Setelah berdebat dengan sahabatnya tersebut, pada akhirnya keduanya makan ketobrak bersama-sama. Tanpa mereka sadari, dua orang yang sedang menyamar sedang menguntit dan mengamati keduanya. "Persahabatan kita harus backstreet, Kin. Kakakku melarang dan dunia pun …-""Sumpah yah, kamu drama banget." Kina memotong cepat. "Gini ajah, satu tambah satu berapa?" Bintang mengerutkan kening. Perasaannya sudah tak enak karena bingung Kina tiba-tiba menanyakan hal tersebut. "Dua." Meskipun bingung, Bintang tetap menjawab. "Memangnya kenapa?"Kina tersenyum lebar. "Karena jawaban kamu benar, kamu yang bayar. Hehehe …," ucap Kina tanpa dosa, buru-buru beranjak dari sana karena dia sudah selesai makan. "Anji--! Monyet! Kawan monyet lu, Kin," maki-maki Bintang. Firasatnya memang tidak salah, satu tambah satu dari Kina sama dengan bencana.Sedangkan Kina, dia tertawa puas–berjalan santai dan tenang dari tempat tersebut. Dia sama sekali merasa bersalah, malah sangat gembira melihat Bintang kesal
"Zayyan," panggil seseorang dengan nada getir dan suara halus, suaranya terdengar seperti akan menangis. Kina segera melepas pelukan Zayyan di pinggangnya, menatap Nathalia sekilas kemudian buru-buru pergi dari sana dengan air muka berubah dingin dan datar. Perempuan itu lagi! Zayyan ingin mengejar Kina akan tetapi langkahnya tertahan. Nathalia tiba-tiba menerjangnya, memeluk tubuhnya dari belakang. "Zayyan, aku sangat butuh ini," pinta Nathalia, menumpahkan air matanya dengan memeluk erat tubuh Zayyan. Kina yang salah jalan, dia putar haluan. Harusnya dia lewat dari tangga, akan tetapi saking gugupnya melihat Nathalia, dia lewat ke arah dapur. Akan tetapi melihat pemandangan di sana, di mana Nathalia memeluk Zayyan, Kina tidak jadi putar haluan. Dia melanjutkan langkah, berjalan dengan cepat–dada terasa sesak dan napas memburu. Keringat dingin muncul, tangannya mulai bergetar dan tanpa bisa ia cegah air matanya jatuh begitu saja. Yang Kina lihat-- terlalu menyakitinya. Harusny
Kina terus menangis, sesenggukan dan pilu. Rasanya Kina ingin menjerit sekuat mungkin, dia ingin marah pada siapapun. Tanpa sadar, Kina mengigit kuat pergelangan tangannya. Dan satu tangan lainnya, menjambak rambutnya dengan kuat. Ada bisikan dan tawa Nathalia serta Sheila di kepalanya, Kina tidak ingin mendengarnya. Kina benci mereka! Kina hanya punya Zayyan dan Zana, tetapi kedua wanita jahat itu berusaha merebut keduanya dari Kina. Sheila jahat! Dia kakak yang jahat. Kasih sayang kedua orangtua mereka, Sheila ambil–dia merebutnya dan tidak menyisahkan sedikitpun untuk Kina. Lalu dengan serakahnya, dia masih menginginkan Zayyan dan Zana. Dia sudah mati. Tetapi kenapa ada Nathalia yang sama persis dengan Sheila? Nathalia juga ingin Zayyan dan Zana. Kina tidak bisa! Bayang-bayang mengerikan bermunculan di kepala Kina. Dia melihat Zayyan melecehkannya lalu Sheila menertawakan. Dia juga melihat anaknya--Zana, dibawa lari oleh orangtuanya kemudian menyerahkan Zana pada Sheila dan Zayy
"Mas Zay kenapa?" tanya Kina kembali, dengan ragu mengangkat tangan untuk membalas pelukan suaminya. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan Zayyan, akan tetapi dia bisa merasakan ketakutan dan kesedihan lewat pelukan pria ini. "Kucingnya sudah mati?" tanya Kina selanjutnya, berpikir jika kesedihan suaminya karena kehilangan kucing. Kucing adalah makhluk Tuhan yang sangat menggemaskan. Semua manusia dari genre manapun suka pada makhluk berbulu tersebut. Mungkin suaminya juga termasuk, mengingat suaminya sering memanggilnya Kitten. Mungkin Zayyan diam-diam mengadopsi kucing, lalu kucing tersebut hilang dan membuat Zayyan sedih. Walau terlihat sangat jahat dan bahkan mendekati istilah tak punya hati, akan tetapi Zayyan sosok yang sangat penyayang. Mungkin termasuk pada si kucing. "Tidak." Zayyan melepas pelukan tersebut, langsung menatap sendu bercampur berat. Dia merasa lega setelah melihat Kina, akan tetapi dia tetap merasa khawatir. Seperti biasa, Kina selalu berusaha terlihat bai
