Satu Minggu Kemudian
Elvan mengusap wajahnya dengan kasar saat mendapat informasi dari salah seorang anak buahnya yang mengatakan jika dia kehilangan jejak Neya.[Kenapa kau bodoh sekali, hah? Mengawasi seorang wanita saja tidak bisa! Aku tidak mau tahu, kau harus menemukan wanita itu secepatnya. Kalau tidak, aku tidak akan memberi ampun padamu!][Maaf Bos, satu minggu yang lalu suasana rumah wanita itu ramai sekali. Kami pikir ibunya sakit lagi, tapi ternyata Neya yang dibawa ke rumah sakit. Setelah beberapa hari ini kami amati, ternyata ibunya sudah hidup sendiri di rumah itu, dan keberadaan Neya masih misterius karena ibunya tidak mau mengatakan di mana Neya berada. Bahkan, sikap wanita tua itu begitu acuh, sekaligus ada amarah yang sepertinya dia pendam saat kami menanyakan Neya.][Apa? Marah?][Iya Bos, kemungkinan seperti itu.]'Astaga, apa yang sebenarnya terjadi?' batin Elvan.[Cari terus keberadaan Neya, besok aku akan pulang ke Indonesia untuk memastikan keadaan wanita itu.][Baik Tuan.]Elvan menutup sambungan teleponnya seraya menghela napas kasar. Dia tak menyangka jika keberadaannya di Sydney selama beberapa bulan terakhir ini, membuat dirinya kehilangan jejak Neya.'Neya ke rumah sakit? Lalu beberapa hari setelah itu, dia sudah tidak tinggal lagi di rumah dan ibunya tampak marah padanya? Astaga jangan-jangan yang aku takutkan benar-benar terjadi. Aku harus mencari keberadaan Neya, dan memastikan jika keadaannya baik-baik saja. Tidak boleh ada hal yang buruk terjadi padanya, apalagi jika ada hubungannya dengan kesalahan yang kuperbuat padanya,' batin Elvan.Laki-laki itu pikir, kepergiannya ke negeri kanguru hanya untuk beberapa hari saja. Akan tetapi, ternyata kondisi kesehatan Ilham, papanya terus memburuk dan membuat dirinya harus tetap berada di Sydney untuk menjalankan bisnis keluarganya. Kantor pusat perusahaan milik keluarga mereka memang berada di Sydney, sedangkan di Jakarta, hanya kantor cabangnya saja. Jadi, mau tidak mau Elvan mengambil kepemimpinan selama Ilham sakit."Mas!" Suara lembut seorang wanita, disertai dekapan hangatnya membuat Elvan tersentak dari lamunannya."Kamu lagi ngelamun apa, Mas? Apa ada masalah?"Elvan mengangguk. "Iya Aileen, ada sedikit masalah dengan kantor cabang yang ada di Jakarta. Sepertinya besok pagi aku harus pulang dulu," dusta Elvan."Pulang? Jadi, aku harus berkemas sekarang?""Nggak sayang, cukup aku saja yang pulang ke Jakarta. Kamu di sini ya, temenin Mama sama Papa. Kasihan mereka kalau kita tinggal sendiri.""Tapi, gimana dengan kamu, Mas? Siapa yang urus kebutuhan kamu?""Aku bisa urus diriku sendiri, Sayang. Mama sama Papa lebih butuh kamu di sini, aku titip mereka sama kamu ya."Aileen menekuk wajahnya, sebenarnya dia begitu enggan tinggal dengan mertuanya tanpa kehadiran Elvan, karena terkadang, Aileen merasa tidak nyaman dengan sikap yang ditunjukkan oleh Vera, mama dari Elvan yang terus menanyakan kehadiran cucu dalam rumah tangga mereka. Akan tetapi, sepertinya dia tidak punya pilihan, selain menuruti perkataan suaminya. Aileen paham, bagaimana watak Elvan, jika laki-laki itu sudah berkehendak, tak ada yang bisa menyangkalnya, dan tentunya dia tak mau berdebat dengan suaminya itu."Sayang, jangan bete kaya gini dong, aku pergi sebentar kok. Kondisi kesehatan Papa belum sepenuhnya membaik, aku nggak tega ninggalin mereka sendiri. Kamu ngerti kan?" Elvan membelai wajah Aileen, seraya menaruh anak rambut wanita itu di belakang telinganya dan mengecup kening Aileen lalu turun ke hidung dan berakhir di bibir istrinya, kemudian memberikan sedikit lumatan hingga membuat Aileen tersenyum."Hahahaha ... nah, gini kan cantik.""Tapi janji jangan pergi lama-lama, awas kalo kamu kelamaan ninggalin aku di sini, aku nggak mau jadi istri kamu lagi!"Mendengar perkataan Aileen, Elvan mencubit pipi wanita itu. "Nggak mau jadi istri aku lagi? Yang bener? Emang kamu bisa hidup tanpa aku? Seminggu nggak ketemu aja kamu udah nangis-nangis kok!""Makanya jangan pergi lama-lama!" sungut Aileen, bibirnya mengerucut sembari menatap Elvan manja. Melihat sikap istrinya itu, Elvan pun merasa gemas. Laki-laki itu membopong tubuh Aileen ala bridal style."Mas, apa-apaan ini? Malu, gimana kalo ada yang liat?""Biarin, kita kan pasangan sah.""Tapi Mas ... " Belum sempat Aileen menyelesaikan perkataannya, Elvan sudah membungkam bibir istrinya dengan ciuman lembutnya."Mas ... ""I want you tonight."Keesokan MalamnyaPenerbangan Elvan ditunda menjadi sore hari karena cuaca yang kurang bersahabat. Bahkan, anak buahnya meminta Elvan untuk menunda keberangkatan ke Indonesia. Akan tetapi, Elvan menolak, dan menunggu sampai cuaca sedikit membaik meskipun penerbangan yang dia lakukan sedikit beresiko, namun Elvan tak peduli, karena dalam benaknya, dia hanya ingin memastikan kondisi Neya, sekaligus menemui wanita itu secepatnya.Dan malam ini, saat baru saja Elvan keluar dari bandara, cuaca mulai terlihat tak bersahabat kembali. Kilatan cahaya di langit malam, seakan memberi pertanda bagi para penghuni bumi jika sebentar lagi akan ada gemuruh yang datang di tengah rintik hujan yang perlahan mulai turun.Tak berselang lama, hujan pun turun dengan derasnya. Bahkan, hujan malam ini, membuat hawa begitu dingin, suhu udara di luar rumah, kemungkinan menyentuh angka 20 derajat celcius, sudah pasti membuat tubuh menggigil. Elvan yang berada di dalam mobil, beberapa kali merapatkan jaket yang dia kenakan, saat dinginnya hujan disertai dinginnya AC mobil kian menusuk tulang.Akan tetapi, hal tersebut tak berlaku bagi seorang wanita yang saat ini tengah berlari. Tubuhnya basah kuyup menggigil kedinginan, disertai gigi yang gemerletuk. Namun, tubuh kurus itu tetap menembus hujan melintasi jalanan sepi, seakan tak peduli lagi dengan hawa dingin yang menembus tubuh kurusnya.Bagi wanita itu, yang dia tahu, dia harus pergi untuk menyelamatkan diri. Wajah cantiknya pucat, beberapa luka terlihat di tubuhnya yang kurus. Bahkan, sudut bibirnya pun berdarah, membuat miris siapapun yang melihatnya. Nafas yang begitu menderu, menghasilkan embun saat beradu dengan dinginnya air hujan.Bahunya naik turun, merasa panik sekaligus takut, dia bahkan sudah tidak peduli dengan kakinya yang lecet karena berlari menyisir jalanan aspal tanpa alas kaki. Belum lagi, perutnya yang sedikit terlihat buncit terasa mulai sakit akibat dirinya terus berlari."Brengsek! Hai pencuri, di mana kau jalang? Aku akan mencincangmu! Kau pasti pencuri yang sudah sering mencuri di toko-ku kan?" Suara keras seorang pria membuatnya semakin ketakutan, tentu saja wanita itu semakin mempercepat langkah kakinya yang pendek.Sebenarnya, ingin rasanya dia meminta tolong. Akan tetapi, dia yakin pasti tidak ada orang yang bisa mendengar teriakannya, karena suara hujan yang turun dengan begitu deras. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk terus berlari dan berlari agar sampai di gubuk kecil miliknya. Karena fokus melihat ke belakang, wanita itu bahkan tak menyadari jika ada mobil yang melaju dari arah kiri.TIIIINNNNNNSuara klakson mobil terdengar memekakkan telinga, sorot lampu membuat matanya silau. "Oh shittt!" Pengemudinya lekas menekan rem sedalam mungkin agar mobil itu terhenti.CITTTTSuara ban mobil yang beradu dengan aspal yang basah begitu memekakkan telinga, bersamaan dengan suara pekikan seorang wanita. Detik selanjutnya, wanita itu jatuh tersungkur ke belakang, jantungnya berdebar sangat hebat, perutnya terasa begitu sakit.Dia pikir, dia akan mati tertabrak mobil, tapi nyatanya tidak. Sejenak dia berpikir mungkin ada baiknya dia mati tertabrak mobil itu, daripada mati dihajar oleh pria yang menuduhnya sebagai seorang pencuri. Padahal, saat di dalam mini market, dia hanya bermaksud membeli mie instan. Namun, sialnya saat dia keluar dari mini market tersebut, alarm keamanan mini market itu berbunyi, sehingga pemilik mini market menuduhnya sebagai pencuri. Padahal, dia yakin itu bukan kesalahannya.Awalnya, bahkan dia tidak tahu kesalahan apa yang telah dia perbuat, karena seingatnya saat di dalam mini market tersebut, memang ada sosok yang menabrak dirinya sebelum dia menuju kasir, tetapi dia tak mau berpraduga. Dan saat alarm itu berbunyi, pemilik mini market tiba-tiba menampar dengan begitu keras hingga sudut bibirnya berdarah, tak hanya itu, laki-laki tersebut pun beberapa kali memukul tubuhnya. Kejadian itu begitu cepat, dan saat ada salah seorang pembeli yang membelanya, dia memilih berlari, akan tetapi pemilik mini market tidak terima, dan justru mengejarnya dalam derai hujan.Saat tengah pasrah, tergeletak di atas aspal, tiba-tiba pengemudi mobil sudah keluar dari mobil miliknya. Laki-laki itu, juga seakan tak peduli dengan hujan yang langsung membuat pakaiannya seketika basah kuyup. Dengan langkah cepat, dia mendekat, mencoba mencari tahu keadaan wanita yang hampir saja tertabrak mobilnya.Saat ini, wanita itu masih merasakan panik, jantungnya berdebar, wajahnya pucat dan penuh luka. Bibirnya bergetar karena rasa dingin, pandangan matanya kosong seakan mati adalah jawaban untuk hidupnya saat ini. Sorot lampu mobil itu, menyorot di depan wajah sang wanita, memberi cahaya pada wajah suram itu. Di saat itulah, sebuah suara bariton terdengar memanggil namanya."Neya! Kamu Neya kan?"Sayup-sayup, Neya mendengar suara seorang pria yang memanggilnya. Sebenarnya, ada rasa terkejut di dalam hantinya karena di ibu kota ini, Neya tidak mengenal siapa pun. Setelah diusir oleh Lastri, berbekal uang yang dimilikinya, Neya memutuskan merantau ke ibu kota. Dalam benak Neya, di kota metropolitan itu, setidaknya dia memiliki harapan untuk mencari pekerjaan dan bertahan hidup, sekaligus membuka lembaran baru. Neya tak bisa terus tinggal di desa, bagi Neya itu sama saja mencoreng nama ibunya, dan gadis itu tidak mau membuat orang tuanya merasa malu atas aib yang dia tanggung.Di bawah guyuran hujan yang turun dengan derasnya, sebisa mungkin Neya ingin menajamkan penglihatan, mencoba mencari jawaban siapa laki-laki yang memanggilnya. Akan tetapi, rasa lapar sekaligus lelah membuat gadis itu merasa tidak berdaya. Perlahan Neya menutup matanya, tubuh lemasnya sudah tak mampu lagi bertahan dalam kesadaran.Sementara itu, melihat Neya yang mulai tak sadarkan diri, laki-laki yang hamp
Elvan mengulum senyum mendengar perkataan polos yang terlontar dari bibir Neya. "Apa anda malaikat pencabut nyawa? Ternyata malaikat pencabut nyawa itu cukup tampan. Tapi kenapa selalu digambarkan dengan sosok yang menyeramkan?"Elvan semakin terkekeh, lelaki tampan itu merasa terhibur dengan tingkah lucu Neya. Akan tetapi, juga merasa lega jika gadis itu ternyata tidak mengenalnya sebagai laki-laki yang telah merenggut kesuciannya. Meskipun memang terlihat miris dan pengecut, sebuah tawa di depan wanita yang telah dia sakiti.Neya ...Wanita yang malangNeya ...Wanita yang telah dia renggut kesuciannyaDan Neya ...Wanita yang sedang mengandung darah dagingnya.Sebenarnya Elvan bingung, sekaligus gugup harus bagaimana cara memulai percakapannya dengan Neya. Melihat Neya tak sadarkan diri saja membuat pikirannya buntu dan Elvan yakin, gadis itu pasti telah melewati hal yang berat karenanya, apalagi saat ini Neya sedang mengandung darah dagingnya, pasti bukan hal yang mudah, hidup send
[Mas kamu sebenarnya lagi di mana? Lalu kenapa ada suara perempuan? Siapa sebenarnya perempuan itu, Mas? Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan sama perempuan itu?][Tenang dulu Aileen, dengarkan aku baik-baik. Tolong jangan berpikiran buruk dulu karena situasi saat ini tidak seperti yang kamu pikirkan.][Kalau begitu, tolong jelaskan padaku siapa wanita itu.][Baiklah kalau begitu, akan kuceritakan kejadian yang sebenarnya.]Elvan kini tampak keluar dari ruang perawatan Neya setelah memastikan keadaan Neya baik-baik saja dari gerakan bibir wanita itu, yang seolah memberi kode kalau dia tidak apa-apa. Beberapa saat yang lalu, memang Neya terdengar mengeluh kesakitan saat tangannya yang lebam menyentuh sisi nakas untuk mengambil air minum hingga teriakannya membuat Aileen panik. Sedangkan Neya, tampak menatap punggung Elvan yang berjalan keluar disertai tatapan penuh tanda tanya."Siapa yang meneleponnya? Pacar atau istrinya?" Neya tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Ah bia
Jantung Neya seakan berhenti berdetak mendengar penuturan Elvan, gadis itu pun memberanikan diri menatap manik mata hazel milik Elvan."Apa kau mau menikah denganku, Ney?""A-anda jangan becanda, Tuan. Sungguh ini tidak lucu, bukankah anda juga sudah punya seorang istri? Lagi pula, kita juga baru saja mengenal satu sama lain, bagaimana kalau saya bukan gadis baik-baik?""Kau benar, kita memang baru mengenal satu sama lain, tapi itu tidak penting bagiku. Dan kau juga benar, aku sudah menikah, dan pernikahan kami sudah cukup lama. Tujuh tahun kami menikah, tapi kami belum memiliki keturunan.""Jadi maksud anda, anda ingin mengambil putraku?""Tidak ada yang ingin mengambil putramu. Aku hanya ingin menyelamatkan harga dirimu sekaligus kondisi psikologis putramu kelak, dan juga ..."Elvan menghentikan kalimatnya, manakala merasakan dada yang terasa begitu sesak. Ingin rasanya dia mengatakan jika anak yang dikandung oleh Neya adalah darah dagingnya. Rasa bersalahnya seolah mendorongnya unt
Sebenarnya Elvan merasa terkejut mendengar perkataan Neya. "A-apa? Kau mau menikah denganku?"Neya mengangguk pelan, lalu menundukkan kepalanya, untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya. "Demi anakku," sahutnya lirih."Ya, aku tahu kau pasti sudah memikirkan yang terbaik untuk anakmu. Lagi pula, dalam pernikahan itu, aku tidak akan menuntut apapun padamu, termasuk kontak fisik, karena aku juga sudah punya seorang istri. Istri yang sangat kucintai.""Iya Tuan, saya tahu itu. Karena itulah saya percaya pada anda.""Terima kasih.""Lalu, kapan kita akan menikah?" Mendengar pertanyaan Neya, Elvan tampak mengerutkan keningnya."Bagaimana kalau tiga hari lagi? Besok lusa, kau pulang dari rumah sakit. Setelah itu, kita menikah, sekaligus aku persiapkan surat kontraknya.""Surat kontrak? Apa maksud anda, Tuan?""Neya, apa kau sudah lupa, bukankah kemarin aku mengatakan kalau pernikahan ini sebatas pernikahan kontrak, ada poin-poin yang harus kita taati untuk menghormati privasi masing-masi
[Aileen, tenangkan dirimu dulu. Aku memang cuti hari ini untuk menghadiri pernikahan salah satu teman kuliahku dan Dewa dulu.][Kamu nggak boong kan, Mas?][Kapan aku pernah boong sama kamu, Aileen?][Baiklah, kalo gitu aku tunggu kamu di rumah, Mas. Jangan lama-lama.]Elvan menutup teleponnya, lalu masuk ke dalam rumah yang saat ini sudah sepi. Ya, tamu-tamu memang sudah pulang, menyisakan Dewa yang sedang memainkan ipad-nya. Sedangkan Neya, mungkin sedang berganti pakaian di dalam kamar."Apa ada masalah?" tanya Dewa saat melihat raut panik di wajah Elvan."Aileen, dia tiba-tiba saja pulang tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Lalu, dia datang ke kantor dan tahu kalau hari ini aku sedang cuti. Untungnya, aku bisa beralasan, dan dia percaya padaku.""Astaga, ada-ada saja. Lalu, apa yang akan kau lalukan? Sebaiknya katakan saja pada Aileen jika kita sedang berada di luar kota, dan baru bisa pulang besok.""Tidak, itu bukan ide yang bagus Dewa. Tentu saja aku harus pulang ke rumah, aku
Neya yang baru saja turun dari mobil, tentunya begitu terkejut mendengar teguran itu. Spontan, dia membalik tubuhnya, dan melihat sosok wanita cantik yang berdiri di belakangnya, seraya menatapnya dengan tatapan curiga, seolah sedang meminta penjelasan darinya."Oh maaf, Nyonya. Tadi, saya memang salah memasuki mobil ini, saya pikir mobil ini taksi online yang saya pesan. Dan kebetulan, karena kami satu arah, sopir mobil ini memperbolehkan saya tetap menaiki mobil ini dan mengantarkan saya sampai ke sini," jawab Neya disertai rasa cemas. Tanpa perlu dijelskan, Neya pun tahu siapa wanita yang kini berdiri di depannya. Wanita yang mengenali mobil itu sebagai mobil milik suaminya adalah istri sah dari Elvan.Sedangkan Aileen, menatap Naya dengan tatapan penuh tanda tanya, seolah tak mempercayai dengan perkataan Neya begitu saja. "Dasar bodoh, dimana logikamu? Apa kau tidak bisa berpikir jernih, mana mungkin mobil semewah ini digunakan untuk taksi online?" "Sekali lagi maafkan saya, Nyon
"Ada apa, Mas?" tanya Aileen saat melihat Elvan yang termenung sambil menatap ke dalam cafe."Oh tidak, kupikir dia temanku tapi ternyata bukan. Kita pergi sekarang, aku harus kembali ke kantor secepatnya." Elvan menggenggam tangan Aileen, lalu mengantar sampai ke basement parkir, menuju ke mobil istrinya tersebut."Hati-hati di jalan, Sayang.""Kamu juga ya, Mas. Sampai bertemu nanti di rumah."Elvan mengangguk, lalu setelah mobil Aileen tak lagi terlihat, laki-laki itu masuk kembali ke dalam mall, menuju ke cafe tempat dia melihat Neya sedang duduk bersama seorang pria. Akan tetapi, saat Elvan sudah sampai di cafe tersebut, Neya sudah tidak lagi berada di sana."Bukankah tadi aku melihat Neya ada di sini? Kenapa sekarang dia sudah tak lagi ada? Lantas, apa itu benar-benar Neya atau bukan? Ah, sebaiknya kuhubungi saja dia." Elvan mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi Neya, akan tetapi wanita itu tidak menjawab panggilan darinya."Dia tidak menjawab? Sebaiknya nanti kuhubungi lagi
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang