Dia seperti sebuah kuncup mawar. Sakha sudah memutuskan untuk memetiknya dan merawat kuncup mawar di dalam vas bunga dengan bebungaan yang lain. Dan di dalam vas itu, Sakha memperlakukan setiap bunga dengan cara yang sama dan adil.
Tapi, kuncup mawar ini masih belum mekar, siapa yang tahu keindahan macam apa yang dia miliki di dalam? Dan siapa yang bisa menjamin, bahwa Sakha tidak akan tertarik pada keindahan yang dimiliki bunga itu?
Hal inilah yang dikhawatirkan oleh ketiga istri Sakha ketika mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu dengan seorang gadis muda yang akan menjadi saudari mereka untuk berbagi suami. Gadis itu jelas masih lugu dan tampak sangat lemah, tapi dia dengan berani dan dipenuhi ketenangan balas menatap ke arah ketiga wanita yang jauh lebih tua darinya. Yang mana hal itu membuat mereka merasa risi sekaligus juga merasa tidak dihormati.
Sementara itu, Airin dengan tatapan datarnya menilai satu per satu istri Sakha. Galih sudah memberitahu nama-nama mereka dan bagaimana sikap mereka saat di rumah, setidaknya semua informasi itu Galih dapatkan dari apa yang pernah dia lihat saja, belum tentu bahwa begitulah sebenarnya sikap mereka. Dari cara mereka menatapnya saja, Airin sudah tahu bahwa dia akan menjadi satu di antara yang paling dibenci.
Airin menebak wanita yang duduk di tengah adalah si istri pertama, Safitria atau yang kerap dipanggil Ria, usianya seumuran dengan Sakha, 32 tahun. Ria memiliki kecantikan khas nyonya rumah. Sekalipun usia sudah berkepala tiga, tapi dia tampak awet muda. Dari ketiga istri Sakha, bisa dibilang kalau Ria adalah yang tercantik dan mungkin yang paling bisa merawat kecantikannya. Galih bilang bahwa Ria adalah anak dari rekan kerja Sakha, mereka menikah karena perjodohan keluarga lima tahun lalu.
Lalu istri kedua kemungkinan ada di sebelah kanan, namanya Agistia, atau Tia. Usianya lebih tua satu tahun dari Sakha. Dia seorang janda saat Sakha menikahinya. Mereka juga dijodohkan.
Dan si istri ketiga, yang duduk di sebelah kiri, yang menatap Airin dengan tatapan paling tidak suka, namanya Henia atau Nia. Sebelum menikah dengan Sakha, Nia pernah menikah dua kali sebelumnya. Dia adalah seorang guru SD, usianya 28 tahun, istri termuda yang sebentar lagi predikatnya akan digantikan oleh Airin. Wajar pikir Airin kalau Henia lebih tidak menyukainya. Dan tidak seperti dua istri Sakha yang lain, Henia menikah dengan Sakha karena kemauannya sendiri. Galih juga bilang, bahwa sempat ada drama picisan sebelum itu. Keluarga Henia juga memiliki hutang besar pada Sakha sama seperti Airin. Lalu karena tidak sanggup membayarnya, mereka memohon pada Sakha untuk menikahi putri mereka, tapi Sakha menolaknya mentah-mentah karena status Henia yang saat itu masih menjadi istri orang. Henia yang sudah terlanjur kepincut pada ketampanan Sakha, akhirnya bercerai dengan suaminya dan dituduh selingkuh. Lagi-lagi, keluarganya memohon pada Sakha untuk menikahi Henia demi menutupi aib mereka, yang juga Sakha ikut bertanggung jawab di dalamnya. Sakha pun akhirnya menikahi Henia.
Sebenarnya masih ada beberapa hal yang Galih beritahukan padanya, tapi intinya bagi Airin sekarang adalah... bahwa dia tidak boleh terlalu ikut campur atau mencari gara-gara dengan ketiga istri Sakha ini. Airin harus memendam diri dan kalau bisa, menjadi istri bayangan saja. Menikah dengan Sakha saja sudah cukup mengguncang ketenangan Airin, dia tidak ingin membuat hidupnya yang rumit semakin rumit dengan berurusan dengan wanita-wanita ini.
Dalam arti, sebisa mungkin Airin akan hidup dengan tenang di tengah kekacauan kehidupan rumah tangganya nanti.
Kemudian, kebisuan di antara empat wanita itu dibuyarkan oleh suara Henia, "Jadi kamu, yang namanya Ririn Airin itu?"
Airin tersenyum ramah. "Iya. Dan tolong, panggil saya Ririn saja." Karena tidak banyak yang tahu nama asli Airin, orang-orang desa mengenalnya dengan panggilan Ririn. Airin menduga bahwa Henia sebelumnya telah mencari tahu terlebih dahulu tentang dirinya.
"Ririn,' panggil Ria.
Airin lantas menoleh padanya.
"Aku yakin kamu sudah mengenal kami siapa 'kan?" tanya Ria dengan nada yang terdengar angkuh, seolah ingin memperjelas siapa yang seharusnya Airin paling hormati di antara mereka.
Airin mempertahankan ekpresi ramah di wajahnya, lalu menggeleng pelan.
Ketiga istri Sakha itu membelalak terkejut.
"Apa maksud kamu belum?!" seru Henia.
"Tuan Sakha belum pernah bercerita apapun tentang ketiga istrinya kepada saya," ucap Airin untuk memperjelas jawabannya.
Jangankan membicarakan tentang mereka, berbicara saja mereka belum pernah, bahkan bertatap empat mata pun juga tidak. Airin merasa begitu geli, bagaimana bisa dia akan menikah dengan pria seperti itu? Tapi apa Airin punya pilihan lain? Karena jawabannya tentu saja tidak.
Agistia tampak menghela napas. "Mas juga belum sempat memperkenalkanmu pada kita. Dia hanya pernah bilang hendak menikah lagi dan meminta persetujuan kami, dia tidak pernah berbicara apapun tentangmu. Jadi, mungkin saja Mas sengaja melakukannya."
Airin mengangguk setuju, walau di dalam dia terkekeh geli. Sakha tidak pernah membicarakannya karena semata-mata pria itu tidak sedikit pun mengenalnya selain fakta bahwa dia anak Pak RT yang memiliki hutang begitu banyak padanya. Jadi apa yang mau dibicarakan?
Saat Ria hendak kembali berucap, tiba-tiba saja datang sebuah suara di belakang Airin.
"Maaf, Nyonya, saya diperintah Tuan buat antar Ririn ke kamarnya. Sekalian juga beres-beres karena besok akad nikahnya akan diselenggerakan."
Itu suara Galih. Airin begitu lega mendengarnya. Karena itu artinya dia akan segera terbebas dari tatapan penuh penilaian dari tiga wanita di hadapannya. Sebenarnya, walau Airin tampak tenang di luar, dia sedikit cemas di dalam. Seperti yang Airin bilang, dia ingin sebisa mungkin menjadi bagian yang pasif dalam keluarga ini agar hidupnya bisa lebih tenang, tapi mana tahu apa yang akan dilakukan oleh ketiga wanita di hadapannya kalau mendapati Airin tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Ya 'kan?
"Ya sudah! Bawa dia pergi!" suruh Ria kemudian.
Airin segera bangkit dan tersenyum ramah. "Mari, Kak, saya pergi dulu."
Tiga pasang mata mengekori pergerakan Airin. Namun sebelum Airin benar-benar menjauh, Tia memanggil Galih dan menghentikan langkah mereka.
"Kapan Mas bakal pulang, Galih?"
"Sepertinya nanti malam beliau bakal pulang malam sekali, ada beberapa persiapan untuk besok yang harus diurus."
Ketiga wanita itu nyaris berdecak secara bersamaan.
Tia lalu mengangguk mengerti. "Nanti malam, biar saja Ririn istirahat di kamarnya. Biar nanti makan malamnya diantar," kata wanita itu.
Airin tidak mengerti kenapa Tia mengatakannya pada Galih dan terkesan seolah dia enggan berbicara pada Airin sekalipun Airin sendiri ada di sana. Tapi Airin tidak terlalu memusingkannya. Itu hal yang wajar, bukan? Mereka sekarang tengah kesal pada Airin, cemburu dan cemas.
Airin yakin itu hanya akan bertahan selama beberapa hari ke depan saja. Karena cepat atau lambat Sakha akan mengabaikannya dan ketiga istri Sakha yang lain juga pasti akan ikut mengabaikannya karena merasa bahwa Airin bukanlah sebuah ancaman dalam posisi mereka di hati sang suami.
Airin tidak sabar menunggu hal itu terjadi.
*to be continued*
Galih memberi tahu Airin bahwa akad nikah Airin dengan Tuan Sakha akan dilaksanakan pada pagi hari. Airin pun mandi seperti biasa, luluran, dan tidak lupa juga menggunakan serangkaian perawatan kulit yang dia bawa dari rumah. Semenjak semalam, makanan selalu dibawakan ke ruangannya, entah kenapa. Airin merasa belum apa-apa dia sudah tersisihkan.Tapi bukankah itu bagus?Ya, karenanya Airin tidak perlu berhadapan dengan ketiga istri Sakha yang lain.Pukul tujuh, selesai sarapan dan meminum jamu yang ibunya titipkan pada pembantu di rumah ini dan dibawa beserta sarapannya, Airin bingung kenapa tidak ada satu pun orang yang datang menemuinya. Pagi yang dimaksud Galih itu sekarang, kan?Airin pun hanya duduk di atas ranjang, menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat, menunggu seseorang untuk datang mengetuk dan memberitahunya bahwa sudah saatnya untuk bersiap-siap.Tapi tidak ada.
Langkah lelaki itu mantap, tidak ada keraguan yang tampak. Sekalipun dia tengah memasuki sebuah kamar wanita yang baru pertama kali ditemuinya, tapi dia bersikap biasa saja.Tentu saja, dia sudah terbiasa,batin Airin dengan sinis.Sakha berhenti di tengah kamar, memandang lurus ke arah ranjang di mana Airin berada. Mereka sama-sama tidak bisa melihat wajah satu sama lain dengan jelas karena kelambu transparan yang terpasang di sekeliling ranjang bertiang empat itu.Airin juga memilih untuk bungkam. Bahkan bergerak saja dia tidak. Sakha mungkin tengah berpikir bahwa dia telah menikahi seorang patung alih-alih manusia. Airin lalu terkekeh tanpa sadar.Suara tawa wanita itu menarik perhatian Sakha. āKenapa?ā tanyanya.Airin yang mendengar suara berat bernada rendah itu pun tersadar dari tawanya, dia langsung mengatupkan bibirnya rapat kembali, ekspresinya kemudian berubah dingin.
Dengan langkah tergopoh-gopoh, Galih menghampiri ruang kerja tuannya. Rumah sudah sepi saat itu dan dia ditelepon Sakha untuk menemuinya di ruang kerja saat itu juga. Galih pikir ada sesuatu yang darurat telah terjadi jadi dia buru-buru datang ke sini.Saat pintu ruang kerja Galih buka, Sakha tengah berdiri sembari bersandar di kusen jendela, menatap ke arah luar di mana suasana tampak begitu gelap oleh minimnya lampu karena sudah pada dimatikan.Sekalipun sudah menyadari kehadiran asistennya itu, Sakha masih diam saja dan tidak menoleh sedikit pun pada Galih.Dan sikap Sakha itu membuat Galih gugup, setelah seharian ini dia selalu kena semprot, apa belum selesai juga? Padahal tadi sebelum kembali ke rumahnya Galih sempat berharap bertemu dengan Airin akan mampu meredakan emosi tuannya yang melonjak naik.Lalu apakah itu artinya Tuan Sakha belum bertemu dengan Ririn? batin Galih.Lama
Lampu telah dimatikan, jendela sudah ditutup, gorden dan kelambu telah diturunkan. Kamar itu kini berada dalam remang-remang yang dibalut kesunyian malam, satu-satunya sumber cahaya berasal dari ventilasi udara di atas jendela, dan satu-satunya suara yang dia dengar hanya suara serangga malamābahkan desingan angin pun tidak ada.Airin mencoba untuk tidur, menyamankan dirinya di atas ranjang empuk itu dengan memeluk guling juga berbolak-balik guna mencari posisi yang tepat. Tapi, sekalipun dia telah berbaring dengan nyaman, kantuk tidak kunjung menghampirinya. Ini sama seperti kejadian di malam kemarin dan Airin punya banyak hal untuk dilakukan besok, dia tidak akan punya waktu untuk tidur selain pada malam hari.Sakha benar-benar tidak kembali lagi ke kamar, melupakan malam pengantin mereka yang seharusnya menjadi malam sakral. Namun ketidakhadiran pria itu justru disyukuri oleh Airin.Beberapa menit berlalu, mata Airin telah
Apa mereka akan melakukan ritual malam pengantin mereka atau tidak?Karena Airin sudah nyaris melepaskan pertahannya sekarang. Dia ingin segera menjauh dari hadapan suaminya ini dan tidak lagi dekat-dekat dengannya. Karena kedekatan mereka yang tidak seberapa ini saja sudah membuat jantung Airin berdetak dengan tidak normal. Airin tidak menyukai respon tubuhnya yang tidak biasa itu.Jadi sekali lagi dia berkata, "Ayo kita tidur, Tuan."Dan rupanya, aksinya itu berhasil, karena kemudian Sakha langsung menjauh darinya."Kenapa kau tetap memanggilku Tuan? Kau bukan lagi seorang pekerja di ladangku melainkan istriku sendiri.""Saya ... belum terbiasa dengan panggilan lain," jawab Airin, tersenyum malu-malu.Tapi tentu saja senyum itu hanya dibuat-buat.Memangnya dia harus memanggil Sakha dengan sebutan apa? Karena nyaris seluruh penduduk desa ini memanggilnya dengan
"Bagaimana kalau saya bilang bahwa yang Tuan Sakha bilang itu memang benar? Bahwa Tuan ... bukan satu-satunya pria yang pernah menyentuh saya."Sesaat setelah perkataan itu keluar dari bibir Airin, Sakha terdiam menatapnya.Sedangkan Airin tersenyum penuh kemenangan. Kali ini rencananya pasti berhasil. Sakha pasti akan langsung ke luar dan meninggalkannya lagi dalam keadaan marah seperti tadi dan pasti akan berpikir-pikir ulang untuk mendatanginya. Lalu setelah itu dia akan mencari pelipur lara ke istri-istrinya yang lain.Senyum Airin semakin mengembang saat melihat Sakha mengalihkan pandang kemudian turun dari ranjang, melangkah menuju pintu."Tuan mau ke mana?" tanya Airin, pura-pura terdengar sedih, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Padahal di dalam dia bersorak kegirangan.Sakha kemudian menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh, dia menjawab dengan suara berat, "Aku lupa mengunci pintu
Dengan mata basah dan bibir merah yang merekah terbuka, mendongak padanya dengan tatapan penuh permohonan. Rambut panjang yang mengilap diterpa cahaya itu mengurai di atas bantal berwarna putih. Dan lipatan kain tipis di dada yang menyangga pada dua gundukan besar dengan puncak yang telah mengeras oleh dambaan kepolosan."T-tuan."Ditambah suara itu ....Sakha tersenyum tipis, lalu sedikit bangkit sembari menyugar rambutnya ke belakang diikuti helaan napas panjang. Ini adalah pertama kalinya bagi Sakha melangsungkan malam pengantin yang begitu menantang, alias sangat menyusahkan. Seharusnya dia bisa hanya dengan menyuruh istrinya membuka baju kemudian menunggui kedatangannya untuk memenuhi tanggung jawab sebagai sepasang suami istri.Tapi Airin tidak. Sakha terlebih dahulu harus menyingkap tabir di wajah wanita itu; mempelajari perkataannya dan setiap pergantian ekspresi di wajahnya yang cantik na
"Kamu sudah basah, Airin.""Ah! Ap-apa yang ...! Ah, Tuan! Tu-tunggu dulu ...!" Airin menjerit saat tangan Sakha menyentuhnya di sana, satu jari pria itu membelai di lipatan bibir yang telah basah, dan dua jari yang lain menekan bagian kecil yang menonjol dan telah membengkak.Ketika Sakha melakukan semua itu dalam waktu bersamaan, Airin terlepas, cahaya putih menghalau kesadarannya, dan yang didengarnya hanya suara rintihan panjang seorang perempuan yang terdengar asing di telinga. Itu tidak mungkin suaranya 'kan?Saat Airin kembali dari pelepasan pertamanya itu, dia mendengar suara kekeh rendah milik pria di atasnya. Kelopak mata yang terpejam berat terbuka kembali, menatap ke arah pria itu.Namun tatapan Sakha lagi-lagi tertuju pada tempat di mana tangannya berada.Sakha mengangkat lengannya tinggi-tinggi, memperlihatkan pada Airin cairan basah mengilap yang mengalir lam