"Kita pulang saja, ya, maaf kalau kesannya ini terburu-buru. Tapi tadi aku mendapat kabar kalau aku harus segera ke kantor karena ada pekerjaan mendesak yang perlu aku urus hari ini juga," tutur Tio menjelaskan, walau penjelasan itu sebetulmya hanya sebuah alasan ringan agar Camelina tidak mencurigai dirinya dan berpikir yang tidak-tidak.Camelina mengangguk. "Kalau begitu kamu langsung pulang saja, biar aku naik taksi," sahut Camelina.Saat itu, Camelina tidak mempertanyakan apapun lagi. Lagi pula, ia sudah berpikir bahwa memang sebaiknya pulang saja karena aroma makanan yang ada di hadapannya tadi membuat ia mual. Apa mungkin ini bawaan hamil?"Jangan. Kamu aku antar saja. Kan aku juga yang ngajak, jadi sudah seharusnya aku berkewajiban antar kamu pulang apal rumah dalam keadaan selamat. Oh ya, tadi kamu mual-mual, jangan-jangan kamu juga masuk angin."Camelina menoleh ke arah Tio. "Untung saja dia mengira aku masuk angin," batin Camelina. Ia memalingkan pandangannya ke perut, memp
Camelina tidak membalas perkataan Ibu mertuanya. Dirinya memilih diam sampai waktu yang tepat ia melontarkan kalimat dari mulutnya.Ia merasa bahwa tidak penting jika asal bicara. Kalaupun ia mengatakan sesuatu, tentu itu harus sesuatu hal yang penting agar tidak membuang-buang energinya dalam perdebatan yang tidak penting. "Kamu dengar yang saya bilang, tidak?!" sentak Berliana sambil berkacak pinggang.Frederick yang tidak ada di rumah itu membuat Ibu mertuanya kembali merasa berkuasa dan tanpa menerima bantahan siapapun."Iya, Ma, saya dengar, kok."Berliana melirik ke bawah -- tepatnya ke arah barang belanjaan yang ada di tangan Camelina. "Itu apa? Kamu mencoba memeras keponakan saya?"Camelina menggelengkan kepala cepat, ia mengangkat kepalanya cepat sambil berkata, "Tidak, kok, tidak! Ini semua dikasih. Tapi kalau memang Mama mau, silakan ambil saja!" sergah Camelina. Ia menyodorkan barang belanjaannya kepada Berliana.Berliana memalingkan wajahnya ke arah lain dengan angkuh. "
“Tolong jangan laporkan saya ke polisi ...!” erang Camelina dengan isak tangis di wajahnya.Namun, wanita dengan rambut agak bergelombang itu tidak memberi ampun. Ia terus menyeret Camelina keluar dari rumah seraya sesekali menampar wajah asisten rumah tangganya.“Argh!” Ia memekik kesakitan dan refleks tangannya memegang pipi yang baru saja menerima tamparan itu. Urai air netra yang tiada habisnya, tetapi demi hidupnya ia tidak menyerah sekalipun sesak dalam dada serta mata yang mulai perih karena banyaknya air netra yang mengaliri pipi tanpa henti. ”Saya berjanji akan melakukan apapun!” rengek Camelina.Amarah yang mengeraskan hati, membuat wanita itu tidak peduli atas segala kepedihan yang dirasakan Camelina, sekalipun air netra terus bercucur membasahi lantai dengan pipi yang sudah memerah agak lebam akibat berkali-kali ditampar oleh Sarah.Perkataan Camelina saat itu rupanya malah berdampak besar pada hidupnya dan kini Berliana merasa senang sebab dirinya bisa mengambil keuntung
Tak lama setelah ajudan pribadi Aderson pergi, secara mendadak Camelina langsung dikagetkan dengan kedatangan istri pertama Aderson yang menghampirinya. Ia kembali harus merasakan jantung yang berdetak kencang gelisah tak karuan – intuisinya seolah memberitahu akan ada kejadian buruk yang menimpa dirinya. Dan benar saja, Sarah langsung menarik rambut bagian belakangnya begitu saja tanpa alasan yang jelas. ”Setelah berhasil mencuri perhiasan, sekarang malah beraninya mencuri suamiku juga! Apa jangan-jangan kamu memang sengaja merencanakan hal ini sejak awal, wanita jalang!” tuduh istri pertama Aderson dengan ketus.Sekalipun di depan Berliana tamp
