Zana begitu bingung dengan sikap Ebrahim. Setelah pulang dari pesta tersebut, pria itu langsung menyeretnya ke kamar dan membantingnya ke atas kasur. Ebrahim tidak terlihat marah tetapi dia seperti memaksa agar Zana melayaninya. Zana tidak paham kenapa Ebrahim begitu, seingatnya dia tak melakukan kesalahan. Selama di pesta, Zana juga bersikap baik. Bahkan ketika Tamara bersuara memancing, Zana tetap diam. "Ka-Kak Ebrahim," cicit Zana, mendorong agar Ebrahim menjauh dari atas tubuhnya. Pria ini seperti kesurupan. "Kak Ebra kenapa?" tanya Zana saat pria itu mendongak ke arahnya. Tatapan pria ini begitu berat, berkabut gairah dan nafsu. Ditambah senyuman tipis penuh makna yang menyungging di bibirnya, itu semakin membuat Zana merinding. Sepertinya Zana terlalu positif thinking terhadap Ebrahim selama ini. Kenyataannya pria yang ia anggap sopan dan hero ini, ternyata tertarik pada tubuhnya. "Aku menginginkan istri kecilku," jawab Ebrahim, mengelus bibir Zana dengan gerakan erot
Deg deg deg' Mampus! Tubuh Zana menegang kaku, terdiam dengan muka pucat dan mata sedikit melebar. Ada dua sosok pria beda usia di depannya yang membuat Zana merasa takut setengah mati. Kedua pria ini sepertinya melihat jelas apa yang dia lakukan tadi. Yah, kedua pria itu adalah daddy dan suaminya. Percayalah, melihat Ebrahim di sini saja rasanya Zana ingin pindah alam. Ditambah ada daddynya, Zana seperti ingin kiamat sendiri. Zana begitu gugup, tak bisa berkata-kata seketika. Dia seperti lumpu! "Tanggung jawab nggak kam …-" Marchel yang mengejar ikut terdiam, menatap dua sosok pria di hadapan Zana. Marchel ikut gugup, terpengaruh oleh aura intimidasi dari kedua pria tersebut. "Sepertinya kamu menghalangi jalan, Zan," bisik Marchel pelan. Sejujurnya dia merasa pernah berjumpa dengan salah satu pria ini. Akan tetapi dia kurang ingat di mana. Maklum, otaknya masih belum bekerja sepenuhnya–efek disembur oleh dosen pengujinya. Zana menoleh ke arah Marchel, cengenges tanpa do
"Iya, Kak," jawab Zana sembari menganggukkan kepala. Marchel dan Dirga sama-sama bersitatap, saling ber oh ria tanpa suara. Sekarang mereka ingat siapa pria rupawan dan beraura bossy ini. Dia adalah pria yang menjemput mereka saat membully salah satu dukun. Zana membawa daddy dan suaminya ke sebuah tempat duduk khusus di depan ruangan untuk menunggu. Marchel buru-buru kabur, kembali ke tempat teman-temannya. Sedangkan Dirga, dia dipanggil untuk memasuki ruangan sidang. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Zana dan peserta lain memasuki ruangan khusus untuk melakukan keputusan lulus. Zana sangat senang dan terus tersenyum lebar sebab dia mendapat nilai tertinggi. Zana pikir kebahagiaannya hanya sampai di sana, akan tetapi ternyata berlanjut karena saat dia keluar mommy serta mertuanya sudah di sana. Meskipun dia lain sendiri karena hanya dia yang keluarganya datang, akan tetapi Zana sangat senang. Setelah berpelukan dengan mommynya, Zana cengengesan sembari malu-malu pada sa
"Bagaimana menurutmu tentang anak kembar?"Zana menatap gugup ke arah Ebrahim, matanya sedikit melotot karena pria itu menyinggung perihal anak. Kenapa Ebrahim tiba-tiba membahas perihal anak? Sungguh, Zana sama sekali belum pernah memikirkan tentang anak. 'A-anak? A-ku dipanggil ibu dong kalau punya anak? Yaelah, makhluk seimut aku akan dipanggil ibu?' Zana membatin, menatap suaminya gugup. "Atau kau … tak ingin anak kembar?" Ebrahim menatap bibir bibir Zana, mengusapnya lembut. Semakin ia perhatikan, semakin dia tergiur oleh bibir tersebut. Zana mengerjap pelan. "Aku … tidak memikirkan anak," jawab Zana cepat. "Kakak dan aku …." "Kau masih berpikir ingin berpisah dariku?" Ebrahim memotong cepat, tiba-tiba menegakkan tubuh–menjauh dari Zana. Dia berdiri di depan Zana kemudian bersedekap dingin. "Jangan bilang kau masih berharap pada Revano?"Zana buru-buru menggelengkan kepala. "Aku sudah nggak suka padanya, Kak. Dan … soal berpisah-- aku tidak tahu." "Maksudmu apa tidak tahu? K
"Aku masih mencintaimu. Bisakah kita …-" Ebrahim melayangkan tatapan tajam ke arah Tamara, membuat perempuan itu melepas pergelangan tangan Ebrahim dan berhenti berbicara. "Jangan mengharapkan sesuatu yang tak akan terjadi." Ebrahim berkata dingin. "Ebrahim, tolong katakan apa kurangnya aku? A-apapun akan aku berikan padamu asal kau kembali padaku, Ebrahim." Tamara memohon, dia berniat kembali menyentuh tangan Ebrahim tetapi ia tahan karena takut menyinggung perasaan Ebrahim. Ebrahim memang mempesona. Namun siapapun tahu jika Ebrahim sangat memberikan saat marah. Satu lagi, emosi pria ini mudah terpancing. Bayangan Ebrahim menendang kue ulang tahun pemberian Tamara dahulu masih mengiang di kepalanya. kesalahan Tamara saat itu ada dua, pertama membawa kue padahal Ebrahim sudah melarang–berpikir jika Ebrahim mengharapkan kue ulang tahun darinya. Kedua, saat Ebrahim ingin pulang, diae memaksa Ebrahim untuk tiup lilin dahulu. Karena itulah Ebrahim marah, langsung menendang kue ters
Zana menggaruk tengkuk, ingin menjawab akan tetapi handphonenya tiba-tiba berbunyi. Itu dari Ebrahim!Zana segera mengangkat telepon dari suaminya tersebut. "Halo, Kak," sapa Zana cukup kikuk karena teman-temannya tiba-tiba memperhatikan. Ini memalukan! Mata temannya sepenuhnya pada Zana. 'Kakak sudah di perjalanan menjemputmu.' jawab Ebrahim dari seberang sana, nadanya begitu lembut dan halus. Seperti biasa, Ebrahim selalu bersikap lemah lembut pada istrinya. "Baik, Kak." Lagi lagi Zana menjawab dengan nada gugup. Bagaimana tidak? Teman-temannya sedang senyum-senyum padanya. Zana mematikan sambungan telepon, segera meraih tas kemudian beranjak dari sana. "Aku pulang duluan," ucap Zana pamit. Dirga dan Marchel mengikuti Zana dari belakang, penasaran Zana tergesa-gesa karena apa. Sejujurnya mereka menebak jika Zana ingin menemui pria tampan yang sering Zana panggil kak tersebut. Akan tetapi walau sudah menebak hal itu, mereka tetap penasaran. Mereka yakin hubungan Zana dengan pria
Zana meneguk saliva secara kasar saat Ebrahim menghentikan mobil di sebuah tempat yang sepi. Dari gerimis,sekarang hujan begitu deras, membuat Zana takut dengan apa yang akan Ebrahim lakukan padanya. Zana menatap Ebrahim secara kaku, menatap takut-takut pada sosok di sebelahnya tersebut. Zana tahu Ebrahim sedang marah, dia bisa merasakannya dari aura pria ini yang terasa begitu mencekam. "Kak Ebrahim, ke-kenapa kira berhenti di sin …-" Ucapan Zana seketika berhenti, Ebrahim mencondongkan tubuh ke arahnya lalu tiba-tiba menciumnya. Zana berusaha menerima dan hanya diam, akan tetapi dia berubah takut karena merasa permainan bibir suaminya tersebut yang terasa cukup kasar–penuh gairah dan kemarahan secara bersamaan. Zana semakin panik bercampur takut karena Ebrahim sudah kelewatan. Tangan pria itu mulai meraba tubuh Zana, ciumannya semakin panas dan penuh penuntutan. Zana sudah sangat kacau, dan dia mulai memberontak karena tak ingin Ebrahim melampaui batas. "Mmff …- Kak," u
[Pulang sekarang juga atau aku menyeretmu dari sana. Kau kira Kakak tak tahu kau ada di mana?]Membaca pesan itu, Zana merasa deg deg kan. Jantungnya berdebar kencang dan tubuhnya merinding. Dia segera memblokir nomor suaminya, takut karena Ebrahim terus menghubunginya dan terus menerornya lewat pesan. Pria itu menyuruhnya untuk segera pulang, akan tetapi karena Zana takut dengan Ebrahim yang terus-terusan menyentuhnya, Zana engga. Zana sangat cemas, celingak-celinguk untuk memastikan apakah Ebrahim akan menyusulnya ke tempat ini. Zana masih di cafe dekat sekolah adiknya, menunggu Zeeshan supaya mereka pulang bersama ke rumah. Sebenarnya Zeeshan sudah datang ke sini, khusus untuk memastikan Zana. Setelah itu adiknya kembali ke sekolah dan menyuruh Zana menunggunya di sini. "Kak Zan?" Merasa dirinya dipanggil, Zana menoleh ke arah suara tersebut. Mata Zana melebar cukup kaget karena tak percaya dengan apa yang ia lihat. Hell! Austin di sini? "Loh, Austin. Kamu di sini?" kaget Zana