Sayup-sayup, Neya mendengar suara seorang pria yang memanggilnya. Sebenarnya, ada rasa terkejut di dalam hantinya karena di ibu kota ini, Neya tidak mengenal siapa pun. Setelah diusir oleh Lastri, berbekal uang yang dimilikinya, Neya memutuskan merantau ke ibu kota. Dalam benak Neya, di kota metropolitan itu, setidaknya dia memiliki harapan untuk mencari pekerjaan dan bertahan hidup, sekaligus membuka lembaran baru. Neya tak bisa terus tinggal di desa, bagi Neya itu sama saja mencoreng nama ibunya, dan gadis itu tidak mau membuat orang tuanya merasa malu atas aib yang dia tanggung.
Di bawah guyuran hujan yang turun dengan derasnya, sebisa mungkin Neya ingin menajamkan penglihatan, mencoba mencari jawaban siapa laki-laki yang memanggilnya. Akan tetapi, rasa lapar sekaligus lelah membuat gadis itu merasa tidak berdaya. Perlahan Neya menutup matanya, tubuh lemasnya sudah tak mampu lagi bertahan dalam kesadaran.Sementara itu, melihat Neya yang mulai tak sadarkan diri, laki-laki yang hampir saja menabrak Neya, kini terlihat panik. Gegas dia mengangkat tubuh ringkih itu masuk ke dalam mobilnya."Kita ke rumah sakit terdekat!" Sopir pribadi laki-laki itu pun mengangguk, menuruti perintah sang majikan, lalu melajukan mobil tersebut, meskipun di dalam hatinya dipenuhi tanda tanya tentang siapa wanita yang dibawa majikannya itu. Bahkan, majikan yang dikenal dengan sikap dinginnya itu, tampaknya sudah mengenal wanita yang ditolongnya. Ralat, wanita lusuh yang baru saja ditolongnya, penampilannya saja sangat kontras dengan penampilan majikannya yaitu, Ausky Elvan Kiandra.Setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di rumah sakit terdekat. Hujan yang begitu deras, memang membuat sang sopir tidak bisa melajukan mobil itu terlalu kencang, hingga membuat Elvan semakin merasa cemas jika sesuatu terjadi pada Neya.Dan sekarang, sudah hampir satu jam lamanya Elvan menunggu di depan ruang emergency. Laki-laki yang sudah mengganti pakaiannya yang basah itu kini tampak duduk, di sampingnya ada beberapa buah paper bag yang baru saja dibawakan oleh anak buahnya berisi pakaian yang akan dia berikan pada Neya saat gadis itu sudah sadarkan diri.Elvan menghela napas kasar saat merasakan degup jantungnya yang kini berdetak begitu kencang, dadanya bergemuruh manakala kejadian beberapa bulan lalu kembali terlintas dalam benaknya. Dan dia tak tahu, apakah Neya masih mengingatnya atau tidak. Ya, tentu saja Elvan yakin jika Neya pasti mengingat semua kejadian buruk itu, tapi mengingat jika dia yang memerkosanya atau tidak, Elvan tak tahu. Lamunan Elvan tersentak, saat seorang dokter memanggilnya."Tuan, apa anda wali atas pasien yang bernama Neya?"Reflek Elvan bangkit, lalu berdiri di depan dokter itu. "Iya Dokter, bagaimana keadaannya, Dok?""Dia hanya butuh istirahat dan asupan makanan yang cukup, apalagi dengan kondisinya saat ini, sebaiknya hindarkan Neya dari hal-hal yang membuatnya stres. Hal itu, tidak baik untuk pertumbuhan janin yang dikandungnya.""Janin?" lirih Elvan seraya mengerutkan keningnya. Irama degup jantungnya semakin tak beraturan, disertai tubuh yang menegang."Iya Tuan, saat ini Neya sedang mengandung."Elvan terdiam sejenak, kembali mencerna perkataan dokter yang ada di depannya. "Tuan, kandungan Neya baru berusia tiga belas minggu, masih sangat rentan. Jadi, tolong perhatikan kesehatan fisik dan mentalnya.""Iya Dokter," jawab Elvan tenang, meskipun di dalam hatinya perasaannya begitu berkecamuk."Sebentar lagi, Neya akan kami pindahkan ke ruang perawatan. Anda bisa menjaganya sampai dia sadarkan diri. Untuk beberapa hari kedepan, sebaiknya Neya dirawat di rumah sakit ini, agar kami bisa mengontrol kesehatannya.""Baik Dokter, berikan penanganan terbaik yang ada di rumah sakit ini.""Baik Tuan, saya permisi dulu."Elvan mengangguk, seraya menarik kedua sudut bibirnya. "Hamil? Tiga belas minggu? Bukankah itu artinya anak yang ada di dalam kandungan Neya itu anakku?" Rasa haru dan bahagia menyeruak ke dalam dada, meskipun di balik rasa itu juga ada kecemasan tentang nasib rumah tangganya kedepan, karena dalam rumah tangga itu, bukan hanya tentang dirinya dan Aileen lagi, tapi juga ada Neya, dan buah hatinya.Saat masih sibuk menata hati, dua orang perawat tiba-tiba melewati Elvan sambil mendorong brankar dengan sosok Neya di atasnya. Menyadari jika Neya akan dipindahkan ke ruang perawatan, Elvan pun mengikuti langkah perawat tersebut ke ruang perawatan kelas VVIP seperti yang diminta Elvan saat mengurus administrasi."Tuan, mungkin sebentar lagi Nona Neya sadarkan diri. Jika ada keluhan, anda bisa memanggil kami dengan memencet tombol emergency ini.""Baik suster, terima kasih banyak.""Sama-sama, Tuan. Kami permisi dulu."Elvan mendekat ke atas brankar, lalu duduk di kursi yang ada di samping brankar tersebut. Laki-laki itu menatap wajah polos gadis yang masih berusia 19 tahun itu, mengamati setiap lekuk wajahnya dengan tatapan sayu. Wajah putihnya terbilang sangat imut, wajah berbentuk oval dengan hidung yang tidak terlalu mancung dan bulu mata lentik itu, tampak begitu memesona."Cukup cantik, masih muda, dan seharusnya masih memiliki masa depan yang cerah. Tapi sialnya, aku sudah merusak masa depan itu, aku merusak masa depan gadis tak berdosa hanya untuk memenuhi nafsuku saja, hingga gadis ini mengandung darah dagingku. Maafkan aku Nrya, seandainya malam itu aku ..."Elvan tak dapat melanjutkan kata-katanya, hatinya terasa begitu sesak mengingat kejadian saat dia menyetubuhi Neya akibat meminum minuman yang berisi obat perangsang ketika dirinya berada di pesta yang diadakan di salah satu villa dekat perkebunan teh. Netra Elvan beralih pada perut Neya. Jika diamati, perut itu memang terlihat sedikit membuncit. Detik berikutnya, sebuah senyuman terbit di wajah tampan laki-laki itu."Anakku ... Anak? Aku tidak sedang bermimpi 'kan, Tuhan?"Sorot mata sayu di wajah Elvan, berubah teduh, ada kebahagiaan yang membuncah dan sulit diartikan dengan kata-kata. Anak, sebuah mimpi yang terasa begitu sulit dia gapai setelah bertahun-tahun menjalani pernikahan dengan Aileen, dan kini begitu mudahnya hadir atas kesalahan satu malam dengan wanita tak dikenal yang sekarang terbaring lemah di depannya.Awalnya, Elvan memang mencari keberadaan Neya untuk bertanggung jawab pada gadis itu dengan apa yang telah dia lakukan. Dalam benak Elvan, setidaknya dia bisa memberikan kompensasi dan jaminan hidup yang layak bagi Neya, akan tetapi dia tidak menyangka saat sudah menemukan Neya, gadis itu ternyata sedang mengandung darah dagingnya.Elvan mengangkat tangannya, hatinya begitu bergejolak saat melihat perut Neya, dia sadar di dalam perut itu ada buah hati yang sangat dinanti dan didambakan olehnya. Akan tetapi, saat jarak tangan itu kian dekat, tiba-tiba perlahan Neya membuka kelopak matanya. Gegas, Elvan pun menarik tangannya."Apa aku sudah ada di surga? Kenapa semuanya berwarna putih?" Elvan mengulum senyum mendengar celotehan Neya."Kau sudah sadar?" sapa Elvan beberapa saat kemudian setelah Neya tampak mendapatkan kesadarannya. Wanita itu memang terlihat mengamati keberadaannya saat ini, dan sempat mengira jika dia sudah berada di surga.Mendengar suara bariton rendah yang ada di samping kanannya, Neya pun menoleh, lalu menatap laki-laki tampan yang saat ini duduk di sampingnya."Kau sudah sadar?" ulang Elvan kembali."Anda siapa? Anda bukan malaikat pencabut nyawa kan?"Elvan mengulum senyum mendengar perkataan polos yang terlontar dari bibir Neya. "Apa anda malaikat pencabut nyawa? Ternyata malaikat pencabut nyawa itu cukup tampan. Tapi kenapa selalu digambarkan dengan sosok yang menyeramkan?"Elvan semakin terkekeh, lelaki tampan itu merasa terhibur dengan tingkah lucu Neya. Akan tetapi, juga merasa lega jika gadis itu ternyata tidak mengenalnya sebagai laki-laki yang telah merenggut kesuciannya. Meskipun memang terlihat miris dan pengecut, sebuah tawa di depan wanita yang telah dia sakiti.Neya ...Wanita yang malangNeya ...Wanita yang telah dia renggut kesuciannyaDan Neya ...Wanita yang sedang mengandung darah dagingnya.Sebenarnya Elvan bingung, sekaligus gugup harus bagaimana cara memulai percakapannya dengan Neya. Melihat Neya tak sadarkan diri saja membuat pikirannya buntu dan Elvan yakin, gadis itu pasti telah melewati hal yang berat karenanya, apalagi saat ini Neya sedang mengandung darah dagingnya, pasti bukan hal yang mudah, hidup send
[Mas kamu sebenarnya lagi di mana? Lalu kenapa ada suara perempuan? Siapa sebenarnya perempuan itu, Mas? Kamu nggak ngelakuin hal yang aneh-aneh kan sama perempuan itu?][Tenang dulu Aileen, dengarkan aku baik-baik. Tolong jangan berpikiran buruk dulu karena situasi saat ini tidak seperti yang kamu pikirkan.][Kalau begitu, tolong jelaskan padaku siapa wanita itu.][Baiklah kalau begitu, akan kuceritakan kejadian yang sebenarnya.]Elvan kini tampak keluar dari ruang perawatan Neya setelah memastikan keadaan Neya baik-baik saja dari gerakan bibir wanita itu, yang seolah memberi kode kalau dia tidak apa-apa. Beberapa saat yang lalu, memang Neya terdengar mengeluh kesakitan saat tangannya yang lebam menyentuh sisi nakas untuk mengambil air minum hingga teriakannya membuat Aileen panik. Sedangkan Neya, tampak menatap punggung Elvan yang berjalan keluar disertai tatapan penuh tanda tanya."Siapa yang meneleponnya? Pacar atau istrinya?" Neya tersenyum kecut, seraya mengelus perutnya. "Ah bia
Jantung Neya seakan berhenti berdetak mendengar penuturan Elvan, gadis itu pun memberanikan diri menatap manik mata hazel milik Elvan."Apa kau mau menikah denganku, Ney?""A-anda jangan becanda, Tuan. Sungguh ini tidak lucu, bukankah anda juga sudah punya seorang istri? Lagi pula, kita juga baru saja mengenal satu sama lain, bagaimana kalau saya bukan gadis baik-baik?""Kau benar, kita memang baru mengenal satu sama lain, tapi itu tidak penting bagiku. Dan kau juga benar, aku sudah menikah, dan pernikahan kami sudah cukup lama. Tujuh tahun kami menikah, tapi kami belum memiliki keturunan.""Jadi maksud anda, anda ingin mengambil putraku?""Tidak ada yang ingin mengambil putramu. Aku hanya ingin menyelamatkan harga dirimu sekaligus kondisi psikologis putramu kelak, dan juga ..."Elvan menghentikan kalimatnya, manakala merasakan dada yang terasa begitu sesak. Ingin rasanya dia mengatakan jika anak yang dikandung oleh Neya adalah darah dagingnya. Rasa bersalahnya seolah mendorongnya unt
Sebenarnya Elvan merasa terkejut mendengar perkataan Neya. "A-apa? Kau mau menikah denganku?"Neya mengangguk pelan, lalu menundukkan kepalanya, untuk menyembunyikan rona merah di wajahnya. "Demi anakku," sahutnya lirih."Ya, aku tahu kau pasti sudah memikirkan yang terbaik untuk anakmu. Lagi pula, dalam pernikahan itu, aku tidak akan menuntut apapun padamu, termasuk kontak fisik, karena aku juga sudah punya seorang istri. Istri yang sangat kucintai.""Iya Tuan, saya tahu itu. Karena itulah saya percaya pada anda.""Terima kasih.""Lalu, kapan kita akan menikah?" Mendengar pertanyaan Neya, Elvan tampak mengerutkan keningnya."Bagaimana kalau tiga hari lagi? Besok lusa, kau pulang dari rumah sakit. Setelah itu, kita menikah, sekaligus aku persiapkan surat kontraknya.""Surat kontrak? Apa maksud anda, Tuan?""Neya, apa kau sudah lupa, bukankah kemarin aku mengatakan kalau pernikahan ini sebatas pernikahan kontrak, ada poin-poin yang harus kita taati untuk menghormati privasi masing-masi
[Aileen, tenangkan dirimu dulu. Aku memang cuti hari ini untuk menghadiri pernikahan salah satu teman kuliahku dan Dewa dulu.][Kamu nggak boong kan, Mas?][Kapan aku pernah boong sama kamu, Aileen?][Baiklah, kalo gitu aku tunggu kamu di rumah, Mas. Jangan lama-lama.]Elvan menutup teleponnya, lalu masuk ke dalam rumah yang saat ini sudah sepi. Ya, tamu-tamu memang sudah pulang, menyisakan Dewa yang sedang memainkan ipad-nya. Sedangkan Neya, mungkin sedang berganti pakaian di dalam kamar."Apa ada masalah?" tanya Dewa saat melihat raut panik di wajah Elvan."Aileen, dia tiba-tiba saja pulang tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Lalu, dia datang ke kantor dan tahu kalau hari ini aku sedang cuti. Untungnya, aku bisa beralasan, dan dia percaya padaku.""Astaga, ada-ada saja. Lalu, apa yang akan kau lalukan? Sebaiknya katakan saja pada Aileen jika kita sedang berada di luar kota, dan baru bisa pulang besok.""Tidak, itu bukan ide yang bagus Dewa. Tentu saja aku harus pulang ke rumah, aku
Neya yang baru saja turun dari mobil, tentunya begitu terkejut mendengar teguran itu. Spontan, dia membalik tubuhnya, dan melihat sosok wanita cantik yang berdiri di belakangnya, seraya menatapnya dengan tatapan curiga, seolah sedang meminta penjelasan darinya."Oh maaf, Nyonya. Tadi, saya memang salah memasuki mobil ini, saya pikir mobil ini taksi online yang saya pesan. Dan kebetulan, karena kami satu arah, sopir mobil ini memperbolehkan saya tetap menaiki mobil ini dan mengantarkan saya sampai ke sini," jawab Neya disertai rasa cemas. Tanpa perlu dijelskan, Neya pun tahu siapa wanita yang kini berdiri di depannya. Wanita yang mengenali mobil itu sebagai mobil milik suaminya adalah istri sah dari Elvan.Sedangkan Aileen, menatap Naya dengan tatapan penuh tanda tanya, seolah tak mempercayai dengan perkataan Neya begitu saja. "Dasar bodoh, dimana logikamu? Apa kau tidak bisa berpikir jernih, mana mungkin mobil semewah ini digunakan untuk taksi online?" "Sekali lagi maafkan saya, Nyon
"Ada apa, Mas?" tanya Aileen saat melihat Elvan yang termenung sambil menatap ke dalam cafe."Oh tidak, kupikir dia temanku tapi ternyata bukan. Kita pergi sekarang, aku harus kembali ke kantor secepatnya." Elvan menggenggam tangan Aileen, lalu mengantar sampai ke basement parkir, menuju ke mobil istrinya tersebut."Hati-hati di jalan, Sayang.""Kamu juga ya, Mas. Sampai bertemu nanti di rumah."Elvan mengangguk, lalu setelah mobil Aileen tak lagi terlihat, laki-laki itu masuk kembali ke dalam mall, menuju ke cafe tempat dia melihat Neya sedang duduk bersama seorang pria. Akan tetapi, saat Elvan sudah sampai di cafe tersebut, Neya sudah tidak lagi berada di sana."Bukankah tadi aku melihat Neya ada di sini? Kenapa sekarang dia sudah tak lagi ada? Lantas, apa itu benar-benar Neya atau bukan? Ah, sebaiknya kuhubungi saja dia." Elvan mengutak-atik ponselnya untuk menghubungi Neya, akan tetapi wanita itu tidak menjawab panggilan darinya."Dia tidak menjawab? Sebaiknya nanti kuhubungi lagi
[Mas, kamu dimana sih? Kok jam segini belum pulang?][Aileen, aku ada pekerjaan di luar kota. Ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan sebelum besok kita pergi ke Ausie. Jadi maaf, sepertinya malam ini aku tidak pulang ke rumah.][Loh kok mendadak banget, Mas.][Iya, malam ini harus kusalesaikan. Maaf ya, lebih baik sekarang kamu makan, lalu tidur. Besok siang setelah pekerjaan selesai, kita langsung pergi.][Ya udah Mas, semoga urusan kerjaan kamu lancar. Miss you.][Miss you too, Honey.]Elvan kini terkekeh, sambil melontarkan candaan mesra. Sedangkan Neya, yang kini duduk di kursi meja makan, tampak menatapnya dengan tatapan sendu sembari menatap Elvan yang tengah asyik menelpon sambil tertawa, disertai gurat wajah yang terlihat begitu bahagia."Aileen? Namanya Aileen? Nama yang bagus dan cantik, seperti orangnya. Pantas saja, Mas Elvan begitu tergila-gila padanya. Lalu, bagaimana kalau suatu saat nanti Aileen tahu aku menikah dengan suaminya? Pasti akan sangat menyakitkan baginy
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang