Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
Awan hitam, menggantung di langit malam, kian menambah gelap suasana malam yang begitu sepi. Dalam temaram cahaya lampu penerangan jalan desa, seorang gadis berusia 19 tahun, Arneya Devanka yang baru saja pulang dari tempatnya bekerja di sebuah mini market, tampak mengayuh sepedanya di tengah jalan berbatu nan berkabut. Jarum jam baru menunjukkan pukul 9 malam, akan tetapi jalan setapak yang bagian kanan dan kirinya adalah kebun teh itu tampak begitu sunyi.Di jalan yang gelap itu, tidak ada satu orang pun yang dia temui. Memang, malam ini jauh lebih sepi dan dingin, dari biasanya. Sejak siang, hujan turun begitu deras, dan sekarang gerimis pun sudah kembali menyapa, membuat hawa terasa begitu dingin. Orang-orang pasti lebih memilih untuk tidak keluar rumah dan mengistirahatkan tubuhnya dalam peraduan."Astaga, sudah gerimis? Aku harus cepat sebelum hujan turun," gumamnya, seraya mempercepat kayuhan sepedanya. Akan tetapi, rintik gerimis itu kini sudah berubah menjadi tetesan hujan yan
Setelah mengenakkan pakaiannya, Neya bergegas keluar dari gubug, sinar hangat mentari telah menerpa, sebentar lagi, para pekerja perkebunan pasti mulai berdatangan ke kebun teh tersebut. Neya hanya bisa berharap, hidupnya ke depan, akan baik-baik saja, meskipun nyatanya pasti tidak mudah menjalani hidup dengan diselimuti rasa trauma, dan dia yakin, hal itu tidak akan hilang begitu saja, bahkan mungkin saja menyita seumur hidupnya.Hal yang paling menyakitkan saat ini, Neya merasa hidupnya sudah hancur dan kehilangan masa depan dengan situasi yang dialami. Dalam benaknya, mana ada laki-laki yang mau menerima keadaannya, seorang gadis miskin yang telah kehilangan kehormatannya.Neya berjalan menuju ke rumahnya, seraya menahan rasa sakit pada bagian inti tubuhnya, dia bahkan tak sanggup mengayuh sepeda itu dan memilih berjalan sambil menuntun sepedanya. Neya tampak sesekali meringis. Apa lagi, jalan yang dilaluinya adalah jalanan terjal berbatu, rasa nyeri seakan mengiringi langkahnya.Ta
"Maaf, maaf untuk apa Mas?" tanya Aileen seraya mengurai pelukannya, lalu menatap suaminya itu dengan tatapan tanda tanya, dia tak mengerti mengapa tiba-tiba suaminya meminta maaf, dan bersikap aneh setelah pulang dari luar kota."Mas, kamu kenapa sih? Kok tiba-tiba aneh gini? Minta maaf untuk apa sih, Mas?""Minta maaf karena aku pulang tanpa kasih kabar. Hahahahaha ... ""Ih, kamu nyebelin!" sahut Aileen, lalu mencubit perut Elvan yang tengah tersenyum sambil menatapnya dengan tatapan hangat. Tanpa Aileen tahu, di balik senyuman itu, suaminya tengah menahan rasa sesak di dada. Saat ini, Elvan memang memilih untuk menyembunyikan masalah yang sedang menimpanya, karena dia belum sanggup untuk mengatakan hal itu pada istrinya, sekaligus juga belum siap dengan resiko yang menimpa rumah tangganya."Ya udah masuk yak, Sayang. Aku kangen banget sama kamu!" Aileen pun mengangguk, lalu mengikuti langkah suaminya masuk ke dalam mansion tersebut.MalamnyaSaat ini, Elvan tengah berdiri di balkon
Satu Minggu KemudianElvan mengusap wajahnya dengan kasar saat mendapat informasi dari salah seorang anak buahnya yang mengatakan jika dia kehilangan jejak Neya.[Kenapa kau bodoh sekali, hah? Mengawasi seorang wanita saja tidak bisa! Aku tidak mau tahu, kau harus menemukan wanita itu secepatnya. Kalau tidak, aku tidak akan memberi ampun padamu!][Maaf Bos, satu minggu yang lalu suasana rumah wanita itu ramai sekali. Kami pikir ibunya sakit lagi, tapi ternyata Neya yang dibawa ke rumah sakit. Setelah beberapa hari ini kami amati, ternyata ibunya sudah hidup sendiri di rumah itu, dan keberadaan Neya masih misterius karena ibunya tidak mau mengatakan di mana Neya berada. Bahkan, sikap wanita tua itu begitu acuh, sekaligus ada amarah yang sepertinya dia pendam saat kami menanyakan Neya.][Apa? Marah?][Iya Bos, kemungkinan seperti itu.]'Astaga, apa yang sebenarnya terjadi?' batin Elvan.[Cari terus keberadaan Neya, besok aku akan pulang ke Indonesia untuk memastikan keadaan wanita itu.]
Sayup-sayup, Neya mendengar suara seorang pria yang memanggilnya. Sebenarnya, ada rasa terkejut di dalam hantinya karena di ibu kota ini, Neya tidak mengenal siapa pun. Setelah diusir oleh Lastri, berbekal uang yang dimilikinya, Neya memutuskan merantau ke ibu kota. Dalam benak Neya, di kota metropolitan itu, setidaknya dia memiliki harapan untuk mencari pekerjaan dan bertahan hidup, sekaligus membuka lembaran baru. Neya tak bisa terus tinggal di desa, bagi Neya itu sama saja mencoreng nama ibunya, dan gadis itu tidak mau membuat orang tuanya merasa malu atas aib yang dia tanggung.Di bawah guyuran hujan yang turun dengan derasnya, sebisa mungkin Neya ingin menajamkan penglihatan, mencoba mencari jawaban siapa laki-laki yang memanggilnya. Akan tetapi, rasa lapar sekaligus lelah membuat gadis itu merasa tidak berdaya. Perlahan Neya menutup matanya, tubuh lemasnya sudah tak mampu lagi bertahan dalam kesadaran.Sementara itu, melihat Neya yang mulai tak sadarkan diri, laki-laki yang hamp
Elvan mengulum senyum mendengar perkataan polos yang terlontar dari bibir Neya. "Apa anda malaikat pencabut nyawa? Ternyata malaikat pencabut nyawa itu cukup tampan. Tapi kenapa selalu digambarkan dengan sosok yang menyeramkan?"Elvan semakin terkekeh, lelaki tampan itu merasa terhibur dengan tingkah lucu Neya. Akan tetapi, juga merasa lega jika gadis itu ternyata tidak mengenalnya sebagai laki-laki yang telah merenggut kesuciannya. Meskipun memang terlihat miris dan pengecut, sebuah tawa di depan wanita yang telah dia sakiti.Neya ...Wanita yang malangNeya ...Wanita yang telah dia renggut kesuciannyaDan Neya ...Wanita yang sedang mengandung darah dagingnya.Sebenarnya Elvan bingung, sekaligus gugup harus bagaimana cara memulai percakapannya dengan Neya. Melihat Neya tak sadarkan diri saja membuat pikirannya buntu dan Elvan yakin, gadis itu pasti telah melewati hal yang berat karenanya, apalagi saat ini Neya sedang mengandung darah dagingnya, pasti bukan hal yang mudah, hidup send
[Mas kamu sebenarnya lagi di mana? Lalu kenapa ada suara perempuan? Siapa sebenarnya perempuan itu, Mas? Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan sama perempuan itu?][Tenang dulu Aileen, dengarkan aku baik-baik. Tolong jangan berpikiran buruk dulu karena situasi saat ini tidak seperti yang kamu pikirkan.][Kalau begitu, tolong jelaskan padaku siapa wanita itu.][Baiklah kalau begitu, akan kuceritakan kejadian yang sebenarnya.]Elvan kini tampak keluar dari ruang perawatan Neya setelah memastikan keadaan Neya baik-baik saja dari gerakan bibir wanita itu, yang seolah memberi kode kalau dia tidak apa-apa. Beberapa saat yang lalu, memang Neya terdengar mengeluh kesakitan saat tangannya yang lebam menyentuh sisi nakas untuk mengambil air minum hingga teriakannya membuat Aileen panik. Sedangkan Neya, tampak menatap punggung Elvan yang berjalan keluar disertai tatapan penuh tanda tanya."Siapa yang meneleponnya? Pacar atau istrinya?" Neya tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Ah bia
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang