Malam itu, Galih datang ke rumah dan berbicara dengan Jamal.
Airin ingin sekali ke luar dan mendengar sendiri apa sekiranya yang lelaki itu hendak katakan, tapi Yuniarti melarang Airin dengan ganti bahwa dia akan menyampaikan salamnya pada Galih dan Tuan Sakha.
Airin justru tidak ingin ibunya melakukan itu.
Yuniarti pun mengerti perasaan putri sulungnya. Sekalipun Airin setuju menikah dengan Sakha, tapi Yuniarti bisa melihat dengan sangat jelas bahwa Airin tidak menyukai Sakha. Rasa bersalah Yuniarti semakin besar.
Maka Airin menenangkan ibunya dengan berkata, "Nanti lama-lama juga Ririn pasti bakal jatuh cinta kok, Bu, sama Tuan Sakha." Airin sebenarnya ingin muntah saat mendengar perkataan itu keluar dari mulutnya sendiri.
Sudah lama Airin menutup pintu hatinya dan bahkan sering berpikir bahwa perasaan untuk lelaki selain Bapak, sudah mati. Airin bias pada perasaan semacam itu. Karena yang selalu ada di pikirannya sejak awal adalah keluarganya saja, sampai sekarang pun begitu. Airin terlalu sibuk bekerja untuk memikirkan masalah percintaan.
Teman-temannya pasti akan terkejut saat mendengar bahwa Airin akan menikah.
Sambil menunggu Galih dan kedua orang tuanya mengobrol di ruang tamu, Airin berbaring di atas ranjang kamarnya, memikirkan respon-respon orang di kampung ini nanti. Mungkin banyak yang akan mengasihaninya, tapi yang akan menyumpahinya juga pasti lebih banyak, mengatainya pelakor dan segala hal.
Pintu kamar Airin berderit terbuka. Cahaya dari luar masuk ke dalam kamarnya yang temaram.
"Kak Ririn?"
Panggilan lembut itu terdengar dari luar.
"Masuklah, Mawar," kata Airin.
Mawar Cantika Jamal, adik pertama Airin, membuka pintu lebih lebar dan masuk ke dalam kamar.
"Nyalakan lampunya!" titah Airin.
Ketika lampu menyala, Airin melihat adiknya itu tampak kacau. Matanya masih sembab, hidungnya memerah, pakaiannya kusut dan rambutnya diikat tidak beraturan juga tampak lengket. Mawar adalah adik Airin yang paling menjaga penampilannya bahkan di dalam rumah sekalipun. Melati juga sama, tapi tidak separah Mawar yang kalau tidur saja harus menggunakan sedikit perona bibir.
Mawar tidak langsung menghampiri Airin setelah menyalakan lampu. Dia bersandar di belakang pintu dengan kepala tertunduk, menatap lantai. Mawar tidak kuasa melihat kakaknya yang kini tengah berbaring di atas ranjang dalam keadaan sakit, tapi masih mau berkorban untuknya.
"Aku... sudah dengar dari Ibu, Kak." Suara Mawar terdengar lemah dan ragu-ragu.
"Hm. Tapi kenapa kamu berdiri sejauh itu? Sini aja! Duduk di sini." Airin menepuk-nepuk pelan pinggir ranjangnya.
Mawar melangkah mendekat dan duduk di pinggir ranjang Airin.
"Jangan terlalu dekat, ya, nanti kamu ketularan sakit."
Air mata yang sedari sudah menggenang di pelupuk mata Mawar pun akhirnya jatuh dan bergulir di pipi. "Maafin aku, Kak," ucapnya lirih.
Airin tersenyum lemah. "Kamu nggak perlu minta maaf."
"Gara-gara aku, Kakak harus menikah dengan pria itu."
"Nggak apa, Mawar. Lagian Kakak sudah 21 tahun, banyak teman-teman Kakak yang sudah menikah dan bahkan memiliki anak. Mungkin ini memang sudah waktunya untuk Kakak mengikuti mereka."
Setelah mendengar penjelasan Airin itu, Mawar mengangkat wajahnya dan menatap wajah pucat sang kakak.
"Tapi Kak Ririn seharusnya bisa dapat pria yang lebih baik! Bukan seperti Tuan Sakha, dia... dia sudah menikah tiga kali."
Dibanding Mawar, Airin tentu tahun lebih banyak mengenai hal itu, tapi Airin tidak mengatakan apapun.
"Kamu mau kuliah, kan?" tanya Airin tiba-tiba.
"Maksud Kakak?"
"Kakak bakal usahain kamu kuliah tahun depan."
Sekalipun Airin mengatakannya dengan lemah, nada penuh keyakinan tersemat dengan sangat jelas di sana.
"Masalah biaya jangan kamu khawatirkan. Kamu bisa membalasnya dengan rajin-rajin belajar lalu meraih impian kamu. Kamu... dan Melati, harus jadi orang sukses dan hidup bahagia."
"Kak-"
"Setidaknya dengan itu... Kakak akan merasa semua yang kakak lakuin selama ini nggak sia-sia."
Bibir Mawar bergetar, tidak kuasa untuk mengucapkan apapun.
Airin... selalu sebaik ini. Mawar tidak pernah bisa mengerti dengan apa yang dipikirkan kakaknya. Tangis Mawar semakin kencang walau Airin sudah mencoba menenangkannya.
Dan dengan kedatangan Mawar malam ini, Airin pun semakin yakin dengan keputusannya. Apapun yang akan dia hadapi di depan sana, balasannya pasti akan setimpal ketika menyaksikan keluarganya bahagia.
***
Beberapa hari berlalu, Airin masih tidak tahu apa yang dibicarakan Bapak dan Galih pada malam itu. Ketika Airin bertanya pada Ibu, dia tidak banyak menjawab.
Dan anehnya bagi Airin, akhir-akhir ini Ibu sangat getol menyuruhnya perawatan diri. Setiap hari Airin dipaksa untuk meminum jamu, berbagai jenis macam jamu dari yang rasanya manis sampai sangat pahit.
Airin juga dipaksa menggunakan skincare. Berbagai jenis skincare yang dimiliki Mawar dan Melati digunakan oleh Airin atas paksaan sang ibu juga.
Airin mengerti, mereka pasti berharap saat waktunya menikah nanti, paras Airin jadi lebih cantik.
Airin akui, bahwa wajahnya memang tidak secantik Mawar dan Melati, tapi Airin merasa dirinya juga tidak seburuk rupa itu kok. Airin memiliki rambut hitam lurus panjang, alis hitam tebal, mata hitam kelam yang dibingkai bulu mata panjang dan lentik, kulit Airin sebenarnya putih tapi menjadi agak kecoklatan karena terlalu sering berjemur di bawah terik sinar matahari, hidung Airin mancung, bibirnya penuh dan berwarna kemerahan, bentuk wajahnya juga terpahat sempurna.
Airin selama ini hanya tidak peduli saja. Dia tidak pernah memusingkan masalah perawatan wajah dan mengenakan riasan apapun saat keluar rumah.
Airin mandi dua kali sehari. Dan satu-satunya perawatan untuk kulit yang dia lakukan adalah luluran. Karena Airin sendiri tidak suka saat daki terasa menumpuk di permukaan kulitnya setelah seharian bekerja di ladang, di bawah terik sinar matahari dan debu.
Sudah satu mingguan ini, Airin rutin menggunakan produk-produk kecantikan yang dimiliki adiknya. Wajah Airin memang tampak lebih cerah, walau sedikit.
Namun, bukannya merasa semakin percaya diri, Airin justru dibuat malu. Orang-orang pasti akan menyadari perubahan Airin, dan berita tentang anak Pak RT yang akan menikah dengan Tuan Sakha juga sudah tersebar di mana-mana, hanya saja belum ada yang tahu pasti anaknya yang mana yang telah dipinang.
Airin mengenakan pakaian yang lebih tertutup saat hendak pergi ke ladang pagi ini. Dia menutup kepalanya dengan selendang dan mengenakan masker hitam yang menutupi sebagian wajahnya. Lalu setelah itu, kepalanya ditutupi oleh caping lebar yang membuat wajahnya berada di bayang-bayang. Airin juga mengenakan baju berlapis-lapis lagi dan kaos kaki yang beralaskan sendal jepit.
Saat sampai di ladang, banyak yang bertanya perihal benarnya gosip-gosip itu atau tidak. Airin mencoba menghindar dan menjawab sekenanya saja. Padahal dia baru saja sembuh dari sakit, tapi tidak ada yang bertanya perihal itu. Tentu saja, karena juga tidak ada yang peduli.
Airin bekerja seperti biasa. Kali ini dia ditugaskan membantu tukang kebun memanen buah apel yang memang sudah masuk waktu panen. Seharusnya ini adalah pekerjaan kemarin, tapi entah kenapa Tuan Sakha menunda selama sehari untuk apel-apel itu dipetik.
Saat Airin sedang fokus memenuhi keranjang buahnya, dia mendengar sedikit keributan yang berasal dari depan kebun. Airin mengangkat sedikit capingnya agar dia dapat melihat dengan lebih jelas. Sedetik setelah itu Airin menyesal. Karena apa yang ada di depan sana adalah pemandangan yang tidak ingin Airin lihat dan tidak duga bahwa dia akan melihatnya hari itu.
Sakha dan ketiga istrinya datang berkunjung.
Airin berjalan lebih dalam ke kebun demi menjauhi pandangannya dari sana. Lalu dia mulai fokus lagi ke pekerjaannya. Namun pikiran Airin tidak benar-benar fokus ke pohon apel itu.
Airin menduga-duga, apakah Sakha tahu bahwa calon istri keempatnya ada di sini sekarang?
Pria itu kemungkinan besar tahu, tapi pasti demi menjaga perasaan para istrinya dia tidak menghampiri Airin. Setelah keputusan untuk menikah dengan lelaki itu Airin ambil, dia tidak pernah sekalipun bertemu dengannya lagi, bahkan ketika di ladang.
Sakha seolah menghilang.
Airin sedikit berharap dia bisa melihat calon suaminya itu walau sebentar saja. Karena Airin merasa perlu untuk menilai bagaimana sifat dan sikapnya sebelum mereka menikah nanti. Airin akan melakukannya dengan cara memperhatikannya dari jauh.
Bukankah itu hal yang wajar untuk penasaran pada calon suami yang tidak pernah kau kenal?
Tapi walau begitu, harapan Airin untuk tidak terlibat dalam peristiwa apapun dengan Tuan Sakha lebih besar. Dia masih menghindari Sakha seperti sebelum-sebelumnya. Hanya saja Airin jadi lebih sering bertanya-tanya tentang kehadirannya dan berharap bisa memperhatikannya dari kejauhan, seperti sekarang.
Wajar saja selama seminggu ini Ibu begitu kukuh memaksanya meminum jamu dan melakukan perawatan. Karena istri-istri Sakha semuanya berparas cantik. Tapi Airin ingin mengatakan pada Ibu bahwa kecantikan istri-istri calon suaminya itu tidak didapatkan dari perawatan tradisional seperti yang Airin lakukan. Mereka memang sudah terlahir cantik. Ditambah lagi mereka melakukan perawatan yang lebih canggih dan modern, yang juga membutuhkan biaya yang sangat mahal.
Baguslah, pikir Airin. Karena dia akan menjadi istri Sakha yang paling jelek, besar kemungkinan lelaki itu akan mengabaikannya dan mungkin juga memilih untuk menceraikannya setelah beberapa lama.
Mata Airin pun kembali berbinar. Oh betapa beruntungnya kalau apa yang dia pikirkan itu benar terjadi.
*to be continued*
Saat Airin pulang ke rumah, dia dikejutkan dengan adanya sebuah mobil yang tampak familiar terparkir di depan rumahnya.Jangan-jangan...! batin Airin dengan tubuh mematung sesaat. Membayangkan si juragan beristri tiga itu tengah duduk di sofa ruang tamunya yang sederhana. Badan Airin sekarang dipenuhi keringat dan debu, jadi dia buru-buru berjalan mengendap ke bagian belakang rumah untuk mencuci kaki serta tangannya pada air yang mengucur dari kendi.Dari arah pintu belakang, Yuniarti berjalan tergopoh-gopoh mendekati putri sulungnya itu. "Ririn! Ririn!" panggilnya.Airin menoleh. Kalau sang ibu sudah bersikap seperti itu, pasti dugaan Airin tadi benar."Ada apa, Bu?" sahut Airin kemudian.Ketenangan gadis itu tampak sangat kontras dengan kegelisahan yang tercetak dengan jelas di wajah ibunya."Ayo cepat! Tuan Sakha sudah nunggu kamu dari tadi. Sudah Ibu bilang hari ini
Airin benar-benar tidak setuju dengan gagasan bahwa dia akan pindah ke rumah calon suaminya lebih awal dari yang dia prediksikan. Airin memang sudah tahu bahwa pasti akan datang hari di mana dia harus meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama seorang suami dan tiga istrinya yang tidak Airin kenal.Bagaimana nasibku nanti? batin Airin. Bahkan hanya dengan memikirkannya saja sudah sudah membuat dia mumet."Ndak apa, Nak. Toh kita masih di satu desa. Nanti kalau ada apa-apa, kamu kan bisa pulang ke rumah ini," kata Yuniarti menenangkan sembari membantu Airin merapikan baju-baju yang kemudian dia masukkan ke dalam koper.Tadi sore, Galih sudah menjelaskan pada keluarganya bahwa lusa adalah hari pernikahan Airin dengan Sakha. Namun, hari ini Airin diperintahkan untuk datang ke rumah suaminya sebab acara adat nanti akan diadakan di sana, pegelarannya akan dilaksanakan cukup besar karena itu sekaligus juga acara untuk meng
Dia seperti sebuah kuncup mawar. Sakha sudah memutuskan untuk memetiknya dan merawat kuncup mawar di dalam vas bunga dengan bebungaan yang lain. Dan di dalam vas itu, Sakha memperlakukan setiap bunga dengan cara yang sama dan adil.Tapi, kuncup mawar ini masih belum mekar, siapa yang tahu keindahan macam apa yang dia miliki di dalam? Dan siapa yang bisa menjamin, bahwa Sakha tidak akan tertarik pada keindahan yang dimiliki bunga itu?Hal inilah yang dikhawatirkan oleh ketiga istri Sakha ketika mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu dengan seorang gadis muda yang akan menjadi saudari mereka untuk berbagi suami. Gadis itu jelas masih lugu dan tampak sangat lemah, tapi dia dengan berani dan dipenuhi ketenangan balas menatap ke arah ketiga wanita yang jauh lebih tua darinya. Yang mana hal itu membuat mereka merasa risi sekaligus juga merasa tidak dihormati.Sementara itu, Airin dengan tatapan datarnya menilai satu per satu i
Galih memberi tahu Airin bahwa akad nikah Airin dengan Tuan Sakha akan dilaksanakan pada pagi hari. Airin pun mandi seperti biasa, luluran, dan tidak lupa juga menggunakan serangkaian perawatan kulit yang dia bawa dari rumah. Semenjak semalam, makanan selalu dibawakan ke ruangannya, entah kenapa. Airin merasa belum apa-apa dia sudah tersisihkan.Tapi bukankah itu bagus?Ya, karenanya Airin tidak perlu berhadapan dengan ketiga istri Sakha yang lain.Pukul tujuh, selesai sarapan dan meminum jamu yang ibunya titipkan pada pembantu di rumah ini dan dibawa beserta sarapannya, Airin bingung kenapa tidak ada satu pun orang yang datang menemuinya. Pagi yang dimaksud Galih itu sekarang, kan?Airin pun hanya duduk di atas ranjang, menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat, menunggu seseorang untuk datang mengetuk dan memberitahunya bahwa sudah saatnya untuk bersiap-siap.Tapi tidak ada.
Langkah lelaki itu mantap, tidak ada keraguan yang tampak. Sekalipun dia tengah memasuki sebuah kamar wanita yang baru pertama kali ditemuinya, tapi dia bersikap biasa saja.Tentu saja, dia sudah terbiasa,batin Airin dengan sinis.Sakha berhenti di tengah kamar, memandang lurus ke arah ranjang di mana Airin berada. Mereka sama-sama tidak bisa melihat wajah satu sama lain dengan jelas karena kelambu transparan yang terpasang di sekeliling ranjang bertiang empat itu.Airin juga memilih untuk bungkam. Bahkan bergerak saja dia tidak. Sakha mungkin tengah berpikir bahwa dia telah menikahi seorang patung alih-alih manusia. Airin lalu terkekeh tanpa sadar.Suara tawa wanita itu menarik perhatian Sakha. “Kenapa?” tanyanya.Airin yang mendengar suara berat bernada rendah itu pun tersadar dari tawanya, dia langsung mengatupkan bibirnya rapat kembali, ekspresinya kemudian berubah dingin.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Galih menghampiri ruang kerja tuannya. Rumah sudah sepi saat itu dan dia ditelepon Sakha untuk menemuinya di ruang kerja saat itu juga. Galih pikir ada sesuatu yang darurat telah terjadi jadi dia buru-buru datang ke sini.Saat pintu ruang kerja Galih buka, Sakha tengah berdiri sembari bersandar di kusen jendela, menatap ke arah luar di mana suasana tampak begitu gelap oleh minimnya lampu karena sudah pada dimatikan.Sekalipun sudah menyadari kehadiran asistennya itu, Sakha masih diam saja dan tidak menoleh sedikit pun pada Galih.Dan sikap Sakha itu membuat Galih gugup, setelah seharian ini dia selalu kena semprot, apa belum selesai juga? Padahal tadi sebelum kembali ke rumahnya Galih sempat berharap bertemu dengan Airin akan mampu meredakan emosi tuannya yang melonjak naik.Lalu apakah itu artinya Tuan Sakha belum bertemu dengan Ririn? batin Galih.Lama
Lampu telah dimatikan, jendela sudah ditutup, gorden dan kelambu telah diturunkan. Kamar itu kini berada dalam remang-remang yang dibalut kesunyian malam, satu-satunya sumber cahaya berasal dari ventilasi udara di atas jendela, dan satu-satunya suara yang dia dengar hanya suara serangga malam—bahkan desingan angin pun tidak ada.Airin mencoba untuk tidur, menyamankan dirinya di atas ranjang empuk itu dengan memeluk guling juga berbolak-balik guna mencari posisi yang tepat. Tapi, sekalipun dia telah berbaring dengan nyaman, kantuk tidak kunjung menghampirinya. Ini sama seperti kejadian di malam kemarin dan Airin punya banyak hal untuk dilakukan besok, dia tidak akan punya waktu untuk tidur selain pada malam hari.Sakha benar-benar tidak kembali lagi ke kamar, melupakan malam pengantin mereka yang seharusnya menjadi malam sakral. Namun ketidakhadiran pria itu justru disyukuri oleh Airin.Beberapa menit berlalu, mata Airin telah
Apa mereka akan melakukan ritual malam pengantin mereka atau tidak?Karena Airin sudah nyaris melepaskan pertahannya sekarang. Dia ingin segera menjauh dari hadapan suaminya ini dan tidak lagi dekat-dekat dengannya. Karena kedekatan mereka yang tidak seberapa ini saja sudah membuat jantung Airin berdetak dengan tidak normal. Airin tidak menyukai respon tubuhnya yang tidak biasa itu.Jadi sekali lagi dia berkata, "Ayo kita tidur, Tuan."Dan rupanya, aksinya itu berhasil, karena kemudian Sakha langsung menjauh darinya."Kenapa kau tetap memanggilku Tuan? Kau bukan lagi seorang pekerja di ladangku melainkan istriku sendiri.""Saya ... belum terbiasa dengan panggilan lain," jawab Airin, tersenyum malu-malu.Tapi tentu saja senyum itu hanya dibuat-buat.Memangnya dia harus memanggil Sakha dengan sebutan apa? Karena nyaris seluruh penduduk desa ini memanggilnya dengan