"Kamu sudah basah, Airin."
"Ah! Ap-apa yang ...! Ah, Tuan! Tu-tunggu dulu ...!" Airin menjerit saat tangan Sakha menyentuhnya di sana, satu jari pria itu membelai di lipatan bibir yang telah basah, dan dua jari yang lain menekan bagian kecil yang menonjol dan telah membengkak.
Ketika Sakha melakukan semua itu dalam waktu bersamaan, Airin terlepas, cahaya putih menghalau kesadarannya, dan yang didengarnya hanya suara rintihan panjang seorang perempuan yang terdengar asing di telinga. Itu tidak mungkin suaranya 'kan?
Saat Airin kembali dari pelepasan pertamanya itu, dia mendengar suara kekeh rendah milik pria di atasnya. Kelopak mata yang terpejam berat terbuka kembali, menatap ke arah pria itu.
Namun tatapan Sakha lagi-lagi tertuju pada tempat di mana tangannya berada.
Sakha mengangkat lengannya tinggi-tinggi, memperlihatkan pada Airin cairan basah mengilap yang mengalir lam
Kapan Airin pernah melihat alat vital pria sebelumnya? Airin rasa buku paket biologi di sekolahnya dulu telah memberinya banyak informasi, tapi buku-buku itu ternyata hanya mengada-ngada mengenai bentuk aslinya.Siapa yang akan memberitahu Airin bahwa bagian itu ternyata berbentuk sangat besar, panjang, dan keras? Airin tidak menyangka lelaki menyimpan benda seperti itu di balik celana mereka setiap hari."Tidak semua laki-laki sepertinya, mungkin hanya suamimu saja, Airin," gumamnya pada diri sendiri, sembari menenggelamkan wajahnya yang memerah padam pada bantal.Airin tidak menyangka bahwa kini dia sudah bukan lagi seorang perawan. Dan tubuhnya telah dijamah sedemikian rupa oleh pria. Mengingatnya saja membuat Airin merasa kesal, terlebih pada gelenyar aneh yang ditimbulkannya, padahal Airin hanya membayangkan adegan tadi dalam di benaknya sepenggal saja."Membuatku merasa kotor," gumam Airin lagi, suaranya
Mata Airin langsung membelalak.Sakha meminta sesuatu yang sangat mustahil."Airin?" panggil suaminya itu dengan suara rendah yang terdengar semakin serak. Tangan Airin di celananya ia tuntun, memegang miliknya yang telah menegang sempurna."Tu-Tuan ...!" Wajah Airin memerah padam dan sudah tidak bisa dikendalikan. "Ini sungguh memalukan jadi lepaskan saya!" katanya, setengah merengek.Namun Sakha seolah tidak mendengar permintaannya. "Kamu menyukai ini tadi, kenapa sekarang menolak?" Napas Sakha semakin memburu dan tatapannya perlahan ditutup kabut gairah.Dan Airin yang tidak bisa mengalihkan pandangannya dari pria itu menatap wajahnya dengan cermat, entah kenapa dia menyukai ekspresi yang tercipta di sana saat ini oleh apa yang tengah dilakukan tangannya di bawah sana.Dahi Sakha berkerut-kerut, alisnya yang tebal itu nyaris dibuat menyatu, dan matanya menatap Airin sayu seka
Sakha keluar dari kamar mandi sembari menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Saat mengangkat pandangannya, dia tidak menemukan Airin di meja rias seperti yang sudah Sakha duga. Dan ternyata gadis itu tengah tertidur pulas di ranjang yang ditutup kelambu, bergelung selimut tebal yang dililitkan erat ke tubuhnya.Senyum miring lantas terbit di bibir Sakha. Didekatinya ranjang, menyibak kelambu putih dan menatap wajah damai yang tengah tertidur itu. Kalau begini, Airin tampak begitu lugu, seperti gadis penuh sopan santun berhati lembut yang akan patuh pada apapun yang diucapkannya. Siapa yang dapat menyangka bahwa dia sangat jauh dari kata itu?Sakha mengulurkan tangan, menyentuh rambut di pelipis Airin yang menutupi mata. Dan gadis itu sama sekali tidak terusik. Sakha mendengus. Ini yang gadis itu bilang tidak kelelahan tadi?Sakha bahkan nyaris berpikir dia pingsan alih-alih tidur. Ingin rasanya Sakha bergabung, karena matahari juga belum terbit. Tap
Kantuk seketika lenyap dari mata Airin karena gangguan Sakha tadi.Suaminya itu kini entah pergi ke mana. Setelah puas mengejeknya, dia ke luar dan tidak kembali bahkan sampai Airin selesai bersiap-siap untuk memulai rutinitas paginya. Saat matahari mulai mengintip malu-malu di ufuk timur, Airin tidak mau lagi menunda-nunda dan langsung keluar dari paviliun. Udara pagi yang sejuk menyambutnya. Airin menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan pelan. Lalu mendongak melihat cahaya keemasan yang menerpa pohon mangga di samping paviliun, sungguh indah dipandang. Sudah terbiasa Airin bangun pagi dan menikmati suasana seperti ini, sampai dia tidak lagi memperhatikan hal-hal yang biasanya hanya ada pada pagi hari; seperti embun di dedaunan dan rumput yang basah, sinar keemasan hangat yang menyentuh kulit, atau bintang-bintang dan bulan yang mulai memudar cahayanya. Dan kini, Airin merasa seolah sudah lama sekali dia tidak melihat dunia luar. Dia yakin bahwa
Matahari sudah semakin naik di timur, rumah mulai terdengar lebih hidup dengan pergerakan-pergerakan yang ada di dalamnya.Airin selesai memasak sayur sup dan menaruhnya ke mangkuk. Dia sangat suka sarapan dengan sayur sup begini, sayuran memberinya energi lebih untuk bekerja di ladang. Airin pun meletakkan mangkuk itu di antara menu sarapan yang lain.Suara langkah kaki terdengar di belakang, Airin menoleh lalu tersenyum menyapa Ria yang baru masuk ruangan."Lho, Ririn? Kamu sudah bangun?" tanyanya, tampak terkejut.Airin menahan diri untuk tidak mengeluarkan ekspresi penuh tanya.llplpp"Iya, Kak," sahutnya. "Mari, makan. Yang lain mana?"Ria berjalan mendekat. "Paling bentar lagi jiga dateng.""Hm." Airin mengambilkan Ria piring lalu mengisi nasinya."Kamu nggak sama Mas?" tanya Ria heran.Airin menggeleng. "Nggak," jawabnya. Lalu setelah itu dia mendengar suara kekehan Ria. Airin ikut tersenyum walau dia tahu tidak ada yang lucu. "Kena
"Selamat pagi, Mas," sapa Ria dengan senyum cerah, begitupun dengan Tia dan Nia, yang langsung berdiri seolah yang disambut adalah raja.Hanya Airin yang terdiam di kursinya, bersikap seolah hanya penonton, dan hal itu mengundang perhatian Sakha.Airin memicingkan mata, melihat pakaian rapi yang Sakha kenakan. Penampilannya sudah jauh berbeda dari kesan mesum tadi pagi, kini pria itu tampak berwibawa seperti biasa.Saat Sakha berjalan masuk dan duduk di kursinya di kepala meja, Airin tetep bergeming. Henia menyenggol sikunya pelan. "Ririn, kalau Mas dateng itu ya disapa dong, Rin."Airin pura-pura gelagapan. "Ah iya, maaf. Selamat pagi, Mas."Sakha membalasnya dengan tatapan datar. "Pagi.""Ririn itu lho, Mas, katanya masih canggung banget ketemu sama Mas," kata Tia."Ya wajar lah namanya juga pengantin baru." Ria menyahut.Mendengar itu, Sakha langsung menoleh pada Airin. "Kamu? Canggung ketemu saya?"Tersenyum malu-malu, Airin men
Setelah Sakha berangkat kerja, tinggal Airin dan ketiga istri Sakha di sana, yang tengah menatap Airin dengan tajam. Sementara Airin menunduk, sedikit pun tidak menyesali perbuatannya yang tadi, tapi bersikap seolah dia telah melakukan kesalahan besar. “Maafin Ririn, Kak,” lirihnya. Tia melangkah mendekat dan berkacak pinggang. “Gara-gara kamu Mas jadi ngebentak aku! Lain kali, kamu harus jaga sikap kamu di hadapan Mas. Jangan sembrono seperti tadi.” Airin mengangguk. “Aku ngerti, Kak.” Ria maju dan menyentuh bahu Tia, menenangkannya. “Sudah, Tia. Mas nggak bermaksud ngebentak kamu kok tadi. Dia pasti hanya terkejut karena sikap kurang ajar Ririn padanya.” Lalu Ria beralih menatap Airin. “Kamu dengar kan tadi kata Tia? Jangan bersikap sembrono lagi. Mas itu paling gak suka kalau disentuh tanpa seizinnya."
Sakha mengeluarkan suara tawa lelah yang lebih terdengar seperti erangan kepuasan, atau itulah tepatnya yang dia lakukan. Mata Airin masih membelalak lebar, menatap Sakha seolah pria yang menyandang status sebagai suaminya itu adalah makhluk halus, setan sungguhan, iblis jahann— "Terima kasih, aku sudah menahannya sejak tamparan yang kamu berikan pagi tadi." Pikiran Airin terpotong oleh kalimat tidak terduga itu. Sakha mendesah pelan, sebelum menutup mata dan mengabai