Zayyan terkekeh geli melihat seorang pria yang dirantai dalam sebuah ruang tahanan. Pria dalam sel itu penuh luka dan terlihat mengenakan, membuat Zayyan semakin suka dan bahagia.
"Za-Zayyan, to-tolong bebaskan aku. Jangan …-" "Diam." Zayyan menegur dengan nada rendah, duduk di sebuah kursi santai–menikmati pemandangan menyenangkan di depannya. Dia suka melihat musuhnya tak berdaya. "Chris-- salah satu orang yang berbahaya di dunia ini, tidak berani terang-terangan melawanku." Zayyan mengeluarkan rokok kemudian menyalakannya. Dia menghisap batang rokok dengan khidmat, santai dan tenang, "lalu bagaimana bisa Loser sepertimu terang-terangan dihadapanku, Heh?" "A-aku tidak paham, Za-Zayyan. Aku tidak paham," ucap Frans, sudah merinding takut dengan Zayyan. "A-apa karena aku orang yang dijodohkan dengan Nathalia, ka-kau marah?" "Cih." Zayyan berdecis sinis. "Aku paling tidak suka seorang pengkhianat dari kel"Iyalah, putri Mommy memang menggemaskan," ucap Kina lembut, seketika membuat Zana tertawa malu-malu. Dibandingkan dipuji oleh daddynya, Zana lebih salah tingkah dipuji oleh mommynya. Zana sangat suka mendapat pujian dari sang Mommy! Rasanya lebih berbunga-bunga! "Mommy, nanti kalau liburan, Nana ke rumah Nenek buyut yah. Nana ingin berjumpa dengan Arsa dan teman yang ada di sana," ucap Zana lagi, naik ke atas sofa lalu memeluk mommynya. Dia masih salah tingkah, dan setiap salah tingkah rasanya Zana selalu ingin memeluk. "Iya, Sayang." "Nana sangat suka dipanggil sayang oleh Mommy." Kina tertawa pelan. "Oh iya kah, Kak?" "I'iiih … Mommy maaaaah …." Zana yang berdiri sembari memeluk Kina di sofa seketika meleyot, duduk di sofa dengan merapat pada mommynya. Pipinya memerah dan tangannya menutupi wajah, salah tingkah dipanggil 'Kak oleh mommynya. Kina lagi-lagi dibuat tertawa oleh tingkah putrinya. Zana memang sangat
"Ada apa, Na?" tanya Kina ketika melihat Zana hanya berdiri diam di sebelah Zayyan. Sedangkan suaminya tersebut, terlihat duduk tenang di kursi tempat Zana biasa duduk. Oke. Sekarang Kina tahu apa masalahnya. Kina meletakkan wadah ayam kecap, kemudian menatap suaminya dengan tampang ragu. "Ini tempat duduk Zana, Mas Zay.""Iya, itu tempat duduk Kenna, Daddy. Kenna biasa duduk di sini, dan Daddy duduk di situ," jelas Zana dengan nada cemberut, menggembungkan pipi pada daddynya. "Apa salahnya? Daddy ingin duduk di sini," jawab Zayyan, menunduk untuk menatap wajah putrinya."Mommy …," ucap Zana, mendongak ke arah mommynya–meminta tolong pada mommynya supaya daddynya memberikan tempat duduk tersebut padanya. 'Ini Mas Zayyan kenapa sih?' batin Kina, menatap wajah dingin suaminya secara cermat. "Mas Zay, ini tempatnya Nana, Mas kan biasanya duduk di situ. Pindah yah, Mas," pinta Kina lembah lembut, mencolek pundak suaminya beberapa kali dengan gerakan hati-hati. Zayyan berdecak pelan
"Aku memaksa," lanjut Jabier. Samantha menghela napas pelan lalu pada akhirnya mengatakan kisahnya pada Jabier. Dia bisa mempercayai tuannya, Jabier orang yang sangat bertanggung jawab dan sangat bisa dipercayai. "Aku punya adik perempuan, usia kami jarak dua tahun. Setelah orangtuaku meninggal, Tante dan suaminya tinggal dengan kami–di rumah peninggalan orangtua kami. Mereka serakah, memakan habis harta orangtua kami. Aku dan adikku saat itu masih high school, aku kelas 12 dan dia kelas 10. Karena Tante tidak membagi uang pada kami, aku terpaksa bekerja paruh waktu. Setiap pulang sekolah, aku langsung ke sebuah restoran untuk mencuci piring. Restoran itu milik teman mama, oleh sebab itu aku bisa kerja di sana. Dan adikku tidak tahu karena aku tidak memberitahunya. Dia kira uang peninggalan orangtua kami masih banyak dan aku tak pulang karena pelajaran tambahan. Suatu hari, seperti biasa sepulang sekolah, aku langsung ke restoran tempatku bekerja. Sedangkan adikku langsung pulang.
Karena pernikahan Samantha dan Jabier, Zayyan ke Italia dengan Kina serta putrinya. Seluruh keluarga Azam juga ke sana, untuk menghadiri pernikahan Jabier. Tiba di mansion keluarga Jabier, Zayyan langsung membawa istrinya ke kamarnya–kamar yang biasa Zayyan tempati apabila berkunjung ke rumah sepupu sekaligus sahabatnya tersebut. "Apa kepalamu sakit, Kitten?" tanya Zayyan pada Kina, yang saat ini berbaring di ranjang. Kina menggelengkan kepala, tersenyum tipis pada suaminya. "Aku tidak apa-apa kok, Mas. Aku baik-baik saja," jawab Kina. Zayyan mendekat ke arah istrinya. Dia duduk di sebelah Kina, mencium kening Kina secara lekat lalu mengusap pucuk kepala sang istri. "Butuh sesuatu, Kitten?" Kina kembali menggelengkan kepala. "Tidak, Mas Zay." "Hum." Zayyan berdehem singkat, berniat mencium bibir istrinya akan tetapi tiba-tiba suara anak kecil menyahut. "Kasihannya Kenna. Ada tetapi tidak dianggap," celetuk Zana, bertopang dagu–duduk di sofa sembari menatap orangtuanya yang seda
"Ganti sekarang juga," peringat Jabier, mendekat ke arah Samantha lalu mendorong perempuan itu untuk masuk ke dalam kamar. Dia juga ikut masuk, berniat akan memilih pakaian yang baik dan benar untuk Samantha. Sebelumnya Samantha terbiasa memakai pakaian seperti ini. Akan tetapi karena Jabier baru melarang karena perempuan ini sudah resmi menjadi calon istri. Lusa mereka akan menikah, Jabier merasa memiliki hak atas tubuh Samantha. "Tuan, aku akan mengganti pakaianku. Tetapi keluarlah lebih dahulu," pinta Samantha dengan nada baik dan lembut. Dia sangat memahami Jabier, pria keras yang sangat mudah kesal pada orang lain. Jabier berdecak, tanpa mendengar ucapan Samantha, dia berjalan ke lemari perempuan itu. Dia mengacak pakaian, mencari baju yang menurutnya tepat untuk istrinya. Samantha menghela napas, memilih membiarkan Jabier dengan tingkah menyebalkannya. Daripada Samantha menegur, bisa-bisa Jabier semakin mengacak lemarinya. "Pakai ini," ucap Jabier, menyerahkan sebuah dr
"Mas Zayyan memangnya nyaman kerja di sini? Aku dan Zana berisik padalah," ucap Kina, menatap ragu ke arah suaminya yang bekerja di ruang keluarga. Pria itu terlihat serius, padahal Kina dan Zana sudah sengaja menimbulkan kebisingan supaya Zayyan terganggu. "Humm." Zayyan berdehem singkat, menoleh sejenak pada istrinya lalu kembali fokus pada pekerjaannya. "Tolong buatkan aku kopi, Kitten.""Hu'um." Kina segera beranjak ke dapur untuk membuatkan kopi pada istrinya. Jika Zayyan sudah meminta kopi, berarti Zayyan ingin bekerja di ruang kerjanya. Yes! Akhirnya Kina bisa keluar dengan putrinya. Karena dengan bekerja di ruangannya, Zayyan akan lupa pada semuanya–hanya fokus pada pekerjaan saja. Namun, saat Kina kembali ke tempat tadi untuk mengantar kopi Zayyan, suaminya dan putrinya sudah tak ada di sana. Kina meletakkan kopi di meja kalu mengambil sebuah note yang ditempel di kening boneka Zana. [Daddy mengajak Nana membeli peralatan sek
--Beberapa bulan kemudian--Genggaman tangan Zayyan begitu erat pada Kina, membuat Kina menoleh pada suaminya. Kina menatap raut muka khawatir Zayyan, terlihat begitu kentara sekali. Bukan hanya itu, Kina juga merasakan tangan suaminya yang dingin serta gemetar. 'Ini-- dia yang ngelahirin atau aku sih?' batin Kina, masih mendongak ke arah suaminya yang terlihat sangat pucat–takut dan penuh perasaan khawatir. "Ayo, Bu, dorong lagi yah, Bu." Dokter perempuan yang menangani persalinan Kina, memberikan arahan. Kina dengan santai dan tenang menganggukkan kepala, mengikuti perkataan sang dokter. Ketika Kina berusaha mendorong perutnya agar bayi di sana bisa keluar, genggaman suaminya terasa semakin kencang. Diam-diam Kina melirik suaminya, memperhatikan Zayyan yang sudah gemetar seluruh tubuhnya. Sayup, Kina juga dapat melihat mata Zayyan yang memerah dan berair. 'Kalau aku batal ngelahirin boleh nggak sih? Kasihan nih Bapak anakku. Belum apa-apa udah mau nangis.' batin Kina. "Mas Zay
