Matahari bersinar terik di atas langit, suara cicada yang menempel di pohon berbunyi sangat nyaring. Seorang lelaki paruh baya berlari tergopoh-gopoh ke arah rumah panggung yang di terasnya duduk seorang pria berpakaian modis dengan laptop terbuka di meja hadapannya. Mendengar langkah seseorang yang tergopoh itu, atensi si pria teralihkan padanya.
"Ada apa?" tanya si pria, suaranya terdengar berat dan tegas.
"Tu-tuan...!" lelaki paruh baya itu berhenti di bawah tangga teras, napasnya terengah-engah. "Tuan Sakha... ada yang pingsan di ladang!" serunya susah payah.
Berbanding terbalik dengan kepanikan lelaki itu, ekspresi di wajah Sakha justru tidak berubah. Sakha melipat layar laptopnya dengan hati-hati, kemudian berdiri dan mendekati salah satu pekerjanya itu.
"Di mana dia?" tanya Sakha.
Lelaki itu buru-buru menunjukkan jalan menuju ladang yang dia maksud.
Sakha mengikutinya di belakang. Saat mereka sampai di ladang, terik sinar matahari semakin terasa menyengat. Di tengah ladang yang ditumbuhi jagung itu, berkumpul beberapa orang yang juga merupakan pekerja tani yang bekerja di ladang Sakha, mereka tampak mengerumuni sesuatu.
"Hei, minggir-minggir! Ini Tuan Sakha sudah saya panggilkan," seru lelaki yang tadi melapor.
Lantas semua pasang mata tertuju pada Sakha yang berjalan mendekat, beberapa mata menatapnya terkejut.
"Pak Ji! Kenapa manggil Tuan Sakha? Kamu ini, merepotkan saja! Tau ini siang bolong begini!" omel Inah, memukul pelan bahu Parji, lelaki itu masih ngos-ngosan, sibuk mengatur napasnya.
"Habisnya... kasihan Ririn. Daripada membiarkannya di sini, panas-panasan, yang ada keadaannya malah makin memburuk, lebih baik kita panggil Tuan Sakha. Lagipula itu sudah menjadi salah satu tanggung jawabnya untuk memastikan kesehatan dan keselamatan pekerjanya," Parji membalas ucapan Inah dengan suara pelan.
Tepat setelah itu, Sakha sampai di dekat mereka dan langsung menatap ke bawah, ke seorang perempuan yang dibaringkan di atas tikar lusuh, cahaya matahari menerpanya, wajahnya pucat dan berkeringat deras, keningnya berkerut-kerut seperti seseorang yang kesakitan.
"Bagaimana ini, Tuan? Rumahnya lumayan jauh dari sini, kita ndak tahu bagaimana harus membawanya pulang," kata Parji.
Tanpa pikir panjang, Sakha menjawab, "Biar saya yang bawa dia."
Jawaban itulah yang para pekerjanya tunggu, jelas terlihat dari kelegaan di wajah mereka sesaat setelah Sakha mengatakan demikian.
Sakha berjongkok, menatap wajah perempuan itu untuk beberapa saat. Dia tampak lusuh sekali, pikir Sakha. Bajunya itu dulu pasti berwarna putih, tapi sekarang sudah cokelat dan ujungnya sedikit sobek. Dari lipatan pakaiannya, Sakha menduga dia mengenakan beberapa lapis pakaian. Wajah perempuan itu juga kotor karena debu dan pucat.
Sakha menduga alasannya sampai pingsan begini adalah karena dehidrasi. Tanpa menunggu lebih lama, Sakha pun mengangkat tubuh wanita itu ke dalam gendongannya, dia sedikit terkejut karena ringannya tubuh itu, Sakha tidak menduganya karena tubuh perempuan itu tampak berisi.
"Saya akan membawanya ke rumah, kalian lanjutkan saja pekerjaan kalian," kata Sakha.
"Baik, Tuan."
"Ya, Tuan."
"Terima kasih, Tuan."
Sakha mengangguk, kemudian berbalik dan melangkah pergi.
Bekerja di tengah siang bolong seperti ini memang selalu berat, tapi Sakha sudah mengatur semua waktu dan dia tidak ingin terik matahari menjadi penghalang, dia bahkan memberikan upah lebih kepada para pekerjanya yang bekerja pada siang hari.
Saat sampai di rumah peristirahatan yang tersembunyi di kebun dengan pepohonan rindang, Sakha baru menyadari bahwa tubuh perempuan di dalam gendongannya terasa panas sekali, padahal cahaya matahari sudah tidak terlalu mengenai mereka karena daun di pepohonan.
Sakha masuk ke dalam rumah, membaringkan perempuan itu ke ranjang di salah satu kamar yang terdapat di sana. Kamar itu tidak pernah terpakai, kecuali kamar di sebelahnya yang biasanya Sakha gunakan untuk tidur siang saat menunggui pekerja di ladang.
Sebenarnya, Sakha juga tidak tahu harus melakukan apa, jadi dia mengambil hapenya untuk menelepon seseorang.
"Galih, sepulang kamu membeli benih, langsung ke rumah peristirahatan. Bawa mobil," kata Sakha, setelah mendapatkan jawaban yang dia inginkan, Sakha mematikan hapenya lalu menatap perempuan itu. Sakha menyentuh dahi perempuan itu, terasa panas. Peluh terus saja mengalir di pelipisnya.
Sakha berpikir apa yang harus dia lakukan, kemudian perhatiannya tertuju pada pakaian lusuh yang perempuan itu kenakan. Sakha menyentuhnya pelan, sedikit jijik karena kotor, tapi Sakha mencoba untuk mengabaikannya kemudian membuka kemeja yang perempuan itu kenakan. Dan benar seperti dugaannya, perempuan itu mengenakan baju berlapis-lapis, yang mau tidak mau harus Sakha lepas sampai menyisakan kaus berwarna putih bersih yang telah basah oleh keringat.
Pantas saja ringan, tubuhnya kurus sekali, batin Sakha. Baju berlapis-lapis memang membuat tubuh si perempuan tampak lebih berisi.
Sakha kemudian mengambil handuk kecil, membasahinya dengan air dingin, lalu mengelap peluh di wajah perempuan itu.
Bulu mata yang panjang bergerak-gerak, kelopak mata terbuka, memperlihatkan manik mata hitam kelam yang langsung tertuju menatap mata Sakha. Sakha terhenyak sebentar, tangannya yang tadi bergerak langsung berhenti.
"Kamu pingsan, saya mencoba membantu kamu," kata Sakha, tapi sepertinya perempuan itu tidak mendengarnya. Saat Sakha hendak berucap lagi, mata perempuan itu kembali tertutup.
Sakha terdiam menatapnya, kemudian melepas handuk di tangannya dan mengambil lagi hapenya. Menelepon Galih, menyuruh bawahannya itu untuk cepat.
Tidak lama kemudian, Galih pun datang, betapa terkejutnya dia melihat bosnya berada di dalam kamar dengan seorang gadis berpenampilan lusuh dan kotor di ranjangnya.
"Bawa gadis ini pulang," Sakha berkata.
Galih mematung di ambang pintu, mulutnya terbuka.
Sakha mendelik tajam padanya. "Kamu mendengarku, Galih, bawa dia pergi."
"Apa yang sudah..."
"Dia pingsan di ladang jagung sehingga aku harus menggendongnya sampai sini."
Dengan penjelasan singkat itu, Galih pun mendekat, memandang wajah perempuan itu.
"Kamu mengenalnya?" tanya Sakha.
Galih mengangguk. "Dia anak Pak RT yang tukang hutang itu," jawab Galih. Sebenarnya Sakha tidak memerlukan jawaban yang seperti itu, tapi yang penting sekarang dia tahu kemana Galih harus membawa perempuan itu.
Sakha baru saja hendak ke luar, tapi kemudian dia teringat akan sesuatu. "Sejak kapan anak perempuan pria itu bekerja di ladangku?" tanyanya heran.
"Oh bukan, ini bukan si Mawar sama Melati, namanya kalau tidak salah Ririn."
Pantas saja, batin Sakha, dia tidak melihat perempuan lusuh ini saat terakhir kali dia berkunjung ke rumah Fahrul Jamal, Pak RT tukang hutang yang dibilang Galih itu. Karena setahu Sakha, Jamal hanya memiliki dua putri yang sangat cantik dan sering dijuluki sebagai kembang desa, siapa yang akan menduga bahwa gadis lusuh di hadapannya sekarang juga merupakan putri pria itu.
"Kamu sudah menyampaikan pesanku pada Pak RT itu, kan?"
"Sudah, Tuan, kemarin malam. Dia tampaknya agak syok, tapi juga tidak punya pilihan lain."
"Hm, baguslah."
"Ngh... Tuan."
"Apa?"
Galih tampak ragu-ragu. "Apakah... Tuan sudah membicarakan perihal akan menikah lagi dengan nyonya-nyonya di rumah?"
Karena pertanyaan Galih itu, Sakha menatapnya memicing. "Siapa yang menelepon kamu?"
"Nyonya Henia, Tuan," jawab Galih.
"Hm, sejak kapan kamu jadi punya mulut ember begitu, Galih?"
"Bu-bukan saya yang kasih tau, Tuan! Nyonya Henia bilang dia dengar desas-desusnya saja dari warga desa yang suka begosip."
Sakha terdiam untuk beberapa saat, bergumam, "Seharusnya saya tidak membawa mereka kemari." Setelah mengucapkan itu, Sakha pun berlalu pergi.
*to be continued*
Sakha pulang ke rumahnya, rumah utamanya di Desa Telaga Waru. Beberapa pekerja menyapa sesaat setelah melihat Sakha masuk melalui pintu gerbang dengan mobil hitam mengilap. Sakha membalas sapaan mereka dengan anggukan dan senyuman singkat. Matahari masih bersinar terik di langit, Sakha berkeringat basah dan benar-benar butuh guyuran air untuk menghilangkan lengket di sekujur tubuhnya.Saat Sakha masuk ke dalam, dia langsung disambut dengan istri-istrinya yang tengah duduk di ruang tamu."Assalamu'alaikum, Mas, sudah pulang toh?" Aisyah Safitria Putri, atau yang kerap Sakha panggil Ria, yang pertama kali memberi salam dan langsung menghampiri Sakha untuk mencium tangannya."Wa'alaikumussalam," jawab Sakha singkat.Ria adalah istri pertama Sakha, wanita cantik itu langsung menarik Sakha ke ruang tamu. Dan Sakha tidak menolak."Tumben Mas pulang cepat?" kata Henia, sambil mencium tangan Sakha.
Sakha kembali ke ladang dengan perasaan yang masih kesal. Dia menyesal sempat pulang ke rumah tadi, walau hanya sebentar. Karena istri ketiganya, Nia, tidak kunjung berhenti menggodanya padahal tahu kalau hari itu bukan jadwalnya. Sakha tidak terlalu menyukai perempuan yang agresif dan selalu mau ikut campur urusannya. Nia tahu itu, untuk tidak mencampuri urusan Sakha, sekalipun mereka bersuami sitri. Ketiga istri Sakha tahu hal itu, tapi terkadang mereka memang sering lupa karena dikuasai oleh perasaan mereka sendiri.Tadi, Nia sempat menyinggung rencana Sakha yang belum pernah Sakha beritahukan kepada siapapun selain kepada yang bersangkutan. Sakha begitu jengkel karena istri-istrinya mulai merasa berhak untuk mengatur-ngatur hidupnya."Tuan!" Galih yang tengah mengawasi para pekerja mengangkut karung berisi jagung yang telah dipanen ke mobil box untuk dibawa ke gudang, menyapa Sakha yang baru sampai."Malam ini," kata Sakh
"Seratus lima puluh juta," jawab Sakha.Tia yang tengah berbaring di sampingnya langsung bangun dan menatap suaminya itu terkejut. "Seratus lima puluh juta?" ulangnya."Hm.""Kalau orang miskin yang meminjam uang sebanyak itu tentu saja sekarang dia sudah kaya raya.""Dia meminjamnya secara berangsur-angsur.""Lalu kenapa Mas biarkan kalau tahu dia tidak bisa membayar?" tanya Tia tidak mengerti."Saya berhutang budi padanya."Istri kedua Sakha itu terdengar berdecak pelan, tapi kemudian dia tersenyum manis menatap suaminya. "Mas memang orang yang baik. Saya salut. Ikhlaskan saja hutang-hutang itu, Mas, kalau memang dia tidak bisa membayar. InsyaAllah Mas bakal dapat ganjaran yang jauh lebih baik dari Gusti Allah."Sakha tidak bodoh untuk tidak menyadari apa yang Tia coba lakukan dari sejak awal dia bertanya tentang Pak RT Jamal, padahal sekarang s
Malam itu, Galih datang ke rumah dan berbicara dengan Jamal.Airin ingin sekali ke luar dan mendengar sendiri apa sekiranya yang lelaki itu hendak katakan, tapi Yuniarti melarang Airin dengan ganti bahwa dia akan menyampaikan salamnya pada Galih dan Tuan Sakha.Airin justru tidak ingin ibunya melakukan itu.Yuniarti pun mengerti perasaan putri sulungnya. Sekalipun Airin setuju menikah dengan Sakha, tapi Yuniarti bisa melihat dengan sangat jelas bahwa Airin tidak menyukai Sakha. Rasa bersalah Yuniarti semakin besar.Maka Airin menenangkan ibunya dengan berkata, "Nanti lama-lama juga Ririn pasti bakal jatuh cinta kok, Bu, sama Tuan Sakha." Airin sebenarnya ingin muntah saat mendengar perkataan itu keluar dari mulutnya sendiri.Sudah lama Airin menutup pintu hatinya dan bahkan sering berpikir bahwa perasaan untuk lelaki selain Bapak, sudah mati. Airin bias pada perasaan semacam itu. Karena yang se
Saat Airin pulang ke rumah, dia dikejutkan dengan adanya sebuah mobil yang tampak familiar terparkir di depan rumahnya.Jangan-jangan...! batin Airin dengan tubuh mematung sesaat. Membayangkan si juragan beristri tiga itu tengah duduk di sofa ruang tamunya yang sederhana. Badan Airin sekarang dipenuhi keringat dan debu, jadi dia buru-buru berjalan mengendap ke bagian belakang rumah untuk mencuci kaki serta tangannya pada air yang mengucur dari kendi.Dari arah pintu belakang, Yuniarti berjalan tergopoh-gopoh mendekati putri sulungnya itu. "Ririn! Ririn!" panggilnya.Airin menoleh. Kalau sang ibu sudah bersikap seperti itu, pasti dugaan Airin tadi benar."Ada apa, Bu?" sahut Airin kemudian.Ketenangan gadis itu tampak sangat kontras dengan kegelisahan yang tercetak dengan jelas di wajah ibunya."Ayo cepat! Tuan Sakha sudah nunggu kamu dari tadi. Sudah Ibu bilang hari ini
Airin benar-benar tidak setuju dengan gagasan bahwa dia akan pindah ke rumah calon suaminya lebih awal dari yang dia prediksikan. Airin memang sudah tahu bahwa pasti akan datang hari di mana dia harus meninggalkan rumah ini dan tinggal bersama seorang suami dan tiga istrinya yang tidak Airin kenal.Bagaimana nasibku nanti? batin Airin. Bahkan hanya dengan memikirkannya saja sudah sudah membuat dia mumet."Ndak apa, Nak. Toh kita masih di satu desa. Nanti kalau ada apa-apa, kamu kan bisa pulang ke rumah ini," kata Yuniarti menenangkan sembari membantu Airin merapikan baju-baju yang kemudian dia masukkan ke dalam koper.Tadi sore, Galih sudah menjelaskan pada keluarganya bahwa lusa adalah hari pernikahan Airin dengan Sakha. Namun, hari ini Airin diperintahkan untuk datang ke rumah suaminya sebab acara adat nanti akan diadakan di sana, pegelarannya akan dilaksanakan cukup besar karena itu sekaligus juga acara untuk meng
Dia seperti sebuah kuncup mawar. Sakha sudah memutuskan untuk memetiknya dan merawat kuncup mawar di dalam vas bunga dengan bebungaan yang lain. Dan di dalam vas itu, Sakha memperlakukan setiap bunga dengan cara yang sama dan adil.Tapi, kuncup mawar ini masih belum mekar, siapa yang tahu keindahan macam apa yang dia miliki di dalam? Dan siapa yang bisa menjamin, bahwa Sakha tidak akan tertarik pada keindahan yang dimiliki bunga itu?Hal inilah yang dikhawatirkan oleh ketiga istri Sakha ketika mereka duduk berhadap-hadapan di ruang tamu dengan seorang gadis muda yang akan menjadi saudari mereka untuk berbagi suami. Gadis itu jelas masih lugu dan tampak sangat lemah, tapi dia dengan berani dan dipenuhi ketenangan balas menatap ke arah ketiga wanita yang jauh lebih tua darinya. Yang mana hal itu membuat mereka merasa risi sekaligus juga merasa tidak dihormati.Sementara itu, Airin dengan tatapan datarnya menilai satu per satu i
Galih memberi tahu Airin bahwa akad nikah Airin dengan Tuan Sakha akan dilaksanakan pada pagi hari. Airin pun mandi seperti biasa, luluran, dan tidak lupa juga menggunakan serangkaian perawatan kulit yang dia bawa dari rumah. Semenjak semalam, makanan selalu dibawakan ke ruangannya, entah kenapa. Airin merasa belum apa-apa dia sudah tersisihkan.Tapi bukankah itu bagus?Ya, karenanya Airin tidak perlu berhadapan dengan ketiga istri Sakha yang lain.Pukul tujuh, selesai sarapan dan meminum jamu yang ibunya titipkan pada pembantu di rumah ini dan dibawa beserta sarapannya, Airin bingung kenapa tidak ada satu pun orang yang datang menemuinya. Pagi yang dimaksud Galih itu sekarang, kan?Airin pun hanya duduk di atas ranjang, menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat, menunggu seseorang untuk datang mengetuk dan memberitahunya bahwa sudah saatnya untuk bersiap-siap.Tapi tidak ada.