Malam tiba, Camelina yang tengah memegang ponsel, tampak sekali sedang berbicara dengan seseorang membuatnya langsung terkesiap saat pintu kamarnya langsung dibuka begitu saja."Kenapa kamu tidak mengetuk pintu dulu, Mas?" tanya Camelina dengan posisi ponsel agar jauh dari telinganya. Menampilkan wajah polos.Tetapi, Aderson yang tampak berada dalam kekesalan pun membuatnya langsung menarik tangan Camelina begitu saja tanpa sepatah kata pun terlontar keluar dari mulutnya."Kamu ke mana seharian ini? Kenapa kamu malah bepergian dengan orang lain tanpa izin dulu dari saya? Kamu ini sedang mengandung, bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin yang ada di rahim kamu itu?!" cecar Aderson tanpa sedikitpun mempedulikan apa yang Camelina rasakan.Tanpa sadar, kemarahan yang terlontar keluar dari mulutnya sangat menyakiti Camelina. Camelina menggigit bibirnya seraya menahan mata yang sudah memerah menyimpan air mata dan tampaknya akan menangis."Saya cuma membalas kebaikan dia. Lagi pula,
Usai berdebat panjang dengan Camelina, Aderson melangkah pergi. Keduanya dalam posisi saling membelakangi. Camelina memasuki kamarnya kembali, sedangkan Aderson pergi ke kamarnya.Di dalam kamar sana, tengah berdiri Sarah dengan lingerie merah muda membalut tubuhnya. Ia berlenggak-lenggok menuju suaminya yang baru memasuki kamar itu.Aderson memandangi istri pertamanya dengan wajah datar, seolah tak memiliki hasrat apapun pada Sarah. Ia duduk di sofa tanpa menggubris godaan istri pertamanya yang ikut duduk dan mengelus halus dadanya."Sayang, ini kan malam jum'at. Sejak kamu menikahi wanita itu, kamu selalu sibuk dan tidak pernah lagi menyentuhku."Sarah menyandarkan kepalanya ke bahu Aderson. "Aku sangat merindukan malam-malam bersamamu, Mas ...."Dengan santai, Sarah beranjak dari duduknya. Ia mengambil gelas wine dengan sebotol wine yang telah ia persiapkan khusus malam ini."Kenapa kamu tiba-tiba ...?" tanya Aderson sembari melihat penampilan Sarah dengan tingkah genitnya.Sarah m
Setelah membiarkan obrolan itu menggantung dan Tio menaruh harapan besar padanya, Camelina mematikan telepon itu begitu saja.Tuutt.Tetapi, untuk menghindari kesapahpahaman, Camelina mengirim sebuah pesan yang isinya ....[Malam ini saya mau tidur. Kita bicarakan lagi besok. Kamu juga pasti mau istirahat kan setelah seharian bekerja.]Hanya itu pesan singkat yang Camelina ketik dan kirimkan di ponselnya. Ia menaruh ponselnya kembali di atas sebuah nakas putih yang ada di samping tempat tidurnya. Kantong belanja yang sempat ia gantungkan di paku besar itu ditatapnya. Ia memandangi benda itu untuk beberapa saat. Dirinya menghela nafas dalam-dalam tanpa tahu bagaimana ia bisa keluar dari masalah yang dihadapinya kini.Waktu sudah semakin larut malam. Camelina membaringkan tubuh langsingnya. Ia mengambil selimut untuk kemudian ia tutup ke seluruh tubuhnya, bahkan sampai rambutnya pun tak terlihat sama sekali."Sepertinya aku harus cepat-cepat melakukan sesuatu," ucap Camelina pelan.Ia
"Kalau kamu mau ikut acara itu, ikut saja, tapi jangan harap kuakui sebagai istriku di sana karena pernikahan kita pun rahasia!"Camelina tersenyum simpul. "Baiklah, terima kasih, Mas."Setelah mendapat izin itu, Camelina melangkah pergi dari hadapan Aderson tanpa sempat memberitahu bahwa sebetulnya ia akan pergi menemani Tio.Ia melangkah menuju kamar yang ditempatinya dan langsung mengambil ponsel. Lalu, ia pun menghubungi Tio yang sudah menunggu kepastian dari dirinya itu.Tio yang mendapat panggilan telepon dari Camelina itu sontak langsung tersenyum riang, tanpa berlama-lama, ia pun langsung menjawab teleponnya tersebut.[Halo?]Itulah satu kalimat pertama yabg terlontar keluar dari mulut Camelina. Ia Ing in memastikan terlebih dahulu bahwa yang berbicara dengannya sungguh-sungguh Tio bukan orang lain.[Bagaimana? Malam ini kamu bisa?] Pertanyaan singkat yang terlontar keluar via telepon membuat Camelina sudah yakin dan pasti bahwa itu memang Tio.[Iya. Saya bisa.]Tio langsung
Setelah menyetrika semua pakaian yang ada, ia pun menyerahkannya kepada Berliana yang tengah bersantai ria dengan sebuah majalah di tangannya."Ma, semua pakaian selesai disetrika dan sudah saya letakkan di lemari. Sekarang saya mau makan," ucap Camelina dengan tubuh agak membungkuk sopan.Tanpa sepengetahuan Berliana, pada kesempatan itu, Camelina juga rupanya menyetrika pakaian yang dimilikinya. Ia menyiapkan itu untuk nanti malam supaya ia dapat tampil baik dengan Tio.Tidak peduli siapa yang bersamanya malam nanti, ia hanya ia menunjukkan penampilannya yang cantik mempesona. Bukan masalah cinta atau pasangan lagi, tetapi Camelina menganggap orang yang menghargai dirinya bukan orang yang abai dan merendahkan harga dirinya.Ketika hendak mengambil pakaian miliknya yang ia taruh di meja beberapa saat yang lalu, beberapa lembar uang di bawah pakaian itu jatuh dengan sebuah kertas kecil dengan tulisan di dalamnya."Siapa yang menaruhnya di sini. Perasaan ... tadi tidak ada uang," gumam
Pesona yang terpancar dari diri Camelina membuat Aderson terdiam, seolah waktu menghentikan mereka sejenak hingga tak bergerak bahkan mereka pun tak berkedip.Sorotan matanya tampak jelas bahwa saat itu Aderson tidak dapat berpaling ke wanita lain dan hanya fokus pada Camelina. Begitu pula dengan Tio yang begitu melihat Camelina, ia mengurungkan niatnya untuk duduk.Berbeda dengan Aderson yang masih terkurung dalam egonya. Tio dengan berani langsung menghampiri Camelina dan menjulurkan tangannya untuk menggenggam wanita cantik yang saat ini ada di hadapannya tersebut."Siapa yang mengizinkanmu pergi ke luar? Pekerjaan di rumah masih banyak!" sindir Aderson, berharap Camelina mengerti dan tidak jadi pergi.Hanya saja, saat itu Camelina tidak mendengar teguran dari suaminya. "Tunggu sebentar ...!" kata Camelina kepada Tio. Ia berjalan mendekat kepada Aderson. Lalu, secara perlahan dirinya langsung membuka resleting tas yang dibawanya itu. Ia menyerahkan sejumlah uang kepada Aderson."T
Aderson langsung menarik pergelangan tangan Sarah pergi dari hadapan mereka. Ia melepaskan tangan Sarah dan kemudian berbicara di tempat yang sedang sepi. Saat itu, tempat yang ia ambil adalah dapur, kebetulan di sana sedang tidak ada siapapun, karena beberapa orang di antaranya tengah bersiap-siap pergi."Apa rencana kamu buat Camelina kali ini? Kenapa tidak membicarakannya dulu padaku?" tanya Aderson.Ia berdiri tegap dengan pandangan mengarah pada Sarah yang saat itu tepat berada di hadapannya. "Mas, tenang dulu ...." Sarah mendekat. Ia merapikan dasi suaminya. Walaupun saat itu dari Aderson sudah rapi, tetapi ia membiarkan istrinya merapikannya kembali. Ia hanya diam dengan tatapan seolah sangat menuntut jawaban dari Sarah -- Istri pertamanya itu."Sayang, kamu 'kan tahu sendiri kalau pernikahan kamu sama Camelina itu harus dirahasiakan. Itu artinya jangan sampai ada yang tahu juga kalau Camelina sedang hamil, nanti orang yang melihatnya bakal kebingungan. Mereka bakal bertanya-
Perjalanan yang sudah dilewati selama beberapa menit pun usai sudah. Tio segera menepikan mobilnya di tempat parkir khusus. Namun, rupanya di samping mobil Tio pun ada mobil Aderson yang baru sampai. Ia menepikan mobilnya di samping mobil Tio. Mata tak bisa berbohong ketika ia melirik sinis ke arah Camelina dengan pandangan tak suka melihat istrinya bersama pria lain."Aku tidak tahu cara berbagi yang sudah menjadi milikku?" batin Aderson dan diamnya.Begitu tahu bahwa Aderson melihat ke arahnya, ia langsung memalingkannya ke arah lain. "Buat apa dia melihat ke sini? Tuan muda itu, aura sombongnya selalu tampak," umpat Camelina dalam batinnya.Camelina dan Tio turun, sedangkan Sarah yang menyadari Aderson diam seraya pandangan ke arah Camelina membuatnya langsung menepuk halus pundak suaminya itu."Mas, kamu kenapa? Ayo kita turun!" ajak Sarah.Melihat tamu undangan yang sudah berdatangan, Sarah khawatir kalau dirinya datang terlambat dengan Aderson. Sedangkan, Aderson-lah yang me
"Mana mungkin buang air selama ini!" sergah Sarah, tidak setuju dengan pendapat Tio. Camelina fokus makan pesanan sebelumnya yang memang sudah ada di meja makan. Ia tak mendengar segala keresahan Sarah karena dirinya berpikir bahwa itu bukan urusannya. "Kalau dia tahu aku bersama Mas Aderson, dia past akan sangat murka, aku yakin itu," batin Camelina. Ia menghentikan kunyahannya sejenak dan terbuai pada pikirannya selama beberapa detik lamanya.Baru saja Camelina selesai mengatakan demikian dalam hatinya, Aderson kembali ke meja itu. Ia berdiri di depan Sarah sambil berkata, "Makannya sudah selesai, 'kan? Aku antar kamu pulang!" ungkapnya.Tanpa sedikitpun melirik ke arah Camelina, bahkan saat Camelina melirik ke arah suaminya. Aderson pergi begitu saja, Sarah yang melihatnya berjalan lebih dulu, membuat ia bergegas menyusul."Kenapa cepat-cepat pulang?" tanya Sarah. "Aku harus ke kantor. Kalau kamu masih mau disini, berarti kamu pulang sendiri."Aderson tidak pedulikan apapun, ia
"Kenapa kamu memilih pekerjaan dibanding uang?" Aderson masih tidak paham dengan pola pikir wanita yang ada di hadapannya. Wanita aneh yang sangat sulit didekati dan tak bisa ditebak sama sekali."Kalau tidak mau memberikannya tidak masalah. Tapi ..., saya tidak menyangka kalau hal sesederhana itu saja ternyata tidak mampu diberikan."Kalimat yang terlontar keluar dari mulut Camelina saat itu membuat Aderson merasa tertantang untuk membuktikan bahwa dirinya tidak seperti yang Camelina katakan.Aderson ingin membuktikan bahwa perkataan Camelina sangat keliru. "Kamu sedang hamil. Nanti bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan janin itu? Apa kamu sanggup mempertanggungjawabkan semuanya?" balas Aderson.Camelina terdiam sejenak, lalu setelah itu kembali bicara. "Kehamilan dan pekerjaan tidak bisa disangkut pautkan! Tidak ada hubungannya sama sekali!"Tekad yang kuat membuat Camelina tampak keras kepala di kata Aderson. Tetapi, karena hal itu pula suaminya kewalahan dan tak mampu membuat C
"Kamu kenapa, Melina? Apa kamu lapar?" tanya Tio. Ia menepuk bahu Camelina, hingga terbangun dari lamunannya. Sadar bahwa air matanya sempat keluar, ia menyekanya segera. Namun, Tio yang sudah memperhatikan Camelina diam sejak tadi melihat sendiri matanya yang basah dan bekas air mata mengalir. Camelina tidak menyadari keberadaan Tio karena terlalu hanyut dalam pikiran yang terus dihantui oleh kesedihan. "Yuk, kita sarapan dulu!" ajaknya. Camelina memang merasa lapar. Ia tidak menolak. Ketika Tio bangkit dari duduknya, Camelina juga ikut berdiri. "Di bawah ada makanan yang enak. Kita sarapan di sana saja!" "Iya," sahut Camelina dengan lirih. Ia terus menyeka bekas air mata yang sempat terjun ke pipi itu. Tio membantunya menyeka air matanya. Mereka menaiki lift. Di sana pun Camelina hanya diam. Tidak banyak bicara dan sesekali meng'iya'kan tawaran yang dilontarkan Tio kepadanya. Sementara Aderson, ia yang sudah berada di sebuah cafe di bawah. Dirinya duduk menyantap
[Kamu di mana, Mel? Tadi malam aku ke rumah, tapi tidak ada.] Pertanyaan singkat dalam sebuah pesan yang baru Camelina buka saat itu.Saat hendak mengetik, Aderson melirik ke arah ponsel Camelina. Tetapi, Camelina menjauh dan mengetik tanpa diketahui sang suami mengenai apa yang diketiknya pada pesan tersebut.[Aku sekarang ada di rumah sakit hampera. Hah, kamu ke rumah? Serius?]Pesan itu pun dikirimnya. Baru beberapa detik terkirim, balasan pesan pun datang lagi hingga suara notifikasi pesan kembali terdengar di telinga, baik itu Camelina maupun Aderson -- suaminya.[Iya. Harusnya kamu bilang ke aku kalau kamu lagi di rumah sakit. Sekarang aku kesana, tunggu, ya!]Tio saat itu mengira bahwa Camelina yang sakit, sehingga tidak bertanya yang lainnya lagi. Ia pergi membeli buah-buahan untuk Camelina."Dia sakit apa, ya?" gumam Tio dalam diamnya.Setelah tahu bahwa Tio akan datang ke sana, Camelina memasukkan kembali ponselnya. Ia mencari toilet terdekat karena belum mencuci muka, s
"Mas, mau sarapan sama apa, biar aku yang siapkan?" tanya Sarah. Ia coba berbaik hati setelah tadi mengomeli suaminya.Namun, Aderson yang fokus mengancingkan bajunya dan merasa sudah siang, tidak mempedulikan lagi sarapan di rumah."Aku sarapan di luar saja. Sekalian mau ke rumah sakit sebentar. Kamu mau ikut jenguk Mama?" "Ikut, Mas. Aku sudah rapih."Sarah memperhatikan suaminya yang tengah sibuk dengan dirinya sendiri. "Aku memang tidak ada niat memasak juga. Malah, gara-gara wanita itu tidak ada disini, aku juga harus sarapan di luar," batin Sarah dalam diamnya.Setelah siap, Sarah memegang lengan Aderson. Ia berjalan mengikuti suaminya. "Mas, kamu kenapa tidak bilang dari awal kalau Mama dan Papa kena musibah. Oh iya, tadi .... Untuk tadi aku minta maaf karena langsung menginterogasi kamu dengan pertanyaan."Aderson menoleh. "Lain kali tanya dulu sebelum curiga."Sarah kemudian teringat pada Camelina yang belum pulang sampai pagi ini. "Mas, Camelina di rumah sakit juga?""Iya.
Malam dingin tak dapat dihentikan. Kali ini, Camelina tidak menolak apapun yang ditawarkan Aderson kepadanya. Seperti jas yang bisa menghangatkan tubuhnya."Aku tidak bisa tidur nyenyak," gumamnya.Camelina membuka matanya setelah beberapa saat mencoba memejamkan matanya agar bisa istirahat dari penatnya kegiatan."Tidurlah nanti di rumah," kata Aderson. "Saya juga akan pulang dahulu."Refleks Camelina menoleh. "Lalu, yang menunggui mereka siapa?" tanya Camelina.Aderson terdiam sejenak. Hari ini adalah hari dimana dirinya akan sangat sibuk. Banyak pekerjaan yang harus ia urus dan ....Pria itu memeriksa ponselnya sejenak. Ia baru ingat bahwa terlalu fokus dengan orang tuanya, hingga melupakan ponselnya yang mungkin saja ada pesan atau telepon yang tak sengaja ia abaikan."Sebentar ...."Aderson membuka pesannya. Ia melihat ada beberapa pesan yang menumpuk dan sekitar lima panggilan yang tak terjawab dari Sarah.Setelah membaca pesan sebentar, ia berdiri dan kemudian bergegas pergi.
Jas itu dikembalikan pada Aderson yang tengah duduk dengan mata terpejam dan kedua tangan terlipat di dada. Ketika Camelina kembali pada posisi duduk sebelumnya, Aderson membuka salah satu matanya perlahan. Bibirnya menyungging. Ia tahu bahwa Camelina yang menaruhnya, karena sebetulnya tidak sungguhan tidur. Ia hanya tidak tahu bagaimana bersikap ketika Camelina bangun, dirinya juga merasa gengsi untuk mengatakan bahwa ia yang menaruh jas miliknya di tubuh Camelina."Kamu belum makan, makanlah!" ujar Aderson seraya menyodorkan plastik yang berisi kotak makanan kepada Camelina. Sontak, Camelina menoleh kebingungan. "Aku pikir dia tidur. Apa tadi dia pura-pura dan tahu kalau aku menaruh jas itu padanya?" batin Camelina dengan mulut sedikit terbuka."Apa ini?" tanya Camelina. Kantong plastik itu berwarna putih, ia tidak tahu apa lagi yang dibawa Aderson dan diberikan padanya. "Tidak perlu repot-repot."Aderson merasa Camelina menolak pemberiannya secara halus. Tetapi, ia tidak menyer
"Nak, Mama mau bertemu sama Papa kamu," pinta Berliana yang baru tersadar bahwa ia tengah berada di rumah sakit dan sejak kejadian yang terbayang di kepala itu; ia belum melihatnya lagi."Iya, Ma. Papa ada di sebelah Mama," kata Aderson.Sekalian, Aderson juga belum menemui Ayahnya. Ia memilih untuk menemui Ibunya terlebih dahulu.Aderson menoleh ke arah Camelina, Camelina paham betul. Camelina melihat kesana kemari seperti tengah mencari keberadaan sesuatu."Mas, tapi tidak ada kursi roda di sini," ungkap Camelina setelah memastikan keadaan di ruangan itu.Sampai perawat datang ke ruangan itu ....Sontak saja, Aderson pun bertanya kepada perawat yang datang itu. "Boleh saya pinjam kursi rodanya, Sus?" "Untuk saat ini, pasien belum boleh turun dari ranjang. Masih perlu waktu dua minggu sampai keadaannya sedikit membaik.""Baiklah. Terima kasih, Sus."Perawat itu menaruh makanan dengan obat yang harus diminum malam ini di nakas pasien. "Makan dulu, lalu minum obatnya. Nanti yang bole
"Kamu mau apa ke sini?" tanya Sarah, kebingungan.Bagaimana tidak bingung, ini sudah malam dan dirinya merasa bahwa keluarga itu tidak ada urusan apapun dengan Tio. Ditambah lagi, biasanya Tio tidak pernah datang larut malam seperti itu. Hanya kali ini saja ia melihatnya."Kalau kamu cari wanita itu, kamu kembali besok lagi saja. Malam ini tidak ada."BRAK!Sarah menutup pintu itu kembali karena merasa tidak ada sesuatu hal yang penting. Akan tetapi, begitu membalikkan badan, Sarah terdiam sejenak. "Benar juga," gumamnya. Ia berbalik kembali ke pintu.Krieett! Pintu itu dibukanya kembali."Oh ya, mau apa?" tanya Sarah. "Besok saja. Tidak jadi."Setelah mendengar pernyataan Sarah sebelumnya, Tio memilih pulang saja karena menurutnya tidak ada gunanya ia membicarakan tujuannya dengan Sarah. Sebab, niatnya adalah ingin bertemu sekaligus membicarakannya dengan Camelina langsung."Tapi .... Camelina pergi ke mana?" tanya Tio, sebelum meninggalkan rumah itu."Tidak tahu. Memangnya aku Mam