Hal pertama kali yang dilihat Sinar ketika dia turun ke lantai satu adalah tangis Talita. Dihadapkan dengan pengacara yang akan mengurus perceraian dirinya dengan Praba tentu saja bukan perkara yang mudah.Perempuan itu ada di pelukan Cindy dengan perempuan paruh baya itu berusaha menenangkan. Suasana di ruangan keluarga itu cukup mencekam karena isakan dari Talita.“Apa yang kurang dari aku, Ma? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Kenapa Mas Praba masih merasa kurang dan sekarang justru akan menceraikanku.”Sinar menarik napas panjang ketika mendengar apa yang dikatakan Talita. Drama perempuan itu tentu saja tak akan pernah ada habisnya. Sekarang, apa pun yang dikatakan oleh Talita, Sinar bahkan merasa tidak perlu mempercayainya. Sifat manipulatifnya sudah mendarah daging.“Aku mencintai Mas Praba dan aku rela melakukan apa saja. Tapi, justru aku terasa dikhianati dengan keberadaan perempuan lain, Ma. Sekarang aku harus bagaimana?”Tidak ada yang menjawab ucapan Talita sama s
“Saya tidak perlu pengakuan!” Sinar menjawab ringan. “Ibu tidak perlu mengakui saya jika Ibu tidak ingin.”Cindy pikir pasti dia bisa membuat Sinar tertekan berada di rumahnya, nyatanya tidak sama sekali. Gadis itu bahkan tidak terlihat terpengaruh atas sikap Cindy atau bahkan Dimas yang terus bersikap sinis.Gadis itu tampaknya tidak mudah ditaklukkan. Dia tak peduli dengan apa pun, yang terpenting baginya adalah dia bersama dengan Askara.Cindy beranjak ketika Praba datang. Tanpa mengatakan apa pun, dia pegi begitu saja membuat Praba mengernyit aneh.“Kamu diintimidasi oleh Mama?” tanya Praba setelah duduk di samping Sinar.Sinar mengedikkan bahunya tak acuh. “Udah biasa,” katanya tidak peduli.Praba tidak mendesak agar Sinar tidak bertanya lebih banyak lagi. Lelaki itu sekarang tahu jika Sinar bukan gadis lemah yag akan menangis hanya dalam sekali gertakan. Lebih dari itu, Sinar adalah gadis tangguh.Kehidupannya yang keras tentu saja sudah banyak hal yang dihadapi sehingga dia bis
“Omong kosong! Jangan berpura-pura lagi karena kami tahu kalau semua yang kamu lakukan ini hanya acting!”“Maaf, Bu. Mas Askara sepertinya haus.”Belum juga Sinar menjawab ucapan ibu mertuanya, suara baby sitter menginteruksi Sinar. Ya, karena ada satu dan lain hal, akhirnya Praba mencarikan Askara seorang baby sitter yang sudah berpengalaman untuk membantu Sinar. Benar-benar hanya membantu karena selagi Sinar mampu melakukan semuanya sendiri, maka Sinar akan melakukannya.Sinar melangkah cepat naik ke lantai dua untuk melihat Askara. Bayi yang beberapa hari lalu tampak layu dan kurus itu sekarang sudah terlihat gembil kembali. Hal itu membuat Sinar lega karena putranya sudah kembali sehat.“Mbak Ririn bisa istirahat. Biar saya saja yang urus Askara.” Begitu katanya kepada sang baby sitter. Perempuan yang usianya tidak beda jauh dari Sinar itu mengangguk dan memilih pergi dari hadapan Sinar.Menutup dan mengunci pintu kamar Praba, Sinar memilih untuk menemani Aksara. Bayinya masih bel
“Kenapa kamu menerimanya, Sinar?” Praba menyahut cepat dengan mata memerah marah. “Kamu bisa menolak!”“Mungkin karena aku baik hati, jadi aku nggak bisa menolak.” Sinar tampak tidak peduli dan terlihat abai.Kesal, Praba menarik Sinar agar mereka keluar dari dapur dan mengetuk pintu kamar ibunya. Rasa kesalnya tidak bisa lagi dibendung. Dia baru saja pulang dari kantor dan melihat Sinar dijadikan ‘budak’ oleh ibunya.Tangannya mendapatkan luka dari cipratan minyak panas. Bekas piring dan gelas kotor menumpuk, dan lebih parah lagi, Sinar benar-benar hanya bekerja seorang diri.Katakanlah dia tak mencintai gadis itu dan bisa saja dia mengabaikan hal tersebut, tetapi Praba sudah bertekad untuk memperlakukan Sinar dengan baik.“Kamu kenapa teriak-teriak begitu, Praba?”Cindy keluar dari kamar sudah segar sehabis mandi. Perempuan itu melirik Sinar yang berdiri di samping putranya, tetapi hanya sebentar karena dia segera kembali menggeser tatapannya pada Praba.“Mama sengaja, ‘kan?” tanya
Sinar tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam otak para lelaki, terutama Praba. Tidak ada angin tidak ada hujan, lelaki itu mendekatinya dan mendekap erat tubuhnya. Selanjutnya yang terjadi adalah Praba menciumi tengkuk istrinya berkali-kali. Sesekali menenggelamkan wajahnya di sana.“Kamu benar-benar membuatku hampir gila, Sinar,” gumamnya dengan pelan.Apa semua lelaki seperti Praba atau hanya Praba yang bersikap seperti ini? tanya Sinar pada dirinya sendiri. Pantas saja kalau tanpa cinta pun, lelaki bisa berhubungan badan dengan perempuan.“Lepasin, Mas. Aku mau ganti baju.”Tanpa aba-aba, Praba membalik tubuhnya untuk menghadap ke arahnya. Menatap lekat wajah gadis itu yang tampak begitu segar tanpa makeup. Alis yang tanpa diubah, bibir yang merah, pipi yang sekarang sudah kemerahan karena gugup, semua itu membuat Praba tidak bisa mengendalikan dirinya.“Rasanya aku nggak bisa menahan sampai lepas dari Talita, Sinar.”“Seorang lelaki itu harus bisa dipegang kata-katanya,” ucap
“Kamu benar-benar tidak punya hati. Lelaki paling buruk yang saya pernah saya temui.” Suara ibu Talita terdengar begitu tajam dengan aura permusuhan yang tidak bisa terbantahkan. “Talita, setujui perceraian ini dan kamu bisa bebas dari Praba.”“Ma!” Tangis Talita semakin berderai-derai mendengar ucapan ibunya. Bagaimana mungkin ibunya justru mengizinkan dirinya bercerai. “Seharusnya Mama tidak menyalahkan Mas Praba karena dari awal yang tidak tahu diri adalah Sinar.”Mendengar namanya disebut, Sinar segera bersikap waspada. Tidak mengatakan apa pun, tetapi dia tengah mengambil ancang-ancang untuk bersuara jika sudah terdesak.“Kamu akan bertahan dengan lelaki yang tidak mencintaimu, Talita?” Sang ayah bersuara lantang. “Buka matamu dan jangan bodoh. Praba tidak pernah mencintai kamu!”“Aku nggak peduli, Pa. Yang penting aku mencintai Mas Praba dan aku nggak mau kehilangan dia.”“Apa kamu bahagia selama menikah dengannya?” tanya ibunya setelah itu. “Apa kamu diperlakukan dengan baik?”
Praba tidak akan pernah menarik kembali keputusan yang sudah diambil. Dalam mediasi yang sudah dilakukan, tidak ada yang mampu mengubah pendiriannya meskipun raungan tangis Talita memenuhi ruangan.Inilah yang ditunggu-tunggu oleh Praba selama ini. Dia terlepas dari hubungan tidak sehat yang dijalani selama hampir empat tahun. Tidak ada rasa sesal sedikitpun ketika dia meminta Ramon untuk meneruskan perceraiannya.“Mas.” Talita menahan Praba saat mereka keluar dari ruangan mediasi. Paham situasi, semua orang yang tadinya bersama dengan mereka itu kini memilih menjauh.Memberikan waktu kepada sepasang suami istri itu untuk bicara. Praba kali ini tidak menghindari Talita dan memilih untuk mendengarka apa pun yang akan dibicarakan oleh Talita kepadanya.“Aku sedih kalau harus berakhir seperti ini.” Talita akhirnya mampu mengeluarkan suaranya meskipun tenggorokannya terasa sakit luar biasa. “Tapi, aku tidak akan mampu mengubah keputusan yang sudah Mas ambil.”Setetes bulir bening menetes
“Aku benci sekali melihat dia ada di sini.”“Iya, aku juga ingin sekali melemparinya dengan telur busuk.”“Tidak tahu diri. Sudah mengambil suami orang, terlihat seolah-olah seperti ibu peri yang nggak punya dosa.”Sinar tidak tuli dan dia bisa mendengar gerutuan dari para pelayan yang ada di sana. Mereka ada di balik dinding dan seperti sengaja mengatakan semuanya itu agar Sinar mendengarnya. Sinar tidak peduli dengan ucapan orang-orang itu. Memilih fokus pada pekerjaannya sambil sesekali memastikan Askara baik-baik saja.Di rumah tersebut, Sinar hanyalah orang asing meskipun dia adalah seorang menantu dari keluarga Wirawan. Tidak ada yang menyukainya kecuali suaminya dan salah satu dari pelayan. Itu pun dia tak yakin jika kebaikannya tulus.“Saya harap, Praba segera sadar atas perasaan yang dirasakan sekarang dan bisa segera meninggalkan kamu.” Cindy bergabung di halaman belakang bersama dengan Sinar hanya untuk mengatakan hal-hal tidak perlu.Sinar menoleh menatap ibu mertuanya sam