Sakha keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Saat mengangkat pandangannya, dia tidak menemukan Airin di meja rias seperti yang sudah Sakha duga. Dan ternyata gadis itu tengah tertidur pulas di ranjang yang ditutup kelambu, bergelung selimut tebal yang dililitkan erat ke tubuhnya.
Senyum miring lantas terbit di bibir Sakha. Didekatinya ranjang, menyibak kelambu putih dan menatap wajah damai yang tengah tertidur itu. Kalau begini, Airin tampak begitu lugu, seperti gadis penuh sopan santun berhati lembut yang akan patuh pada apapun yang diucapkannya.Siapa yang dapat menyangka bahwa dia sangat jauh dari kata itu?Sakha mengulurkan tangan, menyentuh rambut di pelipis Airin yang menutupi mata. Dan gadis itu sama sekali tidak terusik.Sakha mendengus. Ini yang gadis itu bilang tidak kelelahan tadi?Sakha bahkan nyaris berpikir dia pingsan alih-alih tidur. Ingin rasanya Sakha bergabung, karena matahari juga belum terbit. TapKantuk seketika lenyap dari mata Airin karena gangguan Sakha tadi.Suaminya itu kini entah pergi ke mana. Setelah puas mengejeknya, dia ke luar dan tidak kembali bahkan sampai Airin selesai bersiap-siap untuk memulai rutinitas paginya. Saat matahari mulai mengintip malu-malu di ufuk timur, Airin tidak mau lagi menunda-nunda dan langsung keluar dari paviliun. Udara pagi yang sejuk menyambutnya. Airin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Lalu mendongak melihat cahaya keemasan yang menerpa pohon mangga di samping paviliun, sungguh indah dipandang. Sudah terbiasa Airin bangun pagi dan menikmati suasana seperti ini, sampai dia tidak lagi memperhatikan hal-hal yang biasanya hanya ada pada pagi hari; seperti embun di dedaunan dan rumput yang basah, sinar keemasan hangat yang menyentuh kulit, atau bintang-bintang dan bulan yang mulai memudar cahayanya. Dan kini, Airin merasa seolah sudah lama sekali dia tidak melihat dunia luar. Dia yakin bahwa
Matahari sudah semakin naik di timur, rumah mulai terdengar lebih hidup dengan pergerakan-pergerakan yang ada di dalamnya.Airin selesai memasak sayur sup dan menaruhnya ke mangkuk. Dia sangat suka sarapan dengan sayur sup begini, sayuran memberinya energi lebih untuk bekerja di ladang. Airin pun meletakkan mangkuk itu di antara menu sarapan yang lain.Suara langkah kaki terdengar di belakang, Airin menoleh lalu tersenyum menyapa Ria yang baru masuk ruangan."Lho, Ririn? Kamu sudah bangun?" tanyanya, tampak terkejut.Airin menahan diri untuk tidak mengeluarkan ekspresi penuh tanya.llplpp"Iya, Kak," sahutnya. "Mari, makan. Yang lain mana?"Ria berjalan mendekat. "Paling bentar lagi jiga dateng.""Hm." Airin mengambilkan Ria piring lalu mengisi nasinya."Kamu nggak sama Mas?" tanya Ria heran.Airin menggeleng. "Nggak," jawabnya. Lalu setelah itu dia mendengar suara kekehan Ria. Airin ikut tersenyum walau dia tahu tidak ada yang lucu. "Kena
"Selamat pagi, Mas," sapa Ria dengan senyum cerah, begitupun dengan Tia dan Nia, yang langsung berdiri seolah yang disambut adalah raja.Hanya Airin yang terdiam di kursinya, bersikap seolah hanya penonton, dan hal itu mengundang perhatian Sakha.Airin memicingkan mata, melihat pakaian rapi yang Sakha kenakan. Penampilannya sudah jauh berbeda dari kesan mesum tadi pagi, kini pria itu tampak berwibawa seperti biasa.Saat Sakha berjalan masuk dan duduk di kursinya di kepala meja, Airin tetep bergeming. Henia menyenggol sikunya pelan. "Ririn, kalau Mas dateng itu ya disapa dong, Rin."Airin pura-pura gelagapan. "Ah iya, maaf. Selamat pagi, Mas."Sakha membalasnya dengan tatapan datar. "Pagi.""Ririn itu lho, Mas, katanya masih canggung banget ketemu sama Mas," kata Tia."Ya wajar lah namanya juga pengantin baru." Ria menyahut.Mendengar itu, Sakha langsung menoleh pada Airin. "Kamu? Canggung ketemu saya?"Tersenyum malu-malu, Airin men
Setelah Sakha berangkat kerja, tinggal Airin dan ketiga istri Sakha di sana, yang tengah menatap Airin dengan tajam. Sementara Airin menunduk, sedikit pun tidak menyesali perbuatannya yang tadi, tapi bersikap seolah dia telah melakukan kesalahan besar. “Maafin Ririn, Kak,” lirihnya. Tia melangkah mendekat dan berkacak pinggang. “Gara-gara kamu Mas jadi ngebentak aku! Lain kali, kamu harus jaga sikap kamu di hadapan Mas. Jangan sembrono seperti tadi.” Airin mengangguk. “Aku ngerti, Kak.” Ria maju dan menyentuh bahu Tia, menenangkannya. “Sudah, Tia. Mas nggak bermaksud ngebentak kamu kok tadi. Dia pasti hanya terkejut karena sikap kurang ajar Ririn padanya.” Lalu Ria beralih menatap Airin. “Kamu dengar kan tadi kata Tia? Jangan bersikap sembrono lagi. Mas itu paling gak suka kalau disentuh tanpa seizinnya."
Sakha mengeluarkan suara tawa lelah yang lebih terdengar seperti erangan kepuasan, atau itulah tepatnya yang dia lakukan. Mata Airin masih membelalak lebar, menatap Sakha seolah pria yang menyandang status sebagai suaminya itu adalah makhluk halus, setan sungguhan, iblis jahann— "Terima kasih, aku sudah menahannya sejak tamparan yang kamu berikan pagi tadi." Pikiran Airin terpotong oleh kalimat tidak terduga itu. Sakha mendesah pelan, sebelum menutup mata dan mengabai
Sakha keluar dari paviliun, mengambil payung yang tadi dibawanya ke sini. Dia tentu saja sudah mengenakan pakaiannya kembali, kemudian pergi membelah rinai hujan ke rumah utama untuk mengambil obat. Sakha mengingatkan kepada dirinya sendiri untuk menyiapkan kotak obat komplit dengan isinya di kamar Airin nanti. Mengingat seberapa cerobohnya gadis itu, tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan terluka lagi karena kecerobohannya sendiri. Saat Sakha tiba di dalam rumah, tempat itu sepi dan hanya ada dirinya seorang di sana. Istri-istrinya yang lain masih di kota, berbelanja sepuas mereka dengan uang yang telah Sakha berikan. Galih dia tugaskan untuk menemani mereka. Sementara para pembantu
Airin nyaris tidak bernapas setelah ciuman panjang yang Sakha berikan. Dia menatap pria itu dengan matanya yang layu tertutup kabut gairah, kemudian bertanya-tanya apakah dia bisa mati karena sebuah ciuman? Kalau itu sampai terjadi, Airin bersumpah akan menghantui Sakha seumur hidupnya. Tapi tentu saja tidak. Airin sepenuhnya mengerti bahwa napasnya yang kini terengah adalah bukti dari seberapa hebatnya ciuman pria itu, sampai-sampai Airin menolak untuk berhenti atau menjauh sedikit pun. Setelah semalam, kini rasanya sulit untuk mengabaikan kebenaran bahwa gairahnya itu ada, di tubuhnya, seperti api besar yang terus bergejolak. Airin tidak mungkin bisa menang melawannya.
Sakha memeluk erat tubuh lemas Airin yang berbaring pasrah di atasnya. Sejak pelepasan terakhir mereka tadi, Airin tidak mengatakan apapun, bibirnya yang biasanya suka menyeletuk atau menyuruh Sakha pergi seperti kemarin tidak bersuara sedikit pun. Itu membuktikan seberapa lelah dan kewalahannya dia. Sakha pun tidak mengerti mengapa dia seperti ini. Dia seharusnya berhenti saat mendapatkan satu pelepasannya di awal tadi. Terlalu serakah serta berserah diri pada nafsu adalah sesuatu yang tidak benar. Dan hal itu juga tidak baik kalau dilakukan terlalu sering. Biasanya dia hanya melakukan hubungan intim dua sampai tiga kali seminggu dengan siapa pun istri yang mendapat gilirannya di ming
Beberapa bulan kemudian.Satu per satu impian Airin selama ini akhirnya tercapai. Tidak lama setelah dia lulus dari kuliah, dia berhasil membuka sebuah brand dan toko parfum hasil buatan dan racikannya sendiri, yang selama ini selalu dia idam-idamkan untuk lakukan. Bisnisnya masih bertaraf bisnis kecil, tapi dia melakukan semuanya dengan sukacita.“Semua adalah hasil jerih payah kamu,” kata Sakha ketika di hari pembukaan toko Airin yang ramai dikunjungi oleh orang-orang, berkat promosi dan iklan yang dia lakukan di mana-mana.“Tuan juga sudah membantu banyak,” sahut Airin, menggoda suaminya itu.Airin tidak ingin bersikap naif dengan melupakan bahwa tanpa Sakha dia tidak mungkin sampai di titik ini. Tapi Sakha bersikukuh bahwa dia tidak melakukan apa pun selain menginvestasikan uangnya ke bisnis Airin. Pria itu ingin sang istri bangga sepenuhnya kepada dirinya sendiri, yang mana sudah cukup Airin lakukan.“Aku benar-benar bangga padamu,” bisik Sakha di telinga Airin saat orang-orang t
EXTRA PART 03 – Henia MaulidaSuara pintu berderit terbuka terdengar menggema di rumah besar yang sepi itu. Henia melangkah masuk ke dalam, sepatunya dia lepas dan kakinya berjinjit di lantai. Sebisa mungkin dia tidak menimbulkan suara apa pun supaya tidak membangunkan orang rumah.Namun, saat langkah kakinya baru saja menginjak satu anak tangga terbawah, sebuah suara terdengar di atasnya.“Habis ke mana kamu jam segini baru pulang?”Itu suara ibunya. Henia menghela napas kasar lalu menapakkan kakinya lagi ke lantai. Lampu menyala dan raut muak di wajah Henia tampak semakin jelas.Dia melanjutkan lagi langkahnya menaiki tangga, memutuskan untuk tidak memedulikan ocehan ibunya.“Wanita tidak bersuami seperti kamu seharusnya nggak keluyuran malam-malam dan pulang pagi seperti ini.”Henia mengepalkan tangannya kuat dan menatap bayangan ibunya di atas tangga dengan tatapan tajam.“Aku bukan anak kecil lagi yang jam pulang aja harus diatur-atur,” balas Henia.“Henia! Kamu nggak dengar apa
“Bunda!”Tia mengangkat pandangannya dari majalah yang tengah ia baca, lalu menatap putranya yang berlari ke arahnya dengan seragam SMP berwarna putih dan biru tua. Senyum Tia mengembang, merentangkan tangan dan merangkul remaja itu dengan kasih sayang keibuan.“Bagaimana sekolah kamu?”Dean melepas ranselnya lalu mengambil sebuah kue dari atas meja. “Aku ada tugas kelompok. Rencananya, aku mau ngerjainnya di rumah temenku hari sabtu nanti,” jawabnya sembari mengunyah.Tia mengangguk. “Kamu boleh pergi.”Pandangan Dean langsung tertuju ke arah ibunya itu. “Benar?” tanyanya hati-hati.“Ya. Memang kenapa? Selama ini Bunda nggak pernah ngelarang, kan?”Kedua bahu Dean lantas tampak lesu. “Apa akhir pekan nanti Bunda bakal ada di sini sama aku?”Pertanyaan itu menyentil Tia dan membuatnya merasa sedih. “Dean, mulai sekarang Bunda bakal selalu ada sama kamu.”Dean menatap ibunya itu dan terdiam. Dia mencari kejujuran di kedua mata sang bunda, namun masih juga belum yakin atas ucapannya. Ap
Setelah bercerai dengan mantan suaminya, Ria memutuskan untuk pindah tempat tinggal ke negara tetangga, di mana di sana dia memulai kehidupan baru dengan seorang pria yang mencintainya. Ria teringat ucapan Sakha di malam saat pria itu menceraikannya, bahwa hati Ria tidak pernah berlabuh sepenuhnya kepada pria itu. Ria tidak pernah bisa mencintai Sakha. Mungkin memiliki sedikit perasaan padanya memang benar, tapi tidak pernah sampai tahap dia mencintai pria itu. Namun, ada satu pria, yang tidak pernah bisa Ria lupakan dan hilangkan dari hatinya semenjak remaja. Gani Akbar Hartono. Ria tidak pernah bilang bahwa dia mencintai Gani, tapi cinta yang diberikan Gani padanya terpampang dengan begitu jelas sehingga Ria luluh tanpa dia sadari. Sakha terlalu dingin. Gani hangat seperti matahari. Bahkan sampai sekarang, Ria kesusahan untuk berhenti membeda-bedakan dua orang itu. Dia telah hidup bahagia dengan Gani, pria yang kini telah menjadi suaminya, tapi dalam beberapa waktu pikiran Ria a
Halo, teman-teman pembaca semua. Kenalkan, saya Asia July, penulis kisah si istri keempat. (Sebenarnya saya dan Sakha sudah menikah siri, saya jadi istri kelimanya. :) Kisah Istri Keempat saya akhiri di bab 95. Itu karena saya sebagai istri kelima sudah saatnya bereaksi di balik layar merebut Sakha dari Airin. Jangan marah yaaa ;) Tapi, tenang saja, semuanya belum benar-benar berakhir. Akan ada EXTRA PART yang lumayan banyak! >,< Menceritakan tentang kisah Airin dan Sakha selanjutnya. Ada 1 konflik yang saya lempar, semoga nanti pembaca suka. Juga di extra part nanti, akan ada kisahnya Ria, Tia, dan Nia. Dan diakhiri dengan kisah Airin dan Sakha menanti kehamilan anak kedua. Lalu, di HIDDEN PART akan ada kisah saya sebagai istri kelima. (Ck! Sudah dibilang jangan iri!-_-) *ini becanda, gak ada hidden part!* Ucapan terima kasih saya sampaikan dengan tulus kepada teman-teman pembaca semua yang sudah membaca karya saya yang sangat penuh kekurangan
“Sekarang?” Sakha menjauhkan tubuh mereka dan menatap istrinya itu tepat di mata. “Tentu saja semuanya sudah berubah. Kamu merubah banyak hal dalam diriku dan duniaku.”Airin menangis. Dan Sakha mengusap pelan air matanya yang mengalir di pipi.“Airin?”“Hm?”“Apa kamu … mencintaiku?”“ …!”“Karena aku sangat mencintaimu.”Sontak tangisan Airin langsung terhenti. Dia menatap mata yang berwarna karamel itu, yang memantulkan cahaya lembut dari lampu di atas mereka. Airin mencari-cari, tapi dia tidak menemukan kebohongan.“Tidak masalah lagi dengan anak. Aku tidak pernah marah padamu saat tahu bahwa kita kehilangan bayi kita, harapanku saat itu hanya satu; mengambil semua rasa sakit yang kamu rasakan dan melimpahkannya padaku.“Dan tidak, Airin. Kalau kamu berpikir bahwa aku akan berpaling, maka kamu salah. Satu-sat
Gelengan kepala diberikan Sakha. Kepalanya mendadak terasa berat sehingga dia pun memajukan tubuhnya, dan menjatuhkan kepalanya ke bahu Airin. Lalu berbisik, “Hanya kamu sekarang, Airin.”Tanda tanya besar menggantung dalam benak Airin. “Hanya aku? Maksud Mas, Kak Ria sudah ….”“Ya, dia bukan istriku lagi.”“Ba-bagaimana? Bukankah Mas dengan orang tua Kak Ria ….”Sakha terkekeh, ternyata Airin juga sudah tahu sejauh itu. “Aku pergi ke rumahnya. Dan berbicara dengan orang tuanya.”“Tapi bagaimana dengan perusahaan Mas?”Sakha mendesah lelah lagi. Dia menarik Airin dekat dan memeluk tubuhnya. “Aku benar-benar merindukanmu, Airin.”Dorongan adalah yang diberikan Airin sebagai jawaban dari ungkapan rindu itu. Ini bukan saatnya untuk mereka bermesra-mesraan. Ada banyak hal yang belum Sakha jelaskan padanya.Sakha menepis tangan Airin ya
Seperti malam sebelumnya. Sakha masuk ke kamar dan mendapati Airin telah tertidur pulas.Sekali lagi, dia menyesal karena pulang terlalu larut malam. Dia merindukan mata indah berwarna hitam kelam itu menatapnya. Dia rindu pada suara wanita itu berbicara padanya.Sekarang semuanya sudah baik-baik saja bagi mereka. Dan Airin bertahan sampai akhir tanpa banyak protes. Mereka bisa memulai semuanya lagi dari awal, pikir Sakha.Perasaan bahagia menbuncah di dalam dadanya, membuat dia tidak bisa menahan diri untuk bergabung bersama Airin di atas ranjang dan memeluk istrinya itu erat.Sakha menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Airin, dan menghidu aromanya dalam-dalam lalu mengeluarkan suara seperti lirihan.Mustahil Airin tidak terbangun dibuatnya.Saat wanita itu membuka mata, dia terkejut, tapi tidak mengatakan apa pun. Bahkan bernapas pun dia takut, takut kalau itu akan membuat Sakha menjauh darinya. Tapi dorongan untuk membalas pelukan itu be
Airin menunggu, lagi. Tapi sudah hampir tengah malam, Sakha tidak kunjung pulang. Dia memang berkata ingin pergi dari sisi pria itu, tapi nanti setelah mereka berdua berbicara. Segalanya harus diluruskan. Airin tidak ingin pergi membawa penyesalan karena kebodohannya sendiri. Namun, sampai kantuk membawa kesadarannya pergi—seperti malam sebelumnya—Sakha belum juga pulang. *** Lagi-lagi pada makan malam. Sakha tidak tahu kenapa waktu malam dan makanan menjadi waktu yang tepat baginya. Atau mungkin kali ini tidak tepat? Kemarin di makan malam bersama Tia. Sekarang di acara yang sama bersama keluarga besar Ferdinan. Ayah mertuanya yang begitu bersemangat terus menerus membahas tentang bisnis sedari tadi, seberapa tidak sabarnya dia mengutarakan ide untuk bisnis barunya di meja makan itu, sampai Sakha bahkan tidak memiliki waktu untuk menyela dan mengutarakan maksud kedatangannya malam ini. Ria duduk di samping Sak