“Saya Ramon. Saya pengacara yang akan mendampingi Pak Praba untuk mengurus perceraian dengan Ibu Talita.”Seperti dilempari bom tepat di atas kepalanya, Talita merasa dunia hancur berkeping-keping. Suaranya mendadak hilang dan tubuhnya seolah kaku tak bisa digerakkan. Dia menatap lelaki di depannya dengan tatapan dalam dan kosong.Ramon tidak bersuara, menunggu Talita menjawab ucapannya. Lelaki itu pasti tahu tidak akan mudah menerima keputusan sepihak yang diambil oleh suami yang sudah dinikahinya selama tiga tahun.“Ini … nggak mungkin, Pak Ramon. Mas Praba tidak mungkin menceraikan saya.” Meskipun dengan suara bergetar, tetapi Talita masih bisa menyangkal atas ucapan Ramon. Surat cerai sudah ada di depan mata tanda jika Ramon bukan hanya mengatakan suatu kebohongan.“Di mana Mas Praba sekarang? Saya harus bertemu dengannya!” Talita hampir beranjak dari tempat duduknya ketika Ramon mengeluarkan tanya.“Segala urusan perceraian, Ibu perlu berbicara dengan saya karena Pak Praba sudah
“Datang kamu ke rumah! Papa ingin bicara.”Praba yang ingin menghabiskan waktunya bersama dengan Sinar di rumah akhirnya harus ditunda karena panggilan dari sang ayah. Mau tak mau dia harus datang dan mungkin bisa mencari celah untuk mengambil Askara dari rumah orang tuanya.Sampai di sana, orang tua Praba sudah duduk di ruang keluarga bersama dengan Talita. Perempuan itu tampak menangis dan sesekali mengusap bulir bening yang menetes dari netranya.“Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiranmu, Praba? Kenapa kamu tiba-tiba menceraikan istrimu?” Tanpa menunggu waktu, Dimas langsung mengutarakan pertanyaannya.Alih-alih datang menemui Praba, Talita nyatanya memilih untuk datang ke rumah mertuanya. Dia lagi-lagi mengadukan kepada mereka tentang gugatan yang dilayangkan oleh Praba. Tentu saja, hal itu membuat orang tua Praba merasa kesal luar biasa.“Aku memang ingin berpisah dengan Talita sejak dulu. Hanya saja, aku berusaha menahannya. Sekarang, setelah semua yang terjadi, aku sudah tida
Sinar bisa merasakan bibir Praba menempel di bibirnya dengan lembut. Hanya menempel tanpa ada pergerakan apa pun. Lelaki itu seolah tengah memberikan waktu kepada Sinar untuk menolak atau bahkan mempertahankan.Sayangnya, Praba tidak merasakan apa pun. Sinar pasif dan benar-benar masih belum pengalaman. Ini yang kedua kalinya mereka berciuman, tetapi Sinar masih tidak paham apa pun.“Sepertinya kamu perlu diajari bagaimana membalas sebuah ciuman, Sinar.” Praba menjauhkan wajahnya dari wajah Sinar tanpa mengalihkan tatapannya dari gadis itu. Namun, Sinar memilih untuk memutus tatapannya lebih dulu.Sinar berdecak dan lagi-lagi menatap bulan. Semilir angin membuat matanya menjadi berat. Tidak ingin menghiraukan ucapan suaminya, Sinar memilih tidak memasukkan ke dalam hati. Biarkan saja Praba berbicara sesukanya.Meskipun ucapan Praba memang benar, tetapi Sinar merasa tidak perlu membahas masalah seperti itu yang terlalu vulgar.“Seandainya Askara sulit untuk kita ambil, apa kamu marah,
“Sekarang kamu tahu apa yang kamu lakukan bisa mencelakai Askara!” Sinar mendesis marah ketika dia menatap Talita.Ketika Sinar mendapatkan tamparan dari Talita saat itu, Sinar tidak pernah membalasnya karena dia merasa dia yang salah. Namun, sekarang dia juga memberikan tamparan yang sama karena kemarahannya kepada Talita sudah tidak bisa tertahan lagi.Hanya demi ego yang setinggi langit, Talita melakukan segala cara agar bisa mengambil Askara dari tangannya. Namun, dia tidak memikirkan dampak yang akan didapatkan oleh bayi sekecil Askara jika jauh dari ibunya. “Kenapa kamu berani menamparnya!” Cindy mendekati Talita dan mengecek pipi menantunya tersebut. Tampak memerah dan sedikit kebiruan.“Kenapa saya tidak berani? Dia sudah melakukan kesalahan besar. Dia sudah menggunakan bayi sekecil itu untuk dijadikannya alat. Bagaimana kalau sampai terjadi sesuatu lebih parah dari ini?”Sinar melepas semua atribut ketakutannya menghadapi Cindy. Tidak peduli apa pun, dia harus melawan orang-
Sinar tidak pernah menduga jika hubungannya dengan Praba akan berada di titik sekarang. Pernikahan yang tadinya hanya digunakan sebagai formalitas itu beranjak pada fase baru dalam hubungan mereka.Alih-alih memberikan gugatan perceraian, Praba justru menawarkan keberlanjutan hubungan mereka. Meskipun begitu, perasaan Sinar masih gamang dan dia belum bisa mengambil keputusan.“Mas, geseran dikit kenapa sih!” Sinar mendorong Praba agar lelaki itu sedikit menjauh dari tubuhnya. Ranjang di kamar tersebut lebar, meskipun tidak berdempetan mereka bisa tidur dengan normal. Namun, Praba justru memilih untuk mengalungkan tangannya di pinggang Sinar agar Sinar tidak bisa ke mana-mana.“Mas.”“Diam!” Praba memperingatkan. “Udah malam dan waktunya tidur.”“Tapi nggak usah dekat-dekat juga.”“Diam.”Sinar mengeluarkan napasnya keras sebelum memilih untuk memejamkan matanya. Percuma memperingatkan Praba, hanya dianggap angin lalu. Namun, Sinar tak memiliki daya lebih untuk memberontak.Sinar menat
Hal pertama kali yang dilihat Sinar ketika dia turun ke lantai satu adalah tangis Talita. Dihadapkan dengan pengacara yang akan mengurus perceraian dirinya dengan Praba tentu saja bukan perkara yang mudah.Perempuan itu ada di pelukan Cindy dengan perempuan paruh baya itu berusaha menenangkan. Suasana di ruangan keluarga itu cukup mencekam karena isakan dari Talita.“Apa yang kurang dari aku, Ma? Aku sudah berusaha menjadi istri yang baik. Kenapa Mas Praba masih merasa kurang dan sekarang justru akan menceraikanku.”Sinar menarik napas panjang ketika mendengar apa yang dikatakan Talita. Drama perempuan itu tentu saja tak akan pernah ada habisnya. Sekarang, apa pun yang dikatakan oleh Talita, Sinar bahkan merasa tidak perlu mempercayainya. Sifat manipulatifnya sudah mendarah daging.“Aku mencintai Mas Praba dan aku rela melakukan apa saja. Tapi, justru aku terasa dikhianati dengan keberadaan perempuan lain, Ma. Sekarang aku harus bagaimana?”Tidak ada yang menjawab ucapan Talita sama s
“Saya tidak perlu pengakuan!” Sinar menjawab ringan. “Ibu tidak perlu mengakui saya jika Ibu tidak ingin.”Cindy pikir pasti dia bisa membuat Sinar tertekan berada di rumahnya, nyatanya tidak sama sekali. Gadis itu bahkan tidak terlihat terpengaruh atas sikap Cindy atau bahkan Dimas yang terus bersikap sinis.Gadis itu tampaknya tidak mudah ditaklukkan. Dia tak peduli dengan apa pun, yang terpenting baginya adalah dia bersama dengan Askara.Cindy beranjak ketika Praba datang. Tanpa mengatakan apa pun, dia pegi begitu saja membuat Praba mengernyit aneh.“Kamu diintimidasi oleh Mama?” tanya Praba setelah duduk di samping Sinar.Sinar mengedikkan bahunya tak acuh. “Udah biasa,” katanya tidak peduli.Praba tidak mendesak agar Sinar tidak bertanya lebih banyak lagi. Lelaki itu sekarang tahu jika Sinar bukan gadis lemah yag akan menangis hanya dalam sekali gertakan. Lebih dari itu, Sinar adalah gadis tangguh.Kehidupannya yang keras tentu saja sudah banyak hal yang dihadapi sehingga dia bis
“Omong kosong! Jangan berpura-pura lagi karena kami tahu kalau semua yang kamu lakukan ini hanya acting!”“Maaf, Bu. Mas Askara sepertinya haus.”Belum juga Sinar menjawab ucapan ibu mertuanya, suara baby sitter menginteruksi Sinar. Ya, karena ada satu dan lain hal, akhirnya Praba mencarikan Askara seorang baby sitter yang sudah berpengalaman untuk membantu Sinar. Benar-benar hanya membantu karena selagi Sinar mampu melakukan semuanya sendiri, maka Sinar akan melakukannya.Sinar melangkah cepat naik ke lantai dua untuk melihat Askara. Bayi yang beberapa hari lalu tampak layu dan kurus itu sekarang sudah terlihat gembil kembali. Hal itu membuat Sinar lega karena putranya sudah kembali sehat.“Mbak Ririn bisa istirahat. Biar saya saja yang urus Askara.” Begitu katanya kepada sang baby sitter. Perempuan yang usianya tidak beda jauh dari Sinar itu mengangguk dan memilih pergi dari hadapan Sinar.Menutup dan mengunci pintu kamar Praba, Sinar memilih untuk menemani Aksara. Bayinya masih bel