Zayyan menghela napas, menarik Kina ke dalam kamar untuk ikut dengannya. Samantha dan Jabier sudah pulang, sedangkan Rain ke kantor. Lagi-lagi keberangkatan mereka untuk berlibur ditunda. "Mas Zayyan, aku dan Zana sedang …-" Ucapan Kina dipotong oleh Zayyan. Zayyan tiba-tiba mengecup bibir Kina. Awalnya hanya kecupan kemudian berakhir menjadi ciuman panas yang penuh gairah. Zayyan hampir lupa tujuannya membawa Kina ke kamar, saking lembut dan manisnya bibir istrinya. Bibir ini benar-benar candu, Zayyan sulit menghentikan ini! "Aku ingin berbicara denganmu," ucap Zayyan setelah melepas pangutan bibir keduanya, menarik Kina ke sopa kemauan duduk di sana–di mana Kina ia dudukkan di atas pangkuannya. Kina gugup dan malu-malu duduk di pangkuan pria ini, akan tetapi sekalipun dia tidak protes. Zayyan suka jadi Kina membiarkan meskipun dia sendiri kurang nyaman. "Tapi aku dan Zana sedang …-" Zayyan memotong cepat, memeluk pinggang Kina erat sembari meletakkan dagu di ata
"Mommy jahat!" ucap Zana, menggembungkan pipi lalu menghentakkan kaki beberapa kali ke lantai. Kina menatap ke arah Zayyan, menuntut suaminya karena pria itulah yang tiba-tiba menariknya kemari disaat Kina sedang mencari Zana yang bersembunyi. "Daddy yang membawa Mommy ke sini," jawab Kina dengan nada pelan, akan tetapi menatap suaminya malas. Bahkan pria itu tidak menunjukkan perasaan bersalah sedikitpun–tetap menampilkan raut muka lempeng. Zana menoleh ke arah Zayyan, menatap daddynya tersebut dengan raut muka masih cemberut. Kemudian anak itu mendekati daddynya. "Daddy, Na-- Kenna dan Mommy sedang bermain. Mommynya jangan dibawa-bawa," tegur anak itu dengan nada lembut dan manis, berbanding terbalik saat dia berbicara dengan sang mommy. Zayyan mengusap pucuk kepala putrinya. "Dalam perut Mommy ada adik, dan Mommy tidak boleh bermain terlalu lama.""O-oh. Begitu yah?" Zana mengerjap beberapa kali, reflek menoleh ke arah mommynya. Lebih tepatnya ke arah perut sang mommy yang mas
Zana turun dari mobil, menatap berang ke arah daddynya yang sepertinya melupakan Zana–tengah menggendong sang mommy, tanpa menoleh sedikitpun pada Zana. Zana mengerucutkan bibir, menatap daddynya yang sudah masuk ke villa. "Huh, Daddy lupa pada Nana," gumamnya, memutuskan masuk ke dalam villa. Para bodyguard berjalan di belakang Zana, akan tetapi hanya mengantar Zana hingga ke pintu villa saja. Selanjutnya Zana mengikuti kemana daddynya pergi. Ini kali pertama Zana berlibur dengan sang Daddy dan datang ke pulau ini, jadi Zana masih merasa asing dengan tempat ini. Dulu, Zana hanya berlibur dengan Kina–saat mommynya tersebut masih mengira jika Zana adalah keponakannya. Dan Kina selalu membawa Kina berlibur ke luar kota–ke keluarga Nenek sang mommy. Saat tiba dalam kamar, Zana berjalan ke arah balkon yang berdindingkan kaca transparan. Dia menatap langit dengan kagum, ada kembang api di sana. Sepertinya arahnya dari villa utama. Karena tertarik dengan kembang api tersebut Zana bernia
Zana semakin menggembungkan pipi, menghentakkan kaki lagi secara kesal. "Tidak!" jawab Zana, "coba saja Mommy yang menangis, pasti Daddy langsung mengusap air mata Mommy. Tapi Kenna-- aaaaa …." Zana kembali meraung. Ouh, jadi karena itu?' batin Zayyan, mendekati putrinya dan berniat mengusap air mata Zana. Namun, tangannya dengan kasar ditepis oleh Zana. "Tidak perlu lagi, Daddy. Kita marahan!" ucap Zana menjerit, anak itu menghentakkan kaki kembali kemudian berlari ke arah ranjang. Zana berhambur memeluk mommynya yang tertidur, membuat Kina terbangun. "Mommy, Daddy jahatin Nana. Jangan berteman dengan Daddy yah, Mommy. Demi Nana!" Kina yang masih setengah sadar dengan gampang menganggukkan kepala. "Iya, nanti kapal ufonya diparkirin depan rumah saja, Gojo. Uang parkirnya minta ke suami saya. Kelerengnya dibuat kolak, gantinya mata ikan. Zana suka kolak." ucap Kina asalan, sesuai mimpinya yang tengah naik kapal ufo di laut. Akan tetapi kapal tersebut bisa menjadi mobil jika di da
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali