Lampu telah dimatikan, jendela sudah ditutup, gorden dan kelambu telah diturunkan. Kamar itu kini berada dalam remang-remang yang dibalut kesunyian malam, satu-satunya sumber cahaya berasal dari ventilasi udara di atas jendela, dan satu-satunya suara yang dia dengar hanya suara serangga malam—bahkan desingan angin pun tidak ada.
Airin mencoba untuk tidur, menyamankan dirinya di atas ranjang empuk itu dengan memeluk guling juga berbolak-balik guna mencari posisi yang tepat. Tapi, sekalipun dia telah berbaring dengan nyaman, kantuk tidak kunjung menghampirinya. Ini sama seperti kejadian di malam kemarin dan Airin punya banyak hal untuk dilakukan besok, dia tidak akan punya waktu untuk tidur selain pada malam hari.
Sakha benar-benar tidak kembali lagi ke kamar, melupakan malam pengantin mereka yang seharusnya menjadi malam sakral. Namun ketidakhadiran pria itu justru disyukuri oleh Airin.
Beberapa menit berlalu, mata Airin telah
Apa mereka akan melakukan ritual malam pengantin mereka atau tidak?Karena Airin sudah nyaris melepaskan pertahannya sekarang. Dia ingin segera menjauh dari hadapan suaminya ini dan tidak lagi dekat-dekat dengannya. Karena kedekatan mereka yang tidak seberapa ini saja sudah membuat jantung Airin berdetak dengan tidak normal. Airin tidak menyukai respon tubuhnya yang tidak biasa itu.Jadi sekali lagi dia berkata, "Ayo kita tidur, Tuan."Dan rupanya, aksinya itu berhasil, karena kemudian Sakha langsung menjauh darinya."Kenapa kau tetap memanggilku Tuan? Kau bukan lagi seorang pekerja di ladangku melainkan istriku sendiri.""Saya ... belum terbiasa dengan panggilan lain," jawab Airin, tersenyum malu-malu.Tapi tentu saja senyum itu hanya dibuat-buat.Memangnya dia harus memanggil Sakha dengan sebutan apa? Karena nyaris seluruh penduduk desa ini memanggilnya dengan
"Bagaimana kalau saya bilang bahwa yang Tuan Sakha bilang itu memang benar? Bahwa Tuan ... bukan satu-satunya pria yang pernah menyentuh saya."Sesaat setelah perkataan itu keluar dari bibir Airin, Sakha terdiam menatapnya.Sedangkan Airin tersenyum penuh kemenangan. Kali ini rencananya pasti berhasil. Sakha pasti akan langsung ke luar dan meninggalkannya lagi dalam keadaan marah seperti tadi dan pasti akan berpikir-pikir ulang untuk mendatanginya. Lalu setelah itu dia akan mencari pelipur lara ke istri-istrinya yang lain.Senyum Airin semakin mengembang saat melihat Sakha mengalihkan pandang kemudian turun dari ranjang, melangkah menuju pintu."Tuan mau ke mana?" tanya Airin, pura-pura terdengar sedih, bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Padahal di dalam dia bersorak kegirangan.Sakha kemudian menghentikan langkahnya. Tanpa menoleh, dia menjawab dengan suara berat, "Aku lupa mengunci pintu
Dengan mata basah dan bibir merah yang merekah terbuka, mendongak padanya dengan tatapan penuh permohonan. Rambut panjang yang mengilap diterpa cahaya itu mengurai di atas bantal berwarna putih. Dan lipatan kain tipis di dada yang menyangga pada dua gundukan besar dengan puncak yang telah mengeras oleh dambaan kepolosan."T-tuan."Ditambah suara itu ....Sakha tersenyum tipis, lalu sedikit bangkit sembari menyugar rambutnya ke belakang diikuti helaan napas panjang. Ini adalah pertama kalinya bagi Sakha melangsungkan malam pengantin yang begitu menantang, alias sangat menyusahkan. Seharusnya dia bisa hanya dengan menyuruh istrinya membuka baju kemudian menunggui kedatangannya untuk memenuhi tanggung jawab sebagai sepasang suami istri.Tapi Airin tidak. Sakha terlebih dahulu harus menyingkap tabir di wajah wanita itu; mempelajari perkataannya dan setiap pergantian ekspresi di wajahnya yang cantik na
"Kamu sudah basah, Airin.""Ah! Ap-apa yang ...! Ah, Tuan! Tu-tunggu dulu ...!" Airin menjerit saat tangan Sakha menyentuhnya di sana, satu jari pria itu membelai di lipatan bibir yang telah basah, dan dua jari yang lain menekan bagian kecil yang menonjol dan telah membengkak.Ketika Sakha melakukan semua itu dalam waktu bersamaan, Airin terlepas, cahaya putih menghalau kesadarannya, dan yang didengarnya hanya suara rintihan panjang seorang perempuan yang terdengar asing di telinga. Itu tidak mungkin suaranya 'kan?Saat Airin kembali dari pelepasan pertamanya itu, dia mendengar suara kekeh rendah milik pria di atasnya. Kelopak mata yang terpejam berat terbuka kembali, menatap ke arah pria itu.Namun tatapan Sakha lagi-lagi tertuju pada tempat di mana tangannya berada.Sakha mengangkat lengannya tinggi-tinggi, memperlihatkan pada Airin cairan basah mengilap yang mengalir lam
Kapan Airin pernah melihat alat vital pria sebelumnya? Airin rasa buku paket biologi di sekolahnya dulu telah memberinya banyak informasi, tapi buku-buku itu ternyata hanya mengada-ngada mengenai bentuk aslinya.Siapa yang akan memberitahu Airin bahwa bagian itu ternyata berbentuk sangat besar, panjang, dan keras? Airin tidak menyangka lelaki menyimpan benda seperti itu di balik celana mereka setiap hari."Tidak semua laki-laki sepertinya, mungkin hanya suamimu saja, Airin," gumamnya pada diri sendiri, sembari menenggelamkan wajahnya yang memerah padam pada bantal.Airin tidak menyangka bahwa kini dia sudah bukan lagi seorang perawan. Dan tubuhnya telah dijamah sedemikian rupa oleh pria. Mengingatnya saja membuat Airin merasa kesal, terlebih pada gelenyar aneh yang ditimbulkannya, padahal Airin hanya membayangkan adegan tadi dalam di benaknya sepenggal saja."Membuatku merasa kotor," gumam Airin lagi, suaranya
Mata Airin langsung membelalak.Sakha meminta sesuatu yang sangat mustahil."Airin?" panggil suaminya itu dengan suara rendah yang terdengar semakin serak. Tangan Airin di celananya ia tuntun, memegang miliknya yang telah menegang sempurna."Tu-Tuan ...!" Wajah Airin memerah padam dan sudah tidak bisa dikendalikan. "Ini sungguh memalukan jadi lepaskan saya!" katanya, setengah merengek.Namun Sakha seolah tidak mendengar permintaannya. "Kamu menyukai ini tadi, kenapa sekarang menolak?" Napas Sakha semakin memburu dan tatapannya perlahan ditutup kabut gairah.Dan Airin yang tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu menatap wajahnya dengan cermat, entah kenapa dia menyukai ekspresi yang tercipta di sana saat ini oleh apa yang tengah dilakukan tangannya di bawah sana.Dahi Sakha berkerut-kerut, alisnya yang tebal itu nyaris dibuat menyatu, dan matanya menatap Airin sayu seka
Sakha keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Saat mengangkat pandangannya, dia tidak menemukan Airin di meja rias seperti yang sudah Sakha duga. Dan ternyata gadis itu tengah tertidur pulas di ranjang yang ditutup kelambu, bergelung selimut tebal yang dililitkan erat ke tubuhnya.Senyum miring lantas terbit di bibir Sakha. Didekatinya ranjang, menyibak kelambu putih dan menatap wajah damai yang tengah tertidur itu. Kalau begini, Airin tampak begitu lugu, seperti gadis penuh sopan santun berhati lembut yang akan patuh pada apapun yang diucapkannya. Siapa yang dapat menyangka bahwa dia sangat jauh dari kata itu?Sakha mengulurkan tangan, menyentuh rambut di pelipis Airin yang menutupi mata. Dan gadis itu sama sekali tidak terusik. Sakha mendengus. Ini yang gadis itu bilang tidak kelelahan tadi?Sakha bahkan nyaris berpikir dia pingsan alih-alih tidur. Ingin rasanya Sakha bergabung, karena matahari juga belum terbit. Tap
Kantuk seketika lenyap dari mata Airin karena gangguan Sakha tadi.Suaminya itu kini entah pergi ke mana. Setelah puas mengejeknya, dia ke luar dan tidak kembali bahkan sampai Airin selesai bersiap-siap untuk memulai rutinitas paginya. Saat matahari mulai mengintip malu-malu di ufuk timur, Airin tidak mau lagi menunda-nunda dan langsung keluar dari paviliun. Udara pagi yang sejuk menyambutnya. Airin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Lalu mendongak melihat cahaya keemasan yang menerpa pohon mangga di samping paviliun, sungguh indah dipandang. Sudah terbiasa Airin bangun pagi dan menikmati suasana seperti ini, sampai dia tidak lagi memperhatikan hal-hal yang biasanya hanya ada pada pagi hari; seperti embun di dedaunan dan rumput yang basah, sinar keemasan hangat yang menyentuh kulit, atau bintang-bintang dan bulan yang mulai memudar cahayanya. Dan kini, Airin merasa seolah sudah lama sekali dia tidak melihat dunia luar. Dia yakin bahwa
Beberapa bulan kemudian.Satu per satu impian Airin selama ini akhirnya tercapai. Tidak lama setelah dia lulus dari kuliah, dia berhasil membuka sebuah brand dan toko parfum hasil buatan dan racikannya sendiri, yang selama ini selalu dia idam-idamkan untuk lakukan. Bisnisnya masih bertaraf bisnis kecil, tapi dia melakukan semuanya dengan sukacita.“Semua adalah hasil jerih payah kamu,” kata Sakha ketika di hari pembukaan toko Airin yang ramai dikunjungi oleh orang-orang, berkat promosi dan iklan yang dia lakukan di mana-mana.“Tuan juga sudah membantu banyak,” sahut Airin, menggoda suaminya itu.Airin tidak ingin bersikap naif dengan melupakan bahwa tanpa Sakha dia tidak mungkin sampai di titik ini. Tapi Sakha bersikukuh bahwa dia tidak melakukan apa pun selain menginvestasikan uangnya ke bisnis Airin. Pria itu ingin sang istri bangga sepenuhnya kepada dirinya sendiri, yang mana sudah cukup Airin lakukan.“Aku benar-benar bangga padamu,” bisik Sakha di telinga Airin saat orang-orang t
EXTRA PART 03 – Henia MaulidaSuara pintu berderit terbuka terdengar menggema di rumah besar yang sepi itu. Henia melangkah masuk ke dalam, sepatunya dia lepas dan kakinya berjinjit di lantai. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara apa pun supaya tidak membangunkan orang rumah.Namun, saat langkah kakinya baru saja menginjak satu anak tangga terbawah, sebuah suara terdengar di atasnya.“Habis ke mana kamu jam segini baru pulang?”Itu suara ibunya. Henia menghela napas kasar lalu menapakkan kakinya lagi ke lantai. Lampu menyala dan raut muak di wajah Henia tampak semakin jelas.Dia melanjutkan lagi langkahnya menaiki tangga, memutuskan untuk tidak memedulikan ocehan ibunya.“Wanita tidak bersuami seperti kamu seharusnya nggak keluyuran malam-malam dan pulang pagi seperti ini.”Henia mengepalkan tangannya kuat dan menatap bayangan ibunya di atas tangga dengan tatapan tajam.“Aku bukan anak kecil lagi yang jam pulang aja harus diatur-atur,” balas Henia.“Henia! Kamu nggak dengar apa
“Bunda!”Tia mengangkat pandangannya dari majalah yang tengah ia baca, lalu menatap putranya yang berlari ke arahnya dengan seragam SMP berwarna putih dan biru tua. Senyum Tia mengembang, merentangkan tangan dan merangkul remaja itu dengan kasih sayang keibuan.“Bagaimana sekolah kamu?”Dean melepas ranselnya lalu mengambil sebuah kue dari atas meja. “Aku ada tugas kelompok. Rencananya, aku mau ngerjainnya di rumah temenku hari sabtu nanti,” jawabnya sembari mengunyah.Tia mengangguk. “Kamu boleh pergi.”Pandangan Dean langsung tertuju ke arah ibunya itu. “Benar?” tanyanya hati-hati.“Ya. Memang kenapa? Selama ini Bunda nggak pernah ngelarang, kan?”Kedua bahu Dean lantas tampak lesu. “Apa akhir pekan nanti Bunda bakal ada di sini sama aku?”Pertanyaan itu menyentil Tia dan membuatnya merasa sedih. “Dean, mulai sekarang Bunda bakal selalu ada sama kamu.”Dean menatap ibunya itu dan terdiam. Dia mencari kejujuran di kedua mata sang bunda, namun masih juga belum yakin atas ucapannya. Ap
Setelah bercerai dengan mantan suaminya, Ria memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke negara tetangga, di mana di sana dia memulai kehidupan baru dengan seorang pria yang mencintainya. Ria teringat ucapan Sakha di malam saat pria itu menceraikannya, bahwa hati Ria tidak pernah berlabuh sepenuhnya kepada pria itu. Ria tidak pernah bisa mencintai Sakha. Mungkin memiliki sedikit perasaan padanya memang benar, tapi tidak pernah sampai tahap dia mencintai pria itu. Namun, ada satu pria, yang tidak pernah bisa Ria lupakan dan hilangkan dari hatinya semenjak remaja. Gani Akbar Hartono. Ria tidak pernah bilang bahwa dia mencintai Gani, tapi cinta yang diberikan Gani padanya terpampang dengan begitu jelas sehingga Ria luluh tanpa dia sadari. Sakha terlalu dingin. Gani hangat seperti matahari. Bahkan sampai sekarang, Ria kesusahan untuk berhenti membeda-bedakan dua orang itu. Dia telah hidup bahagia dengan Gani, pria yang kini telah menjadi suaminya, tapi dalam beberapa waktu pikiran Ria a
Halo, teman-teman pembaca semua. Kenalkan, saya Asia July, penulis kisah si istri keempat. (Sebenarnya saya dan Sakha sudah menikah siri, saya jadi istri kelimanya. :) Kisah Istri Keempat saya akhiri di bab 95. Itu karena saya sebagai istri kelima sudah saatnya bereaksi di balik layar merebut Sakha dari Airin. Jangan marah yaaa ;) Tapi, tenang saja, semuanya belum benar-benar berakhir. Akan ada EXTRA PART yang lumayan banyak! >,< Menceritakan tentang kisah Airin dan Sakha selanjutnya. Ada 1 konflik yang saya lempar, semoga nanti pembaca suka. Juga di extra part nanti, akan ada kisahnya Ria, Tia, dan Nia. Dan diakhiri dengan kisah Airin dan Sakha menanti kehamilan anak kedua. Lalu, di HIDDEN PART akan ada kisah saya sebagai istri kelima. (Ck! Sudah dibilang jangan iri!-_-) *ini becanda, gak ada hidden part!* Ucapan terima kasih saya sampaikan dengan tulus kepada teman-teman pembaca semua yang sudah membaca karya saya yang sangat penuh kekurangan
“Sekarang?” Sakha menjauhkan tubuh mereka dan menatap istrinya itu tepat di mata. “Tentu saja semuanya sudah berubah. Kamu merubah banyak hal dalam diriku dan duniaku.”Airin menangis. Dan Sakha mengusap pelan air matanya yang mengalir di pipi.“Airin?”“Hm?”“Apa kamu … mencintaiku?”“ …!”“Karena aku sangat mencintaimu.”Sontak tangisan Airin langsung terhenti. Dia menatap mata yang berwarna karamel itu, yang memantulkan cahaya lembut dari lampu di atas mereka. Airin mencari-cari, tapi dia tidak menemukan kebohongan.“Tidak masalah lagi dengan anak. Aku tidak pernah marah padamu saat tahu bahwa kita kehilangan bayi kita, harapanku saat itu hanya satu; mengambil semua rasa sakit yang kamu rasakan dan melimpahkannya padaku.“Dan tidak, Airin. Kalau kamu berpikir bahwa aku akan berpaling, maka kamu salah. Satu-sat
Gelengan kepala diberikan Sakha. Kepalanya mendadak terasa berat sehingga dia pun memajukan tubuhnya, dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Airin. Lalu berbisik, “Hanya kamu sekarang, Airin.”Tanda tanya besar menggantung dalam benak Airin. “Hanya aku? Maksud Mas, Kak Ria sudah ….”“Ya, dia bukan istriku lagi.”“Ba-bagaimana? Bukankah Mas dengan orang tua Kak Ria ….”Sakha terkekeh, ternyata Airin juga sudah tahu sejauh itu. “Aku pergi ke rumahnya. Dan berbicara dengan orang tuanya.”“Tapi bagaimana dengan perusahaan Mas?”Sakha mendesah lelah lagi. Dia menarik Airin dekat dan memeluk tubuhnya. “Aku benar-benar merindukanmu, Airin.”Dorongan adalah yang diberikan Airin sebagai jawaban dari ungkapan rindu itu. Ini bukan saatnya untuk mereka bermesra-mesraan. Ada banyak hal yang belum Sakha jelaskan padanya.Sakha menepis tangan Airin ya
Seperti malam sebelumnya. Sakha masuk ke kamar dan mendapati Airin telah tertidur pulas.Sekali lagi, dia menyesal karena pulang terlalu larut malam. Dia merindukan mata indah berwarna hitam kelam itu menatapnya. Dia rindu pada suara wanita itu berbicara padanya.Sekarang semuanya sudah baik-baik saja bagi mereka. Dan Airin bertahan sampai akhir tanpa banyak protes. Mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal, pikir Sakha.Perasaan bahagia menbuncah di dalam dadanya, membuat dia tidak bisa menahan diri untuk bergabung bersama Airin di atas ranjang dan memeluk istrinya itu erat.Sakha menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Airin, dan menghidu aromanya dalam-dalam lalu mengeluarkan suara seperti lirihan.Mustahil Airin tidak terbangun dibuatnya.Saat wanita itu membuka mata, dia terkejut, tapi tidak mengatakan apa pun. Bahkan bernapas pun dia takut, takut kalau itu akan membuat Sakha menjauh darinya. Tapi dorongan untuk membalas pelukan itu be
Airin menunggu, lagi. Tapi sudah hampir tengah malam, Sakha tidak kunjung pulang. Dia memang berkata ingin pergi dari sisi pria itu, tapi nanti setelah mereka berdua berbicara. Segalanya harus diluruskan. Airin tidak ingin pergi membawa penyesalan karena kebodohannya sendiri. Namun, sampai kantuk membawa kesadarannya pergi—seperti malam sebelumnya—Sakha belum juga pulang. *** Lagi-lagi pada makan malam. Sakha tidak tahu kenapa waktu malam dan makanan menjadi waktu yang tepat baginya. Atau mungkin kali ini tidak tepat? Kemarin di makan malam bersama Tia. Sekarang di acara yang sama bersama keluarga besar Ferdinan. Ayah mertuanya yang begitu bersemangat terus menerus membahas tentang bisnis sedari tadi, seberapa tidak sabarnya dia mengutarakan ide untuk bisnis barunya di meja makan itu, sampai Sakha bahkan tidak memiliki waktu untuk menyela dan mengutarakan maksud kedatangannya malam ini. Ria duduk di samping Sak