Dari tadi, ia terus mendengar Berliana yang tidak menyerah merayunya demi kepentingan dirinya sendiri, sedangkan dirinya hanya diam. Kini giliran Camelina yang dirasa perlu mengutarakan ketidaknyamanan mengenai situasi yang dirasakannya.“Ma, kalau tujuannya untuk memiliki anak dan merasa malu mengakui menantu seperti saya yang hanya orang miskin, kenapa tidak menikahkan Mas Aderson dengan wanita yang setara?” tanya Camelina dengan pandangan intens ke arah mertuanya.Berliana tersenyum. “Hal semacam itu tidak penting untuk dibahas. Yang terpenting kita bisa mendapat keuntungan masing-masing. Kamu terbebas dari hukuman itu dan saya bisa memiliki cucu.”Lagi-lagi, Camelina merasa menyesal dengan bibirnya yang sudah ia gunakan untuk bertanya pada orang yang sudah jelas-jelas pasti akan menyudutkan dirinya. Meskipun begitu dan apapun alasannya, tetap saja ia tidak bisa menolak.“Baiklah, kalau memang itu mau Mama.” Camelina beranjak dari duduknya. Ia melangkah keluar dari kamarnya. Sed
Malam ini menjadi malam yang mencekam. Hati yang dingin dengan suasana panas. Tubuhnya terhimpit kuat oleh pria yang kini bersamanya – ia menggagahinya malam ini.Deru nafas Aderson kian terdengar jelas di telinga. Tak bisa menampik, tampak dari wajah pria itu seolah menikmati malam ini. “Bibir bawah milikmu masih tampak perawan, aku sampai kesulitan,” bisik Aderson di telinga Camelina. Ia melontarkan seringai miring di bibirnya.`Ugh, sungguh... rasanya ingin muntah!`Namun, saat itu Camelina hanya terdiam jijik kala mendengar kalimat kotor yang terlontar keluar dari mulut pria yang kini harus ia akui paksa sebagai suaminya, walau ia sendiri tidak tahu entah sampai kapan ia diam menahan sakit batin dan raganya. Hatinya pun belum bisa seutuhnya menerima bahwa Aderson kini adalah suaminya."Hentikan cengkeraman tanganmu itu dariku, ini sungguh menyakitkan!" racau Camelina seraya menggertakkan giginya kuat-kuat. Ia sudah tidak bisa lagi diam dalam kesakitan."Kamu akan kulepaskan set
Beberapa wanita memasuki ruangan khusus yang telah disediakan dengan berbagai macam sajian yang terdapat di meja tamu. Tentu di tempat itu seperti biasa mereka saling memamerkan diri, saling menyanjung satu sama lain dengan segala kepalsuan yang terlontar keluar dari mulut manis mereka, bahkan terkadang membicarakan rumor yang beredar.Tetapi begitu Camelina memasuki ruangan itu dengan membawa buah semangka di piring lonjong yang telah dipotong-potong kecil berbentuk segitiga, suasana mendadak hening. Ini sungguh aneh bagi Berliana sekaligus Camelina itu sendiri, karena tidak biasanya teman-teman arisan Berliana begini. Pandangan mereka langsung terfokus pada penampilan Camelina saat itu. Lalu, tampak sedikit berbisik satu sama lain.”Hei, kalian lihat wanita itu? Apa kamu tidak salah informasi mengenainya?””Tidak. Selama ini aku tidak pernah salah kan dalam menyampaikan gosip terbaru.”Mereka yang menunjukkan jelas dengan saling berbisik satu sama lain membuat Camelina tidak nyaman
“Dengarkan aku baik-baik. Mulai sekarang, apapun yang terjadi tetap sembunyikan kebenaran itu. Apalagi kalau suatu saat nanti sudah hamil besar, kau jangan berani keluar menunjukkan dirimu kepada siapapun!” bisik Berliana seraya menggertakkan gigi.“Mohon maaf, Nyonya. Tapi bukankah pernikahan ini terjadi juga atas persetujuan darimu?”Bukan maksud Camelina untuk membantah. Hanya saja ia tidak bisa terus diinjak atau bahkan dimanfaatkan. Baginya, sesekali perlu mengatakan pernyataan yang ia yakini. Wanita miskin seperti dirinya pun juga manusia yang ingin dhargai.“Memang benar. Tapi kamu sendiri juga tahu kalau derajat kita ini sungguh sangat berbeda. Aku harap kamu paham maksudku.”Camelina tersenyum pahit seraya menahan sesak dalam dada. Namun ia tidak bisa membenarkan apa yang ia yakini dan Berliana yakini. Pilihannya saat ini adalah mengikuti alur yang ada.“Baiklah kalau memang itu maumu.”Tidak mau banyak terlibat dalam pembicaraan lain yang menurutnya hanya membuat sakit hat
Camelina tidak membalas perkataan Ibu mertuanya. Dirinya memilih diam sampai waktu yang tepat ia melontarkan kalimat dari mulutnya.Ia merasa bahwa tidak penting jika asal bicara. Kalaupun ia mengatakan sesuatu, tentu itu harus sesuatu hal yang penting agar tidak membuang-buang energinya dalam perdebatan yang tidak penting. "Kamu dengar yang saya bilang, tidak?!" sentak Berliana sambil berkacak pinggang.Frederick yang tidak ada di rumah itu membuat Ibu mertuanya kembali merasa berkuasa dan tanpa menerima bantahan siapapun."Iya, Ma, saya dengar, kok."Berliana melirik ke bawah -- tepatnya ke arah barang belanjaan yang ada di tangan Camelina. "Itu apa? Kamu mencoba memeras keponakan saya?"Camelina menggelengkan kepala cepat, ia mengangkat kepalanya cepat sambil berkata, "Tidak, kok, tidak! Ini semua dikasih. Tapi kalau memang Mama mau, silakan ambil saja!" sergah Camelina. Ia menyodorkan barang belanjaannya kepada Berliana.Berliana memalingkan wajahnya ke arah lain dengan angkuh. "
"Kita pulang saja, ya, maaf kalau kesannya ini terburu-buru. Tapi tadi aku mendapat kabar kalau aku harus segera ke kantor karena ada pekerjaan mendesak yang perlu aku urus hari ini juga," tutur Tio menjelaskan, walau penjelasan itu sebetulmya hanya sebuah alasan ringan agar Camelina tidak mencurigai dirinya dan berpikir yang tidak-tidak.Camelina mengangguk. "Kalau begitu kamu langsung pulang saja, biar aku naik taksi," sahut Camelina.Saat itu, Camelina tidak mempertanyakan apapun lagi. Lagi pula, ia sudah berpikir bahwa memang sebaiknya pulang saja karena aroma makanan yang ada di hadapannya tadi membuat ia mual. Apa mungkin ini bawaan hamil?"Jangan. Kamu aku antar saja. Kan aku juga yang ngajak, jadi sudah seharusnya aku berkewajiban antar kamu pulang apal rumah dalam keadaan selamat. Oh ya, tadi kamu mual-mual, jangan-jangan kamu juga masuk angin."Camelina menoleh ke arah Tio. "Untung saja dia mengira aku masuk angin," batin Camelina. Ia memalingkan pandangannya ke perut, memp
Camelina yang berada di cafe tampak banyak diam menyantap sedikit demi sedikit menu sarapan yang ada di hadapannya. Ia merasa mual ketika mencium makanan yang ada di hadapannya tersebut."Kamu tidak suka menunya? Kalau tidak suka, biar pesan yang lain," kata Tio sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.Refleks Camelina pun berkata, "Tidak, kok. Saya suka, tapi tadi pagi saya sudah makan. Mungkin kalau belum sarapan, pasti ini semua habis," seloroh Camelina.Tio yang mendengar hal itu langsung tertawa kecil. Ia memperhatikan Camelina dengan intens. "Ternyata wanita ini lucu juga, dia sangat unik dan jauh berbeda dibanding wanita lain yang aku kenal selama ini," batin Tio sambil menyuap sedikit makanan ke mulut.Pada saat yang sama, Camelina mendadak mual-mual, sehingga dengan cepat ia langsung beranjak dari duduknya."Sepertinya harus ke toilet dulu!" ungkap Camelina. Ia melangkah pergi mencari toilet umum yang ada di sana. Ketika menoleh ke sebelah kanan, Tio sepasang matanya lang
Camelina yang baru memasuki mobil dengan Tio membuat Firhan langsung memasuki mobilnya. Ia tidak mau kehilangan jejak mereka demi bisa berjalannya tugas dengan baik.Sampai kini mereka belum menyadari bahwa sebetulnya ada yang menguntit mereka berdua. Camelina sempat menoleh ke arah di mana hatinya merasa seperti ada sesuatu, tetapi kemudian ia menepis kecurigaan itu. Lagi pula, siapa yang ingin tahu dan mengikutinya? Itulah yang terpikirkan dalam kepala Camelina.Mengingat bahwa dirinya tidak sepenting itu bagi orang lain, terutama suaminya yang seolah tidak menganggapnya sebagai seorang istri, Camelina berusaha menikmati waktunya di luar tanpa ada tekanan dari Ibu mertua yang selalu menyuruhnya sesuka hati, memperlakukannya dengan buruk. Bahkan, ingatan buruk itu membuat mata Camelina memerah dan nyaris meneteskan air mata kesedihan akan takdir hidupnya yang kurang beruntung."Tempatnya tidak jauh dari sini, kok."Tio menyalakan mesin mobil dan langsung tancap gas pergi. Perlahan d
"Bagaimana menurutmu? Saya merasa cocok dengan yang ini," ungkap Camelina. Ia berdiri di hadapan Tio dengan jari jemari yang saling meremas satu sama lain."Kalau memang cocoknya yang itu, kamu pakai yang itu saja," ujar Tio. Ia beranjak dari duduknya dan langsung menuju kasir. "Kita bayar dulu semuanya.""HAH! Semuanya?" Camelina refleks berkata demikian dengan sepasang mata membelalak. Ia berpikir bahwa pakaian tadi ada banyak. Sekitar tujuh potong pakaian yang diberikan kepadanya tadi dan ia rasa itu terlalu banyak."Jangan semuanya. Saya ambil yang ini saja," kata Camelina sembari menggerak-gerakkan tangannya di depan dada, seolah memberi isyarat penolakan.Namun, Tio sama sekali tidak menerima penolakan itu. "Jangan begitu. Oh ya, tunggu sebentar!" kata Tio. Ia berjalan menuju seorang pramuniaga yang ada di sana. Tio menghampirinya, Camelina melihat dari arah berjarak yang cukup jauh, dirinya melihat sepupu Aderson yang tengah berbicara dengan pramuniaga itu.Tak lama kemudian,
Pemandangan yang tidak biasa sekaligus pertama kali dilihatnya itu terlihat di depan Firhan. Yang tadinya akan menjemput Camelina malah didahului oleh sepupu Aderson.Tio berinisiatif membukakan pintu mobil dan Camelina pun masuk ke dalamnya. Ia duduk di sana. Wajah Tio sangat cerah dan bersemangat pagi ini. Ia merasa senang karena bisa mengajak Camelina pergi pagi ini."Memangnya kamu tidak pernah sarapan di rumah?" tanya Camelina. Ia merasa heran dengan Tio -- sepupu Aderson yang baru ia temui dan bahkan mereka belum saling mengenal satu sama lain.Tio menyalakan mesin mobil dan langsung tancap gas pergi setelah memarkirkannya di halaman rumah itu. "Kadang-kadang," jawabnya sambil tersenyum."Bukan cuma sarapan bersama, aku juga mau kamu menemaniku ke suatu tempat."Camelina langsung refleks menoleh dengan mata terbuka lebar hingga bola matanya seolah tampak membesar. "Ke mana?""Jangan kaget begitu. Anggap saja ini cara kamu membalas budi setelah waktu itu aku mengantarkanmu pulang
Tok ...Tok ... Tok ....Saat masih berbincang di telepon, mendadak saja suara ketukan pintu terdengar nyaring. Camelina sontak menoleh ke arah pintu itu dengan penuh tanya."Siapa itu?" gumam Camelina.Wanita tua yang sedang berbicara dengan Camelina pun sampai mendengarnya.[Ya sudah. Kita bicaranya nanti lagi saja. Mungkin itu majikan kamu.]Wanita tua itu mengerti bagaimana Camelina bekerja di rumah orang lain yang memang harus selalu siap sedia jika dibutuhkan.[Iya, Nek. Nanti aku coba hubungi lagi.]Tuutt.Usai berkata demikian, Camelina langsung mematikan teleponnya. Ia menyeka air matanya sedikit agar jangan sampai dilihat bahwa ia baru saja menangis.Perlahan, tangannya meraih gagang pintu dan langsung membukanya. "Ada yang menunggu kamu di bawah!" kata Berliana -- mertuanya.Camelina bertanya-tanya. Tetapi, kemudian ia teringat pada perkataan Aderson sebelumnya yang mana dirinya diminta untuk ikut Firhan -- Ajudan pribadi suaminya.Tanpa berlama-lama, Camelina pun kemudian
Sesaat setelah suami dan istri pertama dari suaminya berangkat. Frederick juga berangkat ke kantor. Baru kali ini lagi Camelina melihat Ayah mertuanya pergi kantor.Sebelum-sebelumnya ia memilih untuk beristirahat di rumah dan tak bekerja dahulu karena kondisi kesehatannya yang sempat memburuk. Namun, ketiadaan Frederick di rumah itu membuat Camelina khawatir karena itu artinya Ibu mertuanya pasti berbuat sesuka hati dengan mulut bawelnya. Dan benar saja, baru saja Camelina bernafas lega, ia harus menerima teriakan yang tidak mengenakan sungguh memekakkan telinga."Ngapain kamu masih di sini? Cuci piring sana! Habis makan tadi kamu malah langsung keluar tanpa memikirkan piring-piring kotor yang berserakan!" teriaknya.Camelina hanya mengangguk paham. "Iya, Ma, mau kok. Tadi saya cuma mengantar bekal suami yang ketinggalan," jawab Camelina. Ia tidak bisa diam saja ketika mertuanya berbuat sesuka hati.Sesekali, ia perlu bicara menjelaskan apa yang memang seharusnya bisa dipahami. "S
"Mas, hari ini kamu mau pulang jam berapa? Kemarin 'kan kamu pulang lebih awal," kata Sarah sembari membetulkan dasi yang melingkar di kerah lehernya."Lihat saja nanti. Yuk sarapan!" sahut Aderson sambil berkaca di depan sebuah cermin besar. Lalu, ia melangkah keluar dari kamar itu diikuti Sarah yang berada di belakang.Sementara Sarah hanya mengikuti ke mana Aderson pergi, berbeda dengan Camelina yang tengah menyiapkan bekal makan siang untuk suaminya makan nanti.Meskipun begitu, ia tetap tidak lupa menyiapkan sarapan untuk semua anggota keluarga yang ada di rumah itu. "Camelina, kamu juga makan!" ajak Frederick dengan nada ketus.Aneh. Itulah yang terbesit dalam pikiran Camelina. Ia tersenyum, lalu menyahut lembut. "Iya, saya sedang menyiapkan bekal dulu.""Sudah selesai itu. Kamu jangan banyak alasan, sebaiknya sekarang kamu sarapan!" balas Frederick.Meskipun nada bicara Frederick kasar, tetapi ia tetap menunjukkan perhatian kecilnya kepada sang menantu. "Saya menyusul saja na