Satu minggu sejak kecelakaan, Anya belum sadar juga. Dokter menyatakan kalau Anya dalam keadaan koma.
Stefan sengaja menempatkan istrinya di ruang perawatan privat. Agar tidak banyak wartawan atau siapa pun yang bisa masuk seenaknya. Ada beberapa penjaga disiapkan kalau-kalau ada penjenguk yang tidak dikenal.
Andini selalu ada di ruangan privat itu, kalau pun ada urusan, dia akan meninggalkan pesan dan memastikan ada yang menjaga Anya selain dirinya.
Stefan setiap malam menginap menjaga istrinya.
“Aku sangat menyesal, Anya bisa seperti ini,” ucap Aska sedih. Ada air mata menetes di sudut matanya. Andini melihatnya dengan jelas.
Andini tidak menanggapi apa-apa, wajahnya datar dan dingin menatap Aska. “Apa Pak Aska bersama dengan Bu Anya saat kecelakaan itu?”
“Tidak. Kami melanjutkan bicara soal pekerjaan sebelum Anya pulang. Hanya itu. Aku tidak menyangka Anya akan kecelakaan seperti ini. Untungnya si sopir itu sudah menyerahkan diri. Kalau tidak, aku akan sangat merasa bersalah.”
Andini menghela napas menatap bosnya yang tidak berdaya dengan alat bantu kehidupan. Apakah Bu Anya akan kembali seperti sedia kala?
“Apa sudah ada keputusan soal pengganti Bu Anya, sebagai direktur umum?” tanya Aska tanpa rasa sungkan.
“Belum ada putusan dari Pak Winata dan Pak Stefan.”
“Stefan?” ulang Aska seolah ada rasa cemas dalam suaranya. “Lalu, bagaimana dengan pengelolaan perusahaan?”
“Semua itu akan diserahkan oleh Pak Stefan sepenuhnya. Termasuk laporan keuangan,” tambah Andini—yang tentu sudah mendengar soal kebocoran dana di perusahaan.
“Apa?” Aska seperti tidak percaya dengan semua omongan Andini.
Karena tatapan Andini yang tajam, Aska lantas menghela napas. “Baiknya saat ini aku percaya saja. Kalau begitu, aku permisi dulu. Aku akan tetap bekerja sebagai bentuk dedikasi ke perusahaan.”
Andini hanya mengangguk, matanya mengikuti gerakan Aska. Ada rasa tidak percaya kepada lelaki itu. Namun, entah mengapa Bu Anya-nya selalu membela Aska mati-matian. Malah Aska diangkat menjadi wakil direktur di perusahaan.
Aska berjalan keluar dari ruangan privat dengan cepat. Ada sekretarisnya, Lani yang menyambutnya.
Lelaki itu mengusap wajahnya. “Untung saja aku bisa menangis dengan mudah,” katanya sarkas kepada Lani. “Bagaimana apa kamu sudah urusi masalah kendaraanku yang hancur?”
“Belum ada persetujuan dari bagian GA. Karena menunggu revisi budgeting dari Pak Stefan,” jawab Lani.
Aska mengerang, “Kenapa soal kayak begini aja kamu nggak bisa tangani?! Masa, harus saya yang turun tangan?”
“Sekarang perusahaan dikuasai oleh Stefan, paling tidak Pak Winata mengatakan hal itu,” tambah Lani, dia menyodorkan dokumen ke arah Aska. “Ini ada hal yang harus diurus perihal bisnis baru kita yang baru saja berjalan.”
Aska melihatnya, beberapa saat kemudian dia lalu tersenyum. “Ini awal yang bagus."
“Kira-kira begitu, Pak. Tapi, kita harus mengadakan rapat para pemegang saham tapi laporan ini harus disampaikan.”
Aska menarik napas, lalu menatap Lani. “Tunda saja dulu dengan alasan Anya yang masih koma."
Lani hanya bisa mengikuti apa perkataan bosnya. Tidak bisa melawan. Lagi pula, Aska menggajinya dengan jumlah yang sangat besar. “Baik, Pak.”
“Ayo, kita jalan lagi,” ujar Aska. Kali ini dirinya seperti ada di atas angin. Langkahnya ringan menuju mana pun. Soal perusahaan, Aska bisa mencari alasan agar Stefan disingkirkan dari kepengurusan perusahaan.
***
Sementara, perusahaan yang Anya pimpin memerlukan pengganti. Meski karyawannya tidak banyak, tetapi perusahaan itu harus terus berjalan.
“Tapi harus ada seseorang yang mengurusnya,” ujar Stefan, saat selesai rapat pemegang saham di perusahaannya.
“Kamu yang harus mengurusnya,” sambar Bapak Winata, ayah dari Anya.
Stefan menghela napas, prihatin dengan omongan mertuanya. Harusnya mereka saat ini memikirkan keadaan Anya.
“Untuk sementara ini, ada asisten pribadinya, Andini. Saya akan mengawasinya. Mungkin saya juga akan lihat keadaan Anya selama satu minggu ke depan. Perusahaannya masih tetap bisa berjalan.”
Winata mendelik ke arah Stefan. “Harusnya kamu yang menanganinya langsung. Ingat Stefan, kamu ada di posisi ini karena Anya juga. Dan karena saya.”
Lagi-lagi hal ini yang Stefan dengar. Lelaki itu menghela napas. Mertuanya ini harusnya sudah tidak ambil bagian lagi di perusahaan, bikin sakit kepala saja!
Dan, Stefan tidak menanggapi dan merespon apa pun. Dia sangat menghormati mertuanya, jadi dari pada tersinggung lebih baik, Stefan diam.
“Apa kau sudah melihat laporan keuangan perusahaan Anya? Saya lihat tadi ada yang tidak biasa dalam laporannya. Entah ada dana hilang. Dan entah beberapa bulan ini, Anya menarik dana besar-besaran dari perusahaan induk yang saya pimpin.”
Stefan mengangguk. “Saya sudah lihat laporannya, dan itu terjadi selama enam bulan. Felix dan tim keuangan perusahaan kita sedang melakukan audit di perusahaan Anya.”
Winata tersenyum miring, “Selamat mencoba, mungkin kali ini kamu bisa membuat terobosan menemukan di mana penggelapan dana tersebut,” nada bicara terdengar menyindir.
Winata selalu meremehkan menantunya. Menganggap kalau Stefan tidak mampu mengelola dan memimpin perusahaan. Walau kenyataannya, Stefan selalu berhasil dalam hal apa pun.
Stefan selalu mengalah. Tidak bohong, menikah dengan Anya memang mengubah jalan hidupnya.
“Kalau begitu, saya permisi dulu,” pamit Stefan dengan sopan. “Saya akan selalu berusaha agar semua urusan ini lancar sesuai dengan keinginan Anda.”
Kalau sudah formal begini, artinya Stefan akan bertekad menjalankan perusahaan Anya dengan baik. Dan memenuhi keinginan mertuanya.
“Nah, begitu, dong! Sudah seharusnya kamu mengikuti saja apa perkataan saya dan keluarga.”
Stefan, menunduk, “Tapi kali ini, Anda harus memberi saya waktu.”
“Apa maksud kamu?”
“Saya akan menemukan kebocoran keuangan itu dalam waktu tiga bulan, tidak peduli apakah Anya sudah sadar atau belum. Jika saya berhasil, saya harap Anda tidak ikut campur lagi mengurus perusahaan saya.” Tatapan Stefan tajam.
Beberapa saat Winata diam hanya menatap balik Stefan. Menelan saliva saat ini sulit sekali dilakukan.
“Dan saya akan mengambil alih keseluruhan perusahaan ini. Saya akan membeli saham Anda.”
Winata tertawa garing, “Hahaha, ingat kamu anak kampung! Selamanya akan jadi anak kampung!” hina mertuanya. Dia lantas bangkit dari duduknya, langkahnya cepat ke arah pintu. “Jangan pernah bermimpi kamu,” tutupnya.
“Mungkin itu memang hanya mimpi anak kampung. Tapi ingat anak kampung yang satu ini cukup kompeten. Atau Anda takut, kalau-kalau saham Anda jatuh ke tangan saya?”
Stefan tersenyum tipis, Winata membeku tidak bisa berkata, lidahnya kelu.
Stefan mungkin dulu adalah lelaki yang lemah, cupu dan juga lugu. Namun, Winata ingat dia juga yang menempa Stefan agar tangguh, cerdas dan taktis seperti sekarang ini.
Jakun Winata naik turun, tidak kuasa dan tidak mampu menjawab. Anya adalah anak satu-satunya, usia makin bertambah. Apakah kalau Stefan pergi semuanya akan bisa dia urus sendiri?
Winata menarik napas, “Baik, saya beri waktu tiga bulan. Kamu bisa lakukan apa pun untuk membuktikan ucapan kamu. Ingat, dalam tiga bulan kamu tidak bisa membuktikan apa pun, kamu akan saya coret dari akta mana pun perusahaan saya. Dan saya tidak ingin melihat wajah kamu lagi. Paham?”Stefan tersenyum lebar. “Paham.”Winata keluar dari ruangan itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdetak keras. Apa tadi? Apa yang menantunya katakan? Dan Winata tanpa tedeng eling menyetujui begitu saja perkataan Stefan.Sementara itu, Stefan langsung sibuk di sambungan telepon. Stefan memang tidak bodoh, ahli dalam menangani perusahaan. Pak Winata mempunya beberapa unit bisnis. Hotel, restoran skala internasional, periklanan yang Anya kelola, ekspor dan impor, Stefan yang menjalani perusahaan itu. Dan hasilnya tidak mengecewakan.Perusahaan itu berkembang pesat dalam jangka waktu lima tahun.“Bagaimana hasilnya, Felix?”“Sejauh ini belum ditemukan ada penggelapan uang. Tapi, ada anggaran yang jauh da
“Andini istri saya yang kedua! Semua yang terlihat adalah jatah untuk uang bulanannya,” papar Stefan dengan lugas. “Sebagai suami yang baik, saya memenuhi permintaannya. Saya harus berbuat adil, kan? Anya bergelimang harta, dan Andini paling tidak, tidak kesusahan.”Perkataan Stefan seperti gaungan, terlontar berulang-ulang di telinga Andini. Apakah hanya dia saja yang mendengarnya? Atau sekarang dia sudah gila? Mata Andini memindai sekelilingnya. Menunggu apa ada orang yang menghakiminya?Namun, semua orang diam.“Jadi, mulai sekarang, Andini akan memimpin perusahaan ini. Saya yang akan mengawasinya langsung. Seharusnya kalian tidak perlu khawatir.”Semua peserta rapat masih kaget dengan pengakuan Stefan. Tidak ada yang menyanggah atau pun memakluminya.Andini yang katanya istri kedua pun, diam seribu bahasa. Tatapannya terasa dingin dan marah kepada Stefan.“Rapat hari ini cukup. Lusa saya mau ada rapat lagi untuk membicarakan projek dan klien yang sedang dikerjakan.”Tidak ada jawa
Andini merasa sudah mengkhianati bosnya sendiri. Rasa bersalah ada dalam hatinya. Jadi, dia mengunjungi Anya yang belum siuman.“Bu Anya, apa yang harus saya lakukan?” ratap Andini sambil menggenggam tangan wanita itu. Tidak ada jawaban sama sekali. Biasanya, Bu Anya punya semua jawaban dan jalan keluar dari pertanyaan Andini.Alat monitor jantung yang seolah menjawab pertanyaan Andini. “Apakah saya harus menerima pernikahan ini? Lagi pula, untuk apa dia mengaku sebagai suamiku? Apa memang dia centil dan suka cari penyakit, ya, Bu?”Mana sangka di luar kamar ada Stefan yang mendengar semua perkataan Andini. Lelaki itu tersenyum. Mengapa sekretarisnya itu naif sekali?Lagi pula, Stefan melakukan ini semua hanya untuk melindungi Andini. Selain itu, kalau Andini adalah istrinya, tidak akan ada yang meremehkannya. Walau istri kedua. Stefan masuk ke kamar perawatan.“Siapa yang kamu maksud centil?” tanya Stefan, suaranya mengagetkan Andini.Andini membeku mendengar suara itu. Dia menatap S
Namun, kenyataan pahit harus Andini terima, pacarnya Joshua tidak angkat telepon darinya.Edo menatap Andini, menunggu kabar yang melegakan atau paling tidak akan menggembirakan. “Gimana, Kak?”“Tidak diangkat,” jawaban Andini membuat Edo lemas.“Jadi gimana, Kak? Gimana dengan bos kakak? Bukannya Bu Anya, Bu Anya itu selalu bersedia membantu kakak?” desak Edo. “Edo hanya takut kalau kita mengabaikan perawatan untuk bapak, bapak malah nggak ketolong,” desakan Edo membuat Andini sesak.Andini tidak sanggup kalau harus kehilangan bapak. Saat ibunya pergi, hatinya hancur dan semua hampa. Dunia ini gelap. Tapi lebih kejam, waktu terus berjalan, Bum tetap berputar. Wanita itu menatap layar ponselnya. Ada nama Stefan di sana.Entah berapa kali jemari Andini mengusapnya, apakah dia akan membantuku kali ini, batinnya bertanya. Apakah kali ini dia harus meminta bantuan Stefan?Hatinya setengah ragu, tapi ada kekuatan kalau dia harus menghubungi Stefan. Jadi, Andini menghubungi lelaki itu.***
Satu minggu kemudian, kondisi Pak Tarso makin membaik. Sementara, keadaan Anya tidak lebih baik dari kemarin. Masih koma, malah ada permasalahan lain, kalau keadaan organnya menurun. Jadi ada operasi tambahan.Stefan yang mendengar kabar itu syok, hatinya mencelus, menatap Anya. Ingin bertanya, tapi rasanya, Stefan tidak bisa.“Tindakan ini harus segera kita ambil. Agar organnya kembali berfungsi,” kata dokter ahli bedah itu.Stefan menghela napas, “Apa dokter yakin dengan keputusan ini? Apakah istri saya akan baik-baik saja nanti? Setelah dioperasi, apa dia akan bangun dari koma?”“Tidak ada yang bisa menjamin, kapan Bu Anya akan sadar dari koma. Kalau dia sadar setelah operasi ini, itu adalah keajaiban.”Stefan mengacak rambutnya, lalu menatap Anya lagi. “Kalau begitu, lakukan saja, Dok.”“Baik. Saat ini pihak rumah sakit memerlukan persetujuan dari Pak Stefan. Saya akan panggilkan perawat agar bisa bawakan berkasnya.”“Baik.”Sebagai suami yang baik, Stefan tidak bisa menahan kesed
“Kalau begitu saya antar saja, sekalian tahu rumah calon istri,” ujar Stefan, lalu berjalan mendahului Andini.Apa? Andini membatin dalam hati.Ucapan itu membuat dada Andini makin berdebar keras. Dalam hatinya Andini merasa kalau Stefan menyukainya. “Kayaknya ngga usah, Pak, saya bisa pulang sendiri,” katanya yakin, membuat Stefan menghentikan langkahnya.“Kamu yakin?” tanyanya menatap Andini.Andini sebenarnya ketakutan pulang malam dan sendirian. Walau naik taksi. Apalagi, baru-baru ini ada kabar tentang gadis yang dirampok dan dirudapaksa di taksi. Meski ketakutan sampai merinding, dia mengangguk meyakinkan Stefan.“Oke,” sahut Stefan langsung pergi dari hadapan Andini.Wanita itu menghela napas panjang, mana sangka Stefan mudah sekali dikelabui. Andini—terlalu polos dan naif, tentu saja Stefan mencemaskan Andini.Jadi, lelaki itu diam-diam mengikuti Andini. Sejak naik taksi dari depan rumah sakit.—Felix pun bekerja dengan caranya sendiri, dia meminta teman kantor memantau status
Sebelum rapat pengangkatan, Stefan mati-matian menjelaskan laporan keuangan perusahaan Anya dan pengangkatan Andini sebagai dirut di rapat pemegang saham.Salah satu pemegang saham, Pak Indra mengangkat tangan, “Kenapa ini baru kamu lapor sekarang? Kita juga perlu kredibilitas Andini. Harusnya dia melaporkan dulu keadaan keuangan di perusahaan itu.”Stefan menghela napas, “Sudah tidak ada waktu lagi, Pak,” jawab Stefan dengan penuh wibawa. “Perusahaan yang Anya tinggalkan dalam keadaan di ujung tanduk. Ada beberapa transaksi keuangan yang belum jelas peruntukkannya. Saya mengantisipasi perusahaan itu bangkrut.”Winata yang duduk di kursi depan sebagai penanggung jawab, hanya mampu menghela napas, melonggarkan dasi. Paparan Stefan benar, jadi, Winata tidak bisa berbuat apa pun.“Tapi, kalau rugi besar-besaran dan dana tidak tahu ke mana mengalirnya pun percuma, Stef,” protes yang lain, yang ini Tuan Birawa—cukup berpengaruh dalam para pemegang saham.“Hal ini sedang ditelusuri oleh tim
Mata Stefan seperti terror, tajam mengikuti gerakan Aska. Perlahan Aska menghilang dari pandangannya dan sekitar ruang rapat. Stefan menarik napas, lalu menatap Andini yang masih gemetar ketakutan.“Kamu harus belajar dengan saya, Andini. Mulai malam ini. Dan ….”“Dan apa?” tanya Andini masih panik. Tangan dan kakinya gemetar, sulit sekali dikendalikan. Napasnya memburu.Stefan merasakan kemarahan, kecemasan dan kepanikan pada diri Andini.“Aku nggak bisa, Pak,” kata Andini terbata, matanya berkaca-kaca. “Kenapa bapak kasih jabatan ini ke saya. Saya hanya mau berbakti kepada Bu Anya.”Stefan cepat-cepat bangkit dari duduknya, lalu menutup ruangan itu dengan vertical blind seluruh ruangan.Perlahan Stefan duduk di meja depan Andini. “Kamu tidak perlu memikirkan semua omongan Aska,” katanya tenang dan berwibawa.Andini menatap Stefan, kalau tidak karena utang, Andini maunya kabur dari tempat ini.“Terus, saya harus bagaimana?” sentaknya dengan nada tinggi. Lalu terisak-isak, kebigungan
Season IIBab 117“Mau beli apa?” tanyanya pedagang wanita itu dengan kasar.Stefan melirik Andini yang sedang salah tingkah, dia mengambil sembarang sayuran.Lelaki itu menahan tangan Andini.“Biasanya, pengasuh Adam membeli wortel, jagung dan brokoli untuk kebutuhan sehari-hari.”Andini terpaku dengan analisa Stefan, “Dari mana kamu ….”“Saya, kan, ayahnya, masa tidak tahu,: seloroh Stefan. “Walau saya sibuk bekerja, tapi, saya juga memperhatikan apa saja kebutuhan anak saya.”Andini tidak bisa menyimpan kebahagiaan yang ada di hatinya. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu mencium pipi Stefan.“Kamu tahu, kan, kita ada di tempat umum,” peringat Stefan tetapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pipinya menghangat.Andini menoleh ke arah penjual sayuran, wajahnya makin memerah. Napasnya berembus cepat.“Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau suamiku perhatian,” kata Andini malu-malu.“Jadi, tiga puluh ribu,” kata si penjual ketus. Lalu menaruh barang yang dibeli Stefan dengan k
Season IIBab 116Andini merasa asing, pagi ini terbangun di ranjang yang berbeda.Ah, terang saja ini masih di rumah mertuanya.Tidak seperti Andini yang merasa asing, Stefan malah masih tidur dengan pulas. Jadi, Andini memutuskan untuk ke kamar mandi, cuci muka, sikat gigi, dan mandi.Sekalian saja, karena dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Jadi, apa yang harus dilakukan dihari pertama menginap di rumah mertua? Pikir Andini.Mungkin keluar dari kamar adalah ide yang tidak buruk.“Memangnya kamu mau ke mana?”Andini hampir melonjak mendengar pertanyaan Stefan yang tiba-tiba. Sejak kapan dia bangun?“Kamu …”“Saya sudah bangun dari tadi. Kamu saja yang tidak tahu.”Andini mengedikkan bahu. Acuh tak acuh, ini adalah balasan atas ketidak acuhan Stefan tadi malam.Ranjang mereka malam ini pun rasanya dingin. Sangat dingin.Memang, Stefan itu kenapa, sih, begini?Andini membatin, sambil becermin, matanya melirik ke arah suaminya yang perlahan bangkit, lalu ke kamar mandi.Apa
Season II Bab 115Sepanjang perjalanan, Andini hanya bisa mengira-ngira akan ke mana.Arahnya, si, akan ke rumah pantai. Tapi, untuk apa Stefan bilang, katanya akan mengungkap masa lalunya.Apa masa lalunya dengan perempuan dekat pantai?Andini memicing menatap Stefan.Lagian, awas saja kalau Stefan ternyata punya pacar sebelum Andini.Stefan hari ini setir sendiri. Adam dengan pengasuhnya di jok belakang.“Mungkin, kamu akan kaget nanti kalau kita sudah sampai di tempat tujuan.”Andini makin curiga ketika Stefan berkata demikian.“Kamu belum pernah bertemu dengan orang tua saya, kan? Dan dua adik saya.”Andini membeku, menatap Stefan dari samping. Astaga! Jadi, selama ini Andini salah sangka.“Jadi ini adalah jalan ke ….” Andini tidak bisa meneruskan perkataannya.“Ya,” jawab Stefan singkat. “Selama ini, saya selalu minta cuti dalam satu bulan 2 atau 3 hari untuk mengunjungi orang tua. Apa kamu tidak memperhatikan?”Andini membuang pandangan ke arah jendela. Ternyata prasangkanya sa
Season IIBab 114“Saya rasa, perlu bawa baju untuk kita, And,” kata Stefan tetiba sambil menatap ke laptop.Andini sudah menyiapkan keperluan Adam sejak malam. Karena Stefan mengubah jadwal kepergiannya menjadi besok.“Baju ganti untuk kita?” Andini sekadar mengkonfirmasi. “Sebenarnya kita mau ke mana?”Stefan menutup laptopnya, lalu menatap Andini. “Sudah saya bilang, kan, ini kejutan.”Andini menghela napas dan memutar bola mata.Stfena bisa melohat kejengkelan istrinya yang penasaran. Lelaki itu tersenyum tipis, lalu bangkit dari ranjang menghampiri istrinya.Berlutut, memperhatikan Andini yang sedang sibuk mengepak pakaian. “Apa yang kamu perlukan biar saya ambilkan,” tawar Stefan.Andini menggaruk kepala, “Baju yang kamu mau pakai selama di sana dan baju aku. Lalu pakaian dalam.”“Baik, saya akan ambilkan di lemari,” ucap Stefan sambil berjalan menuju lemari besar yang ada di kamar itu.“Terima kasih,” ucap Andini begitu Stefan memberikan beberapa pakaian untuk dimasukkan ke kop
Season IIBab 113“Bisa saya bertanya sesuatu?” tanya Stefan, lalu menopang kepala di tangan sambil menatap Andini.“Ada apa?” tanya balik Andini, “Sesuatu yang serius?”Stefan mengangguk pelan.Tubuh mereka belum berpakaian lengkap, hanya pakaian dalam yang masih melekat dan ditutupi selimut.“Pertanyaan serius macam apa yang mau kamu tanyakan?” Andini meledek Stefan, dia pikir suaminya akan bercanda, setelah itu menggodanya lagi untuk babak kedua.“Di mana kamu tinggal selama tidak bersama saya?” suara Stefan tegas, namun, seperti ada senyuman singkat terulas di bibirnya.Andini tahu, kalau Stefan pasti akan menanyakan hal ini cepat atau lambat. Wanita itu melemaskan badan, tatapannya lurus ke langit-langit kamar.“Apa aku harus jujur kepadamu?”“Saya suamimu, tentu saja kamu harus jujur kepada saya. Walaupun kejujuran itu akan menyakiti saya.”“Baiklah ….” Andini menarik napas, menyiapkan kata. “Tapi, sungguh ini semua keinginanku sendiri, bukan karena suruhan atau tawaran orang la
Season IIBab 112Beberapa minggu kemudian ….“Harusnya kamu tidak perlu bawa barang dari rumah kamu. Di sini semuanya sudah saya sediakan,” ucap Stefan ketika melihat Andini repot mengatur barang yang masuk ke rumah barunya.Andini menghela napas, “Kamu ini, kan suami, jadi diam saja. Aku yang atur semua. Ingat, kan?” sambil menatap Stefan, Andini mengerling. Stefan mencibir, Adam dalam gendongannya. “Apa mamamu selalu begitu?” candanya, bayi itu hanya tersenyum, lalu menguap. “Karena kita lelaki bagaimana kalau kita tidur siang dulu?”“Itu lebih baik,” sambar Andini sambil menunjuk ke sisi rumah yang masih kosong.Pekerja yang dia bayar lalu lalang di rumah yang Stefan sudah renovasi itu.Andini cukup terkesan dengan penataan ruangan di rumah ini. Stefan yang membuatnya demikian. Ada jendela besar di ruang tamu, jadi rumah ini terang oleh sinar matahari. Kolam renang yang terkoneksi dengan kamar utama.Rumah ini serasa bagai Surga.Andini tidak berhenti bersyukur Stefan bisa member
Season IIBab 111Beberapa bulan lalu di Kalimantan ….Andini gelisah dan terganggu dengan sikap Jeff yang tidak membalas pesan dan tidak menjawab telepon. Selain itu, dia juga merasa bersalah, tidak bisa membalas perasaan Jeff.Karena yang ada dalam pikiran Andini selama berjauhan hanya Stefan. Walau Andini bersikeras ingin menceraikannya, bayangan lelaki itu melekat di kepala Andini.Walau Jeff adalah pria yang baik, peduli dan sangat penyayang. Tidak ada celah dalam kepriadian Jeff. Namun, sulit sekali menyukai Jeff seperti Andini mencintai Stefan.Hah, salahnya sendiri, belum apa-apa sudah bilang cinta. Padahal, Stefan tidak benar-benar menikahinya.Sebelum antar ayah ke bandara, Veronica mampir ke rumah Jeff.Andini yang mendengar bel pintu berdentang membukakan pintu. Matanya langsung membesar ketika membuka pintu, Veronica.“Silakan masuk,” ujar Andini ramah, penuh senyuman.Veronica wajahnya datar. Dibilang tidak menyenangkan juga tidak.Andini yang tidak enak, langsung mencar
Season IIBab 110Andini menepati janjinya memasak beberapa menu saat Stefan datang ke rumah.Ayah menyambut kedatangan Stefan dengan wajah yang datar. Pak Tarso tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Stefan. Dalam pernikahan, Pak Tarso berpikir, pasangan suami istri seperti kaki yang berjalan mengarungi kehidupan.Jadi, di antaranya tidak ada yang salah. Kalau pun perceraian itu harus terjadi, artinya itu adalah keputusan terbaik yang Stefan dan Andini ambil.“Tidak sangka, kan, aku bisa masak?” celetuk Andini begitu Stefan menghela napas sambil memegang perutnya.Stefan tersenyum, “Ya. Harus saya akui kalau ini enak.” Ingatan Stefan tersedot ke masa beberapa tahun lalu. Ketika Anya menyiapkan kejutan untuknya.“Apa kamu ingat kejutan untuk saya beberapa tahun lalu? Anya bilang dia masak sendiri, apa itu ….”Andini tertawa kecil dan mengangguk, “Ya. Itu aku yang memasaknya.”“Harusnya saya yang memuji kamu waktu itu,” timpal Stefan melirik ke arah Pak Tarso yang berwajah suram.“Pak, ja
Season IIBab 109“Mbak! Mbak!” panggil Edo di luar kamar Andini. “Ditanyain sama Mbak Sarah, tuh!”Andini berpikir, apa yang sudah dia lakukan sampai Sarah menghubungi Edo?“Masuk aja, Do, aku lagi gantiin baju Adam,” kata Andini memekik.Edo masuk begitu Andini izinkan, “Mbak, ini Mbak Sarah, katanya Mbak Andini nggak bisa dihubungi. Jadi … Mas Stefan juga mencari Mbak Andini.”“Hah?” Andini merasa tak percaya, Adam ada dalam gendongannya, mulai menangis.Konsentrasi Andini pecah antara tangisan dan mengingat antara di mana ponselnya.Perlahan, Andini duduk di kursi, lalu menerima ponsel dari Edo.“Hallo?” sapa Andini. “Ah, iya, maaf, Sarah, rasanya ponselku terselip, entah di mana. Ada yang penting?”Andini melirik Edo yang keluar dari kamarnya. Karena Andini bersiap akan menyusui Adam.“Stefan, dia menghubungiku secara langsung. Dia tidak bisa menghubungi kamu. Aku pikir kamu sedang dalam masa … berpikir?” tebak Sarah.Andini diam sejenak, “Ya … aku hanya lupa di mana menaruhnya.