"Ini kopinya buat siapa yah?" gumam Kina yang sedang mengaduk secangkir kopi. Tadi dia kabur dari kamar karena salah tingkah, di mana dia spontan mengatakan akan membuatkan kopi untuk Zayyan. Tetapi sekarang setelah kopi ia buat, Kina bingung akan memberinya pada siapa. Zayyan? Jelas Kina sadar suaminya tak meminta kopi. "Mommy …." Kina tergelonjak kaget lalu reflek menoleh ke arah sebelah, di mana putrinya yang masih mengenakan pakaian adat berdiri dengan senyum lebar pada Kina. "Hais, kenapa bajunya tak diganti, Nana?" Kina setengah mengomel pada putrinya. "Nana kan sudah bilang kalau Nana suka baju ini dan Nana akan memakainya sampai besok." Kina memijit pangkalan hidung, menatap lelah ke arah putrinya yang nakal dan keras kepala. Rasanya Kina ingin berteriak 'kamu ini anak siapa sih?' tetapi Kina tahu betul kalau ini anaknya dan kelakuan Zana sama persis dengannya. "Yaudalah, semerdeka kamu saja, Na," ucap Kina, memilih kembali mengaduk kopi. "Jangan minum kopi, Mommy Saya
"Nyonya tak apa-apa?" tanya Samantha, di mana saat ini Kina dan dirinya sedang mengobrol berdua di teras halaman belakang rumah. Semua orang mungkin sedang istirahat, lelah dari perjalanan panjang. Kina sendiri, setelah membuat kopi untuk Zayyan--tadi, dia memilih duduk di sini. Lalu tak lama Samantha datang. "Aku baik-baik saja, Kak," jawab Kina dengan nada lembut, tak lupa senyuman tipis supaya Samantha yakin dirinya baik-baik saja. "Selama di Italia, aku selalu memikirkan Nyonya. Aku sangat mengkhawatirkan Nyonya. Dan ternyata Nyonya baik-baik saja, kekhawatiran ku tak berlandas," ucap Samantha, menatap Kina begitu teduh dan lembut. Dia sangat tulus menyayangi nyonya-nya, dia memiliki kenakan buruk tentang seorang adik. Lalu Kina hadir menyembuhkan rindunya. Baginya Kina bukan hanya sekedar pasien, tetapi lebih dari itu. "Selain rindu, aku tidak diganggu oleh apapun, Kak. Aku malah merasa sangat sehat selama di sini. Nenek menjagaku dengan baik, orang-orang di sini menghar
"Kina benar." Satiya mendukung menantunya. Jabier mengangguk pelan. Ada kesempatan jadi dia sikat saja. Lumayan! "Kapan kau ada waktu, Samantha?" Samantha menatap sangat gugup pada Jabier. Dalam perjanjian hubungan palsu mereka, lamaran tak termasuk. Lalu dia harus bagaimana? Jika dia menolak lamaran, siapa tahu ini bagian dari hubungan palsu mereka. Tetapi jika dia mengiyakan, bagiamana jika Jabier tak serius dengan semua ini lalu sebenarnya berharap Samantha menolak? Samantha sudah mencoba membaca pikiran pria ini, akan tetapi raut muka Jabier yang terlalu datar membuat Samantha tak bisa menebak apapun. Argkk! Ini yang Samantha benci dari pria-pria Azam, sangat sulit diprediksi. "Aku siap kapanpun, Tuan," jawab Samantha pada akhirnya. Persetan jika sebenarnya Jabier juga terjebak dengan tagihan lamaran dari auntynya. Dia terlalu lempeng, Samantha tak bisa menebak jalan pikirannya. Jadi jangan s
"Berjanji!" "Iya, aku berjanji," ucap Kina dengan nada pelan. "Pak Rain, kamu juga harus ber-berjanji. Jangan kriminal," ucap Kina pada Rain, mengurangi rasa gugupnya karena ditatap tajam oleh Zayyan. "Ah, saya tidak ikut-ikutan, Nyonya," ucap Raka, tersenyum kaku pada Kina tetapi buru-buru menarik senyuman–mengunci bibir dengan cara melakukan gerakan menarik resleting di bibir, saat Zayyan menatapnya. Setelah itu, Rain buru-buru melanjutkan pekerjaannya. "Aku menyuruhmu, bukan Rain. Cepat, Kina Anggita Azam." Zayyan meletakkan kuat pulpen yang ia pegang. "Iya, Mas Zayyan. Aku berjanji untuk tidak menggambar lawan jenis lagi karena hal tersebut termasuk perbuatan kriminal yang punya tingkat bahaya sangat tinggi. Bakatku hanya akan ku gunakan untuk hal-hal mulia, seperti Spiderman menyelamatkan dunia dari keganasan Venom." "Bisa serius, Kitten?" Suara berat Zayyan memperingati, mengalun rendah dan lembut t
Besoknya, Kina dan Zayyan ke rumah Nathalia. Sebenarnya cukup takut untuk mendatangi rumah duka keluarga Nathalia. Dia takut kejahatan Zayyan pada Natahlia tertuduh, lalu suaminya diadili di depannya. Tetapi Kina memilih ikut supaya Zayyan tidak curiga padanya–curiga jika Kina mengetahui berkas rahasia dalam Handphone suaminya. Ah, kedepannya Kina lebih baik untuk pura-pura tak tahu. Rasanya horor setiap kali dia melihat berkas itu. Pasangan adalah cerminan diri. Dulu Kina tak percaya akan hal itu karena banyak yang meleset. Namun, sekarang dia percaya karena dia merasa itu terjadi padanya. Dia gila dan pasangannya juga gila, bahkan jauh lebih gila serta sebuah kegilaan yang membuat siapapun merasa merinding takut. "Aaaa … putriku!" jeritan kencang terdengar, menyambut Kina dan Zayyan yang baru tiba di sana. Rumah tak lagi ramai karena jenazah Nathalia sudah dikebumikan. Hanya keluarga serta kerabat yang tersisa. Sebenarnya Kina dan Zayyan sudah ada di sana sebelum jenazah Nat
Zayyan terkekeh geli melihat seorang pria yang dirantai dalam sebuah ruang tahanan. Pria dalam sel itu penuh luka dan terlihat mengenakan, membuat Zayyan semakin suka dan bahagia. "Za-Zayyan, to-tolong bebaskan aku. Jangan …-" "Diam." Zayyan menegur dengan nada rendah, duduk di sebuah kursi santai–menikmati pemandangan menyenangkan di depannya. Dia suka melihat musuhnya tak berdaya. "Chris-- salah satu orang yang berbahaya di dunia ini, tidak berani terang-terangan melawanku." Zayyan mengeluarkan rokok kemudian menyalakannya. Dia menghisap batang rokok dengan khidmat, santai dan tenang, "lalu bagaimana bisa Loser sepertimu terang-terangan dihadapanku, Heh?" "A-aku tidak paham, Za-Zayyan. Aku tidak paham," ucap Frans, sudah merinding takut dengan Zayyan. "A-apa karena aku orang yang dijodohkan dengan Nathalia, ka-kau marah?" "Cih." Zayyan berdecis sinis. "Aku paling tidak suka seorang pengkhianat dari kel
"Iyalah, putri Mommy memang menggemaskan," ucap Kina lembut, seketika membuat Zana tertawa malu-malu. Dibandingkan dipuji oleh daddynya, Zana lebih salah tingkah dipuji oleh mommynya. Zana sangat suka mendapat pujian dari sang Mommy! Rasanya lebih berbunga-bunga! "Mommy, nanti kalau liburan, Nana ke rumah Nenek buyut yah. Nana ingin berjumpa dengan Arsa dan teman yang ada di sana," ucap Zana lagi, naik ke atas sofa lalu memeluk mommynya. Dia masih salah tingkah, dan setiap salah tingkah rasanya Zana selalu ingin memeluk. "Iya, Sayang." "Nana sangat suka dipanggil sayang oleh Mommy." Kina tertawa pelan. "Oh iya kah, Kak?" "I'iiih … Mommy maaaaah …." Zana yang berdiri sembari memeluk Kina di sofa seketika meleyot, duduk di sofa dengan merapat pada mommynya. Pipinya memerah dan tangannya menutupi wajah, salah tingkah dipanggil 'Kak oleh mommynya. Kina lagi-lagi dibuat tertawa oleh tingkah putrinya. Zana memang sangat
"Ada apa, Na?" tanya Kina ketika melihat Zana hanya berdiri diam di sebelah Zayyan. Sedangkan suaminya tersebut, terlihat duduk tenang di kursi tempat Zana biasa duduk. Oke. Sekarang Kina tahu apa masalahnya. Kina meletakkan wadah ayam kecap, kemudian menatap suaminya dengan tampang ragu. "Ini tempat duduk Zana, Mas Zay.""Iya, itu tempat duduk Kenna, Daddy. Kenna biasa duduk di sini, dan Daddy duduk di situ," jelas Zana dengan nada cemberut, menggembungkan pipi pada daddynya. "Apa salahnya? Daddy ingin duduk di sini," jawab Zayyan, menunduk untuk menatap wajah putrinya."Mommy …," ucap Zana, mendongak ke arah mommynya–meminta tolong pada mommynya supaya daddynya memberikan tempat duduk tersebut padanya. 'Ini Mas Zayyan kenapa sih?' batin Kina, menatap wajah dingin suaminya secara cermat. "Mas Zay, ini tempatnya Nana, Mas kan biasanya duduk di situ. Pindah yah, Mas," pinta Kina lembah lembut, mencolek pundak suaminya beberapa kali dengan gerakan hati-hati. Zayyan berdecak pelan
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali