Tak ada jawaban dari Neya. Setelah sosok lelaki itu masuk, wanita tersebut hanya memindai pandangannya lagi pada Hazel. Meskipun Elvan mendekat, dan pada akhirnya, pria itu hanya berdiri mematung. Neya memang tak ingin berbicara apapun demi kesehatan pikirannya.Sedangkan Elvan, sepertinya juga tak ingin bicara atau mungkin tidak tahu apa yang harus dia bicarakan saat melihat wanita itu hanya diam di depannya. Neya memang tidak terlalu peduli karena dia sudah tidak berharap banyak pada Elvan.Tak berapa lama, keheningan pun berakhir saat dokter yang menangani Hazel, masuk ke ruangan tersebut, dan membuat keduanya bangkit berdiri untuk menyambut dokter itu.Kini mereka tampak mengamati sang dokter yang sedang memeriksa keadaan Hazel. Entah mengapa, tiba-tiba tubuhnya Neya merasa lemas. Kondisi Hazel yang belum sadarkan diri, tentu saja membuat beban pikiran tersendiri bagi wanita itu, dan membuat tubuh Neya oleng seketika. Wanita itu hampir saja jatuh.Akan tetapi, lagi-lagi Elvan meno
"Ma ...." Hazel memanggil Neya kembali, seolah meminta penjelasan. Melihat Neya yang terlihat bingung. Elvan memilih pergi dari ruangan tersebut. Dia tak ingin membuat Neya tertekan dengan keberadaannya, dan juga ingin membebaskan Neya untuk menjawab pertanyaan itu, tanpa harus merasa sungkan. Elvan harus sadar diri jika Neya, belum sepenuhnya bisa memaafkan dia. Begitu pula dengan Hazel, Elvan tidak mau memaksa anak itu untuk bisa menerima kehadirannya.Elvan sadar, selama ini Hazel hanya mengenal Neya dan kedua orang tuanya. Kehadiran dia, tentu masih terasa asing bagi Hazel, apalagi pertemuan awal mereka bukan pertemuan yang berkesan. Saat itu, Hazel bahkan merasa takut padanya dan juga Aileen, dan sekarang anak tersebut baru saja mengalami insiden yang membuatnya cidera. "Ma, sebenarnya Om itu siapa?" tanya Hazel kembali setelah Elvan keluar dari ruang perawatan itu. Hazel yang merasa penasaran, seakan tidak ada habisnya bertanya jika Neya belum menjawab pertanyaan tersebut."Di
Neya tertegun mendengar perkataan Hazel. Padahal, tidak ada yang mengatakan jika Elvan adalah Papanya. Wanita itu memijit pelipisnya, dengan helan napas yang jauh lebih panjang dan dalam daripada biasanya. Dia pun menatap pada pria yang muncul di hadapannya, meskipun tadi malam sudah dia mengusir secara halus, pada akhirnya dia datang kembali."Ma ... suruh Papa masuk! Kasihan dia di luar." Perkataan Hazel itu, lalu ditanggapi Neya dengan senyuman. Sejujurnya, dia sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan Hazel, namun Hazel sepertinya sudah mengambil kesimpulan siapa Elvan sebenarnya. Anak itu, dengan begitu yakin mengatakan jika Elvan adalah papanya. Meskipun memang itulah kebenarannya, tapi bagi Neya rasanya dia masih begitu canggung. Sejak dulu, Neya memang mengatakan kalau Papa Hazel sedang jauh. Namun, dia tidak menyangka jika akan secepat ini Elvan datang, sebelum dia memberi penjelasan lebih lanjut. Insiden yang dialami Hazel, memang di luar dugaan mereka. Dulu, Neya selalu
"Sapu tangan Elvan?""Iya Nyonya, saat itu Elvan memang sedang sedikit flu. Bukankah sudah menjadi kebiasaan Elvan kalau dia selalu membawa sapu tangan saat terserang flu?"Kening Vera mengernyit, sembari menganggukkan kepala. "Kau benar Dewa. Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan untuk membongkar semua itu? Apakah kita harus membicarakan ini dengan Elvan? Sebenarnya aku juga ragu dengan kehamilan Aileen. Namun, Elvan melihat sendiri janin di perut Aileen saat mereka melakukan USG.""Emh, begini sebaiknya jangan dulu Nyonya, jangan beritahu dia dulu. Terkadang, Elvan tidak bisa mengendalikan emosinya. Saya khawatir jika emosinya tidak terkontrol, rencana kita untuk mengetahui siapa dewan direksi yang bersekongkol dengan Aileen, jadi berantakan. Lalu, tentang kehamilan Aileen, saya belum bisa menarik kesimpulan apapun. Karena saya yakin, jika satu kejahatan terungkap, maka kejahatan yang lain akan terungkap pula.""Iya Dewa, aku mengerti. Kita memang harus membuka satu per satu, l
"Udah cukup, nggak perlu minta maaf terus, Mas.""Kamu marah?"Neya tersenyum kecut sembari menggelengkan kepala. "Memaafkan itu mudah, apalagi kamu ayah kandung Hazel, tapi melupakan itu sulit. Apalagi, kejadian itu begitu menyakitkan. Aku bukanlah orang munafik, kuakui, rasanya masih sangat sakit."Elvan bermaksud menggenggam jemari Neya. Namun, wanita itu menepis tangan Elvan. "Mas, sebaiknya kamu pulang sekarang. Please ....""Pa, jangan pulang," ucap Hazel yang tiba-tiba menyahut di tengah perbincangan mereka. Keduanya pun menoleh pada Hazel yang yang kini bergantian menatap Elvan dan Neya. Elvan pun terkekeh.Dia kemudian mengelus wajah Hazel. "Kamu istirahat dulu ya!" Setelah mengatan itu, Elvan berbisik di telinga Hazel, dan anak itu pun tertawa sembari menganggukkan kepala, lalu dia memejamkan mata. Sedangan Elvan, laki-laki itu, kini berbaring di samping Hazel sambil memeluk bocah itu. Hingga beberapa saat kemudian, Hazel pun sudah terlelap. Elvan beranjak dari bed pasien,
Aileen tertegun sejenak. Dia tahu, yang saat ini berdiri di belakannya adalah Neya. Siap atau tidak, suka atau tidak, memang pertemuan dengan madunya itu tidak bisa dihindarkan. Apalagi saat ini mereka hidup dalam rumah yang sama. Entah bagaimana kisahnya setelah Hazel kembali ke rumah, Aileen tak tahu karena takdir pun tak pernah memberikan jawaban."Mba Aileen, gimana kabar Mba Aileen? Aku denger Mba Aileen hamil ya? Selamat ya, Mba. Aku ikutan seneng, akhirnya buah hati yang udah lama ditunggu, akhirnya hadir juga diantara kalian. Hazel pasti seneng punya adik."Aileen pun akhirnya membalikkan tubuh, dan berhadapan dengan wanita yang sebenarnya sangat dia benci. Wanita yang kehadirannya dalam rumah tangga dia dengan Elvan, sebenarnya akibat perbuatan Aileen sendiri, tapi pada akhirnya perbuatan itu bagaikan bumerang bagi dirinya sendiri. Karena nyatanya, kehadiran Neya, selalu saja menjadi ancaman bagi rumah tangga dia dan Elvan.Tak pernah terpikir sama sekali jika pada akhinya ke
"A-aku hanya menyambungkan benang merah atas penjelasan kamu, Ney. Bukannya tadi kamu bilang kalo malam itu ada kekacauan di mini market tempat kamu kerja? Jadi, aku ambil kesimpulan kalo kamu pasti terlambat pulang ke rumah."Neya tersenyum sinis. "Sayangnya, aku bukan Neya yang dulu. Yang bisa kamu bodoh-bodohi dengan bualanmu.""Bualan apa? Nggak usah ngarang deh, Ney. Emang bener 'kan kalo Mas Elvan yang perkosa kamu? Salahnya aku di mana? Mereka emang peralat kamu 'kan biar dapet keturunan. Emang kamu nggak bisa lihat apa, mereka cuma mau Hazel, bukan kamu! Setelah Hazel dewasa dan nggak butuh kamu sebagai ibunya, kamu juga bakalan dibuang! Nggak usah sok dulu deh jadi orang! Cuma jadi istri kedua aja songong banget!"Mendengar perkataan itu, Neya berjalan mendekati Aileen, lalu berbisik di telinganya, "Inget Mba, siapa yang udah bikin aku jadi istri kedua. Kita lihat aja, siapa yang akan dibuang dari keluarga ini!"Kekehan nyaring pun terdengar dari Neya. Setelah itu, wanita ter
Neya menoleh, tak mengucap sepatah kata pun. Wanita itu, hanya balas menatap Elvan dengan tatapan datar. Elvan pun mengulum senyum, lalu naik ke atas bed pasien, dan memeluk putranya. Sedangkan Neya, duduk di atas bed jaga, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Namun, pikirannya entah ke mana."Besok ikut aku ke kantor!" Suara bariton Elvan membuat Neya tersentak. Wanita itu, lalu mengangkat wajahnya dan menatap suaminya itu."Apa? Bukankah aku sudah mengajukan cuti?""Sebentar saja. Ada masalah yang harus kita selesaikan berdua, Ney. Maaf kalau masalah ini ganggu kamu, tapi masalah ini cukup penting dan harus kita selesaikan bersama.""Apa ini ada kaitannya dengan dewan komisaris?" tanya Neya, dan dijawab anggukkkan oleh Elvan. "Kamu tahu masalah itu?"Neya tersenyum kecut sembari mengangguk. "Aku tahu masalah itu, Mas. Aku tahu sejak aku memimpin perusahaan itu, banyak yang tidak menyukaiku karena aku seorang perempuan. Namun, aku tahu kalau sebenarnya, bukan itu alasan mereka."Elva
Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.
"Apa maksudmu, Wa? Apa ada sesuatu yang mengganggumu? Apa ada sesuatu yang bikin kamu nggak nyaman?" 'Yang ganggu aku, sama bikin aku nggak nyaman, itu justru kamu, Elvan,' batin Dewa. Laki-laki itu pun menggelengkan kepala, lalu berkata, "Mertuaku ingin kami memegang anak perusahaan mereka di Singapura. Jadi, mau tidak mau, aku harus menuruti mereka. Kau ...." Belum sempat Dewa melanjutkan kata-katanya, Elvan sudah menepuk bahu pria itu. "Mereka lebih membutuhkan kalian, aku nggak mau egois. Sudah waktunya kalian membangun perusahaan mereka. Kapan kau akan keluar, Dewa?""Secepatnya, mungkin hari ini," jawab Dewa yang sebenarnya tak rela jika harus berpisah dengan Neya.Elvan pun mengangguk. "Tolong urus surat pengunduran dirimu! Oh iya, tolong lakukan tugas terakhirmu sebelum kamu pergi. Kau ingat, 'kan?""Tentu saja.""Terima kasih untuk semuanya, Wa. Kami pasti akan sering berkunjung. Aku pergi dulu, aku harus mengurus surat ceraiku dan kepulangan Aileen ke Indonesia.""Kapan Ai
"KBRI? Memangnya ada apa tiba-tiba pihak KBRI menghubungiku?""Ini tentang Mba Aileen, Mas. Mba Aileen ditemukan tidak sadarkan diri di bawah fly over. Ada warga yang membawa Aileen ke rumah sakit, dan menghubungi KBRI. Untungnya, salah satu staf KBRI ada yang mengenalmu. Jadi, setelah itu mereka langsung menelponmu.""Astaga ...!""Dia sekarang ada di rumah sakit. Kita ke sana sekarang ya, Mas."Elvan pun mengangguk, lalu memutar balik arah mobilnya menuju ke rumah sakit yang disebutkan oleh Neya. Setibanya di sana, keduanya menuju ke ruang emergency, tempat Aileen saat ini dirawat."Di mana pasien atas nama Aileen, Sus?" tanya Neya pada seorang perawat jaga."Di sana, Tuan, Nyonya. Nyonya Aileen, menderita dehidrasi akut sekaligus mal nutrien. Bahkan HB di tubuhnya juga sangat rendah," ujar perawat tersebut saat mengantar Neya dan juga Elvan ke bilik di ruangan emergency tempat Aileen dirawat.Ketika keduanya masuk ke bilik tersebut, Aileen tengah tidur di atas brankar dengan raut w
Elvan tampak menggandeng Neya dengan begitu mesra, saat memasuki sebuah pesta. Di pesta tersebut, hampir semua pasang mata tertuju pada keduanya, terutama pada Neya yang malam ini terlihat begitu cantik. Semua orang kagum padanya, tak terkecuali seorang laki-laki yang kini mengamati keduanya."Tuan Elvan beruntung banget ya dapat istri cantik dan masih muda kaya Neya.""Iya, biarpun jarak mereka jauh, tapi tetep cocok aja sih. Habis Tuan Elvan juga ganteng, keliatan masih muda.""Namanya juga jodoh.""Pasangan ter-oke yang ada di sini deh."Sayup-sayup pujian pada Elvan dan Neya pun mengudara di telinga Dewa. Hal tersebut tentu saja membuat laki-laki itu tersulut emosi di tengah kecemburuan yang sedang dihadapinya sekarang. Raut amarah di wajah suaminya tentu saja diketahui oleh Luna, tapi wanita itu hanya bisa menatap suaminya dengan tatapan nanar. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan karena apapun yang dia perbuat, seolah semua salah di mata Dewa."Ini istri anda?" tanya seorang