Setelah Sakha berangkat kerja, tinggal Airin dan ketiga istri Sakha di sana, yang tengah menatap Airin dengan tajam.
Sementara Airin menunduk, sedikit pun tidak menyesali perbuatannya yang tadi, tapi bersikap seolah dia telah melakukan kesalahan besar.
“Maafin Ririn, Kak,” lirihnya.
Tia melangkah mendekat dan berkacak pinggang. “Gara-gara kamu Mas jadi ngebentak aku! Lain kali, kamu harus jaga sikap kamu di hadapan Mas. Jangan sembrono seperti tadi.”
Airin mengangguk. “Aku ngerti, Kak.”
Ria maju dan menyentuh bahu Tia, menenangkannya. “Sudah, Tia. Mas nggak bermaksud ngebentak kamu kok tadi. Dia pasti hanya terkejut karena sikap kurang ajar Ririn padanya.” Lalu Ria beralih menatap Airin. “Kamu dengar kan tadi kata Tia? Jangan bersikap sembrono lagi. Mas itu paling gak suka kalau disentuh tanpa seizinnya."
Sakha mengeluarkan suara tawa lelah yang lebih terdengar seperti erangan kepuasan, atau itulah tepatnya yang dia lakukan. Mata Airin masih membelalak lebar, menatap Sakha seolah pria yang menyandang status sebagai suaminya itu adalah makhluk halus, setan sungguhan, iblis jahann— "Terima kasih, aku sudah menahannya sejak tamparan yang kamu berikan pagi tadi." Pikiran Airin terpotong oleh kalimat tidak terduga itu. Sakha mendesah pelan, sebelum menutup mata dan mengabai
Sakha keluar dari paviliun, mengambil payung yang tadi dibawanya ke sini. Dia tentu saja sudah mengenakan pakaiannya kembali, kemudian pergi membelah rinai hujan ke rumah utama untuk mengambil obat. Sakha mengingatkan kepada dirinya sendiri untuk menyiapkan kotak obat komplit dengan isinya di kamar Airin nanti. Mengingat seberapa cerobohnya gadis itu, tidak menutup kemungkinan bahwa dia akan terluka lagi karena kecerobohannya sendiri. Saat Sakha tiba di dalam rumah, tempat itu sepi dan hanya ada dirinya seorang di sana. Istri-istrinya yang lain masih di kota, berbelanja sepuas mereka dengan uang yang telah Sakha berikan. Galih dia tugaskan untuk menemani mereka. Sementara para pembantu
Airin nyaris tidak bernapas setelah ciuman panjang yang Sakha berikan. Dia menatap pria itu dengan matanya yang layu tertutup kabut gairah, kemudian bertanya-tanya apakah dia bisa mati karena sebuah ciuman? Kalau itu sampai terjadi, Airin bersumpah akan menghantui Sakha seumur hidupnya. Tapi tentu saja tidak. Airin sepenuhnya mengerti bahwa napasnya yang kini terengah adalah bukti dari seberapa hebatnya ciuman pria itu, sampai-sampai Airin menolak untuk berhenti atau menjauh sedikit pun. Setelah semalam, kini rasanya sulit untuk mengabaikan kebenaran bahwa gairahnya itu ada, di tubuhnya, seperti api besar yang terus bergejolak. Airin tidak mungkin bisa menang melawannya.
Sakha memeluk erat tubuh lemas Airin yang berbaring pasrah di atasnya. Sejak pelepasan terakhir mereka tadi, Airin tidak mengatakan apapun, bibirnya yang biasanya suka menyeletuk atau menyuruh Sakha pergi seperti kemarin tidak bersuara sedikit pun. Itu membuktikan seberapa lelah dan kewalahannya dia. Sakha pun tidak mengerti mengapa dia seperti ini. Dia seharusnya berhenti saat mendapatkan satu pelepasannya di awal tadi. Terlalu serakah serta berserah diri pada nafsu adalah sesuatu yang tidak benar. Dan hal itu juga tidak baik kalau dilakukan terlalu sering. Biasanya dia hanya melakukan hubungan intim dua sampai tiga kali seminggu dengan siapa pun istri yang mendapat gilirannya di ming
Airin masuk ke dalam kamarnya dan melangkah langsung menuju ranjang tanpa menghiraukan Sakha yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pria itu menatap Airin penasaran. "Ada apa, Airin?" tanyanya sembari melangkah mendekat, pada Airin yang langsung membanting tubuhnya ke atas ranjang. Mendengar suara suaminya itu, sejenak Airin berpikir, apakah seharusnya dia berterima kasih pada Sakha atau justru mengutuknya? Opsi kedua selalu jadi opsi yang bagus. Tapi kalau bukan karena pernikahan ini, Airin tidak akan bisa mendapatkan harapannya lagi seperti tadi, tentang mimpi dan keing
Beberapa saat kemudian, Airin dan Sakha keluar berbarengan dari paviliun menuju rumah utama. "Saya tidak perlu dipaksa untuk sarapan seperti anak kecil saja!" ucap Airin mengomel di belakang Sakha. Sakha, dengan bahu lebar tegaknya terus melangkah tanpa menghiraukan gerutuan Airin, pura-pura tidak mendengar ucapan gadis itu. Saat mendekati rumah utama, Airin menatap pada tangannya yang digenggam Sakha. Seketika dia tersadar dan langsung menghempaskan tangan mereka. S
Ria tiba-tiba bangkit dari kursinya. "Mas keknya udah mau berangkat," katanya, kemudian Tia dan Nia pun ikut berdiri. Ria menoleh pada Airin. "Nanti kalau kamu sudah selesai piring kotornya dibawa ke dapur ya, Rin, bantu bibik lah sesekali."Airin mengangguk kepalanya tanpa membantah. "Iya, Kak," ucapnya. Mereka bertiga pun serentak pergi dari ruang makan, meninggalkan Airin seorang diri, yang tidak merasa perlu untuk ikut melepas kepergian Sakha.Airin terkekeh dengan pikirannya sendiri. Kata melepaskan, seolah Sakha hendak pergi ke medan perang saja. "Hahahah!" tawanya lagi, yang terdengar menggema di ruang makan luas dan sepi itu.
"Mau sampai jam berapa di sana?" tanya Sakha. Mereka berdua tengah duduk bersebelahan di dalam mobil yang Sakha kemudi menuju rumah orang tua Airin. "Hmmm." Airin berpikir lama selagi memaku pandangannya ke luar jendela, melihat rumah-rumah warga yang beberapa dikenalnya berlalu begitu saja. "Belum tahu. Lihat nanti aja," jawab Airin kemudian. Sakha meliriknya sebentar, tapi tidak bertanya lagi. Ketika mereka sampai, Airin tidak langsung turun, sebab beberapa