Neya duduk termenung, sikunya menyangga di pangkuan dengan kedua tangan yang menutup wajah. Dewa baru saja mengobrol dengan salah satu pengurus Komunitas Rhesus Negatif di Sydney, sedangkan Vera saat ini harus mendapatkan perawatan akibat terlalu syok.Ilham juga saat ini sudah di rumah sakit dan menemani istrinya di salah satu ruang perawatan, sambil terus mencari informasi stok darah. Sebenarnya, dia juga memiliki golongan darah rhesus negatif, tapi kondisi kesehatannya tidak memungkinkan untuk melakukan donor darah.Mereka berusaha mendapatkan pendonor. Namun, belum ada harapan sama sekali. Dan mereka harus tetap menunggu sembari terus berkomunikasi dengan Komunitas Rhesus Negatif, yang mencoba menghubungi lebih banyak anggota lainnya.Tiba-tiba saja, seorang perawat mendekat, membuat mereka akhirnya mendongak. Di depan mereka saat ini, tampak seorang perawat berdiri sembari memegang satu papan kayu yang menjepit beberapa kertas di atasnya."Keluarga pasien atas nama Hazel Ghavizar
"Maafkan aku, Ney," ucap Elvan dengan suara parau, menyiratkan rasa penyesalan yang tergambar jelas di wajah.Wanita itu tak menjawab, dadanya begitu sesak mengingat lima tahun terakhir yang dia lalui. Bahkan, setelah kejadian itu, Neya harus dibawa ke rumah sakit akibat kontraksi mendadak yang dia alami. Air ketubannya bahkan pecah tak berapa lama setelah Elvan pergi. Kondisi tersebut, mengharuskan Neya untuk melahirkan secepatnya. Dewa pun menghubungi Vera, dan wanita itulah yang mendampingi Neya saat kontraksi di rumah sakit. Dan untungnya, usia kehamilan Neya sudah memasuki waktu yang cukup untuk melahirkan.Ingatan Neya kembali pada beberapa tahun silam, kala itu suara tangis bayi terdengar nyaring menggema di ruang persalinan. Rasa sakit yang begitu dahsyat, serta rasa lelah seakan semua telah sirna saat Neya melihat seorang bayi mungil yang kini sedang dibersihkan oleh beberapa orang perawat yang turut membantu persalinannya. Vera memeluk erat Neya yang masih terbaring lemah
Elvan menoleh pada Neya yang saat ini sedang tersenyum sinis serta menatap ke arah pintu ruang operasi. Elvan pikir, kata maaf yang sudah terucap diantara mereka berdua bisa menghapus segala hal buruk yang pernah terjadi. Namun ternyata, memang tidak semudah itu. Setelah mendengar perkataan Neya, Elvan pun baru menyadari perkataannya beberapa tahun silam, ternyata begitu membekas di hati wanita tersebut. Kata yang terucap dengan segenap emosi dalam diri itu, seakan terpatri dalam relung hati terdalam Neya."Maafkan aku, Ney. Maaf waktu itu aku udah berpikiran buruk sama kamu.""Bukannya aku udah bilang ini semua bukan sepenuhnya salah kamu, Mas? Aku cuma mau mengingatkan kalau Hazel itu adalah anak dari Mas Dewa seperti yang kamu tuduhkan dulu.""Maaf, tapi nggak kaya gitu Ney. Sekarang aku ...." Elvan tak lagi melanjutkan kalimatnya, ketika Neya mulai berjalan menjauhi mereka, wanita itu seolah mengabaikan apa yang dikatakan oleh Elvan."Sudahlah, beri dia waktu. Yang dia butuhkan h
"Elvan, sebenarnya sejak Neya memegang perusahaan kita, banyak yang tidak menyetujuinya karena dia seorang perempuan. Mereka tidak suka dipimpin oleh wanita. Padahal, papa meminta Neya untuk memegang perusahaan tersebut, bukan hanya karena dia menantu papa ataupun ibu kandung dari Hazel. Namun, karena papa tahu dia punya kemampuan.""Punya kemampuan?" sahut Elvan, keningnya mengernyit, awalnya dia pikir keputusan Ilham menyuruh Neya untuk memegang perusahaan tersebut, karena Neya masih berstatus istrinya, sekaligus ibu kandung dari Hazel. Namun, sepertinya tidak hanya sebatas itu semata."Ya, dia memang punya kemampuan. Awalnya, kami menyuruh Neya melanjutkan kuliah, untuk mewujudkan mimpinya yang ingin memiliki pendidikan tinggi, sekaligus agar pikirannya teralihkan, dan tidak terus-menerus merasa depresi. Namun, ternyata dia sangat menonjol. Bahkan, Neya pun menjadi lulusan terbaik di angkatannya. Ketika papa meminta dia memegang kendali perusahaan, laba perusahaan semakin meningka
Elvan mengetuk-ngetuk jemarinya ke atas meja, menatap cemas pada Aileen yang saat ini ada di atas brankar, dengan alat USG di atas perutnya. Saat ini, mereka memang sedang berada di ruangan dokter kandungan setelah beberapa saat yang lalu, Aileen menghubunginya, dan meminta menemani ke rumah sakit.Awalnya, Elvan yakin jika hal tersbut, hanya sebatas mencari perhatian sebagai upaya untuk mempertahankan pernikahan dengannya. Karena, Elvan pun yakin jika Aileen pasti sudah tahu dirinya telah bertemu dengan Neya, dan mengetahui siapa Hazel sebenarnya.Akan tetapi, setelah berada di rumah sakit, Elvan khawatir jika dugaan kehamilan yang dirasakan Aileen itu benar. Apalagi, tak ada raut cemas dan takut di wajah wanita cantik itu saat berhadapan dengan dokter yang menanganinya."Lihat Tuan. Titik ini, pertanda adanya janin di dalam rahim Nyonya Aileen."Jantung Elvan seakan berhenti berdetak mendengar penuturan dokter kandungan tersebut. "Ja-jadi, istri saya sedang hamil, Dok?" tanya Elvan
Aileen berjalan sembari mengamit lengan Elvan. Senyum manis tak pernah lepas di bibirnya sejak pulang dari rumah sakit. Sedangkan Elvan, laki-laki itu tampak begitu tenang, sesekali dia membalas perkataan Aileen sembari melontarkan candaan mesra. Meskipun hal yang dia lakukan sangat berbanding terbalik dengan apa yang dia rasakan di dalam hati.Tentu saja Aileen merasa begitu bahagia. Dalam benaknya, meskipun Elvan sudah bertemu dengan Neya. Namun, laki-laki itu sepertinya masih ada dalam genggamannya. Hal tersebut, dapat terlihat dari sikap lembut Elvan padanya. Laki-laki itu sama sekali tak berubah. Jadi, bukahnkah ini artinya pertemuan itu tak berpengaruh apapun pada Elvan? Apalagi, setelah dokter mengatakan jika dirinya hamil. Aileen yakin, Elvan pasti semakin mencintainya.Saat ini, mereka sedang berjalan dari arah basement hotel tempat mereka menginap, menuju ke lobby. Namun, tiba-tiba langkah keduanya terhenti, manakala melihat sosok wanita yang saat ini sedang duduk di lobby s
Tak ada jawaban dari Neya. Setelah sosok lelaki itu masuk, wanita tersebut hanya memindai pandangannya lagi pada Hazel. Meskipun Elvan mendekat, dan pada akhirnya, pria itu hanya berdiri mematung. Neya memang tak ingin berbicara apapun demi kesehatan pikirannya.Sedangkan Elvan, sepertinya juga tak ingin bicara atau mungkin tidak tahu apa yang harus dia bicarakan saat melihat wanita itu hanya diam di depannya. Neya memang tidak terlalu peduli karena dia sudah tidak berharap banyak pada Elvan.Tak berapa lama, keheningan pun berakhir saat dokter yang menangani Hazel, masuk ke ruangan tersebut, dan membuat keduanya bangkit berdiri untuk menyambut dokter itu.Kini mereka tampak mengamati sang dokter yang sedang memeriksa keadaan Hazel. Entah mengapa, tiba-tiba tubuhnya Neya merasa lemas. Kondisi Hazel yang belum sadarkan diri, tentu saja membuat beban pikiran tersendiri bagi wanita itu, dan membuat tubuh Neya oleng seketika. Wanita itu hampir saja jatuh.Akan tetapi, lagi-lagi Elvan meno
"Ma ...." Hazel memanggil Neya kembali, seolah meminta penjelasan. Melihat Neya yang terlihat bingung. Elvan memilih pergi dari ruangan tersebut. Dia tak ingin membuat Neya tertekan dengan keberadaannya, dan juga ingin membebaskan Neya untuk menjawab pertanyaan itu, tanpa harus merasa sungkan. Elvan harus sadar diri jika Neya, belum sepenuhnya bisa memaafkan dia. Begitu pula dengan Hazel, Elvan tidak mau memaksa anak itu untuk bisa menerima kehadirannya.Elvan sadar, selama ini Hazel hanya mengenal Neya dan kedua orang tuanya. Kehadiran dia, tentu masih terasa asing bagi Hazel, apalagi pertemuan awal mereka bukan pertemuan yang berkesan. Saat itu, Hazel bahkan merasa takut padanya dan juga Aileen, dan sekarang anak tersebut baru saja mengalami insiden yang membuatnya cidera. "Ma, sebenarnya Om itu siapa?" tanya Hazel kembali setelah Elvan keluar dari ruang perawatan itu. Hazel yang merasa penasaran, seakan tidak ada habisnya bertanya jika Neya belum menjawab pertanyaan tersebut."Di
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang