupa mengunci pintu