“Keadaan Ibu Anya tidak menguntungkan. Di perutnya pendarahan hebat,” papar dokter. Mendengar hal itu Stefan pasrah.
Di ruang tunggu operasi, Andini menerima telepon tidak berhenti. Banyak orang menanyakan keadaan Anya. Berita kecelakaan itu menyebar dengan cepat.
“Apakah itu artinya …” Stefan tidak bisa melanjutkan perkataannya. Rasanya sulit sekali bernapas.
“Kami dari tim dokter akan berusaha semaksimal mungkin. Saat ini Ibu Anya masih ditangani.”
“Tolong, Dok, usahakan yang terbaik untuk istri saya. Saya mohon,” ucap Stefan, suaranya gemetar. Habis akal, bagaimana hidup dia dan anaknya kalau Anya tidak tertolong. Tidak terasa air matanya mengalir.
Andini tidak tega melihat Stefan yang harus menerima kenyataan kalau istrinya sekarat di dalam kamar operasi. Wanita itu membelikan Stefan air mineral.
“Pak, minum ini dulu,” ucap Andini, sambil menyodorkan botol air mineral.
Stefan menerima minuman yang diberikan Andini, meski ragu. “Terima kasih.”
Andini dan Stefan diam. Tidak ada yang memulai pembicaraan untuk beberapa waktu. Andini lelah menjelaskan keadaan Anya kepada semua orang. Termasuk wartawan, mengapa mereka tahu kabar ini dengan cepat?
Sedangkan Stefan, tidak habis pikir, bagaimana mungkin Anya kecelakaan.
“Din, apa kamu tahu bagaimana keadaan sopir Anya? Dari tadi, saya tidak mendengar kabarnya.”
Andini terkesiap, baru menyadari kalau dirinya sibuk sendiri dengan keadaan Anya. Dia lalu mengambil ponsel yang ada di saku celana, “Saya akan ke bagian administrasi, Pak.”
Andini berjalan cepat ke bagian administrasi, atau ke mana pun, wanita itu juga kebingungan sendiri. Di bagian Instalasi Gawat Darurat pun tidak ada orang yang masuk karena kecelakaan.
“Kami tidak bisa memberikan informasinya, Bu,” kata bagian administrasi.
Andini menghela napas, biasanya dia akan selalu menemukan cara untuk mendapatkan informasi. Apa pun itu. Kali ini, nihil. Dia berjalan lemah keluar dari ruangan administrasi. Tidak bisa memperoleh data pasien, Andini menelepon sopir Anya.
“Lha wong Bu Anya ndak sama saya, Mbak, tadi kata Bu Anya mau setir sendiri,” kata si sopir, Pak Nurdin. “Saya nunggu di perempatan buat jemput. Lha tahu-tahu dapet kabar orangnya kecelekaan.”
“Jadi, bapak baik-baik aja?” tanya Andini khawatir, tangannya gemetar kalau-kalau sopir itu terluka parah.
“Yo, baik-baik aja, Mbak Andini,” jawab Pak Nurdin lagi.
“Oke kalo begitu,” Andini lantas memutus sambungan teleponnya.
Beberapa saat menelusuri koridor dengan pikiran kosong, Andini melihat brankar melintas di depannya. Wajah pasiennya, Andini kenal, meski ada noda darah di sana. Itu adalah Aska, wakil direktur di tempat dia bekerja.
“Apa iya?” Andini membatin, “Aska pulang dengan Bu Anya. Karena selama ini, Bu Anya sering sekali bekerja dengan Pak Aska.”
Apa mungkin? Bukankah Aska sedang tugas di luar kota. Andini menggigit bibirnya kebingungan, kalau Pak Nurdin tidak jemput Bu Anya, lalu siapa yang menjemputnya?
Namun perhatian Andini keburu terpecah ke ponselnya yang berdering. Stefan yang meneleponnya.
Andini langsung ke ruang tunggu kamar operasi. Tempat Stefan menunggu.
Sudah ada dua orang berseragam polisi lengkap ada di dekat Stefan. Lelaki itu menatap Andini, seperti minta pertolongan.
“Andini, kedua polisi ini mau meminta keterangan dari Anya,” ucap Stefan tegas.
“Maaf, tapi Bu Anya sedang menjalani operasi,” kata Andini ragu, dahinya mengerut. “Apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan?”
Salah satu polisi itu mengangguk, “Ada seorang sopir minibus mengaku menabrak mobil yang Bu Anya tumpangi, tapi, kami masih menyelidikinya. Bu Anya terlibat dalam kecelakaan tunggal. Sopir truk ini menabrak mobil Bu Anya karena mengantuk.”
“Apa? Jadi istri saya kecelakaan tunggal?” ulang Stefan, menatap Andini dengan alis yang bertaut. Dia tidak banyak berkata. Namun, tatapannya tajam ke arah Andini ada banyak pertanyaan dalam benaknya.
“Kalau begitu, kami permisi dulu,” pamit si polisi.
Andini menundukkan kepala, dalam hatinya cemas tak karuan. Mengapa ada polisi di sini?
“Di mana Pak Nurdin?” tanya Stefan langsung tanpa basa-basi tatapannya tajam ke arah Andini.
“Dia ada ….” Andini tidak yakin mau berbohong atau berkata jujur kepada Stefan.
“Jangan pernah berbohong kepada saya, Andini. Barusan aspri saya telepon kalau Anya bersama Aska ketika kecelakaan itu terjadi. Apa mereka sering bersama?”
“Mereka hanya membicarakan pekerjaan. Jadi sering bertemu,” jawabnya.
Stefan tersenyum miring, “Kamu naif sekali, Andini. Siapa yang bisa sangka?” lelaki itu berdecak sambil menggeleng-geleng. “Apa yang kamu sembunyikan sebenarnya?”
Andini menggeleng, harusnya dia mengakatakan yang sebenarnya. “Bu Anya memang tidak pulang dengan Pak Nurdin. Tadi saya yang telepon Pak Nurdin, Bu Anya pulang sendirian.”
Jantung Stefan berhenti beberapa detik, matanya menelisik, bertanya, dengan siapa Anya pulang? “Lantas, apa kamu tahu apa yang istri saya lakukan dengan Aska?” cecarnya.
Andini menggeleng. Aska yang dia lihat, ini baru prasangka saja, kan? Lagi pula, belum tentu mereka ada hubungan seperti yang Stefan kira.
“Astaga, berapa lama kamu jadi asistennya? Masa hal seperti ini kamu tidak tahu!?” pekik Stefan, gusar, lalu mengacak rambutnya.”
“Sumpah, Pak, saya tidak tahu.”
Stefan menarik napas, wajahnya merah padam.
Tidak lama seorang dokter keluar dari kamar operasi. Prosedur operasi memang sudah berjalan lebih dari empat jam, ini sudah tengah malam.
“Suami Ibu Anya?” tanya si dokter sambil membuka maskernya.
“Ya,” jawab Stefan. “Bagaimana keadaan istri saya, Dok?”
“Operasinya berhasil, tangan yang patah, dan pendarahan hebat di perut, bisa kami tangani. Karena kehilangan banyak darah, ada kemungkinan Ibu Anya akan kritis selama beberapa jam ke depan. Kami akan terus pantau perkembangannya. Saya permisi dulu.”
Stefan tidak bisa berkata-kata. Apa yang ada di belakang semua kecelakaan ini? Apakah Anya yang melakukan penggelapan. Mata lelaki itu memerhatikan Andini. Apa dia yang berbohong, pura-pura polos dan tidak tahu apa-apa, padahal sebenarnya dia adalah kaki tangan Anya?
Andini lantas mengikuti brankar yang didorong keluar dari kamar operasi. Matanya melirik ke arah Stefan sekilas lalu lirikannya berpindah ke arah Anya yang ada di atas brankar. Ada berbagai macam alat penunjang kehidupan.
Stefan masih membeku melihat brankar itu melewati dirinya.
Selama ini Stefan pastikan kalau segala gerak gerik Anya ada dalam pengawasannya.
Ada teka teki kecelakaan yang belum Stefan tahu. Jadi, dia menghubungi asisten pribadinya.
“Felix, bagaimana? Dengan siapa istri saya pulang tadi?”
“Saya sedang mengamati Aska, wakil dari Bu Anya, dia juga kecelakaan di tempat yang sama, tetapi keadaannya tidak seburuk Bu Anya.”
“Oke, saya tunggu kabar selanjutnya. Kabari saya terus soal kasus ini,” sahut Stefan lalu memutus sambungan telepon. Pikirannya kosong, selama ini dia setia kepada Anya, tidak ada perempuan selain dirinya.
Namun, apakah Anya punya hubungan gelap dengan Aska? Mengapa dia tega.
Satu minggu sejak kecelakaan, Anya belum sadar juga. Dokter menyatakan kalau Anya dalam keadaan koma.Stefan sengaja menempatkan istrinya di ruang perawatan privat. Agar tidak banyak wartawan atau siapa pun yang bisa masuk seenaknya. Ada beberapa penjaga disiapkan kalau-kalau ada penjenguk yang tidak dikenal.Andini selalu ada di ruangan privat itu, kalau pun ada urusan, dia akan meninggalkan pesan dan memastikan ada yang menjaga Anya selain dirinya.Stefan setiap malam menginap menjaga istrinya. “Aku sangat menyesal, Anya bisa seperti ini,” ucap Aska sedih. Ada air mata menetes di sudut matanya. Andini melihatnya dengan jelas.Andini tidak menanggapi apa-apa, wajahnya datar dan dingin menatap Aska. “Apa Pak Aska bersama dengan Bu Anya saat kecelakaan itu?” “Tidak. Kami melanjutkan bicara soal pekerjaan sebelum Anya pulang. Hanya itu. Aku tidak menyangka Anya akan kecelakaan seperti ini. Untungnya si sopir itu sudah menyerahkan diri. Kalau tidak, aku akan sangat merasa bersalah.”
Winata menarik napas, “Baik, saya beri waktu tiga bulan. Kamu bisa lakukan apa pun untuk membuktikan ucapan kamu. Ingat, dalam tiga bulan kamu tidak bisa membuktikan apa pun, kamu akan saya coret dari akta mana pun perusahaan saya. Dan saya tidak ingin melihat wajah kamu lagi. Paham?”Stefan tersenyum lebar. “Paham.”Winata keluar dari ruangan itu. Wajahnya merah padam, jantungnya berdetak keras. Apa tadi? Apa yang menantunya katakan? Dan Winata tanpa tedeng eling menyetujui begitu saja perkataan Stefan.Sementara itu, Stefan langsung sibuk di sambungan telepon. Stefan memang tidak bodoh, ahli dalam menangani perusahaan. Pak Winata mempunya beberapa unit bisnis. Hotel, restoran skala internasional, periklanan yang Anya kelola, ekspor dan impor, Stefan yang menjalani perusahaan itu. Dan hasilnya tidak mengecewakan.Perusahaan itu berkembang pesat dalam jangka waktu lima tahun.“Bagaimana hasilnya, Felix?”“Sejauh ini belum ditemukan ada penggelapan uang. Tapi, ada anggaran yang jauh da
“Andini istri saya yang kedua! Semua yang terlihat adalah jatah untuk uang bulanannya,” papar Stefan dengan lugas. “Sebagai suami yang baik, saya memenuhi permintaannya. Saya harus berbuat adil, kan? Anya bergelimang harta, dan Andini paling tidak, tidak kesusahan.”Perkataan Stefan seperti gaungan, terlontar berulang-ulang di telinga Andini. Apakah hanya dia saja yang mendengarnya? Atau sekarang dia sudah gila? Mata Andini memindai sekelilingnya. Menunggu apa ada orang yang menghakiminya?Namun, semua orang diam.“Jadi, mulai sekarang, Andini akan memimpin perusahaan ini. Saya yang akan mengawasinya langsung. Seharusnya kalian tidak perlu khawatir.”Semua peserta rapat masih kaget dengan pengakuan Stefan. Tidak ada yang menyanggah atau pun memakluminya.Andini yang katanya istri kedua pun, diam seribu bahasa. Tatapannya terasa dingin dan marah kepada Stefan.“Rapat hari ini cukup. Lusa saya mau ada rapat lagi untuk membicarakan projek dan klien yang sedang dikerjakan.”Tidak ada jawa
Andini merasa sudah mengkhianati bosnya sendiri. Rasa bersalah ada dalam hatinya. Jadi, dia mengunjungi Anya yang belum siuman.“Bu Anya, apa yang harus saya lakukan?” ratap Andini sambil menggenggam tangan wanita itu. Tidak ada jawaban sama sekali. Biasanya, Bu Anya punya semua jawaban dan jalan keluar dari pertanyaan Andini.Alat monitor jantung yang seolah menjawab pertanyaan Andini. “Apakah saya harus menerima pernikahan ini? Lagi pula, untuk apa dia mengaku sebagai suamiku? Apa memang dia centil dan suka cari penyakit, ya, Bu?”Mana sangka di luar kamar ada Stefan yang mendengar semua perkataan Andini. Lelaki itu tersenyum. Mengapa sekretarisnya itu naif sekali?Lagi pula, Stefan melakukan ini semua hanya untuk melindungi Andini. Selain itu, kalau Andini adalah istrinya, tidak akan ada yang meremehkannya. Walau istri kedua. Stefan masuk ke kamar perawatan.“Siapa yang kamu maksud centil?” tanya Stefan, suaranya mengagetkan Andini.Andini membeku mendengar suara itu. Dia menatap S
Namun, kenyataan pahit harus Andini terima, pacarnya Joshua tidak angkat telepon darinya.Edo menatap Andini, menunggu kabar yang melegakan atau paling tidak akan menggembirakan. “Gimana, Kak?”“Tidak diangkat,” jawaban Andini membuat Edo lemas.“Jadi gimana, Kak? Gimana dengan bos kakak? Bukannya Bu Anya, Bu Anya itu selalu bersedia membantu kakak?” desak Edo. “Edo hanya takut kalau kita mengabaikan perawatan untuk bapak, bapak malah nggak ketolong,” desakan Edo membuat Andini sesak.Andini tidak sanggup kalau harus kehilangan bapak. Saat ibunya pergi, hatinya hancur dan semua hampa. Dunia ini gelap. Tapi lebih kejam, waktu terus berjalan, Bum tetap berputar. Wanita itu menatap layar ponselnya. Ada nama Stefan di sana.Entah berapa kali jemari Andini mengusapnya, apakah dia akan membantuku kali ini, batinnya bertanya. Apakah kali ini dia harus meminta bantuan Stefan?Hatinya setengah ragu, tapi ada kekuatan kalau dia harus menghubungi Stefan. Jadi, Andini menghubungi lelaki itu.***
Satu minggu kemudian, kondisi Pak Tarso makin membaik. Sementara, keadaan Anya tidak lebih baik dari kemarin. Masih koma, malah ada permasalahan lain, kalau keadaan organnya menurun. Jadi ada operasi tambahan.Stefan yang mendengar kabar itu syok, hatinya mencelus, menatap Anya. Ingin bertanya, tapi rasanya, Stefan tidak bisa.“Tindakan ini harus segera kita ambil. Agar organnya kembali berfungsi,” kata dokter ahli bedah itu.Stefan menghela napas, “Apa dokter yakin dengan keputusan ini? Apakah istri saya akan baik-baik saja nanti? Setelah dioperasi, apa dia akan bangun dari koma?”“Tidak ada yang bisa menjamin, kapan Bu Anya akan sadar dari koma. Kalau dia sadar setelah operasi ini, itu adalah keajaiban.”Stefan mengacak rambutnya, lalu menatap Anya lagi. “Kalau begitu, lakukan saja, Dok.”“Baik. Saat ini pihak rumah sakit memerlukan persetujuan dari Pak Stefan. Saya akan panggilkan perawat agar bisa bawakan berkasnya.”“Baik.”Sebagai suami yang baik, Stefan tidak bisa menahan kesed
“Kalau begitu saya antar saja, sekalian tahu rumah calon istri,” ujar Stefan, lalu berjalan mendahului Andini.Apa? Andini membatin dalam hati.Ucapan itu membuat dada Andini makin berdebar keras. Dalam hatinya Andini merasa kalau Stefan menyukainya. “Kayaknya ngga usah, Pak, saya bisa pulang sendiri,” katanya yakin, membuat Stefan menghentikan langkahnya.“Kamu yakin?” tanyanya menatap Andini.Andini sebenarnya ketakutan pulang malam dan sendirian. Walau naik taksi. Apalagi, baru-baru ini ada kabar tentang gadis yang dirampok dan dirudapaksa di taksi. Meski ketakutan sampai merinding, dia mengangguk meyakinkan Stefan.“Oke,” sahut Stefan langsung pergi dari hadapan Andini.Wanita itu menghela napas panjang, mana sangka Stefan mudah sekali dikelabui. Andini—terlalu polos dan naif, tentu saja Stefan mencemaskan Andini.Jadi, lelaki itu diam-diam mengikuti Andini. Sejak naik taksi dari depan rumah sakit.—Felix pun bekerja dengan caranya sendiri, dia meminta teman kantor memantau status
Sebelum rapat pengangkatan, Stefan mati-matian menjelaskan laporan keuangan perusahaan Anya dan pengangkatan Andini sebagai dirut di rapat pemegang saham.Salah satu pemegang saham, Pak Indra mengangkat tangan, “Kenapa ini baru kamu lapor sekarang? Kita juga perlu kredibilitas Andini. Harusnya dia melaporkan dulu keadaan keuangan di perusahaan itu.”Stefan menghela napas, “Sudah tidak ada waktu lagi, Pak,” jawab Stefan dengan penuh wibawa. “Perusahaan yang Anya tinggalkan dalam keadaan di ujung tanduk. Ada beberapa transaksi keuangan yang belum jelas peruntukkannya. Saya mengantisipasi perusahaan itu bangkrut.”Winata yang duduk di kursi depan sebagai penanggung jawab, hanya mampu menghela napas, melonggarkan dasi. Paparan Stefan benar, jadi, Winata tidak bisa berbuat apa pun.“Tapi, kalau rugi besar-besaran dan dana tidak tahu ke mana mengalirnya pun percuma, Stef,” protes yang lain, yang ini Tuan Birawa—cukup berpengaruh dalam para pemegang saham.“Hal ini sedang ditelusuri oleh tim
Season IIBab 117“Mau beli apa?” tanyanya pedagang wanita itu dengan kasar.Stefan melirik Andini yang sedang salah tingkah, dia mengambil sembarang sayuran.Lelaki itu menahan tangan Andini.“Biasanya, pengasuh Adam membeli wortel, jagung dan brokoli untuk kebutuhan sehari-hari.”Andini terpaku dengan analisa Stefan, “Dari mana kamu ….”“Saya, kan, ayahnya, masa tidak tahu,: seloroh Stefan. “Walau saya sibuk bekerja, tapi, saya juga memperhatikan apa saja kebutuhan anak saya.”Andini tidak bisa menyimpan kebahagiaan yang ada di hatinya. Dia menggigit bibir bawahnya, lalu mencium pipi Stefan.“Kamu tahu, kan, kita ada di tempat umum,” peringat Stefan tetapi tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan. Pipinya menghangat.Andini menoleh ke arah penjual sayuran, wajahnya makin memerah. Napasnya berembus cepat.“Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau suamiku perhatian,” kata Andini malu-malu.“Jadi, tiga puluh ribu,” kata si penjual ketus. Lalu menaruh barang yang dibeli Stefan dengan k
Season IIBab 116Andini merasa asing, pagi ini terbangun di ranjang yang berbeda.Ah, terang saja ini masih di rumah mertuanya.Tidak seperti Andini yang merasa asing, Stefan malah masih tidur dengan pulas. Jadi, Andini memutuskan untuk ke kamar mandi, cuci muka, sikat gigi, dan mandi.Sekalian saja, karena dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Jadi, apa yang harus dilakukan dihari pertama menginap di rumah mertua? Pikir Andini.Mungkin keluar dari kamar adalah ide yang tidak buruk.“Memangnya kamu mau ke mana?”Andini hampir melonjak mendengar pertanyaan Stefan yang tiba-tiba. Sejak kapan dia bangun?“Kamu …”“Saya sudah bangun dari tadi. Kamu saja yang tidak tahu.”Andini mengedikkan bahu. Acuh tak acuh, ini adalah balasan atas ketidak acuhan Stefan tadi malam.Ranjang mereka malam ini pun rasanya dingin. Sangat dingin.Memang, Stefan itu kenapa, sih, begini?Andini membatin, sambil becermin, matanya melirik ke arah suaminya yang perlahan bangkit, lalu ke kamar mandi.Apa
Season II Bab 115Sepanjang perjalanan, Andini hanya bisa mengira-ngira akan ke mana.Arahnya, si, akan ke rumah pantai. Tapi, untuk apa Stefan bilang, katanya akan mengungkap masa lalunya.Apa masa lalunya dengan perempuan dekat pantai?Andini memicing menatap Stefan.Lagian, awas saja kalau Stefan ternyata punya pacar sebelum Andini.Stefan hari ini setir sendiri. Adam dengan pengasuhnya di jok belakang.“Mungkin, kamu akan kaget nanti kalau kita sudah sampai di tempat tujuan.”Andini makin curiga ketika Stefan berkata demikian.“Kamu belum pernah bertemu dengan orang tua saya, kan? Dan dua adik saya.”Andini membeku, menatap Stefan dari samping. Astaga! Jadi, selama ini Andini salah sangka.“Jadi ini adalah jalan ke ….” Andini tidak bisa meneruskan perkataannya.“Ya,” jawab Stefan singkat. “Selama ini, saya selalu minta cuti dalam satu bulan 2 atau 3 hari untuk mengunjungi orang tua. Apa kamu tidak memperhatikan?”Andini membuang pandangan ke arah jendela. Ternyata prasangkanya sa
Season IIBab 114“Saya rasa, perlu bawa baju untuk kita, And,” kata Stefan tetiba sambil menatap ke laptop.Andini sudah menyiapkan keperluan Adam sejak malam. Karena Stefan mengubah jadwal kepergiannya menjadi besok.“Baju ganti untuk kita?” Andini sekadar mengkonfirmasi. “Sebenarnya kita mau ke mana?”Stefan menutup laptopnya, lalu menatap Andini. “Sudah saya bilang, kan, ini kejutan.”Andini menghela napas dan memutar bola mata.Stfena bisa melohat kejengkelan istrinya yang penasaran. Lelaki itu tersenyum tipis, lalu bangkit dari ranjang menghampiri istrinya.Berlutut, memperhatikan Andini yang sedang sibuk mengepak pakaian. “Apa yang kamu perlukan biar saya ambilkan,” tawar Stefan.Andini menggaruk kepala, “Baju yang kamu mau pakai selama di sana dan baju aku. Lalu pakaian dalam.”“Baik, saya akan ambilkan di lemari,” ucap Stefan sambil berjalan menuju lemari besar yang ada di kamar itu.“Terima kasih,” ucap Andini begitu Stefan memberikan beberapa pakaian untuk dimasukkan ke kop
Season IIBab 113“Bisa saya bertanya sesuatu?” tanya Stefan, lalu menopang kepala di tangan sambil menatap Andini.“Ada apa?” tanya balik Andini, “Sesuatu yang serius?”Stefan mengangguk pelan.Tubuh mereka belum berpakaian lengkap, hanya pakaian dalam yang masih melekat dan ditutupi selimut.“Pertanyaan serius macam apa yang mau kamu tanyakan?” Andini meledek Stefan, dia pikir suaminya akan bercanda, setelah itu menggodanya lagi untuk babak kedua.“Di mana kamu tinggal selama tidak bersama saya?” suara Stefan tegas, namun, seperti ada senyuman singkat terulas di bibirnya.Andini tahu, kalau Stefan pasti akan menanyakan hal ini cepat atau lambat. Wanita itu melemaskan badan, tatapannya lurus ke langit-langit kamar.“Apa aku harus jujur kepadamu?”“Saya suamimu, tentu saja kamu harus jujur kepada saya. Walaupun kejujuran itu akan menyakiti saya.”“Baiklah ….” Andini menarik napas, menyiapkan kata. “Tapi, sungguh ini semua keinginanku sendiri, bukan karena suruhan atau tawaran orang la
Season IIBab 112Beberapa minggu kemudian ….“Harusnya kamu tidak perlu bawa barang dari rumah kamu. Di sini semuanya sudah saya sediakan,” ucap Stefan ketika melihat Andini repot mengatur barang yang masuk ke rumah barunya.Andini menghela napas, “Kamu ini, kan suami, jadi diam saja. Aku yang atur semua. Ingat, kan?” sambil menatap Stefan, Andini mengerling. Stefan mencibir, Adam dalam gendongannya. “Apa mamamu selalu begitu?” candanya, bayi itu hanya tersenyum, lalu menguap. “Karena kita lelaki bagaimana kalau kita tidur siang dulu?”“Itu lebih baik,” sambar Andini sambil menunjuk ke sisi rumah yang masih kosong.Pekerja yang dia bayar lalu lalang di rumah yang Stefan sudah renovasi itu.Andini cukup terkesan dengan penataan ruangan di rumah ini. Stefan yang membuatnya demikian. Ada jendela besar di ruang tamu, jadi rumah ini terang oleh sinar matahari. Kolam renang yang terkoneksi dengan kamar utama.Rumah ini serasa bagai Surga.Andini tidak berhenti bersyukur Stefan bisa member
Season IIBab 111Beberapa bulan lalu di Kalimantan ….Andini gelisah dan terganggu dengan sikap Jeff yang tidak membalas pesan dan tidak menjawab telepon. Selain itu, dia juga merasa bersalah, tidak bisa membalas perasaan Jeff.Karena yang ada dalam pikiran Andini selama berjauhan hanya Stefan. Walau Andini bersikeras ingin menceraikannya, bayangan lelaki itu melekat di kepala Andini.Walau Jeff adalah pria yang baik, peduli dan sangat penyayang. Tidak ada celah dalam kepriadian Jeff. Namun, sulit sekali menyukai Jeff seperti Andini mencintai Stefan.Hah, salahnya sendiri, belum apa-apa sudah bilang cinta. Padahal, Stefan tidak benar-benar menikahinya.Sebelum antar ayah ke bandara, Veronica mampir ke rumah Jeff.Andini yang mendengar bel pintu berdentang membukakan pintu. Matanya langsung membesar ketika membuka pintu, Veronica.“Silakan masuk,” ujar Andini ramah, penuh senyuman.Veronica wajahnya datar. Dibilang tidak menyenangkan juga tidak.Andini yang tidak enak, langsung mencar
Season IIBab 110Andini menepati janjinya memasak beberapa menu saat Stefan datang ke rumah.Ayah menyambut kedatangan Stefan dengan wajah yang datar. Pak Tarso tahu ini bukan sepenuhnya kesalahan Stefan. Dalam pernikahan, Pak Tarso berpikir, pasangan suami istri seperti kaki yang berjalan mengarungi kehidupan.Jadi, di antaranya tidak ada yang salah. Kalau pun perceraian itu harus terjadi, artinya itu adalah keputusan terbaik yang Stefan dan Andini ambil.“Tidak sangka, kan, aku bisa masak?” celetuk Andini begitu Stefan menghela napas sambil memegang perutnya.Stefan tersenyum, “Ya. Harus saya akui kalau ini enak.” Ingatan Stefan tersedot ke masa beberapa tahun lalu. Ketika Anya menyiapkan kejutan untuknya.“Apa kamu ingat kejutan untuk saya beberapa tahun lalu? Anya bilang dia masak sendiri, apa itu ….”Andini tertawa kecil dan mengangguk, “Ya. Itu aku yang memasaknya.”“Harusnya saya yang memuji kamu waktu itu,” timpal Stefan melirik ke arah Pak Tarso yang berwajah suram.“Pak, ja
Season IIBab 109“Mbak! Mbak!” panggil Edo di luar kamar Andini. “Ditanyain sama Mbak Sarah, tuh!”Andini berpikir, apa yang sudah dia lakukan sampai Sarah menghubungi Edo?“Masuk aja, Do, aku lagi gantiin baju Adam,” kata Andini memekik.Edo masuk begitu Andini izinkan, “Mbak, ini Mbak Sarah, katanya Mbak Andini nggak bisa dihubungi. Jadi … Mas Stefan juga mencari Mbak Andini.”“Hah?” Andini merasa tak percaya, Adam ada dalam gendongannya, mulai menangis.Konsentrasi Andini pecah antara tangisan dan mengingat antara di mana ponselnya.Perlahan, Andini duduk di kursi, lalu menerima ponsel dari Edo.“Hallo?” sapa Andini. “Ah, iya, maaf, Sarah, rasanya ponselku terselip, entah di mana. Ada yang penting?”Andini melirik Edo yang keluar dari kamarnya. Karena Andini bersiap akan menyusui Adam.“Stefan, dia menghubungiku secara langsung. Dia tidak bisa menghubungi kamu. Aku pikir kamu sedang dalam masa … berpikir?” tebak Sarah.Andini diam sejenak, “Ya … aku hanya lupa di mana menaruhnya.