"Kemarin Mbak Sinta minta yang full Payet atau polos, Nur?" tanya Kina pada asistennya. Asisten tersebut menggelengkan kepala sembari menampilkan raut muka bingung serta gugup, membuat Kina menghela nafas lalu memijit pelipis. Kina meraih handphone kemudian menghubungi klien-nya tersebut. Asisten Kina tersebut sangat tidak becus, tetapi sampai sekarang Kina masih sabar. Meskipun sudah ada niat untuk memecatnya. Sudah satu tahun lebih berlalu dari saat Kina melahirkan. Dia menikmati hidup meskipun kadang ada perasaan yang membuat Kina merasa kehilangan. Tiga bulan setelah melahirkan, Zayyan mengabulkan keinginan Kina untuk menjadi seorang desainer. Pria itu membantu Kina dan mendukung secara maksimal. Sekarang Kina punya butik dan namanya sudah terkenal di kota ini, bahkan ke kota lain. Kina khusus mendesain baju pengantin, karena jika dia mengambil banyak dia takut tak fokus pada anak-anaknya. Setelah berbicara pada klien tersebut,
"Seru nggak tadi mainnya sama Kak Kendrick?" tanya Zana pada putranya, mendapat anggukan dari putranya tersebut. "Selu." Abizard menjawab dengan cepat, "tapi sekalang Abi mengantuk, Mom. Abi ingin tidul." Abizard memeluk leher mommynya lalu menyenderkan kepala ke pundak sang mommy. "Hu'um. Kita sudah di rumah dan bentar lagi kita sampai ke kamar," ucap Zana, menggendong putranya. Dia tersenyum lembut, mengingat masa indah saat mengandung putranya. Ebrahim– suaminya, dulu sering muntah-muntah saat Zana mengandung Abizard. Saat melahirkan, Ebrahim menangis karena terharu. Suaminya begitu bahagia, terus mengungkapkan kata cinta pada Zana. Senyuman Zana lebih lebar saat mengingat kebaikan suaminya yang bersedia ikut menjaga Abizard. Meskipun Ebrahim sudah lelah dari kantor, malam butuh tidur, tetapi semisal Abizard terbangun di malam hari, Ebrahim bersedia menjaga putra mereka. Ebrahim bukan hanya suami yang baik, tetapi dia juga ayah yang sangat baik. Yah, walau suaminya itu semakin
---Empat tahun kemudian--- "Weiiih, itu anak siapa? Tampan sekali. Ya ampun!!" pekik seorang perempuan, berlari kecil ke arah Alana untuk menghampiri anak laki-laki yang terlihat tampan dan menggemaskan tersebut. Ketika anak itu tersenyum manis padanya, perempuan cantik itu semakin dibuat meleleh. "Aaaa … tampan sekali, dan … sangat manis. Murah senyum yah," ucap Kanza, mengusap pucuk kepala anak kecil yang ia tebak berusia tiga tahun atau empat tahun tersebut. "Alan, ini anak siapa?" tanyanya kembali. Mereka semua habis foto keluarga, kemudian acara lanjut dengan makan bersama–kediaman Azam. Tadi, anak ini tak ada. Oleh sebab itu Kanza terus bertanya-tanya siapa anak kecil tampan yang menggemaskan ini. "Abizard Mahendra, putranya Kak Ebrahim dan …-" jawab Alana tetapi dipotong cepat oleh Kanza. "Hah? Kak Ebrahim sudah menikah? I--ini anak dia?" kaget Kanza yang tak tahu jika Ebrahim, kakak dari sahabatnya ini telah menikah. Kanza adalah istri Razie dan mereka sudah punya
Hari ini adalah hari kelulusan Zeeshan. Akan tetapi karena orangtuanya sudah kembali ke Paris–setelah sehabis pesta ulang tahun pernikahan Gabriel dan Satiya, maka Zana dan Ebrahim lah yang menjadi perwakilan untuk menghadiri acara perpisahan tersebut. Ebrahim sebenarnya tak ingin Zana keluar rumah karena takut Zana bertemu dengan Jaki–sepupu jauh Zana yang suka pada Zana, saat di pesta ulang tahun pernikahan Gabriel. Ebrahim semakin posesif pada istrinya, dia sangat menggilai Zana. Namun, ini adalah hari penting adik istrinya, mau tak mau Ebrahim harus mengizinkan. "Awas saja jika matamu jelalatan," peringat Ebrahim, menggandeng erat tangan istinya. Mereka berjalan menuju aula, tempat kelulusan dilaksanakan. Zana menatap suaminya cemberut, mendengkus setelahnya. 'Setelah pulang dari pesta, Kak Ebrahim semakin galak. Dia sangat suka mengurungku dan lebih pengekang. Ck, nggak asik sekali.' batin Zana, menganggukkan kepala lesu secara pelan. Setelah sampai di tempat, Zana dan Ebrah
"Lah." Zana menganga kaget, syok melihat Ebrahim ada di sana. Dia mengerjapkan mata kemudian segera bangkit, menghampiri suaminya. Namun, tindakannya tersebut ia urungkan karena banyak sepupunya yang laki-laki ada di sana. Sejujurnya Zana sedikit tak suka bertemu para keluarganya. "Kenapa tidak jadi menemui Kak Ebra?" tanya Kina, sudah berada di sebelah putrinya–ikut menatap kemana arah mata putrinya melihat. Kina dan Zayyan baru pulang dari Paris. Ada dua alasan yang membuat mereka segera pulang. Pertama, kehamilan Zana dan yang kedua ulang tahun pernikahan mertua Kina. "Aih, ada banyak abang-abang speak om-om di sana, Mom. Zana tak suka," celetuk Zana pelan, cukup kaget ketika mommynya berada tepat di sebelahnya. Kina berdecak pelan, menepuk pundak Zana lalu menarik putrinya untuk beranjak dari sana. "Mommy itu sebenarnya ingin marah sama kamu. Suami kamu kan sakit, kenapa masih dibawa kemar
"Tu-Tuan Zayyan." Tamara berdiri, menutup hidung yang mungkin patah akibat pukulan Zana. Dia menundukkan kepala pada sang Tuan Azam yang terkenal dengan rumor dark. Tamara sering mendengar rumor mengerikan tentang Zayyan LavRoy Azam, sosok dingin yang katanya mudah melenyapkan seseorang yang mengusiknya. Zayyan juga mudah marah dan tak terkendalikan, mereka bilang hanya sosok Reigha serta istri Zayyan sendiri yang bisa menenangkan Zayyan apabila marah.Sekarang sosok itu ada di hadapan Tamara. Meski sudah berumur, tak bisa Tamara pungkiri jika dia terpesona. Sosok itu luar biasa sangat tampan, berkarisma dan berwibawa. Ah iya, Zayyan LavRoy Azam memang dikenal sebagai Azam tertampan. Akan tetapi, katanya tak ada wanita yang berani mendendekati pria ini–saking banyaknya rumor mengerikan tentang Zayyan. "Tuan, perempuan ini memukulku dan hidungku …-" Tamara ingin mengadu agar Zana dimarahi oleh sosok mengerikan itu. Namun, tiba-tiba, sosok itu mengangkat tangan sehingga Tarama berhe
"Jika Mas Ebra masih merasa mual, Mas Ebra sebaiknya tak usah datang. Mas Ebrahim istirahat saja di rumah, aku saja yang ke sana," ucap Zana lemah lembut, mengusap pucuk surai lebat Ebrahim. Suaminya tengah berbaring di ranjang, berbantalkan paha Zana. Dia sesekali menelusup ke perut Zana, mencium dengan rakus aroma istrinya. Seperti biasa, Zana wangi dan segar. Ah yah, ada bayi miliknya yang berkembang dalam perut Zana. Bisakah Ebrahim berbangga diri? Karena bukan hanya menaklukan putri Azam yang terkenal tukang onar ini, tetapi dia juga bisa membuatnya mengandung benihnya. "Ck." Ebrahim berdecak pelan. Bagaimana bisa dia membiarkan Zana pergi sendiri tanpa dirinya? Walaupun ke kediaman Azam–untuk merayakan ulangtahun pernikahan kakek neneknya, tetapi Ebrahim tak bisa membiarkan Zana. Namun, kondisi Ebrahim beberapa hari ini semakin parah. Dia semakin sering mual dan demamnya jauh lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Apa karena bakso bakar? "Aku ikut." Ebrahim berucap serak
"Humm?" Ebrahim mengerutkan kening, menatap tak percaya pada Zana. Istrinya tadi memanggilnya …- "Ahahaha … katanya Zana tak mau," ucap Lea dengan nada meledek. Zana yang menyadari panggilannya pada Ebrahim langsung melebarkan mata. Dia menatap Ebarhim cepat dan segera menggelengkan kepala. "Aku-- aku bisa jelasin, Kak," panik Zana. Lea dan Haiden terkekeh geli karena mendengar ucapan Zana. Menantu mereka sangat lucu. "Tak ada yang harus kamu jelaskan, Zana," geli Haiden pada sang menantu. "Aku salah …." Zana menutup wajah dengan tangan, "panggil," lanjutnya, menahan senyuman geli. Ebrahim tersenyum lalu mengusap pucuk kepala Zana, dia juga mencubit gemas pipi istrinya. Makhluk satu ini sangat lucu. "Tidak apa-apa kau memanggil Kakak dengan sebutan mas. Dengan begitu kakak juga akan memanggilmu Dek." "Elleh." Alana memutar bola mata jengah mendengar ucapan kakannya. Maklum, Alana jomblo dan dia sedikit mual dengan hal berbau romantis. "Muka seram sok manis," lanjut Alana
"Kak." Panggil seseorang yang tengah Nindi dan Zana bahas. Keduanya langsung menoleh, Zana dengan tatapan penuh interogasi dan Nindi dengan muka panik serta pucat. Matilah Nindi jika sampai Zeeshan melihat gelang ini! Tunggu! Zeeshan memanggil perempuan ini dengan sebutan apa? Sayang, Kak atau apa? Saking gugupnya dia, Nindi tak ingat betul. "Kamu kenapa bisa ada di sini?" tanya Zana, memicingkan mata pada adiknya. Setelah itu melirik tipis pada gadis di samping Zeeshan, setelah itu dia senyum jahil. Zeeshan yang paham dengan lirikan kakaknya, segera menoleh pada sosok di sebelahnya–di mana gadis di sebelahnya langsung menutup wajah menggunakan novel. "Aku diminta oleh Kak Ebra untuk menyusulmu. Dia takut Kakak kenapa-napa," jelas Zeeshan. "Kak Zan sudah selesai?" "Belum." Zana menjawab santai, "aku masih ingin mencari komik kesukaanku." "Aku punya." Zeeshan menjawab cepat, langsung menggandeng tangan kakaknya–menariknya supaya beranjak dari sana. "Dek, duluan yah," pamit Zana
Zana berhenti sejenak di toko buku, dia ingin membelikan Alana buku. Ada sebuah novel yang menjadi incaran Alana, sudah keluar, dan Zana ingin menbelikannya pada Alana. "Tuan Miliarder Mengejar Cinta Istri karya CacaCici," gumam Zana, mengingat-ingat novel yang ingin ia cari tersebut. Tak lama, Zana menemukan buku itu. Dia membaca sinopsis dan dia menjadi tertarik. "Kisah seorang suami yang tiga tahun mendiami istrinya karena salah paham, dan ketika istrinya lelah barulah dia sadar akan cinta yang dia miliki pada istrinya. Dia mengejar cinta istrinya dan berupaya menjadi suami yang baik juga. Wah … menarik sekali novel ini. Penulisnya pasti keren. Ckckck …." Zana mengambil dua buku karena dia juga menginginkannya. "Permisi, Kak." Zana yang ingin beranjak dari sana untuk membayar buku yang dia ambil, seketika beranjak. Dia menoleh ke arah orang yang memanggilnya. Ada hal yang aneh, perempuan itu terlihat terkejut saat melihat Zana. Sedangkan Zana, dia merasa tak pernah mengenali