Masih berada di tempat yang sama. Keseruan mereka terus berlanjut, akan mencicipi makanan yang ada di sekitar sini.Shanaya juga sangat antusias, tak mengenal lelah walaupun sudah berjalan kaki sedari tadi. Bahkan, sang istri tampak asik sendiri. Farraz hanya bisa mengikuti, kemana arah Shanaya pergi.Hingga mereka tiba di salah satu tempat, untuk menikmati makan malam. Supaya tidak terlalu lapar saat kembali pulang."Rasanya lututku akan keropos terlalu lama berjalan. Ini menyenangkan, dan juga melelahkan," keluh Shanaya. Menggerakkan kaki jenjangnya lantaran pegal.Wajar saja Shanaya pegal, wanita itu sangat aktif menjelajahi Raja Ampat ini. Ingin mengajaknya pulang pun tidak tega, karena Shanaya asik dengan dunianya."Duduk dan makan dulu. Energimu terkuras karena terlalu aktif dari tadi. Kau malah asik sendiri, sampai lupa suami juga ada di sini," cibir Farraz. Liburan yang dia inginkan itu menikmati waktu bersama-sama, diisi obrolan dan candaan antara mereka. Bukan seperti sekar
Dengan memakai cara yang ia tahu, Shanaya terus merangsang hasrat birahi sang lelaki. Wanita yang berara di atas tubuh suaminya itu terus bergerak, menjamahi tubuh Farraz yang sudah telanjang. Farraz refleks menjambak, memekik nikmat saat Shanaya bergerak lincah, mengabsen dan membungkam bibirnya dengan ciuman menuntun, namun sedikit kaku."Shh ... kejutan morning seks ini lebih indah dari yang aku kira," desah Farraz, mendesis saat Shanaya melepaskan tautan di bibirnya. Napasnya kembang kempis itu menghirup udara, agar masuk ke dalam dada.Shanaya kewalahan, menghentikan badannya yang sudah dibanjiri peluh keringat. "Aku sudah tidak tahan, Sha."Dengan gerakan cepat, Farraz menghempaskan tubuh Shanaya sedikit kasar, hingga wanita itu terbaring di sampingnya. Tak mau berlama-lama mencapai puncak nirwana, Farraz menindih tubuh istrinya dan membungkam mulut istrinya dengan ciuman panas.Sebelah tangannya diarahkan, membuka paha Shanaya lebar-lebar. Guna memberikan akses untuk memudahka
Semenjak dinyatakan hamil, Farraz mulai mengurangi kesibukannya di kantor. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama dengan Shanaya, yang selalu ngidam di trimester pertama ini. Untung saja, sang istri tidak pernah ngidam aneh-aneh.Dia sering mendengar, ada juga wanita hamil yang ngidamnya di luar nalar. Ia bisa bernapas lega, jika Shanaya tak meminta yang tidak-tidak. Masih dibatas wajar."Usia berapa bulan perutmu menonjol?" tanya Farraz. Anteng menumpu kepalanya dengan sebelah tangan, sebelah tangannya mengusap perut istrinya yang masih rata."Kisaran 3 atau 4 bulanan paling, Mas. Itu pun janin masih belum terbentuk sempurna," jawab Shanaya, menyugar rambut hitam suaminya.Farraz manggut-manggut saja, karena dia tidak tahu. Saat diperiksa ke Dokter kandungan, Shanaya usia kehamilan Shanaya sekitar 4 bulan.Dia tidak sabar, untuk melihat perut istrinya yang membesar. Rasa bahagia itu terus melingkupi dua insan yang memang menanti buah hati."Jaga pola makanmu, Sha. Jangan makan se
Langkah Farraz mulai memasuki Rumah Sakit. Ia berjalan disepanjang lorong menuju lantai dua, tempat ruangan Grisella dirawat. Farraz tidak sabar, untuk bertemu dengan wanita yang sudah lama mengisi hatinya.Sesampainya di sana, Farraz melihat ada Dokter Liam yang hendak masuk ke dalam sana. Namun, mendengar langkah kaki mendekat. Dokter Liam mengurungkan niatnya.Dokter muda itu menoleh, ke arah sumber suara. Dimana, ada kedatangan Farraz ke sini, atas perintahnya."Selamat sore, Pak Farraz," sapa dr. Liam.Farraz mengangguk singkat, menerima jabatan dari Dokter yang sudah lama ini ia percayakan merawat Grisella."Bagaimana keadaan istriku? Katamu ada hal yang ingin kau sampaikan," tanya Farraz to the point. Dia ingin segera mengetahui, ada kabar apa, sehingga dr. Liam memanggilnya kemari.Dr. Liam membenarkan kacamata minesnya, lantas membuka pintu untuk masuk. "Akan saya jelaskan di dalam, Pak Farraz. Saya akan melakukan pemeriksaan terlebih dahulu."Dua pria berbeda generasi itu me
Selama proses kehamilan, Farraz tidak membiarkan Shanaya beraktivitas terlalu berat. Tak terasa, kehamilan istrinya sudah berusia 4 bulan, memasuki trimester kedua.Di usia kandungan ini, Shanaya tidak lagi merasakan mulai seperti sebelumnya. Nafsu makan Shanaya jadi bertambah, sampai berat badannya pun naik.Kecantikan wanita itu tetap terpancar, walaupun perutnya sudah menonjol. Bagi Farraz, Shanaya jauh lebih sexy disaat hamil. Penampilan istrinya selalu mempesona, sehingga ia muda tergoda."Mas ... sepertinya badanku gendutan ya?" Shanaya membuka suara, setelah sekian menit hanya keheningan diantara mereka.Farraz yang sedang mengetik di laptop menghentikan jarinya, lalu beralih menatap Shanaya yang sedang berdiri dipantulan cermin. Mengamati penampilannya yang berbeda, Shanaya merasa, dia lebih berisi."Tidak, kehamilanmu 'kan sudah 4 bulan, Sayang. Wajar saja jika kau agak gendutan," balas Farraz, kedua sudutnya menerbitkan senyum tak kentara. Saat Shanaya selalu mempertanyakan
Rupanya, hal itu bukan dirasakan oleh Farraz saja. Tetapi Shanaya juga. Berbulan-bulan tidak disentuh, membuat Shanaya menyetujui permintaan suaminya.Shanaya mengulum senyum di bibirnya, lalu mengangguk malu-malu. Farraz yang tadinya lesu, kedua matanya berbinar. Karena hasratnya ingin disalurkan.Sudah sejak lama ia menahan, meskipun penampilan Shanaya sangat menantang. Akhirnya ia bisa mendapatkan ia nanti dari lama."Tapi aku bersihkan make up dulu," kata Shanaya."Aku tunggu."Dengan sabar, Farraz menunggu Shanaya yang menghapus polesan riasan di wajahnya. Daripada menunggu secara percuma, Farraz membuka kemeja putihnya supaya mempersingkat waktu."Sudah, Mas," Shanaya bangkit dari hadapan meja riasa, lalu berjalan ke arah Farraz yang langsung mengangkat tubuhnya ala bridal style.Tubuhnya dibaringkan dengan hati-hati, seolah tak mau menyakiti istri dan buah hati. Farraz menindih setengah tubuh Shanaya, ia jadi was-was, takut perut istri sakit."Pelan ya Mas, aku agak takut seben
Shanaya mengurut pelipisnya, rasa pusing mendera karena dirinya tidak bisa tidur semalaman. Berharap, Farraz pulang. Nyatanya yang ditunggu tak datang.Kantung matanya terlihat hitam, menyisakan kantuk yang tertahankan. Di meja makan, Shanaya menolak makan. Ia kekeuh menunggu Farraz."Non Shanaya, lebih baik sarapan dulu, habis itu istirahat. Anda 'kan sedang hamil, Non. Begadang tidak baik untuk wanita hamil," ucap Alya, memberikan wejangan pada sang Nyonya. Meski dia belum menikah, dia sedikit tahu soal ini."Nanti saja, Al. Aku ingin menunggu Mas Farraz, Baby menolak makan," kata Shanaya.Alya tidak bisa memaksa, dia hanya memberikan hal yang ia tahu saja. Apalagi kandungan Shanaya semakin besar, pastinya butuh perhatian dari Tuannya."Mau saya buatkan susu saja, Non?"Shanaya pun membalasnya dengan anggukan. Lalu Alya membuatkan susu ke dapur. Menyisakan Shanaya seorang diri di sini.Mendengar deru mesin, kepala yang tadinya tertundu, kini terangkat. Mata sayunya berbinar kentara,
Farraz terdiam, mendadak jadi mati kutu diberikan pilihan seperti itu. Meskipun dia mencintai Grisella, Farraz juga sudah mencintai Shanaya. Ini terlalu sulit untuk memilih. Jika bisa, dia tidak memilih salah satu diantaranya. Karena keduanya sama-sama penting.Farraz menarik napas dalam-dalam. Dia menatap lembut pada Grisella yang terpuruk, wajah cantiknya meredup, terhalang oleh basanya air mata yang terus mengalir.Sungguh, Farraz tidak berniat menyakiti istrinya di hari kepulangannya."Mas tidak bisa memilih, Sel. Ini terlalu sulit buatku jika harus begitu." Hanya itu yang mampu Farraz katakan. Sisa unek-uneknya tertahan di tenggorokan."Mengapa? Apa kau mencintai wanita jalang itu? Jika memang iya, kau ceraikan saja aku!" hardik Grisella. Tidak suka, jika Farraz memilih dua wanita.Padahal, Grisella berharap, Farraz hanya memilihnya saja. Terlepas dari pernikahaan paksaan dan pilihan Ayahnya. Ia hanya ingin, Farraz menjadi miliknya, dan menjadi istri satu-satunya."Dia sedang men
"Maaf, Pak. Pak Nick mengatakan jika rapat dipercepat, saya sudah menyiapkan tiket pemberangkatan dua hari lagi," ujar sekretaris Arash mengabarkan perubahan jadwal kerja.Arash hanya bisa mengiyakan saja, tanpa membantah sama sekali. Biarkan saja sang sekretaris yang menghandle urusannya, Arash ingin menghabiskan waktu bersama anak dan istrinya sebelum pemberangkatan.Ia memasukkan ponsel ke dalam saku celana, kemudian kembali ke dalam kamar. Sengaja menghindar, agar Shiena tidak mendengar obrolan ini.Bisa-bisa Shiena bertambah marah saat tahu jadwal dipercepat. Shiena selesai menidurkan Keivandra, perempuan itu tampak kelelahan karena menyusui seharian."Kapan kau berangkat, Mas?" tanya Shiena, perlahan menarik puting payudaranya agar terlepas dari mulut Keivandra.Ditanyai seperti itu, Arash diam sejenak. "Tadi sekretarisku menghubungi."Wajah Shiena mendongak, menatap suaminya. "Terus kapan?""Ternyata jadwal dipercepat, aku akan melakukan pemberangkatan tiga hari lagi," kata Ara
Akira menunggu seseorang untuk menjemputnya. Gadis kecil itu sedang duduk di kursi depan sekolah seorang diri. Karena temannya yang lain sudah ada yang pulang, hanya menyisa beberapa saja dari mereka.Entah ke mana kedua orang tuanya, sampai sekarang belum menjemput. Akira hanya bisa mengerucutkan bibir kesal, luka di kakinya membuat dirinya sakit saat berjalan."Mommy dan Daddy ke mana, sih? Kok lama banget!" gerutu Akira.Dari arah gerbang sana, terlihat seorang dewasa yang melihat ke arah Akira yang sendirian di sana. Tidak tega membiarkannya, wanita tersebut lantas menghampiri."Boleh nggak Tante ikut duduk?" tanya wanita asing itu. Dia memiliki paras cantik, membuat Akira jadi mencuri-curi pandang ke arahnya.Akira jadi teringat nasihat kedua orang tuanya untuk tidak mudah dekat dengan orang asing. Dengan cepat ia menggeser tubuh untuk menjauh.Heran karena Akira tiba-tiba menjaga jarak, wanita tersebut hanya bisa terkekeh pelan."Jangan takut, Tante bukan orang jahat kok. Tante
Shiena kembali ke rumah dengan kegundahan di hatinya. Panggilan dari Arash saja tidak ia dengarkan, ia masih tidak menyangka akan hamil anak ke tiga.Arash berlari untuk mengimbangi langkah Shiena yang sudah menjauh ke dalam sana."Sayang, tunggu aku!" teriak Arash terus memanggil-manggil.Namun nihil, Shiena bahkan tidak mempedulikannya dan tetap berjalan menaiki tangga.Shanaya dan Farraz yang sedang mengasuh Keivandra pun melirik ke arah anaknya yang mengajar istrinya."Ada apa, Nak?" tanya Shanaya menghentikan langkah Arash.Napas Arash tersengal-sengal, ia menetralkan degup jantungnya yang tak karuan. Kemudian menghampiri mereka."Entah ... Shiena marah karena tahu dia sedang hamil," kata Arash.Sepasang mata Shanaya dan Farraz membola, terkejut mendengar kabar bahwa menantunya sedang mengandung lagi.Yang membuat kaget, anak mereka saja yang kedua baru berusia beberapa bulan."Ya sudah. Kau bujuk saja istrimu, lain kali pakai pengaman kalau mau berhubungan. Atau kalau perlu puas
Pagi ini, Shiena dan Arash dengan kompak mau mengantarkan Akira ke sekolahnya. Kebetulan juga, letak TK tak begitu jauh dari rumah.Arash juga sedang tidak terlalu sibuk, sehingga ia bisa bersantai. Toh, selagi ada waktu sebelum masuk jam kerja."Kalian mau nganter Rara?" tanya Shanaya. Lebih sering tinggal di sini, sekalian membantu Shiena mengurus anak-anak.Sementara Raisa dan Mark, mereka tinggal di luar negri dan pulang hanya sebulan sekali. Beruntung ada Shanaya, bisa membantu Shiena.Karena Akira ini memang susah dekat dengan orang, dulu pernah menyewa babysitter tetapi tak berlangsung lama."Iya, Mom. Rara ingin kami yang mengantar," jawab Shiena. Wajahnya masih terlihat lelah, Shanaya tahu itu."Oh ya sudah, Kevan bersama Mommy saja. Kalian pergilah." Shanaya mengambil alih Keivandra dalam gendongan menantunya. "Kalian tidak mau sarapan?"Arash melirik pada Shiena yang masih merasakan kantuk. "Mau sarapan dulu?"Kepala Shiena menggeleng, dia tidak selera makan, bawaanya mulai
"Nghhh, Masshh.""Ahh, Mas!""Kevan nangis tuh!"Di bawah kuasa suaminya, Shiena menahan desahan agar tak keluar saat Arash masiu masih sibuk meliuk-liukkan tubuhnya di atasnya.Suara tangisan bayi, membuat aktivitas dua insan itu terhenti dan melepaskan diri dengan peluh keringat membasahi."Cup, cup. Anak Mama jangan nangis, Nak," bisik Shiena, sembari menyusui anak bungsunya yang langsung tenang.Satu tahun sudah berlalu. Kehidupan rumah tangga Shiena dan Arash sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Mereka juga semakin harmonis, hanya ada cekcok biasa saja.Kini keduanya sudah dikaruniai seorang anak perempuan dan laki-laki. Anak bungsu mereka diberinama Keivandra Asrawijaya. Kini usianya sudah memasuki 3 bulan.Akira juga sudah tumbuh dewasa, bahkan sudah masuk TK. Kehidupan mereka tampak lebih bahagia dengan kehadiran anak-anak mereka."Kevan udah tidur lho, Sayang," bisik Arash, menunggu dengan sabar Shiena yang sedang menidurkan si bungsu.Shiena memutar bola mata malas, Arash
Shiena merasa penasaran, karena Arash memilih beberapa pakaian di dalam lemari bajunya. Dia bilang, katanya ingin mengajaknya makan malam bersama yang lainnya.Pasalnya Arash bilang secara mendadak, tidak merencanakan dari awal jika memang ada acara seperti ini."Tumben sekali tidak memberitahuku dari awal kalau akan makan, kenapa mendadak sekali?" tanya Shiena, pasrah saja saat Arash memilah baju yang cocok untuk istrinya.Meresponnya, Arash hanya menerbitkan senyum saja. "Tidak mendadak, Sayang. Aku hanya lupa menyampaikannya," elaknya.Padahal hari ini Arash berencana untuk mengajak istrinya bertemu dengan ayah biologisnya, sesuai rencana yang mereka susun sebelumnya.Tentun tanpa sepengetahuan Shiena, agar menjadi kejutan nantinya."Mangkannya jangan bahas ranjang mulu yang dipikiranmu, jadinya lupa seperti itu," cibir Shiena.Mau bagaimana lagi, urusan ranjang sudah menjadi kebutuhan biologisnya."Ssstt, diam saja, Sayang. Bibirmu ingin kusumpal agar bisa diam?" ancam Arash, dian
Meskipun ada keraguan di hati Raisa untuk menerima kehadiran Mark, dia menyuruh pria bule itu masuk ke dalam rumahnya karena ingin menjelaskan sesuatu padanya.Mereka duduk di kursi yang berbeda, dengan posisi berhadapan dan dilingkupi kegugupan. Mark terus menilik Raisa yang tetap cantik di usianya, sedangkan Raisa lebih banyak diam dan menunduk.Mark menerbitkan senyum hangat, bisa bertemu dengan Raisa setelah sekian tahun berpisah. "Kau tidak jauh beda, kau tetap cantik, Sa," puji Mark.Bulu mata Raisa mengerjap-ngejrap, menormalkan degup jantungnya seolah akan gempa. "Ah, ya—maksudku tidak juga. Aku tetaplah wanita tua. Cepat jelaskan yang ingin kau katakan padaku."Kekehan kecil terdengar, Mark masih ingin memeluk tubuh Raisa dalam waktu yang lama. Selama masa penantian dirinya mencari Raisa hingga bisa bertemu dengannya."Tidak ingin melepas rindu dulu?" kekeh Mark, menggoda mantan kekasihnya yang mulai merona akibat ulahnya.Sadar jika kini bukan lagi anak muda, yang akan luluh
Mobil yang mereka kendarai sudah tiba di pekarangan rumah besar dan mewah, yang lain dan tak bukan adalah rumah milik Raisa. Semenjak tahu dia adalah ibunya Shiena, Shiena sudah beberapa kali datang dan menginap, menemani Raisa yang tinggal sendirian.Dikabari Shiena akan datang ke rumah, Raisa mengosongkan jadwalnya untuk menyambung anak, menantu dan cucunya hari ini. Di depan terasa, terlihat seorang wanita paruh baya tampak antusias dengan kedangan mereka.Raisa melambaikan tangan, saat Akira menyapa neneknya terlebih dulu. "Nenek Isa!" sapa Akira kepada neneknya yang awet muda dan tampil cantik, tak jauh beda dengan Shanaya."Cucu Nenek Isa cantik sekali, kau benar-benar mirip Daddy-mu."Mereka bersalaman dan berpelukan, masuk ke dalam rumah dan lanjut mengobrol."Menginaplah dulu, Mama merindukanmu, Sayang," pinta Raisa pada putri semata wayangnya.Tidak ada jarak dan rasa sungkan bagi keduanya, mereka semakin dekat seperti anak dan ibu pada umumnya."Nanti aku datang lagi, Ma.
Senang mendengar kabar kehamilan Shiena yang kedua, pasalnya ini yang diinginkan Arash sejak lama. Siapa sangka, jika Shiena membeberkan berita bahagia ini.Hatinya terus bersyukur, karena kebahagiaannya terkabul satu persatu. Shiena ikut menangis bahagia, bisa mewujudkan keinginan Arash dan juga Akira."Selamat ulang tahun, Mas. Ini hadiah ulang tahun untukmu. Semoga kau suka," ucap Shiena, menunjukkan testpack bergaris dua pada suami.Arash melihat hasilnya. Benar, Shiena tengah positif hamil. Benar-benar membahagiakan, hadiah terindah yang Arash dapatkan."Terima kasih, aku sangat senang, Sayang," ungkap Arash, tidak membiarkan pelukan itu terlepas begitu saja.Di umurnya yang menginjak 28 tahun, dia sudah menjadi seorang ayah dari 2 anak. Ditambah istrinya masih sangat muda, bisa dibayangkan, jika mereka memiliki banyak anak nantinya."Aku gugup sekali, saat ingin memberitahumu. Aku baru ingat ulang tahunmu sebentar lagi. Jadi ... aku berpikir, menghadiahkan ini."Dua insan yang t